Kilas Balik
cw // kissing
Malam ini, keduanya berjalan di bawah cahaya kuning-oranye lampu perkotaan, juga suasana yang mulai beranjak sepi. Bukankah masih jam 7 malam? seharusnya tidak begitu sepi, bukan?
Ya, memang.
'Seharusnya' kini hanyalah sebuah 'seharusnya' belaka. Karena, bukan Sastra namanya kalau tidak meleset dari jam yang sudah ditentukan.
Omong-omong, sekarang waktu menunjukkan pukul 9.30 malam.
Keduanya bergandengan tangan— seakan (memang) tidak ingin berpisah barang satu inci saja.
Tiba-tiba Sastra bergidik seperti orang kedinginan, “Huuuu seger banget ya,”
“Kamu kedinginan itu, bukan seger.”
“Biasa aja, malah enak kok udaranya. Soalnya abis hujan.” Sanggah Sastra.
Sastra naik ke sisi trotoar yang lebih tinggi dari sisi trotoar yang mereka— juga Nara— pijak sebelumnya.
“Nanti kalo kamu jatoh, aku tinggal lari, ya?”
“Ya makanya pegangin aku.”
“Kalo jatoh, aku gendong, ya?'
“Ngga mauuuuu. Lagian aku juga ga bakalan jatoh.” Sastra menjulurkan lidahnya keluar untuk meledek Nara. Bukannya kesal, Nara malah gemas sendiri.
“Sas, aku penasaran sama sesuatu deh,” Nara terdiam sejenak, “Boleh aku tanyain ke kamu ngga?”
Sastra menoleh kemudian mengangguk cepat, “iya...”
Sesungguhnya jantung Sastra saat itu berpacu sedikit lebih cepat dari sebelumnya. 'Akan seperti apa pertanyaannya?' Kira-kira begitulah kata-kata yang terlintas di otak Sastra.
Baru saja Sastra ingin memikirkan kata-kata yang lain, namun, Nara sudah terlebih dahulu berbicara.
“Kalo di mata dan pikiran manusia pada umumnya, pdkt secepat dan setiba-tiba itu tuh, kaya... ngga masuk akal, sas. Eh, bukan ngga masuk akal juga. Tapi, pasti banyak pertimbangan dong?” Nara memutus kalimatnya.
“Terus, kenapa kamu kaya yakin banget sama aku? —mmm.. sebelumnya ini aku pure nanya. Bukannya aku ragu sama kamu atau gimana ya...” lanjutnya.
“Hahaha oke —pertama, kamu bisa anggap aku 'bukan manusia pada umumnya' — kedua, jangan mikir kalo jatuh cinta itu beneran yang kaya butuh waktu se-lama itu. Ya, mungkin ada. Tapi ngga semua, contohnya aku. Aku ga butuh waktu se-lama itu buat jatuh cinta sama kamu.
Lagian, ya, menurut sains, ada loh sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Syracuse University di bawah pimpinan Professor Stephanie Ortigue. Nah, yang ungkapin, kalo jatuh cinta hanya butuh waktu seperlima detik aja. Masuk akal ngga? — ya, mungkin emang ngga, kalo di pandangan beberapa orang. Tapi, penelitian sendiri buktinya.” (Sc : google) Jelas Sastra yang membuat Nara cukup terdiam dan melongo.
“Hahahaha,” Sastra tertawa, “Jadi, aku masih ngga ada apa-apanya dari mereka yang jatuh cinta dengan waktu seperlima detik aja, kan?”
“I-iya sih...” Jawab Nara sambil menggaruk tengkuknya.
“Tapi, itu jawaban panjangnya. Kalau jawaban pendeknya — ngga ada yang harus aku raguin dari kamu. Dari usaha kamu. Dari seberapa kamu nunggu aku.”
Langkah Nara terhenti, ia menghadap Sastra — mendongak menatap wajahnya — karena Sastra berada di atas trotoar yang lebih tinggi.
“Kamu???” Nara menatap sastra dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa Sastra tahu bahwa dirinya menyukai Sastra sejak lama?
Sastra seakan tahu maksud dari tatapan Nara, maka ia jawab, “Hehehe, ada lah yang cepu dikit-dikit.”
Jika biasanya wajah Sastra yang selalu memerah karena tersipu, sekarang wajah Nara-lah yang memerah — karena mengetahui fakta bahwa Sastra tahu satu dari beberapa hal yang 'seharusnya' hanya diketahui oleh dirinya dan beberapa temannya saja.
Kemudian Sastra berjongkok dari atas trotoar, mengisyaratkan pada Nara untuk menciumnya. Nara tersenyum melihat tingkah lucu yang dibuat Sastra.
Ia mendekat, kemudian mencium singkat bibir Sastra — kemudian pipi kanan dan kirinya — dan yang terakhir, belakang telinga, juga leher Sastra.
“Gendoooong!” pinta Sastra.
“Jatoh dulu, baru aku gendong.”
“Aku kan udah —”
“Iya-iya, naik sini.” Nara membalikkan badannya — memunggungi Sastra. Lalu Sastra naik dengan perlahan.
“Ka, kalo kamu gimana? gimana ceritanya bisa suka sama aku?” tanya Sastra.
“Aku to the point aja, waktu itu kamu lagi baca buku di taman kampus pas lagi nunggu Bian. Terus, kamu inget? ada kucing yang nyamperin kamu. Disitu kamu kegemesan sendiri sama kucingnya. Tanpa tau disitu aku juga sebetulnya lagi kegemesan juga liat kamu begitu hahahaha,”
“Inget! terus gimana?”
“Kamu lari ke minimarket depan buat beli makanan kucing, terus pas kamu balik, kucingnya ngga ada. Kamu cari-cari kucingnya, eh ternyata ada di atas pohon. Di situ aku ngeliat usaha kamu, yang kaya niat banget buat ngasih kucing itu makan. Aku perhatiin kamu dari jauh.
At that time i thought that you were a good person. You're always looking in all directions, to see if someone needs you or not. It's little things like that —that made me instantly fall in love with you.
Awalnya aku cuma kagum biasa, and i tried to get ur attention tapi ga berhasil. Aku kaya... ah ngga bisa kayanya. Tapi makin aku bilang ngga bisa, aku malah makin 'ditunjukin' sesuatu dari kamu yang selalu dan ga pernah gagal bikin aku kagum. Kamu pinter, kamu baik, kamu orang yang lembut, kamu ngga egois, kamu selalu taruh kepentingan orang lain diatas kepentingan kamu. Dan aku ngga tau tepatnya kapan aku mutusin buat nunggu kamu, yang jelas saat itu aku yakin kalo aku ambil jalan yang tepat, Sas.
Sampai pada akhirnya kita ketemu dengan cara yang sangat amat diluar ekspektasi aku, hahaha, lucu ya cara semesta. Selalu diluar kepala dan selalu berhasil bikin makhluk yang ada di bumi jadi kaget.”
Sastra tidak merespons, Nara kira Sastra tidak sengaja tertidur.
Nara merasakan baju yang dipakainya melembab, cenderung basah tepatnya.
Iya, Sastra menangis.
“Sastra?? kenapa nangis?”
Nara berhentikan langkahnya sejenak — mendudukkan Sastra pada sisi trotoar yang lebih tinggi — satu tangannya melingkar pada pinggang, untuk menopang tubuh laki-laki di depannya.
Ia singkirkan helaian rambut yang tutupi mata Sastra yang kian membengkak. Diusapnya pipi Sastra dengan lembut seraya membiarkan isaknya reda.
Hati Nara menghangat.
Ia tak salah kira jika pada awal pertemuannya dengan Sastra — Nara sudah menduga bahwa Sastra adalah orang yang lembut. Buktinya ada di depan matanya sekarang.
Sastra mudah tersentuh oleh hal-hal kecil. Iya, selembut itu hatinya.
Bahkan topik yang awalnya dengan ceria Sastra ajukan, sekarang malah menjadi penyebabnya menangis.
“Jangan liatin aku... jelek...”
“Cantik gini juga —
Lucu, kalo nangis hidung kamu kaya tomat, kalo malu pipi kamu kaya kepiting rebus.”
“Ka, aku ngga tau mau respons kaya gimana...”
“Kamu ngga bilang apa-apa pun aku tau maksud kamu, Sas. Kamu lucu kalo nangis, tapi bukan berarti aku suka liat kamu nangis.”
Sastra beranikan dirinya untuk mendekatkan wajahnya dengan wajah Nara. Ia kecup singkat bilah favoritnya itu. Nara tahan tengkuk Sastra untuk memperdalam ciumannya.
Nara selalu mengakhiri sesi ciumannya pada kening Sastra, seperti barusan.
Kali ini, ciumannya bukanlah ciuman dengan durasi lama seperti biasanya. Mengingat posisi mereka yang berada di sisi jalan. Ya, walaupun sepi, tetap saja.
Kemudian mereka berikan pelukan hangat untuk satu sama lain. Seraya mendekap tubuh Sastra, Nara berbisik, “Sastra, kamu mungkin bosen denger ini. Tapi aku ga akan bosen buat bisikin ini ke kamu, kalau aku selalu jatuh cinta sama kamu setiap harinya. Hari-hari itu pasti berganti, tapi, rasa aku ke kamu ngga akan, Sas.
Sastra, kalo rasa kamu udah mulai berubah ke aku, tolong bilang. Kalo pada akhirnya aku bukan pilihan yang kamu pilih, that's okay. Tolong bilang juga, ya?”