rigeleo

lowercase


jam istirahat sudah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu, sekarang, seungmin berada di dekat ruang sinematografi untuk menemui minho— sesuai kata seungmin kemarin.

tak butuh waktu lama, akhirnya minho datang. seungmin mengenalinya dari kejauhan— dalam hatinya, seungmin merasa sedikit canggung. karena, seungmin berpikiran bahwa minho tidak menyukainya. sedangkan minho justru dibuat pusing dengan perubahan seungmin seminggu belakangan.

tiba-tiba minho berada tepat di depan seungmin, “jangan bengong,” ujar minho sambil melambaikan tangannya.

seungmin tersadar dari lamunannya setelah mendengar suara minho, “eh? kak... sorry sorry, ini ya kuncinya, aku duluan.”

minho sudah menduga— bahwa seungmin benar-benar sedang menghindarinya.

“bentar,” ucapnya sambil menahan tudung kepala pada hoodie seungmin, “gua belum ngomong apa-apa.”

“mm... mau bilang makasih, kan? ya.. yaudah iya, sama-sama.”

“seungmin, lu ngehindarin gua?”

seungmin terdiam,

“jawab kalo emang gua salah sangka.”

“ngga, kak.” sangkal seungmin sambil menunduk.

“jangan bohong,”

“aku ngga ngehindar, kok. bukannya kakak, ya, yang ngga suka sama aku? setiap ketemu aku pasti selalu ketus. terus waktu itu, kenapa kakak nolong aku? kalo akhirnya bilang begitu. sebelumnya, aku ngga maksud bilang ini buat gimana-gimana— tapi jujur kak, kalo gamau nolong pun sebetulnya aku gapapa, aku masih bisa sendiri. kakak tau kan maksud aku?” jelas seungmin yang masih enggan menatap lawan bicaranya.

“sumpah, gua nolong lu beneran kemauan gua, seung. soal kata-kata gua yang kesannya kaya ngga ikhlas, atau bikin lu ngerasa kalo gua direpotin sama lu, itu ngga sengaja. maaf, gua ngga sadar karena bilang itu secara spontan.” jawab minho.

seungmin mengangguk, “okay,” kemudian berniat untuk berlalu. namun dicegah oleh minho, lagi.

“kenapa lagi, kak?” sambil mencoba melepas tangannya dari genggaman minho.

“gua minta maaf...”

“iya,”

“maaf seung, gua ngga mikir kalo kata-kata yang gua anggap biasa aja malah nyakitin orang lain,”

“iya, aku ngerti,”

“gua tau kalo lu masih marah atau semacamnya, but, please kalo udah mau ngobrol sama gua, lemme know, seung.”

“thanks kak, aku ke kelas dulu.” pamitnya.


di jalan menuju kelas, ia bertemu changbin. changbin yang melihat adiknya jalan terburu-buru pun berencana untuk menghentikan langkahnya.

sama seperti minho, tudung kepala hoodie-nya ditarik changbin, “jalan buru-buru amat, mau kemana lu?”

seungmin menoleh dengan wajah kesal yang dibuat-buat, “ish abang! lepas ah, mau ke kelas.”

“muka lu kenapa gitu si?”

“gapapa,”

“ngobrol dulu sini sama gua.”

“ngga liat jam ya lo? udah mau masuk nih.”

“guru-guru pada rapat, emang ngga liat grup kelas?”

seungmin menatap changbin dengan tatapan meragukan, “yaelah, cek coba kalo ngga percaya,” ucap changbin.

seungmin cek grup kelasnya, dan benar, ternyata ada rapat. otomatis setelah ini, ia freeclass.

“cerita, mau?” tanya changbin memastikan.

”...iya...”

mereka berjalan beriringan menuju gazebo di bawah pohon dekat lapangan.

“jadi, kenapa?”

maka seungmin ceritakan semuanya, mulai dari kejadian di ruang sinematografi sampai barusan.

“gitu, ya? — lu masih sering mikirin kata orang terlalu jauh, ya? — oke, gua ngga maksud unvalidasi perasaan lu, karena pasti kalo itu kejadian di gua juga, gua belum tentu ngerasain yang sama kaya lu. jadi, its okay, dek, kalo lu ngerasanya kaya gitu. fyi dek, minho orangnya emang ceplas ceplos, gua ngga membenarkan sifatnya yang begitu, tapi ini buat info aja. supaya kedepannya lu bisa atur mau bersikap gimana pas dia begitu lagi, gua ngga akan nyuruh lu buat bersikap A atau B ketika dia gitu ke lu hanya karena dia temen gua. terserah. tapi, ada baiknya kalo lu berdua sama-sama baikan dan ambil jalan keluar. walaupun keliatan sepele, tapi kalo sama-sama diem ngga ada yang gerak ngga bakalan selesai, dan justru kedepannya kalo ada masalah selalu dibesar-besarin karena urusan yang ini ngga diselesain.”

“tapi, bang, gue kan berhak marah...”

“iya, gua ngga bilang kalo lu ngga boleh marah tuh ngga. take ur time, mau baikan kapan itu terserah lu. ga mau baikan juga terserah, itu hak lu. tapi, minho kan udah effort tuh mau minta maaf dan jelasin alasanya. so, why not?” ujar changbin.

“ya, iya sih, tapi sementara ini jaga jarak dulu, gapapa kan bang?”

“up to you, gua cuma saranin doang, sisanya terserah— dah, ya, gua mau balik ke kelas dulu.”

“he'em, thanks bang,”


seungmin memutuskan untuk tetap di tempatnya, enggan beranjak, sambil memikirkan usulan dari changbin. selang 15 menit, ada telepon masuk— dari felix.

“halo, lix?” sapa seungmin untuk membuka percakapan.

seunggggg, gue mau ngomongin yang tadi, lo lagi freeclass kan?

“tau darimana gue freeclass? lo sendiri?”

biasalah, jeo sama ji. iya, gue free juga, guru olahraganya izin.

“hahaha yaudah, mau ngomong apa?”

soal kak minho,

dalam hati, seungmin berucap, 'yang bener? dari tadi kayanya minho minho terus bahasannya.'

“okay, kenapa?”

waktu itu, dia pernah cerita, kalo dia ketemu anak kelas 10 yang telat juga, dan gue mikir pasti itu lo. tapi gue diem aja. terus, dia minta pendapat gue tentang dia yang asal ngomong tuh gimana dan sebagainya. dia cerita kalo dia ngga sengaja ngomong hal ngga enakin ke orang, terus orang itu ngejauh. damn, gue baru nyadar kalo yang dimaksud itu lo seung, setelah lo cerita tadi. terus gue kaya, 'tumben kak lo mikirin sebegininya, biasanya cuek aja,' gitu seung. soalnya emang biasanya dia ngga pernah mikirin tentang apa yang dia ucapin ke orang. ketus ya ketus, asal ngomong ya asal ngomong. tapi ini beda. jadi, makin gue panas panasin dong, kaya yakinin dia kalo dia mungkin suka sama orang yang dimaksud. terus dia jawab 'ngga kali, lix, orang gue ketemu dia aja baru sebulan kurang lebih. masa langsung suka? toh, juga gua ketemu itu orang jarang.'

“maksud lo?! — lo berasumsi kalo kak minho suka sama gue? ya nggak lah aneh, ketemu juga sekelibat doang, mentok mentok waktu kemarin itu.”

ah seungmin, namanya perasaan tuh ngga ada yang tau. bisa jadi munculnya cepet bisa jadi nyadarnya lama. nah, mungkin kak minho tipikal yang munculnya cepet tapi masih denial. tapi, nih, kalo lo ke kak minho gimana?

“gimana apanya anjir? ya biasa aja lix,”

terus kenapa lo sedih?

“ya gitu, tapi yang jelas bukan dalam romantic way kaya gua sedih dia cuek atau gimana tuh ngga, ngga gitu!”

hahaha lucuuu, sama sama denial, bentar lagi jadian yeay,

“lo nyebelin banget, bye.”

kemudian seungmin menutup teleponnya sepihak.

ia bermonolog sambil berjalan ke kelas, “yakali anjir gue suka sama dia? dan.. apalagi dia?! yang ketusnya begitu suka sama gue? ngga, hal ter-ngga mungkin.” kemudian ia menggelengkan kepalanya berharap semacam itu buyar seketika.

To my love ; H

He has a mole under his pretty eyes. When he smiles or laughs, his eyes are shaped like a crescent moon, it's beautiful, isn't it? Umm and he has a small dimple on his cheek, which only comes out when he smiles, so I hope he always smiles.

Dear, H I'm curious about something, is your smile still as bright as when you looked at me? Does the eye you used to focus all your attention on me still have the galaxy there?

Contact me, tell me about your painting, about what color you put on your canvas, about what object you used for it. Is it still me? or.. her? Whoever the object is, whatever the color you used, I'm sure the painting is still beautiful.

Don't you miss me? because i always miss you. Since the day destiny decided to separated us, that's where the days of longing began, about you and everything in it.

lowercase


seungmin berjalan dengan tempo sedang, diiringi suara senandungnya untuk menghilangkan rasa gelisah dalam hati. entah kenapa hari ini rasanya jarak kelasnya dengan ruang ekskul sinematografi terasa sangat dekat.

dirinya berhenti di depan pintu kaca berwarna gelap— ruang sinematografi— yang padahal terlihat sangat jelas jika dilihat dari dalam. seungmin memperhatikan pantulan dirinya di depan pintu kaca, terlihat rautnya yang seperti menyiratkan beribu pertanyaan.

tak lama, terdengar suara dari dalam ruangan, “masuk, jangan berdiri di depan,” lantas seungmin bergegas masuk sambil membungkukkan badannya.

“eh, kakak yang kemarin, ya?” ucap seungmin. “mhm, lo ikut sinem juga?” “iyaa, kakak juga?” minho mengangguk, “iya, semalem orang sinem nyuruh gua dateng.”

seungmin kemudian ikut mengangguk kemudian duduk di lantai, “aku juga, kak, dipanggil. padahal form aku hilang, kayanya sih jatuh pas aku lari atau manjat tembok kemarin— oh, ya! kemarin makasih banyak ya, kak. kakak bantuin aku tapi kakak yang dihukum.”

minho memusatkan perhatiannya saat seungmin bicara, “oh, itu, gapapa santai. btw, menurut lo yang ngechat lo semalem siapa?”

seungmin mengedikkan bahunya, “ngga yakin, tapi kayanya kakak ketuanya? soalnya pas aku liat nama whatsappnya itu minho, di ig sinem namanya lee minho

“dia pas ngechat lo, gimana?”

“biasa aja sih, to the point gitu, aku takut kakaknya galak tapi,”

“kenapa bisa mikir gitu?” tanya minho

“nggatau sih, cuma pikiran aja, mungkin?”

tiba-tiba pintu terbuka, “woy minho, lama banget— eh, adeknya changbin, ya?” ucap seorang teman minho

'channnn lo kenapa tiba-tiba masuk?!' batin minho

minho berlari ke arah pintu untuk menyeret chan sebelum chan mendapat jawaban dari seungmin.

“sorry, anak rese, biasa,”

“kakak. kak minho?”

“i-iya...”

“kok ngga bilang?! maksudnya, gitu deh...” tanya seungmin ragu

tiba-tiba nada bicara minho berubah, sedikit lebih tegas dan mengintimidasi, “buat apa juga bilang? oke, langsung aja.”

“apanya yang langsung, kak?”

minho memposisikan duduknya di kursi, menghadap seungmin, “nama, kelas, alasan masuk ekskul, motto. sebutin, 5 menit.”

seungmin menyebutkan semua yang diminta, hatinya berdebar karena tatapan intimidasi minho.

“kenapa alasannya itu? lo niat ekskul ngga?”

“niat, kak. kalo aku bilang nyari pengalaman nanti malah makin dipojokkin, kan bingung, yaudah aku pake jawaban juj—” jawaban seungmin terpotong karena perilaku kakak kelasnya yang tiba-tiba

minho berjalan mendekati seungmin, seungmin makin mundur dan semakin lama semakin terpojok di sudut ruangan, “dipojokkin kaya gini? atau gimana? ngomong yang jelas.”

“m-munduran, kak..”

yang lebih tua menggaruk tengkuknya yang sebetulnya tidak gatal, “sorry, jangan mikir macem macem, gua ga ada niatan mesum,” lalu minho memundurkan dirinya beberapa langkah kemudian melipat tangannya.

“maksud aku tadi, kaya.. nanti aku ngomong apa aja serba salah gitu.” lanjut seungmin dengan polos

“lo tau darimana kalo gua bakal nyalahin lo?”

“ngga, kan, BIASANYA.” ujar seungmin penuh penekanan.

“lo mau diterima ekskul ngga?”

“terserah deh kak, aku pasrah aja,”

“ok, nih kunci ruangan, lo yang pegang. kalo sewaktu waktu ada yang butuh, lo yang tanggung jawab.” kata minho sambil melempar kunci

seungmin menangkap kunci tersebut, “tapi aku kan bukan anggota, bukannya ngga boleh?” dengan suara agak lantang karena minho yang mulai beranjak keluar ruangan.

minho membelakangi seungmin sambil mengikat tali sepatunya, “lo tau maksud gue, kan?”

“maksudnya? eh, HAH?! yang bener aja, kak? aku diterima?”

sambil berjalan menjauh, minho mengacungkan jempolnya.

seungmin bermonolog, “wahh gila, ni orang maksud dan tujuannya apa coba? ngeprank?”

lowercase


seperti biasa, kali ini seungmin telat lagi. bedanya, hari ini dia tidak sempat membuka handphone untuk sekedar mengumpat atau memberi pesan pada temannya.

ia pasang headsetnya untuk mendengarkan musik supaya tetap tenang. beruntung, hari ini tidak macet, kalau macet— ahhh tamat sudah. tapi, tetap saja, ia sampai di sekolah ketika gerbang baru saja ditutup tepat saat ia baru memarkirkan motornya.

seungmin memutuskan untuk membeli minum sebentar, “mas, masnya kok ngga masuk?” tanya ibu penjaga warung.

“saya telat bu, itu gerbangnya udah ditutup juga lagian.” jawab seungmin.

ibu penjaga warung kemudian melihat dasi yang dikenakan seungmin, “ohh masnya kelas 10? pantesan belum tau,”

seungmin menatapnya bingung, “di sini gerbang tutup jam 7 pagi, tapi pelajaran dimulainya pas jam setengah 8 toh, mas?” seungmin mengangguk cepat, “iya, bu, bener.”

ibu penjaga warung menunjuk gang kecil samping sekolah, “mumpung masih ada waktu, mas, masnya ke sana aja. nanti ada tembok yang isinya coret-coretan gitu, nah biasanya kalo ada yang telat pasti lewat situ, mas. temboknya ada pijakannya kok terus tembusnya ke belakang kantin. pokoknya ngga tinggi tinggi amat kok temboknya, lagian masnya juga tinggi, pasti nyampe lah..” jelas ibu penjaga penjaga warung.

“hah beneran bu? makasih banyak ya bu, saya kesana dulu, takut makin telat.”

“iya, mas hati-hati, soalnya kadang ada guru yang ke situ buat mergokin murid.”

“sip deh bu, makasih banyak sekali lagi,” seungmin pun berlari ke arah gang kecil lalu mencari tembok yang dimaksud. tak sulit untuk mencarinya, karena tembok yang lain bersih dari coretan, jadi, seungmin dapat langsung mengenalinya.

saat seungmin sedang memanjat, awalnya cukup mudah, namun saat ia ingin menaikkan kakinya yang satu lagi— ternyata cukup sulit. kemudian, ada yang memegang pinggangnya. seungmin kaget, dengan reflek— ia melepas pegangannya pada tembok.

bunyi khas orang jatuh terdengar ditelinganya. “aww.. sakit,” seungmin meringis.

“sakitan mana sama gua? bangun woy,” kata orang yang ditindih seungmin. lantas, seungmin langsung bangun dan membersihkan bajunya yang terkena pasir.

mata seungmin langsung tertuju pada dasi yang dikenakan orang tersebut, 'anjir kelas dua...' batinnya.

“eh, maaf kak maaf, aku reflek lepas pegangan tadi, kaget soalnya kakak megang pinggangku,” jelasnya.

“gua mau bantuin lu, biar cepet, gua juga telat soalnya.”

“ohh... gitu ya? yaudah kakak naik aja duluan, aku bantuin, aku belaka—”

“kaki lu naik pundak gua sini, cepetan, lu duluan,”

“gapapa kak? nanti kotor,”

“bisa nurut aja ngga? jangan kelamaan, nanti ada guru.”

seungmin mengangguk, kakinya ia naikkan ke pundak laki-laki itu dengan perlahan-lahan. tangannya pun berhasil meraih atas tembok— kemudian turun dengan hati-hati.

ia tak sadar bahwa kertas formulir pendaftaran ekskulnya terjatuh dari sakunya, “kertas siapa?” orang itu kemudian membuka lipatan kertas tersebut, “form ekskul? — kim seungmin, sinematografi.” laki-laki itu pun memasukkan lipatan kertas formulir ke dalam tasnya.

sedangkan seungmin berinisiatif untuk menunggu kakak kelasnya tersebut, “kak, ngga naik?” tanya seungmin memastikan.

“lu duluan aja ke kelas, jangan panggil gua, ada guru lagi jalan kesini!”

seungmin jadi merasa bersalah. orang tersebut membantunya, namun, malah terkena masalah karenanya.

sambil berjalan ke kelas, ia merogoh sakunya, “eh? eh? kok form gue gak ada? ahh padahal gue baru minta lagi. ntar gue dimarahin bang abin lagi gara-gara minta form terus,” ia mendengus kesal, “apa jangan-jangan gue ga dibolehin masuk sinem nih tandanya?” lanjutnya sambil mengedikkan bahu.

seakan tersadar, seungmin menepuk jidatnya, “tuh kan! mana gue ga tau nama kakaknya,”

sedangkan laki-laki tersebut dibawa ke ruangan osis oleh guru yang memergokinya— dan untungnya ia bertemu temannya yang juga osis, jadi, laki-laki itu bisa bernegosiasi mengenai hukumannya.

alih-alih mendapat hukuman, laki-laki itu malah memutuskan untuk beristirahat sejenak di ruangan osis sambil memperhatikan kertas formulir milik adik kelasnya tadi.

“hobi fotografi, stargazing, kulineran... alasan masuk ekskul... kata abang, kalo saya masuk ekskul ini, terus ekskulnya rajin, bakal dibeliin kamera baru” laki-laki itu tertawa kecil, “terlalu jujur,” sambungnya.

“lu baca apaan, ho?” ucap temannya yang baru memasuki ruang osis, lagi.

“ini, ada form ekskul anak kelas satu, kebetulan jatoh. mana pas banget lagi, dia mau masuk ekskul sinem juga,” jawab minho yang masih setengah tersenyum.

“kok lu bisa ketemu dia? namanya siapa?”

“tadi, dia telat, gua telat, bin. terus gua bantuin dia manjat tembok samping, eh kertasnya jatoh,”

“bego hahaha, lu bantuin orang tapi lu sendiri yang ketangkep,”

“makanya anjir, tadi ada drama jatoh soalnya,”

“btw tadi gua nanya, namanya siapa?”

“kim seungmin, bin.”

“hah? itu adek gua, ho,” kata changbin.


[ to be continued ]

for seungjinweek day 5 – trope : fantasy lowercase ©rigeleo


hari ini cuaca sangat cerah, membuat sam enggan berburu mangsa. takut kalau kalau nanti pemburu masih berkeliaran di hutan, mengingat hari masih siang.

namun, rasa laparnya begitu luar biasa, dirinya tidak 'makan' sejak 2 hari yang lalu. tidak makan dalam artian tidak berburu binatang seperti rusa, kelinci, atau apapun itu. karena bagaimanapun juga, sam hidup di tengah-tengah manusia, dalam dirinya pun masih mengalir darah manusia— dari ibunya.

jika dirinya tidak mau dicurigai, maka dirinya harus berlaku selayaknya manusia, bukan?

sam pun pergi ke hutan dengan perasaan aneh— semacam gelisah dan sedikit takut. karena ini pertama kalinya ia berburu disiang hari.

di pertengahan jalan, ia bertemu seorang teman yang juga merupakan werewolf sepertinya.

“hey sam!” sapa chris.

“eh kak chris? mau kemana kak?” tanya sam.

“laper, sam, hahaha” jawab chris.

“lo... mau ke hutan juga?”

“iya nih, lo sendiri mau kemana?”

“gue.. gue laper juga anjir, kak,”

“lahh yaudah ayo barengan aja,”

“boleh deh, yuk.”

kemudian keduanya berjalan ke arah hutan. sekiranya sudah masuk kawasan hutan yang sepi, merekapun berubah wujud. warna bulu keduanya hitam legam— yang mana dianggap sempurna dan cocok dijadikan pemimpin kawanan mereka.

kelak, begitupun dengan sam dan chris, mereka akan memimpin para kawanannya. kalau sam memimpin bagian barat, sedangkan chris di bagian timur.

walaupun mereka berburu di hutan, disana tidak terlihat terlalu sepi dan mencekam— tentunya jika yang melihat hutan tersebut adalah makhluk fantasi yang dipercayai orang hanya sebagai mitos belaka. salah satunya adalah werewolf dan peri.

“sam, kita mau barengan atau mencar aja?” tanya chris.

“mencar boleh deh kak, nanti ketemu disini lagi. kalo kita barengan biasanya rusa tuh pada nyadar 'kan? hahaha ntar lebih lama lagi kita disini, tau sendiri sekarang masih siang.”

“bener juga, yaudah gue kesana ya, lo hati hati, sam.”

sam melangkah se-hening mungkin supaya tidak membangunkan kecurigaan rusa buruan-nya.

sam melompat. didapatlah satu rusa berbadan besar. lagi lagi ia melompat, namun kali ini kelinci lah yang ia incar— karena dalam peraturan, kawanan mereka hanya boleh berburu satu rusa dalam satu hari. supaya kawanan lain kedapatan juga.

saat hendak ke titik kumpul awal dirinya dan chris— sesungguhnya sam mendengar suara dari semak semak,

tiba-tiba

dor!

kakinya terkena peluru dari pemburu, sedangkan chris yang mendengar sam melolong, langsung berlari ke sumber suara.

untungnya peluru tersebut hanya 'menggesek' kaki sam— tidak sampai bersarang di dalamnya.

chris berlari membopong sam ke suatu sungai yang lumayan jauh dari tempat tadi.

“aduh, sakit banget, kak.”

“iya sabar, bentar, kita kabur dulu aja.”

sam pun menuruti kata chris. tidak lama— chris melolong lumayan panjang, seakan memanggil sesuatu.

“lo ngapain, kak?”

“minta tolong temen gue, tunggu,”

beberapa menit kemudian datanglah makhluk kecil yang memiliki sayap berkilau terbang ke arahnya.

sam mendadak berubah menjadi serigala dan menggeram. peri kecil tersebut lantas terkejut, ia ingin menghindari sam, tapi malah menabrak pohon dan terjatuh.

“heh, lo ngapain berubah lagi?”

sam pun kembali ke wujud manusianya, “reflek, kak, gue kira apaan itu tadi..”

sam pun mendekat ke arah peri kecil yang ketakutan itu dan mengulurkan tangannya, “sorry sorry, sini bangun,”

“jangan takut, sky, dia temen gue, kok.” ucap chris.

sky pun menerima uluran tangan sam, dan membersihkan tubuhnya dari tanah. lalu tubuh sky membesar— yang lama kelamaan berwujud manusia seperti chris dan sam.

“kenapa manggil aku?” tanya sky ketus.

“tuh, temen gue, ketembak pemburu tadi. lo bisa bantu gue, kan?”

“bisa sih, tapi kamu tau lah ya—”

“iya, iya, gue pergi, bye.” chris berubah ke wujud serigalanya dan berlari cepat ke selatan.

“lohhh? kak lo mau kemana?” teriak sam.

“di aturan kalangan peri memang gitu. kalau ada peri yang dimintai tolong buat sesuatu— yang minta tolong itu harus menjauh, ngga boleh ada yang liat cara kerja peri buat sembuhin sesuatu atau ngelakuin suatu hal.”

”...tapi kan, gue nanti liat juga?”

“ntar ingatan kamu bakalan aku hapus,”

sam terbelalak kaget, “hah? ngga ngga gue gamu, mending gue ke rumah sakit.”

sky memutar bola matanya malas, seraya membalikkan tubuhnya— dan naik ke pohon, “sana, toh masih ada pemburu.”

sekarang dirinya kebingungan, harus apa, harus bagaimana, dan harus menuruti yang mana— kata hatinya kah? tapi jika ia ke rumah sakit, sama saja cari mati. karena, jika seorang werewolf terluka, tubunya menjadi sensitif dan bisa saja reflek menjadi serigala secara tiba-tiba— seperti yang barusan.

“aku ngga hapus semua ingatan kamu. cuma ketika aku obatin kamu aja. ngga usah panik gitu.” jelas sky.

“o.. ohh bilang dong, yaudah, dimana?”

“mmm.. kalau kamu masuk rumahku, pasti kebesaran. jadi, di dalam pohon aja, ya? sini ikutin aku.”

“p-pohon? ngga akan muat juga kali,”

yang ditanya hanya mengabaikan gerutuan sam— dan sampailah mereka di depan sebuah pohon raksasa.

“masih bilang ngga muat?”

“ya.. kan.. lo ga bilang pohonnya kaya gimana,”

“terserah deh, sini masuk, ngga ada siapa-siapa. tempat ini emang punya aku.”

“kok kaya rumah manusia? ...kalau ini tempat punya lo, kok gede banget?”

“karena aku juga manusia,”

“LO? LO MANUSIA JUGA? MAKSUDNYA SETENGAH PERI GITU? KOK BISA?” seru sam.

“ayah aku manusia, sedangkan ibu aku peri.”

“AW!— kok bisa sih? biasanya kan makhluk kaya kita tuh ngga boleh menikah sama manusia,”

“kalau ngga boleh, terus kenapa wujud kamu serigala tapi manusia juga?”

“y-ya.. karena ayah gue serigala, ibu gue manusia— eh? iya ya.. kok bisa?”

“ck, dasar, kelamaan tinggal di dunia manusia ya? makanya lupa aturan dunia sendiri.”

“emang kenapa sama peraturannya?”

“jadi, kalau manusia, sama makhluk magical forest itu nikah— nantinya keduanya harus sepakat, hanya tinggal di salah satu dunia aja sampai anaknya dewasa. nah, anaknya nanti bisa ke magical forest, dan anaknya bisa pilih sendiri mau tinggal dimana. tapi enggak dengan orang tuanya. orang tuanya ttp tinggal di dunia yang disepakatin aja. kalau kasus kamu itu udah ketauan banget kalau orang tua kamu sepakat buat besarin kamu di dunia manusia. kalau aku, di dunia kita ini— di magical forest.

“o...oh gitu, ya? kalau anak hasil campuran manusia sama makhluk magical forest sama sama menikah gimana?”

“misal kaya kamu sama aku, gitu?”

sam melotot kaget, “maksudnya itu perumpamaan aja! kamu jangan mikir aneh.” jelas sky.

“i-iya gitu deh,”

“bisa, kok. justru kalau mereka menikah, bisa tinggal di dunia keduanya. karena mereka kan ngga punya darah asli dari salah satu dunia tsb, dengan kata lain mereka darah campuran. jadi ngga punya keterikatan sama salah satu dunia aja.”

“ohhh gitu! gue paham gue paham. — tapi jujur, pas awal gue tau kalau gue bukan seutuhnya manusia, gue kaget banget. walaupun disisi lain merasa keren, sih. terus lama kelamaan gue ngerti alasannya, terus juga gue diajak ayah gue kesini. diajarin gimana caranya berburu, caranya ini itu. kalau lo gimana?”

“aku.. aku juga kaget, pasti. kalau aku lebih ke... mikir. kenapa aku ngga jadi peri seutuhnya, kenapa harus setengah manusia?”

“emang kenapa? lo ngga suka, ya?”

“bukan gitu, ribet aja, karena kan kaya yang tadi aku bilang. orang tua aku mutusin buat tinggal di magical forest , yang artinya harus ikut peraturan sini. dan makhluk campuran kaya aku tuh paling banyak disuruh belajar tentang ini itu, capek juga lama-lama. kalau kamu kan tinggal di dunia manusia, disana aturannya ngga kaya disini.”

“ohh gitu, ya? terus lo ada niatan mau pindah ke dunia manusia ngga, nanti?”

“entah, liat kedepannya aja— nah udah nih, udah selesai, coba kaki kamu digerakin, masih sakit ngga?”

“eh udah ngga! keren lo, sumpah, kok bisa sih..”

“bisa lah, ini butuh belajar selama 3 tahun, tau?”

“hahaha, makasih banyak, sky! — oh ya, nama gue sam hudson, lo siapa?”

“skylark,” jawabannya singkat.

by the way, ini katanya ingatan gue mau dihilangin?”

“ngga usah, toh kamu ngga liat juga tadi, kalau kamu liat.. coba tadi aku ngapain aja?”

sam terdiam dan menyadari, bahwa benar, dirinya tidak tau apa apa saja yang dilakukan sky tadi, karena sibuk bercerita satu sama lain.

“hehehe, ngga inget..”

“bagus deh. yaudah sana pulang, ditungguin chris, arah selatan di atas bukit.”

“oke deh! oh ya, sky, sekali lagi makasih, ya! dan... gue mau bilang kalau lo cantik banget, sayap lo cantik, wajah lo apalagi, hahahaha. kalau berubah pikiran dan mau tinggal di dunia manusia, sama gue aja! gue pinter jagain orang, kok. kalau mau nikah sama gue, gue juga ga nolak hahaha, byeee!” ucap sam, yang kemudian berubah ke wujud serigalanya.

sky tersenyum kecil, “hhhh, dasar sam, aneh.”


satu tahun sejak hari itu, keduanya tidak pernah bertemu lagi satu sama lain. entah apa alasannya.

tiba-tiba, sky memikirkan kata-kata sam sebelum dirinya pergi— sebelum sky benar-benar tidak melihatnya sejak hari itu.

secara mendadak, terlintas sesuatu di pikirannya, “kalau diinget, kayanya aku belum pernah ke dunia manusia, ya? — mau coba deh. bilang ke ibu dulu kali, ya? toh juga ada hak aku kan buat nentuin mau tinggal dimana.”

diluar dugaan, ternyata orang tuanya tidak keberatan, karena mereka menyadari bahwa itu termasuk hal yang harus dipertimbangkan oleh sky untuk kelanjutan hidupnya.

sky pun terbang melewati pedesaan kemudian terbang ke arah perkotaan.

sesampainya diperkotaan, sky agak terkejut, “wah, ternyata makhluk campuran ngga se-sedikit itu, ya?”

sesama makhluk campuran dapat melihat dan merasakan makhluk campuran lain. meskipun berbeda jenis, mereka tetap berasa dari satu tempat yang sama, yaitu magical forest.

“ngga terlalu buruk, tapi aku gatau harus ngapain disini, kalau langsung pulang lagi, pasti bakalan terlalu malam. sedangkan kalau peri itu rawan untuk keluar malam, apalagi di wilayah hutan.”

akhirnya, sky menyusuri perkotaan sembari melihat-lihat. ratusan pasang mata tak henti memandang ke arah sky— bagaimanapun juga, paras sky tidak dapat diragukan lagi— parasnya membuat semua orang mabuk, baik laki laki maupun perempuan.

di tengah perjalanannya, sky kelelahan. sky baru tersadar, bahwa dirinya akan berubah ke wujud peri jika kelelahan.

“ahh sial, kenapa harus sekarang? sekarang aku mau bermalam dimana, coba?”

ia masuk ke gang kecil pada detik-detik berubah ke wujud peri.

tak disangka ternyata sedari tadi ada mengikutinya, “peri cantik, sedang apa?” kata orang itu.

sky sama sekali tidak mengenalnya, dan mengapa orang itu tau bahwa dirinya adalah peri? apakah dirinya juga berasak dari magical forest? namun tidak mungkin, jika ia bagian dari dunia tsb, maka sky juga bisa melihatnya.

sky melihat orang itu membawa semacam jaring, “berarti orang itu udah ikutin aku daritadi dong?” batinnya.

sekarang ia ketakutan setengah mati, mau tetap di wujud manusia, tetapi tidak bisa. mau berubah wujud pun tidak menutup kemungkinan bahwa dirinya akan ditangkap.

“jangan mendekat!”

“kenapa? peri cantik takut, ya?”

orang itu semakin mendekat hingga sky sampai pada sudut gang. dirinya tidak bisa kabur kemana-mana. pasrah. ia berpikir mungkin ini takdirnya, mati seperti ini.

bughh!

suara pukulan terus bersahutan, sky tidak berani membuka matanya. kemudian ada tangan yang menyentuh pundaknya, “aaaaaa pergi!”

“s-sky.. ini gue sam, sam hudson.”

sky perlahan membuka matanya dan memeluk sam, “tenang, tenang, udah aman. ada gue kok.”

“aku takut banget, sam,”

“lo kesini sendiri?”

sky mengangguk, “i-iya, aku mau coba kesini sendiri, kali aja ketemu kamu...”

“astaga, maaf gue ngga tau, jadi gue ngga bisa nemenin lo.”

“ngga masalah, kamu juga ngga pernah keliatan selama setahun belakangan,” ucap sky dengan nada sarkas.

“kalo itu, maaf juga, gue ga sempet nyamperin lo ke sana. lo tau? gue harus ngurus kawanan di perbatasan. awalnya ayah gue bilang, kalau cuma 3 bulan, tapi ternyata ngga segampang itu urusannya. jadi, ya...”

“sam, kalau aku mau tinggal disini gimana?”

“kok.. tiba-tiba banget?”

“aku mauuu,”

“mau apa?”

“aku inget kata kamu terakhir kali, aku mau tinggal disini, sama kamu.”

“k-kalo gue sendiri ngga masalah, justru gue seneng, kok. tapi lo udah bilang ke orang tua lo?”

“belum, temenin, ya?”

“kamu takut tapi sok berani, dasar.. hahaha,”

“gapapa, kan ada kamu,”

pipi sam memerah, apakah artinya ia sudah dipercaya sky?

“nikah aja sama gue sekalian, sky, gue udah kerja kok.”

“heh, enteng banget ngomongnya!”

“gue serius. love at first sight.”

“kamu.. ke aku?”

“iya lah, ke siapa lagi?”

“kok bisa,”

“ngga tau, charm lo kuat kali hahaha”

“enak aja! padahal tinggal bilang kalo aku cantik!”

“yang itu juga bener, kok, cantik banget, gue sampe suka pas baru pertama kali liat.”

“gatau deh, gombal banget dasar.”

“oh iya sam, kok kamu tau aku disini?” lanjutnya.

“wanginya dari jauh udah kecium, sky,”

“gitu, ya? aku bingung tadi dia itu siapa, dia bukan dari magical forest juga

“ngga semua yang dari magical forest itu baik, sky. ada beberapa dari mereka yang justru kerjasama sama manusia buat nangkepin kita.”

“tapi kenapa?”

“simple, bisnis. manusia otak kotor.”

“serem, ya..”

“gitu deh, makanya hati-hati. oh ya, lo berubah aja, capek kan? duduk di pundak gue aja. ga bakal keliatan orang, kok.”

“gapapa?”

“gapapa, orang lo ngga berat hahaha”

“jangan ngeledek!”

“lucu, gemes,”

“diem sammmm.”

“hahahah, ke apart gue, ya? tidur disana dulu, besok baru gue temenin balik.”

“okay, lets go wolf sam!”

— fin.

lowercase , ©rigeleo


“pangeran, bangun, di halaman istana sudah berjejer kereta kuda milik kerajaan lain.” ucap vincent.

“ayolah vin, hari ini aku tidak punya jadwal apa-apa, bukan?” jawab hyunjin.

vincent menghela nafas panjang, seakan-akan sudah menduga dari awal jawaban dari sahabatnya. ya, vincent merupakan sahabat hyunjin, dirinya anak dari panglima seo atau biasa disebut orang-orang dengan tangan kanan raja.

vincent juga diminta hyunjin untuk menjadi pengawal pribadinya. karena hyunjin tidak suka jika dirinya selalu diekori oleh prajurit lain.

“pangeran, kau lupa? hari ini hari apa?”

“hari penobatan— HAH?!” hyunjin terkesiap.

“vincent, kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?” gerutu hyunjin sembari memilih baju yang ada di lemarinya.

vincent menggelengkan kepalanya lagi— sudah biasa, batinnya. “kau mandi saja, biar aku yang menyiapkan bajumu, sana sana,”

“okay, terima kasih vin,”


tok tok!

vincent membuka pintu kamar hyunjin, lalu membungkukkan badannya, “yang mulia..”

“vincent, dimana anakku?”

“pangeran hyunjin sedang di ruang ganti, yang mulia,”

“ahh begitu, tolong sampaikan pada hyunjin, kalau dirinya harus bergegas, ya?” pinta sang raja.

“baik yang mulia,”

-

“pangerannnn!!! kau tidur di dalam kah?” tanya vincent dengan suara lantang.

“vin bantu aku pasang ini, masuk saja— ahh ini merepotkan vin.”

jika saja hyunjin bisa memilih, dirinya akan memilih menjadi rakyat biasa. atau setidaknya anak kedua— tapi apalah daya, dirinya bukan rakyat biasa, juga bukan pula anak kedua, melainkan anak tunggal. jadi, ya, mau tidak mau, dirinya harus menjadi penerus kerajaan dan berurusan dengan politik yang memuakkan.

“terima kasih vin!” cengir hyunjin.

“hmmm— pangeran, pangeran! kau tau? ku dengar, anak laki-laki dari kerajaan nettervolks juga ikut hadir,”

“huh? lalu kenapa? siapa dia? apa dia orang berpengaruh, vin?”

“ayahnya itu adalah raja kim, beliau itu sahabat dari ayahmu! kau lupa? kau dulu sering bepergian dengannya. bahkan, kau dulu tidak bisa jika sehari saja tidak bermain bersamanya.”

“aku tak ingat wajahnya, vin. yang aku ingat hanyalah namanya— seungmin kim. dia anak kedua 'kan?”

“kau benar! dia tampan, lho..”

“ahh apa katamu saja, vin,”

lalu mereka berdua pun turun. hyunjin meminta vincent jalan duluan.

“vin, banyak sekali orang, ya, ternyata...”

“kau kemana saja, pangeran,”

“pangeran hwang.” panggil sang raja.

“ah! ayah? — maksudku, maaf, aku sedikit terkejut.”

“kenapa kau sangat gugup? apa kau ada seseorang yang sedang kau tunggu? siapa dia? putri atau pangeran dari kerajaan mana?” ledek sang raja.

“ayah ini... aku tidak menunggu siapapun, tahu,”

“baik, baik, ayah percaya..”


upacara penobatan, pun berjalan dengan lancar. setelah selesai, hyunjin berkeliling untuk menyapa para tamu.

seusainya, ia menghampiri vincent lagi, “vinnnn?”

“ahhh pangeran, kau ini selalu saja mengikutiku kemanapun aku melangkah. cobalah untuk berbaur, pangeran. kau ini sudah 25 tahun.”

“vincent, ayolah,”

“tidak, pangeran, aku harus mengurus beberapa hal. sampai jumpa..”

hyunjin memelas. sekarang, dirinya bingung harus melakukan apa.

lalu ia memutuskan untuk duduk di meja di balik pilar untuk 'menghindar'.

namun, dirinya tidak pernah bisa menghindar dari sepasang mata yang sejak awal— sejak dirinya menuruni tangga— sudah memperhatikannya.

hyunjin sangat bosan, akhirnya dia beranjak untuk ke perpustakaan.

“ahh urusan kerajaan ini menyebalkan, juga, sangat membosankan. bagaimana bisa mereka berlomba-lomba saling menjatuhkan hanya untuk dibuat pening oleh urusan kerajaan?” gerutu hyunjin sambil menyenderkan tubuhnya dibalik rak.

tuk! sebuah buku jatuh menimpa nya.

“atau sekarang, hantu juga sama menyebalkannya?” gumam hyunjin.

“a-aku bukan hantu!”

“ya tuhan! kau siapa? maksudku, kenapa kau disini? tiba-tiba? mengagetkan saja.”

“kau.. kau lupa aku?”

“memang kau siapa?”

“seungmin kim!” ucap pemuda itu dengan sumringah.

“hmm... katanya, kau itu teman kecilku? tapi aku lupa. agak tidak yakin juga, sih,”

“bagaimana bisa kau lupa...”

“dan bagaimana bisa kau masih ingat aku?”

“karena kau punya janji, pangeran,”

“aduh, apalagi itu.. aku tidak ingat. pikiranku hanya dipenuhii pelajaran mengenai kerajaan. tapi aku penasaran, janji apakah itu?”

“kapan kapan kuberi tahu.”

“kau marah?”

“iya! karena kau benar-benar tidak mengingatku.”

“tidak, tidak separah itu juga ingatanku, kim. aku tau namamu, hanya saja aku lupa wajahmu, jadi aku sedikit ragu.”

“benarkah?” senyum seungmin kembali.

“mhm— bagaimana kalau kita keliling kerajaan, maukah?”

“boleh?”

“tentu saja! kau kan tamuku, kau temanku juga!”

“ayo!”


“pangeran hwang, sekarang, aku yang mengajakmu ke suatu tempat. tenang saja, masih di lingkungan istana, kok.” ajak seungmin.

“dimana? memang ada tempat yang kita lewatkan?”

“ada, beberapa,”

mereka bergandengan tangan menuju belakang istana— yang mana hyunjin jarang menapakkan kakinya disana.

“disini?” tanya hyunjin.

“iya, sini, lihat—” seungmin menunjukkan sebuah pohon— disana terukir nama mereka berdua, tak lupa juga hiasan berbentuk hati dipinggirnya.

“serius? ini.. ini kita yang membuatnya?”

seungmin mengangguk, “kau yang mengukirnya,”

“sungguh? lalu apalagi yang kita lakukan dahulu?”

seungmin berjalan ke arah prajurit untuk meminta sekop.

“kenapa kau meninta sekop?”

seungmin tidak menjawab, dirinya mulai menggali tanah yang tepat berada di bawah pohon, sejajar dengan ukiran di pohon.

ting! suara sekop menabrak benda kaca.

“ketemu!” seungmin mengangkat tinggi tinggi botol kaca yang berisikan gulungan surat.

“apa itu? peta harta karun?”

“bukan, ini peta kita

hyunjin kebingungan, sedangkan seungmin membuka penutup botol tersebut, “kau saja yang baca,”

“apa isinya?” tanya hyunjin

“janjimu.”

“hari ini, tanggal 22 september tahun 1733, dihari ulang tahun pangeran kim— aku, hwang hyunjin berjanji kepada pangeran kim, untuk menikahinya di umurku yang ke 25 tahun.” hyunjin tersipu malu,

“katamu sendiri, jika kita memasukkan kertas berisi janji atau keinginan kita— pada sebuah botol dan menguburnya— janji itu akan mempertemukan kita lagi, dan keinginan itu akan menjadi nyata, pangeran.” jelas seungmin.

“kau benar, mungkin ini adalah takdir sang langit— kita bertemu lagi di umurku yang ke 25,”

“karena kau bilang, bahwa kau tidak akan menikahiku jika kau belum naik tahta. entah apa alasannya, kau tidak memberitahuku.”

“kim, mulai saat ini, ayo kita buat lebih banyak kenangan. tapi sebelum itu, kapan kita memberitahu ini pada keluarga kerajaan?”

“beritahu saja, aku yakin ayahmu juga ayahku langsung menyetujuinya. kau tau, pangeran? sebetulnya kita mau dijodohkan, jadi sebelum pengumuman perjodohan, mari kita kejutkan mereka!”

“kau ini usil, ya kim? hahaha perlahan saja ya, aku tidak kemana-mana, kok.”

“aku yang kemana-mana, pangeran.”

“maksudmu?”

“aku dengar-dengar pangeran lee akan mengajukan perjodohan, jika dalam kurun waktu beberapa bulan aku belum memberi kejelasan, kerajaannya akan menyatakan perang pada kerjaanku.”

“sungguh? kenapa? ini jatuhnya memaksa. tapi tenang, kim. aku akan urus semuanya secepatnya.”

seungmin mengangguk lemah.

“jangan sedih, kim. aku berjanji.”

“aku takut..”

“ada aku, kim. jangan takut.”

hyunjin menatap dalam dalam wajah seungmin dari samping, “kau cantik, kim. matamu sangat indah, rasanya seperti memegang kendali atasku.”

“k-kenapa begitu?”

“entah, matamu membuatku lemah, sungguh.” hyunjin menepuk kepala seungmin pelan.

“kita baru bertemu kembali, kau baru bersamaku selama beberapa jam, bagaimana bisa?”

“karena aku menjumpai takdirku, kim. jadi, tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta kembali. pun, aku tidak keberatan jika harus jatuh cinta padamu disetiap waktu.”


beberapa bulan berlalu setelah pertemuan seungmin dan hyunjin. namun, hyunjin belum menunjukkan kejelasan akan perkataannya.

hal itu membuat seungmin khawatir, ditambah, kerajaannya sudah 'ditagih' mengenai perjodohan dengan pangeran lee.

“tuan kim, tuan kim,” seru jayden.

“ada apa, jay?”

“buruk tuan, kim, sangat buruk. kerajaan pangeran lee memajukan tanggalnya, dia minta untuk segera diberi kejelasan sampai minggu depan, jika tidak, hanya ada dua pilihan. kau menikah paksa dengan pangeran lee atau kerajaan kita diserang.” jelas jay.

“ah.. itu.. baiklah, akan aku pikirkan. tolong biarkan aku menyendiri sejenak, ya.”

satu hari penuh seungmin habiskan untuk menangis dan merenungkan keputusan apa yang harus ia ambil.

“apakah pangeran hwang lupa? atau ia tidak hanya main-main saja?” pertanyaan semacam itu terus saja melintas pada pikiran seungmin.

2 hari kemudian, seungmin mengambil keputusan,

“ayah..”

“ya, nak? ada apa?”

“ayah, a-aku mau menerima perjodohan pangeran lee...”

“kenapa? bukankah kau mencintai pangeran hwang?”

“memang benar, ayah, tapi aku lebih tidak rela jika kerajaan kita harus berperang. aku tidak suka itu.”

“tidak apa-apa, nak. ayah akan lakukan apapun untukmu, jika salah satu jalannya adalah dengan berperang, maka akan ayah lakukan.”

“aku baik-baik saja, ayah. toh, juga pangeran hwang belum ada kejelasan sejak hari itu,”

“dia sedang mengurus keperluan kerajaan, nak, tolong bersabar sebentar, ya?”

“tidak perlu, ayah. kau bisa mengirim surat persetujuan itu besok. aku sudah memikirkan ini matang-matang. dan aku mohon, jangan pernah merasa bersalah padaku, karena ini adalah keputusanku.”

seungmin menghabiskan sisa waktu sore harinya di taman kerajaan, sendirian— dengan merenung, lagi.

“permisi, pangeran, ada yang ingin bertemu dengan pangeran.” ucap salah satu prajurit.

“tolong bawa saja orang itu kesini, aku sedang tidak ingin pergi dari sini.”

“baik, pangeran.”

“apa kau sedang menungguku, pangeran?”

seungmin menoleh, kemudian dirinya dikejutkan setengah mati.

“kita berjumpa lagi, aku merindukanmu, tau?”

“pangeran hwang? kau sungguh jahat. demi tuhan kau sangat jahat!”

“maafkan aku, kim. maaf karena aku tidak memberi dalam waktu yang lumayan lama. aku sedang mempersiapkan segala urusan kerajaan supaya kedepannya aku bisa fokus pada pernikahan kita.”

“a-aku takut, aku takut pada akhirnya takdir tidak berpihak pada kita.”

“aku tidak akan membiarkan itu, kim. aku sudah berjanji padamu sejak awal, aku tidak bisa begitu saja lari dari janji itu. terlepas dari janji, aku sudah jatuh cinta padamu. orang mana yang akan membiarkan cintanya menikah dengan orang lain?”

“kau hampir membiarkanku menikah dengan orang lain, pangeran..”

“hahaha, tidak lagi.”

seungmin nemeluk hyunjin erat, “jangan seperti itu lagi, hwang. aku serius jika aku mengatakan takut kehilanganmu.”

“aku juga serius jika aku mengatakan aku akan menepati janjiku, kim.”

—fin.

tags! lowercase, kissing, selfless, mention of suicide

pukul satu lewat dua puluh lima menit— bintang tengah melajukan kendaraan roda empat kesayangannya menuju langitnya.

memang... terlalu berisiko untuk melajukan kendaraan pada dini hari. tapi, apalah arti risiko jika rasa sedih yang tengah langitnya rasakan lebih besar daripada risiko itu sendiri.

bintang.

orang bernama bintang itu selalu saja ingin hadir di samping langitnya.

'kenapa?'

“entah” — pasti bintang akan berkata demikian. karena, bintang pun tidak butuh alasan mendetail untuk selalu berada di samping langitnya.

bintang hanya ingin. katanya.

iya.

ingin menjadi sandaran ketika langitnya mendung, ingin langitnya tidak merasa bahwa ia sendirian, ingin selalu melihat langitnya, dalam keadaan apapun. dan masih banyak ingin-ingin yang lainnya— yang bintang rasa tidak perlu dijelaskan. karena, apa guna penjelasan kalau tidak disertai pembuktian? — ah! benar, untuk kalimat penenang, tentu saja.

“untuk apa kalimat penenang, jika suatu saat kalimat penenang itu justru akan menjadi sumber keraguan orang yang diberi kalimat penenang. itu sama saja kau kerja dua kali.” kira kira begitu kata bintang jika ia mendengarnya.

itulah prinsip bintang. hmm.. yang ini juga masih katanya. tapi, mari kita coba untuk percaya bahwa ini memang benar prinsipnya. semoga.

kurang lebih 20 menit perjalanan sudah bintang tempuh. kini, ia berada di halaman rumah yang dituju, ia keluar dari mobil untuk menyambut langitnya dengan pelukan.

“hei love, u okay? ahhhh u are not. i know it.” kata bintang sambil memeluk langitnya.

“ish! kebiasaan, suka nyimpulin sendiri.”

“no denial, langit.”

“okay okay, i admit it. so.. can we just.. go? please?”

“hahaha iya ayo.”

sepanjang perjalanan, bintang melihat kegelisahan langitnya. dapat dilihat dari kakinya yang tidak bisa diam, nafas yang ditarik dalam dalam, dan jari yang digigit.

ya, itu kebiasaan langit saat gelisah. bintang selalu tau hal apapun mengenai langitnya. sebut saja sudah di luar kepala.

tentu, tangan kirinya tak tinggal diam— hanya butuh waktu kurang dari satu menit untuk menggenggam erat tangan langit. tentu disertai dengan kalimat tanya untuk memastikan.

“sky..”

jangan tanya kenapa bintang memanggil langit dengan nama yang berbeda-beda seperti langit, love, dan sky. nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil nama yang telah bintang lontarkan ke langitnya. karena sesungguhnya bintang mempunyai sejuta nama panggilan untuk membuat langitnya merasa senang.

“sky... kamu kenapa? kenapa keliatan gelisah? ada sesuatu? mind to tell me? hm?”

“it's nothing, babe. aku cuna kepikiran mimpi buruk aku belakangan ini.”

“love, coba tebak, kalau aku punya kesempatan untuk dikasih superpowers, aku bakal pilih apa?” tanya bintang seperti mengalihkan.

“terbang! waktu itu kamu bilang kalau kamu mau jelajahin angkasa sama aku. katanya kamu mau bawa aku liat bintang.”

“betul! tapi, sekarang udah ganti..”

“yahhhh kenapa? kamu udah ga mau ke angkasa sama aku, ya?” ucap langit memelas.

“untuk sekarang aku lebih mau ngerasain apa yang kamu rasain, a-atau seengganya aku mau baca pikiran kamu. aku ngga mau kamu timbun semuanya sendiri. soalnya kamu orangnya susah kalau disuruh cerita, nyebelin kamu tuh.” sahut bintang sambil mengecup ringan bibir langit.

ditatapnya mata langit, dilanjut dengan kecupan kedua yang kelamaan menjadi lumatan ringan.

tenang, itu tidak berlangsung lama, mengingat posisi bintang yang sedang berkendara.

“tiba-tiba banget?” tanya langit.

“itu mantra, biar nanti bibir kamu mau terbuka untuk cerita ke aku.”

“bisa aja, bilang aja kalau kamu kangen.”

“ya itu juga sih..”

mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit— dengan percakapan ringan yang bintang buat untuk mengalihkan kegelisahan langitnya.


“yeay sampai!!” ucap langit bersemangat.

tiba-tiba bintang mengambil posisi seperti mengikat tali sepatu dengan lutut sebelah kanan sebagai tumpuan.

“naik sini, aku gendong sampai atas.”

“ngga mau ah, kamunya kasian, capek. ayo jalan aja.”

bukan bintang namanya kalau tidak memaksa. bintang ambil paksa tangan langit supaya berpegangan pada pundaknya. bukan, bukan gendong ala ala tas anak sekolahan yang berada dipunggung. melainkan gendongan koala yang saling bertatapan.

“hahaha tuh kan! udah aku tebak pasti kamu maksa— oke karena aku udah terlanjur naik, jadi, tolong ya pak bintang, kalau udah capek gendong langit, langitnya diturunin aja.” kata langit sambil tertawa kecil.

“siap, pak langit! laksanakan!”

keduanya menuju atas bukit dengan gelak tawa— yang lagi lagi bintang buat.

alasannya? ahh kau pasti sudah tau.

“udah, yuk turun.”

“terimakasih pak bintang!” seru langit sambil membungkuk.

“sama-sama, sayang.”

“nih, minum dulu— aku berat ya? hahaha.” ucap langit sambil menyodorkan botol minum.

bintang mengambil botol berisi air yang disodorkan langit, “lebih berat kemarin ngga ketemu kamu seminggu, sih.. sejujurnya.”

“gombalnya lancar ya sayang..”

mereka menggelar kain untuk duduk, juga untuk merebahkan diri dibawah gemerlap bintang-bintang, tak lupa angin malam yang menyegarkan juga ikut ambil bagian dalam 'perjalanan' yang akan ditempuh keduanya. setidaknya untuk beberapa jam kedepan.

“kepala kamu taruh paha aku, kamu tiduran aja, kalau ngantuk tidur, gapapa. aku bawa selimut.”

“kaya mau nginep aja kamu.”

“aku soalnya bawa bayi”

“bintang!”

cup

“ini bibirnya udah mau cerita belum?”

“belum, kayanya kalau dicium lagi bakal—”

bibir bintang mendarat tepat diatas bibir langit— memotong kalimat yang ingin langit ucapkan walau sudah tertebak.

bintang tahan tengkuk yang lebih muda untuk memperdalam ciumannya. ciuman dengan tempo perlahan yang sengaja dibuat tanpa nafsu untuk menyalurkan rasa sayang keduanya.

langit memutus ciuman itu terlebih dulu karena ketersediaan oksigennya menipis.

“aku sayang kamu.” ungkap langit.

“i love u more.”


setelah perbincangan ringan antara keduanya, atau sebut saja basa basi untuk membuka perbincangan utama— akhirnya langit pun bersuara.

“bintang, am i deserved to be loved this much?”

“oh c'mon babe, why are you asking that? of course you are deserve to be loved. that much. you really deserve it.”

“then why do they keep saying that i don't deserve you?”

“who's that?”

“minggu lalu aku ke kantor kamu, kamu inget 'kan? terus sebelum aku pulang, aku ke toilet sebentar. aku denger seseorang— entah itu atasan kamu, bawahan kamu, temen kamu, aku ngga kenal— tapi yang jelas mereka bilang kenapa kamu mau sama aku, padahal banyak cewe atau cowo yang ofc lebih baik dari aku. then, masalah kerjaan. akhir akhir ini banyak tekanan di kantor, itu yang bikin aku mikir jauh belakangan ini. tolong jangan marah, aku minta maaf.” jelas langit dengan air mata yang perlahan turun ke pipinya.

“love, no u don't even need to say sorry. aku ngerti, ngerti banget kalau hal itu bikin kepikiran, dan itu wajar. karena kalaupun aku di posisi kamu, aku bakalan pikirin hal yang sama. aku ngga tau spesifik gimana pemikiran kamu tentang itu sejauh apa, tapi apa kamu sampai mikir kalau kamu mau putus sama aku? kalau iya, aku minta maaf atas nama rekan kerjaku, aku minta maaf kalau aku belum bisa kasih yang terbaik buat kamu, aku minta maaf kalau aku terkesan maksa, aku minta maaf kalau aku belum cukup meyakinkan kamu. aku minta maaf untuk apapun itu, tapi tolong buang jauh-jauh kalau ada pemikiran tentang putus sama aku. a-aku gatau, langit. sebut aja aku berlebihan, lebay, atau apapun itu. tapi aku beneran ngga bisa bayangin kalau aku jauh dari kamu, apalagi ngga ada kamu.”

langit merubah posisinya dari yang semula rebahan menjadi duduk— perlahan ia dekatkan tubuhnya, ia bawa bintang kedalam pelukannya.

“bintang, maaf, maafin aku. aku ngga maksud untuk bikin kamu merasa kaya gitu. jujur, memang sebelumnya aku ada pemikiran kaya gitu, tapi aku ngga mikir sejauh itu untuk merealisasikan pemikiran bodoh aku. akupun sama takutnya sama kamu. aku ngga ninggalin kamu karena aku percaya sama kamu. maaf kalau aku bikin kamu merasa ngga dipercaya, tapi, demi apapun aku taruh 100% kepercayaan sama kamu. tapi entah kenapa belakangan ini aku terlalu takut untuk cerita ke kamu, bintang. bukan takut ngga didengar, tapi aku takut nyakitin kamu.”

“aku bakalan lebih sakit kalau aku tau kamu simpen semuanya sendiri, langit.” bintang menghela nafasnya sembari menepuk pelan kepala langitnya.

“aku ngga tau harus kaya gimana lagi. akhir akhir ini aku ngerasa kalau apapun yang aku lakuin selalu salah, aku takut memperburuk sekitar, aku ngga bisa apa-apa, aku lupa caranya percaya diri lagi, bintang.”

“mulai dari awal. mulai pelan-pelan. believe in yourself disetiap langkah yang bakalan kamu ambil, just do it, disukain atau ngga belakangan. asal kamu udah ngelakuin itu dengan baik, aku yakin kedepannya banyak hal baik juga yang bakalan kamu terima.”

“aku juga takut, bintang. rasa takutku rasanya kaya berkembang, bahkan ke hal yang ngga relate sama pemikiranku sebelumnya.”

“dilawan juga secara perlahan, ngga semua hal bisa diatasi dengan buru-buru. beberapa hal emang perlu pakai langkah hati-hati. be gentle of yourself, ya, langit? aku bakal terus bantu kamu.”

“aku takut kamu ninggalin aku..”

“w-what?! i mean... kenapa kamu mikir begitu?”

“aku selalu nyusahin kamu, bahkan untuk menghandle diri aku sendiri aja aku ngga bisa. aku terlalu bergantung sama kamu, a-aku..” ucapan langit menggantung, tergantikan dengan suara isak tangis yang begitu saja keluar dari dirinya.

kembali, bintang peluk erat tubuh itu, berharap jiwa yang tengah bersusah payah berdamai dengan dirinya sendiri itu melihat betapa seriusnya perkataan bintang kala itu. “itu gunanya aku, aku disamping kamu untuk temenin kamu, bukan untuk ngebiarin kamu sendirian hadapin semuanya. langit, its okay to feel sad, its okay kalau kamu butuh seseorang sama kamu, itu wajar.”

“tapi, bintang... aku bukan tanggung jawab kamu. bukan tanggung jawab kamu untuk selalu pastiin bahagiaku.”

“memang bukan, seengganya untuk sekarang. nanti pun kamu bakalan jadi tanggung jawab aku, lagipula aku udah janji. aku janji sama diri aku sendiri sejak hari itu untuk selalu ada buat kamu meskipun kamu ngga minta.”

“s-sejak itu? when?”

“kamu inget? when i felt bad for myself, when i want to give up, when i want to end it all. di jembatan itu, waktu aku capek sama semuanya aku mutusin buat bunuh diri, tapi tiba-tiba kamu dateng dengan sejuta kata-kata yang bikin aku mau bertahan, yang bikin aku nyoba buat survive. kamu balikin semua rasa yang padahal waktu itu semuanya udah hilang. percaya diri, semangat, merasa dicintai, merasa berharga, merasa pantas untuk hidup— rasa yang seperti itu udah hilang, tapi kamu berhasil bawa kembali semuanya ke aku.”

“— dan.. aku cuma mau ngelakuin hal yang sama ke kamu. jangan pikir kalau aku ngelakuin ini hanya untuk balas budi. aku akui, awalnya memang iya kalau aku ngelakuin ini untuk balas budi, tapi ngga berlangsung lama. nyatanya aku malah berakhir jatuh cinta sama kamu, sejak itu aku ngelakuin semuanya tulus buat kamu, aku ngga nyesel jatuh cinta sama kamu saat itu. aku cuma nyesel kenapa aku ngga bisa buat kamu ngerasain hal yang sama—yang kamu buat untuk aku.”

“b-bintang...”

“m-maaf, maafin aku.”

“bintang, aku minta maaf, aku minta maaf kalau aku terkesan ngga hargain kamu, aku minta maaf karena aku, kamu jadi ngerasain itu semua, aku minta maaf, bintang. aku sayang sama kamu, tolong jangan berpikiran kaya gitu, tolong juga jangan nyerah sama aku, kamu bisa cerita ke aku kapanpun kamu butuh. aku juga mau jadi tempat kamu pulang, tempat kamu bersandar.”

“aku ga akan pernah nyerah sama kamu. dari awal kamu udah jadi tempatku pulang. kamu jangan khawatirin itu, aku janji sama kamu, sama diri aku sendiri.”

perbincangan berat itu pun berakhir pada pukul empat.

semua penyebab langitnya sedih, sudah bintang ketahui. semua hal yang langitnya takutkan sudah bintang dengar. untuk selanjutnya, bintang sudah tau apa yang harus ia lakukan nanti, kalau hal yang dirasakan langitnya kembali muncul.

karena sejatinya kunci dari itu semua hanya saling percaya dan tetap menjaga arus komunikasi satu sama lain.

disaat langit tengah terlelap— bintang tetap terjaga.

“pikiran kamu akhir akhir ini ternyata seberat itu, ya? harusnya kamu bagi beratnya ke aku dari awal. dengan itu 'pundak' kamu ngga akan kesakitan nanggung semuanya sendirian. langit, aku mau kamu tau, kalau kamu, aku, dan siapapun itu berhak untuk ngerasain yang namanya bahagia. juga, tolong lebih cintai diri kamu sendiri, karena— mau berjuta juta rasa cinta yang aku kasih ke kamu— kalau kamu ngga cinta sama diri kamu sendiri, semua ngga ada artinya. dan terimakasih juga karena udah bertahan sejauh ini sama aku. “ bisik bintang ditengah lelapnya langit— sambil menatap wajahnya dalam-dalam.

— fin. ©rigeleo

lowercase tags : toxic relationship , mention of 'murahan'


setelah berbincang dan seakan mendapat motivasi dari felix, jean akhirnya mulai mengambil langkah. demi kejelasan dan hatinya, pikir jean.

“je, lo jadi ketemu kak atlas?” tanya nico.

“jadi, hehe.. gue degdegan nic, lix.”

“gapapa, wajar. nanti ngomongnya baik baik, ya? gue tau lo ga bakal ngegas tuh engga. cuma saran gue, dengerin dulu maksud kak atlas, baru lo ngomong, oke? biar ngga salah paham.” jelas felix.

“iya lix tenang aja, makasih juga yaaa..”

“eh itu kak atlas je, — yaudah ya, gue sama felix pergi dulu, lo ngobrol aja.”

kemudian dibalas dengan senyum dan acungan jempol dari jean.

padahal bohong.

felix dan nico tidak benar-benar beranjak, melainkan pergi ke suatu spot yang cukup aman untuk menguping pembicaraan temannya.

memang tidak sopan. tapi mereka hanya takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dan nanti jean memendamnya sendiri.

pada awal pembicaraan jean dan atlas— nico dan felix mendengarnya dengan baik dan secara saksama.

namun, spot yang ia kira aman itu nyatanya tidak cukup aman. tidak, sampai leon datang memergoki mereka.

ekhem..

keduanya terlonjak kaget dan seketika langsung menoleh.

“waduh, lagi nguping, sori deh ya, lanjut lanjut.” sarkasnya.

“ngagetin aja..” kata nico.

felix kebingungan, tidak mungkin jika leon datang kesini juga tanpa sebuah maksud.

“yaaa.. gue kesini juga nemenin atlas, kok.”

'orgil, dia bisa baca pikiran kah? aduh gue gamau mikir yg aneh aneh.' batin felix.

“ngga usah mikir yg aneh aneh gitu.” lanjut leon.

'tuh kan bener'

supaya tidak dicurigai, felix memulai basa basi, “hehehe, lo mau nguping juga ya kak?”

“ngga sih, tadinya. terus gara-gara liat lo berdua nguping, kayanya boleh juga.”

entah dapat ide darimana, nico beralasan bahwa dirinya tengah dipanggil sang ketua osis, yaitu chris.

aneh, padahal, bagian dari osis saja bukan.

namun leon dan felix sama sekali tidak menaruh curiga. setelah berpamitan, nico berlari ke arah tangga untuk menuju kelas.

tak lama, leon memulai percakapan.

“lo.. nemenin temen lo juga? siapa tuh namanya? je- lupa..”

“hahaha, jean kak, namanya jean.”

“jangan manggil kak.”

“oh iya, belum biasa sih.”

keduanya terdiam, “btw, gue boleh tau ngga kenapa mereka tiba tiba ketemuan?” tanya leon.

“oh!

itu.. jangan bilang siapa-siapa ya, mon?”

felix melanjutkan ceritanya sama persis seperti yang mereka bicarakan kemarin.

“oh gitu, hahaha.. atlas atlas, dia emang kelewat friendly, heran gue juga.”

“yakan! wajar kan kalo jean merasa kaya khawatir, khawatir kalo kak atlas ngga serius atau apapun lah.”

“wajar kok. khawatirnya jean, takutnya jean, semua itu valid, lix. gue yakin sih kalo jean udah sayang sama atlas.”

felix mengangguk, “gue juga ngerasa gitu..”

“umm.. lo mau tau sesuatu ngga? tentang atlas. sebelumnya, gue cerita ini karena takut nanti ada salah paham antara mereka atau mungkin orang lain juga terlibat, jadi lo ngga bingung dan gue harap lo ngga ikut salah paham.”

“orang lain? maksudnya?”

“oke, jadi gini, soal si atlas sama langit mention-an yang tadi lo ceritain.. mereka emang deket, karena apa? karena dulu mereka pernah pacaran,”

felix menahan rasa terkejutnya.

“— kaget ya? hahaha. terus, sebelum pacaran sama atlas, langit pernah punya hubungan yang buruk sama mantan pacarnya. yaa bisa dibilang toxic gitu deh, pokoknya singkat cerita, waktu itu ceritanya si atlas nih cuma mau bantu ngeluarin langit dari hubungan toxic nya. tapi lama lama, atlas suka sama langit..”

alis felix saling tertaut, melihat itu, leon merasa bahwa felix mempunyai sesuatu yang harus dikeluarkan.

“kenapa gitu mukanya? kalo ada. pendapat atau apa bilang aja, jangan ragu buat ekspresiin yang lo rasa.”

dengan begitu, merasa seakan diizinkan, felix bertanya, “jadi semacan superhero ya? umm tapi mon.. langit sekarang pacaran sama elang, 'kan?”

“yaa.. semacam itu. oke, sebelum kesitu, gue lanjut dulu ya.

nah, langit merasa kalo atlas selalu ada buat dia, selalu bantu dia, pokoknya kaya... atlas tuh sandarannya langit. tempat langit pulang. omong-omong, kejadiannya belum lama.”

“lanjut aja..”

“oke, tapi yang langit rasain ke atlas tuh cuma sebatas kaya kakak adik gitu, paham kan? terus yaudah, berhubung atlas bukan orang yang pemaksa, jadi atlas maklum. dan mulai saat itu mereka janji ngga boleh canggung dsb, pokoknya harus kaya biasa,”

“— ga sampe situ, mantannya langit tuh masih gencar buat ambil langit lagi. terus entah kenapa waktu itu ada kaya gosip kalo atlas tuh ngerebut langit, padahal mah ya... langitnya aja ga suka sama atlas.

tapi ngga ada yang percaya, karena emang kejadiannya tuh setelah— bahkan sebelum langit sama mantannya putus, mereka udah deket.”

felix masih setia mendengarkan leon dengan baik. tak lupa juga dengan posisinya yang bersandar di bahu leon.

seperti sudah terlampau dekat, bukan? namun itu berjalan begitu saja, dan leon pun tidak keberatan.

“lalu?”

“terus.. elang, lo tau kan? percaya ngga percaya, mereka sebelumnya ngga pernah deket sama sekali.”

felix ternganga, “sama sekali? serius? tapi elang keliatannya bucin banget???”

“bukan keliatannya, tapi emang bucin.”

“woahhh bisa gitu ya...”

“bisaa dong, terus waktu itu elang denger ada suara nangis di toilet. elang ngga tau itu siapa, tapi ttp ditungguin sama elang, sampe orang itu keluar. dan ternyata itu langit.

jadi, lix, dari gosip itu ngga cuma atlas yang kena tapi langit juga, sorry.. tapi langit dibilang murahan lah apalah. nah, lantas pas elang tau, elang tuh marah gitu.

awalnya gue aneh aja.. kenapa elang semarah itu? padahal deket aja engga gituloh. ternyata... elang udah lama suka sama langit.”

“WOOOWWW BOOM, KOK BISA?!” kata felix dengan nada antusias.

“entah, namanya semesta emang suka ngajak bercanda, 'kan? hahaha..”

“udah selesai? atau ada lagi.”

“ada sih, dikit lagi nih. lanjut.. dulu sebenarnya langit tuh banyak omong, ceria banget, berisik juga. cuma setelah kejadian itu dia lebih pendiem— eh engga, pendiem banget.

dan singkat lagi, langit juga suka sama elang, in romantic way gitu, ngga kaya atlas yang sebatas kakak adik zone hahaha..”

wajah felix seketika murung.

“kasian ya kak, langit?” tanpa sadar air mata felix menetes.

“dihh nangis? kenapa? sedih ya? hmm jujur gue pas nemenin atlas, elang, sama langit waktu itu juga ngerasa sedihnya. ga jarang juga gue diem diem nangis, oh iya, chris juga ga pernah absen buat nemenin mereka.”

“iyaa kak, kaya.. langit tuh cuma mau bahagia kan dengan keluar dari circle toxicnya. kak atlas juga cuma ngebantu. emang dasar ya orang orang, bisa bisanya cerna berita mentah mentah.”

“namanya juga manusia, macem macem bentuknya, ada yg kaya setan, ada yg kaya setan banget. tapi gapapa lix, kita punya satu sama lain. jadi ngga takut buat ngadepin mereka lagi.

dan..

lo juga, kalo ada apa apa, dan mau cerita.. jangan sungkan buat dateng ke gue. kalau lo tanya, ngerepotin ngga? jawabannya ngga sama sekali, lix.”

kemudian leon mengusap-usap pundak felix supaya tangisnya berhenti.

'tapi, kak.. dari bagian itu, ada peran lo yang ngga lo ceritain. gue harap suatu saat lo bisa jujur sama gue. jadi.. ngga cuma gue yang bersandar sama lo, tapi lo juga. lo hebat, leon. lo keren banget, semoga lo juga bisa terbuka ya ke orang lain, meskipun misalnya bukan gue yang jadi tempat lo cerita. dan lo harus tau, bukan hanya perasaan orang lain aja yang valid, tapi perasaan lo juga. jangan lupa baik sama diri sendiri, ya, leon?'

tw // blood , nosebleed


Setelah pergi ke minimarket terdekat dan mendapatkan camilan yang ia cari, Changbin kembali ke sekolah— lebih tepatnya ke perpustakaan sekolah untuk 'bimbingan' belajar.

Sedangkan Felix memilih menunggu Changbin sambil mendengarkan musik.

Changbin tiba di daun pintu perpustakaan. Seperti orang pada umumnya yang sedang memastikan sesuatu— maka Changbin juga melakukan hal yang sama, ia majukan kepalanya sedikit ke dalam perpustakaan, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri seraya memanggil seseorang yang menunggunya.

“Lix? oy, Lee Felix? lo di dalem ngga?”

Changbin hanya mendengar alunan musik yang memenuhi seisi ruangan. Ia berjalan mencari bangku pojok seperti yang Felix bilang beberapa menit yang lalu.

“Ah.. ketemu, gue kira lo ga sabar nungguin gue terus balik duluan.” ujar Changbin.

Namun, yang diajak bicara tidak menjawab. Maka Changbin tepuk pundaknya.

“Lix!” seru Changbin.

“Astaga Changbin! apaansih ngagetin aja,” teriak Felix.

“Gue daritadi udah manggil lo ya, tapi musik lo kenceng banget,” ungkap Changbin.

“Lagian juga ini di perpus, ga boleh berisik.” lanjutnya

“Tadi aku udah izin sama penjaganya, selagi ngga ada murid lain gapapa katanya. Lagian juga iseng nungguin kamu disini sendirian...”

Changbin mengangguk paham, “Tinggal bilang kalau lo takut, susah amat.”

“Ngga juga tuh!” ucap Felix tak mau kalah.

“Yaudah langsung aja mana yg harus gue kerjain lagi?”

“Buru buru banget.”

“Udah sore.”

“Biasanya juga pulang malem,” sindir Felix.

“Tau darimana lo?”

“E-ehh engga nebak aja. Udah ah nih kamu kerjain aja, kalo ga ngerti tanya aja ke aku. Aku lagi ngga ada tugas jadi mau dengerin musik sambil koreksi tugas kamu disana,” jelas Felix sambil menunjuk sisi pojok yang lain, —yang mana tertutup oleh rak buku.

“Nanti samperin aku aja, aku pake headphone, ngga denger.” lanjutnya.

“Mmm.. oke, oh ya ini makanannya lo bawa aja, kali aja lo juga mau makan.”

“Oalah tadi kamu keluar beli makan? thanks ya, kerjain sebisanya aja.” kata Felix sambil tersenyum.

“Pucet banget lix muka lo..” batin Changbin.


Felix mendudukkan dirinya pada sofa usang di ujung ruangan. Changbin yang berusaha mencuri pandang pun akhirnya pindah ke meja yang memungkinkan dirinya untuk melihat Felix.

Entah. Changbin rasa dirinya tengah digerakkan oleh sesuatu yang dinamakan perasaan.

Seperti.. perasaan ingin selalu dekat, perasaan ingin menjaga, perasaan peduli, perasaan ingin tau, dan perasaan perasaan lainnya yang selalu Changbin sangkal.

Namun akhirnya Changbin menyerah. Ia terlalu lelah untuk menyangkal perasaannya terus menerus. Maka, ia bawa jiwa dan perasaannya untuk berjalan dengan semestinya— untuk mengikuti kata hati.

Tanpa sadar Changbin tenggelam dalam lamunannya,

“Changbin!”

Lamunannya seketika buyar, “Eh.. hah? apa?”

“Kerjain, jangan ngelamun.”

“Iya yaelah santai.”

Serupa dengan Felix, Changbin pasangkan earphone di telinganya.

Satu setengah jam berlalu.

Changbin yang sedari tadi mengerjakan sambil menahan kantuk pun memilih untuk menghampiri Felix.

“Lix ini gue ngerjain cuma dapet 22 nomor doang, sisanya ngga ngerti..” kata Changbin sambil berjalan.

Changbin terdiam. Badannya terasa beku, jantungnya berpacu tak karuan.

Dengan langkah perlahan, ia hampiri Felix yang tergeletak di lantai dengan bekas bercak darah di hidung dan bajunya.

“L-lix...” ucap Changbin lemah

“Capek.. bin..” Jawab Felix yang rupanya belum sepenuhnya tak sadarkan diri.

“Tunggu ya, tunggu.. gue panggilin penjaganya dulu,”

Changbin berlari ke arah meja penjaga, tidak ada seorangpun di ruangan tsb selain mereka berdua. Changbin menyadari bahwa pintu perpustakaan tertutup, ahh lebih buruk, bahkan terkunci.

“Ahhh anjing ini siapa si yang kunci”

Changbin mengobrak-abrik laci di meja penjaga, keberuntungan berpihak padanya, terdapat kunci cadangan disana.

Tidak berpikir lama Changbin buka pintu tersebut lebar lebar kemudian ia menghampiri Felix yang sudah tak sadarkan diri,

“Sumpah lix lo kenapa... kenapa lo ga bilang kalau sakit... kalau lo bilang ke gue, gue ga akan minta lo belajar sama gue hari ini..” bisik Changbin dengan nada frustasi seraya menggendong Felix.

Beruntung, saat itu pak satpam yang biasa berjaga masih ada disana. Changbin putuskan untuk meminta bantuan darinya.

Setelah Changbin menentukan tempat untuk mereka belajar bersama, Changbin pun langsung melajukan motornya ke alamat yang dikirimkan oleh Felix.

Tidak lama— hanya sekitar 10 menit, Changbin sudah sampai di halaman rumah berpagar putih, yang tidak lain adalah rumah Felix.

Felix yang menunggu di teras rumah pun mengintip di sela sela pagar untuk memastikan.

“M-mau masuk dulu nggak, bin?”

“Ngga usah langsung aja, naik.”

“Okay...”


15 menit diperjalanan, akhirnya mereka sampai dirumah Changbin.

“Sini masuk.”

Felix tidak menjawab dan langsung mengekori Changbin.

“Lo tunggu sini dulu, gue mau ambil buku.”

“Iya..” jawab Felix gugup.

Changbin pun datang membawa tas berisi buku beserta nampan yang diatasnya terdapat dua gelas jus jeruk, gelas kosong, dan air putih.

“Lo duduk samping gue aja sini, biar gampang.”

“kenapa gak lo aja yang nyamperin gue” batin Felix.

Namun akhirnya Felix menurut juga. Ia mendudukkan dirinya disamping Changbin. Jantungnya berdegup tak karuan— bagaimana tidak? ia duduk bersebelahan dengan sang crush, juga, jaraknya sedekat ini.

Felix mulai menjelaskan materi dengan perlahan dan sabar, supaya yang diajarkan dapat mengerti dengan cepat.

“Gimana, paham ngga yang itu?” tanya Felix

“Ya.. lumayan lah, ntar gue baca baca lagi juga paham.”

“Wow cepet juga ya..”

“Gue ngga sebego itu.”

“Aku ngga bilang kalo kamu begitu, kok.”

“Ah yaudahlah terus yang mana lagi? biar cepet selesai.”

“Caraku ngajarin orang ngga bisa cepet cepet, bin.”

“Lah kata lo kita ga punya banyak waktu?”

“Aku tau, cuma kalo terlalu diburu-buru juga ga awet di otak materinya. Pelajarin nya pelan-pelan aja asal cepet paham dan gampang diinget, daripada dipelajarin cepet-cepet tapi gampang lupa nantinya.”

“Felix ga se-pendiem itu ternyata??”

“Yayaya terserah.”

Changbin pun meneguk jus jeruknya, begitupun Felix.

“Btw, bin, cita-cita kamu apa?”

“Belum kepikiran.”

“Kalo gitu, nanti abis lulus mau masuk jurusan apa kuliahnya?”

“Hmm.. psikolog? entah.”

“Kenapa? kok kayanya kamu ragu gitu?”

“Emang ragu.”

“Apa yang bikin kamu ragu?”

“Ya.. lo liat aja lix, gue sekarang bolos bolosan gini, gue males belajar, nilai gue banyak yang kosong. Apa gue bisa dijadiin contoh? ngga kan?”

“Bin.. mau tau ngga apa yang dibilang Bu Risa pas dia minta aku buat ajarin kamu?”

Changbin tidak menjawab.

“Kata beliau, walaupun nilai kamu banyak yang kosong, tapi nilai kamu yang lain bisa dibilang bagus, kamu pun sebetulnya anak yang sopan dan kalau ditegur pun ngga pernah yang kayak.. balik marah marah. Ya walaupun kadang kamu ulangin lagi.”

“Terus?”

“Ya jadi menurut aku, kamu punya potensi bin. Potensi untuk memperbaiki semuanya— nilai, tingkah laku, dan lainnya.”

“Hahaha, telat kali Lix, gue udah terlanjur begini.” Changbin tertawa miris.

“Bin, ngga ada kata terlambat buat berubah. Ngga ada kata terlambat untuk berbuat baik. Ngga ada kata terlambat buat memperbaiki. Ngga ada kata terlambat untuk hal-hal baik.”

Changbin mengangguk paham, padahal dalam hatinya ia sangat terkejut akan perkataan Felix yang— umm, bisa dibilang menyentuh hatinya (?)

“Yaudah ayo lanjut lagi.” ajak Felix.

“O-okay...”