rigeleo

cw // kissing


Malam ini, keduanya berjalan di bawah cahaya kuning-oranye lampu perkotaan, juga suasana yang mulai beranjak sepi. Bukankah masih jam 7 malam? seharusnya tidak begitu sepi, bukan?

Ya, memang.

'Seharusnya' kini hanyalah sebuah 'seharusnya' belaka. Karena, bukan Sastra namanya kalau tidak meleset dari jam yang sudah ditentukan.

Omong-omong, sekarang waktu menunjukkan pukul 9.30 malam.

Keduanya bergandengan tangan— seakan (memang) tidak ingin berpisah barang satu inci saja.

Tiba-tiba Sastra bergidik seperti orang kedinginan, “Huuuu seger banget ya,”

“Kamu kedinginan itu, bukan seger.”

“Biasa aja, malah enak kok udaranya. Soalnya abis hujan.” Sanggah Sastra.

Sastra naik ke sisi trotoar yang lebih tinggi dari sisi trotoar yang mereka— juga Nara— pijak sebelumnya.

“Nanti kalo kamu jatoh, aku tinggal lari, ya?”

“Ya makanya pegangin aku.”

“Kalo jatoh, aku gendong, ya?'

“Ngga mauuuuu. Lagian aku juga ga bakalan jatoh.” Sastra menjulurkan lidahnya keluar untuk meledek Nara. Bukannya kesal, Nara malah gemas sendiri.


“Sas, aku penasaran sama sesuatu deh,” Nara terdiam sejenak, “Boleh aku tanyain ke kamu ngga?”

Sastra menoleh kemudian mengangguk cepat, “iya...”

Sesungguhnya jantung Sastra saat itu berpacu sedikit lebih cepat dari sebelumnya. 'Akan seperti apa pertanyaannya?' Kira-kira begitulah kata-kata yang terlintas di otak Sastra.

Baru saja Sastra ingin memikirkan kata-kata yang lain, namun, Nara sudah terlebih dahulu berbicara.

“Kalo di mata dan pikiran manusia pada umumnya, pdkt secepat dan setiba-tiba itu tuh, kaya... ngga masuk akal, sas. Eh, bukan ngga masuk akal juga. Tapi, pasti banyak pertimbangan dong?” Nara memutus kalimatnya.

“Terus, kenapa kamu kaya yakin banget sama aku? —mmm.. sebelumnya ini aku pure nanya. Bukannya aku ragu sama kamu atau gimana ya...” lanjutnya.

“Hahaha oke —pertama, kamu bisa anggap aku 'bukan manusia pada umumnya' — kedua, jangan mikir kalo jatuh cinta itu beneran yang kaya butuh waktu se-lama itu. Ya, mungkin ada. Tapi ngga semua, contohnya aku. Aku ga butuh waktu se-lama itu buat jatuh cinta sama kamu.

Lagian, ya, menurut sains, ada loh sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Syracuse University di bawah pimpinan Professor Stephanie Ortigue. Nah, yang ungkapin, kalo jatuh cinta hanya butuh waktu seperlima detik aja. Masuk akal ngga? — ya, mungkin emang ngga, kalo di pandangan beberapa orang. Tapi, penelitian sendiri buktinya.” (Sc : google) Jelas Sastra yang membuat Nara cukup terdiam dan melongo.

“Hahahaha,” Sastra tertawa, “Jadi, aku masih ngga ada apa-apanya dari mereka yang jatuh cinta dengan waktu seperlima detik aja, kan?”

“I-iya sih...” Jawab Nara sambil menggaruk tengkuknya.

“Tapi, itu jawaban panjangnya. Kalau jawaban pendeknya — ngga ada yang harus aku raguin dari kamu. Dari usaha kamu. Dari seberapa kamu nunggu aku.”

Langkah Nara terhenti, ia menghadap Sastra — mendongak menatap wajahnya — karena Sastra berada di atas trotoar yang lebih tinggi.

“Kamu???” Nara menatap sastra dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa Sastra tahu bahwa dirinya menyukai Sastra sejak lama?

Sastra seakan tahu maksud dari tatapan Nara, maka ia jawab, “Hehehe, ada lah yang cepu dikit-dikit.”

Jika biasanya wajah Sastra yang selalu memerah karena tersipu, sekarang wajah Nara-lah yang memerah — karena mengetahui fakta bahwa Sastra tahu satu dari beberapa hal yang 'seharusnya' hanya diketahui oleh dirinya dan beberapa temannya saja.

Kemudian Sastra berjongkok dari atas trotoar, mengisyaratkan pada Nara untuk menciumnya. Nara tersenyum melihat tingkah lucu yang dibuat Sastra.

Ia mendekat, kemudian mencium singkat bibir Sastra — kemudian pipi kanan dan kirinya — dan yang terakhir, belakang telinga, juga leher Sastra.

“Gendoooong!” pinta Sastra.

“Jatoh dulu, baru aku gendong.”

“Aku kan udah —”

“Iya-iya, naik sini.” Nara membalikkan badannya — memunggungi Sastra. Lalu Sastra naik dengan perlahan.


“Ka, kalo kamu gimana? gimana ceritanya bisa suka sama aku?” tanya Sastra.

“Aku to the point aja, waktu itu kamu lagi baca buku di taman kampus pas lagi nunggu Bian. Terus, kamu inget? ada kucing yang nyamperin kamu. Disitu kamu kegemesan sendiri sama kucingnya. Tanpa tau disitu aku juga sebetulnya lagi kegemesan juga liat kamu begitu hahahaha,”

“Inget! terus gimana?”

“Kamu lari ke minimarket depan buat beli makanan kucing, terus pas kamu balik, kucingnya ngga ada. Kamu cari-cari kucingnya, eh ternyata ada di atas pohon. Di situ aku ngeliat usaha kamu, yang kaya niat banget buat ngasih kucing itu makan. Aku perhatiin kamu dari jauh.

At that time i thought that you were a good person. You're always looking in all directions, to see if someone needs you or not. It's little things like that —that made me instantly fall in love with you.

Awalnya aku cuma kagum biasa, and i tried to get ur attention tapi ga berhasil. Aku kaya... ah ngga bisa kayanya. Tapi makin aku bilang ngga bisa, aku malah makin 'ditunjukin' sesuatu dari kamu yang selalu dan ga pernah gagal bikin aku kagum. Kamu pinter, kamu baik, kamu orang yang lembut, kamu ngga egois, kamu selalu taruh kepentingan orang lain diatas kepentingan kamu. Dan aku ngga tau tepatnya kapan aku mutusin buat nunggu kamu, yang jelas saat itu aku yakin kalo aku ambil jalan yang tepat, Sas.

Sampai pada akhirnya kita ketemu dengan cara yang sangat amat diluar ekspektasi aku, hahaha, lucu ya cara semesta. Selalu diluar kepala dan selalu berhasil bikin makhluk yang ada di bumi jadi kaget.”

Sastra tidak merespons, Nara kira Sastra tidak sengaja tertidur.

Nara merasakan baju yang dipakainya melembab, cenderung basah tepatnya.

Iya, Sastra menangis.

“Sastra?? kenapa nangis?”

Nara berhentikan langkahnya sejenak — mendudukkan Sastra pada sisi trotoar yang lebih tinggi — satu tangannya melingkar pada pinggang, untuk menopang tubuh laki-laki di depannya.

Ia singkirkan helaian rambut yang tutupi mata Sastra yang kian membengkak. Diusapnya pipi Sastra dengan lembut seraya membiarkan isaknya reda.

Hati Nara menghangat.

Ia tak salah kira jika pada awal pertemuannya dengan Sastra — Nara sudah menduga bahwa Sastra adalah orang yang lembut. Buktinya ada di depan matanya sekarang.

Sastra mudah tersentuh oleh hal-hal kecil. Iya, selembut itu hatinya.

Bahkan topik yang awalnya dengan ceria Sastra ajukan, sekarang malah menjadi penyebabnya menangis.

“Jangan liatin aku... jelek...”

“Cantik gini juga —

Lucu, kalo nangis hidung kamu kaya tomat, kalo malu pipi kamu kaya kepiting rebus.”

“Ka, aku ngga tau mau respons kaya gimana...”

“Kamu ngga bilang apa-apa pun aku tau maksud kamu, Sas. Kamu lucu kalo nangis, tapi bukan berarti aku suka liat kamu nangis.”

Sastra beranikan dirinya untuk mendekatkan wajahnya dengan wajah Nara. Ia kecup singkat bilah favoritnya itu. Nara tahan tengkuk Sastra untuk memperdalam ciumannya.

Nara selalu mengakhiri sesi ciumannya pada kening Sastra, seperti barusan.

Kali ini, ciumannya bukanlah ciuman dengan durasi lama seperti biasanya. Mengingat posisi mereka yang berada di sisi jalan. Ya, walaupun sepi, tetap saja.

Kemudian mereka berikan pelukan hangat untuk satu sama lain. Seraya mendekap tubuh Sastra, Nara berbisik, “Sastra, kamu mungkin bosen denger ini. Tapi aku ga akan bosen buat bisikin ini ke kamu, kalau aku selalu jatuh cinta sama kamu setiap harinya. Hari-hari itu pasti berganti, tapi, rasa aku ke kamu ngga akan, Sas.

Sastra, kalo rasa kamu udah mulai berubah ke aku, tolong bilang. Kalo pada akhirnya aku bukan pilihan yang kamu pilih, that's okay. Tolong bilang juga, ya?”

sejujurnya pas ray ngetik itu di reply twitter— dia ngga mikir kalau reno bakalan beneran datang buat ngomong langsung ke dia.

maklum, soalnya selama belasan tahun ray kenal sama reno, reno itu orangnya selalu bercanda. apa-apa dijadiin candaan sama dia. jadi, ray agak trust issue setiap reno ngegombal. termasuk juga yang barusan.

sekarang, keduanya lagi duduk di rumah pohon yang baru aja mereka cat beberapa hari yang lalu.

“ren, ini rumah pohonnya ngga bakal ambruk, kan?” tanya ray sambil mengetuk lantai kayu di sana.

“ngga, kan udah dibongkar, terus dipasang lagi. udah kuat ini.”

ray suka baca buku berulang-ulang kali walaupun udah tau endingnya. beda sama reno, dia punya banyak koleksi buku, tapi dia paling anti sama yang namanya baca ulang semua buku-buku itu.

jadi, sebelum naik, ray izin buat pinjam satu buku reno— yang padahal udah dia baca, kurang lebih 4 kali.

ray asik sendiri sama buku yang dibacanya. bahkan, reno kayanya ngga kelihatan di mata ray.

dari awal ray baca buku, reno sebenarnya udah kasih seluruh atensinya ke ray. cuma, balik lagi, ray cuek. dia cuma peduli sama buku di tangannya.

“ray, lo baca buku apa sih? kayanya seru banget, gue dari tadi dicuekin,”

ray ngga jawab.

“gue pajangan KALI YA.” nada bicara reno tiba-tiba meninggi.

“kenapa teriak sih?”

“gue nanya ga dijawab.”

“oh ngga ngeh,” ray taruh bukunya, terus dia topang dagunya sambil liatin reno.

“ng-ngga usah begitu juga liatnya!”

“lo nanya apa?”

“lo baca buku apa? tadi gue nanya itu.”

“ini,” ray pamerin cover bukunya— depan belakang. dengan maksud, suruh reno tebak isinya.

“ohh itu, gue agak lupa. tentang apa?”

“ini tentang dua orang yang sahabatan, terus pas mereka gede, mereka saling suka. tapi, mereka takut buat pacaran. katanya, takut kalau putus malah jadi musuh.”

“aneh, ya? padahal belom aja dicoba. terus juga kaya... optimis banget bakalan putus. kenapa ga baikan aja?”

“namanya juga fiksi ray, hahahaha,”

“ceritanya sama kaya kita. bedanya, kalau gue jadi salah satunya, gue ga akan takut buat macarin sahabat gue.”

“k-kita?”

mereka sama-sama terdiam karena canggung. sedangkan otak ray memutar pertanyaan yang sama, “apa reno baru aja confess?”

karena ngga mau makin canggung, jadinya ray mulai percakapan duluan.

“btw, bukunya lucu hahaha— gue udah berapa kali, ya, baca ini? 3? 4? kurang lebih.”

“gila sumpah, gue kalo jadi lo udah bosen BANGEEEET.”

“jangan bosenan jadi orang,” ledek ray.

“bosen ke buku doang, kalo ke lo ngga bakalan pernah bosen.”

“ray, ngomong-ngomong tentang bosen—

lo ngga bosen cuma temenan sama gue selama ini?”

ray masih terdiam.

”...maksud gue... ah oke, gini, kenapa bisa cuma gue doang yang suka sama lo selama ini? kenapa cuma gue yang ngerasa mau udahin semuanya dan confess sama lo, terus kita pacaran, kenapa—”

“ren, lo ngga sendirian...” sela ray.

raut wajah reno kaya membentuk tanda tanya. jadinya, ray tau kalau reno kebingungan,

terus, ray coba deketin bibirnya ke telinga reno buat bisikin sesuatu.

“gue juga suka sama lo, reno,”

ray sukses bikin pipi sampai telinga reno memerah.

kemudian ray cuma senyum pas lihat raut wajah reno yang ngga bisa ditebak itu.

“ray?”

“iya reno, gue serius,”

“lo nyadar ngga sih kalo selama ini semuanya lo jadiin candaan?

nah, itu yang bikin gue ragu sama lo. dan gue nganggep kalau lo flirting ke gue itu cuma boongan.” lanjut ray.

“gue alibi doang ray, gue malu kalau misalnya lo nganggep itu serius dan lo gamau.”

“gue mau, kok.”

“maaf deh, karena gue baru bisa realisasiin janji gue bertahun-tahun kemudian,”

“maksudnya?”


flashback

; beberapa tahun lalu – reno 10 tahun, ray 8 tahun.

“ray! sini naik. aku bantu kamu naik kalo kamu takut. sini, pegangan tangan aku.”

“sebentar renooo! jangan ditarik. kaki aku nyangkut di tangga.”

“ih kok bisa?” terus, reno kecil, turun dari tangga satu lagi, yang ada di sebelah kanan rumah pohonnya itu.

“kamu jangan gerak mulu, nanti jatoh, aku juga yang ketiban!”

“kaki aku sakit reno,” mata ray berkaca-kaca.

“jangan nangis, aku ngga marahin kamu, ray. tunggu dulu, ini aku bantuin, tapi kamu diem. kalo ngga diem, aku tinggal. biar tidur sama burung hantu diluar, mau?”

“ng-ngga...”

“nah udah, kamu naik coba, pelan-pelan. aku dibelakang kamu.”

lalu ray naik perlahan-lahan, dan akhirnya sukses sampai di rumah pohon mereka.

“makasih reno!”

“kamu tadi mau nangis ya? hahahah,” ledek reno.

“iya, kaki aku sakit. ini, liat, merah kan?”

“iya, merah. coba kamu tiup-tiup biar ngga merah.”

ray yang polos pun akhirnya ikutin instruksi dari reno yang sengaja bohongin ray.

“reno boong! ini merahnya ngga ilang,”

“hahaha kamu lagian percaya aja,”

“males sama reno!” ray memunggungi reno.

“ray, ray! — jangan marah, aku bercanda doang...”

“gamau, aku males sama kamu.”

“ray, mau sesuatu ngga?” mata ray tiba-tiba jadi berbinar, “nugget?” kata ray.

“bukan, lebih penting,”

“ngga ada yang lebih penting dari pada nugget. no no no.”

“aku suka sama kamu, ray. mau pacaran sama aku ngga?”

ray jelas kaget. walaupun ray masih kecil, ray itu paham sedikit tentang pacaran.

“ngga mau, kita itu masih kecil, renooo. kata bunda ngga boleh pacaran!”

“yaudah kita bikin janji aja,” usul reno.

“apa? — ah, tapi nanti kamu bohong lagi, aku males.”

“ngga ray, yang ini janji ngga bohong.”

“yaudah, apa?”

“nanti kalo kita udah gede, kaya abang kamu, kita pacaran ya?”

“kalo kamu lupa janji kamu gimana?”

“ngga bakal lupa, aku nanti ukir di pohon kalo, biat inget! gimana?”

“boleh! aku juga mau janji, kalo kamu inget, terus kamu bilang itu. aku mau!”

flashback end

“renoooo kok lo inget?”

reno ngga jawab, tapi reno tuntun tangan ray buat turun tangga.

“pelan-pelan turunnya, nanti kaki lo nyangkut.”

satu pukulan mendarat mulus di pundak reno.

“nih liat, gue beneran tulis di sini, ray!” reno tunjuk bagian yang jadi spot tempat reno tulis janjinya.

'ray, nanti kalo kamu udah SMA, kita harus pacaran.'

“hahahaha kok gitu tulisannya,”

“harus begitu biar inget.”

“gue kok ngga pernah liat, ya?”

“iya, kalo lo nyadar, ini tuh spot yang selalu gue tempel kertas, yang bacaannya, hati-hati kalau naik.”

“oh iya! bener bener. pantesan ngga keliatan.”

—:—

“ray, jadi gimana?”

“apa?”

“mau jadi pacar gue?”

ray diam, pura-pura lagi mikir jawabannya. padahal jawaban aslinya udah dia simpan diujung lisannya, dan siap buat dilontarin sekarang juga.

“ray, ini gue ngga lagi becanda,”

ray gigit bibirnya, terus dia jawab, “mau...”

ray majuin wajahnya sedikit, terus ray cium pipi kiri reno dan bilang, “makasih udah nepatin janji, ren.”

cw // kissing


“kenapa ngga dilanjut makannya? kamu kenyang?” tanya sastra begitu ia melihat nara yang mendadak terdiam.

nara beranjak dari sana untuk mencuci mukanya, tanpa menjawab pertanyaan sastra terlebih dahulu. rahangnya terlihat sangat tegas, pandangannya lurus ke depan, alisnya yang saling bertaut, serta wajah yang sedikit memerah.

nara marah sama gue? pikir sastra.

begitu nara kembali dari kamar mandi, sastra bertanya untuk memastikan, “taka, kamu marah?”

ia tidak menjawab. melainkan langsung berjalan ke kasur miliknya.

sastra menghampirinya sambil tetap mengulang pertanyaannya, “kamu kenapa, ka?”

“iya gapapa, ngga usah dihabisin, salah aku juga beli buat kamu tanpa bilang-bilang dulu sama kamu.” sambungnya.

hening

“taka, maaf...” ucap sastra sekali lagi.

“tidur.” suaranya serak.

“maaf...”

nara menyingkap selimutnya dan menghampiri sastra yang duduk di kasurnya— tertunduk, merasa bersalah.

ia mengangkat rahang sastra dengan jari telunjuknya, “aku ngga suka liat kamu cemberut gitu.”

sastra mendongak, “tapi kamu—” perkataan sastra terpotong seketika— bibirnya dibungkam oleh nara.

ciuman nara kali ini terasa terburu-buru dan sangat menuntut. sastra tidak bisa mengimbanginya.

hmmpphh—” sastra memukul-mukul dada nara. pasokan oksigennya habis.

benang saliva tercipta antara keduanya. mereka saling menatap dengan napas yang terengah-engah. sastra menyadari mata nara memerah, entah marah atau menangis.

nara kecup kecil setiap inci wajah sastra yang terlihat bingung— lucu, batinnya.

kecupannya mendarat lama pada leher jenjang sastra. nara cium leher sastra sambil sesekali gigit kecil kulit mulus sastra— yang padahal baru saja hilang bercak keunguannya. nara ciptakan beberapa tanda kepemilikan baru di sana.

haa— ahh” sastra jambak rambut nara ke belakang sambil sesekali mendesah.

close your pretty eyes, sas.” perintah nara terdengar mutlak. tanpa basa basi sastra menutup matanya.

ia kecup lagi bibir sastra sebagai pembuka. kemudian lidahnya membelit lidah sastra— sentuh langit-langit mulut sastra— mengabsen deretan gigi sastra. walau mustahil mengimbangi ciuman nara, tangan sastra tetap menahan tengkuk nara supaya ciumannya makin dalam. untuk mengakhiri— nara hisap lama bibir bawah sastra yang sudah membengkak.

ngghhh, taka..

nara istirahatkan kepalanya pada dahi sastra, “i love you...“ mata sastra yang semula terpejam pun akhirnya dibuka, “nothing can separate us.” imbuh nara.

sastra tidak menjawab, ia tenggelamkan wajahnya pada ceruk leher nara.

what's bothering you, taka? you can tell me...” batin sastra.

“kenapa ciumannya kasar?”

sorry... did i hurt you?” nara usap pipi sastra yang memerah, sambil memperhatikan— apakah ada yang terluka atau tidak.

almost.

sorry, aku—”

you can tell me when you're ready, jangan dipaksa, oke? inget, kamu punya aku buat cerita. jangan disimpen sendiri.”

cw // kissing lowercase ⊹ not-so-explicit, but still, minor dni.


seusai mengambil segelas air di dapur tentunya sastra langsung menyerahkannya pada nara.

“nih,” sastra menatap nara yang tengah tersenyum jahil, “apa? mau disuapin juga minumnya? yang ada aku guyur kamu.”

nara semakin terkekeh, “galak banget, kak sastra. hehehe makasihhh.” ketika sastra hendak berbalik— kembali ke kasur— tiba-tiba nara menahan tangannya.

“aku ga bisa belajar, pusing. tapi aku juga ga bisa tidur.” ucapnya.

“tiduran aja, ntar juga tidur sendiri. kamu ga belajar juga udah pinter, kok.”

“temenin bentar sini, aku lagi ngedit poster.” pinta nara yang dibalas anggukan. kemudian ketika sastra hendak mengambil bangku dari meja belajarnya sendiri, nara berucap, “aku ga nyuruh ambil bangku.” dengan nada yang tiba-tiba datar, dan suara yang sedikit serak.

“terus gimana? kamu pangku?” celetuk sastra asal.

“iya, sini.” nara menepuk pahanya, mengisyaratkan sastra untuk duduk.

sastra tidak ada pilihan lagi, tidak, sebetulnya ia tidak mau menolak. maka dari itu sastra naik ke pangkuan nara— menghadapnya.

sastra menyandarkan kepalanya pada pundak nara, memeluk nara, dan sesekali melayangkan ciuman singkat pada pipi nara.

“ka, kalo aku tidur, nanti gendong ke kasur, ya?”

“kamu minta gendong keliling kampus juga ayo.” timpal nara yang sedang sibuk— enta mengetik apa.

“aku serius ah,” rengek sastra.

nara tertawa kecil, “mana muka seriusnya? aku ga liat tuh,”

sastra enggan memalingkan pandangannya, ia tetap setia menatap punggung nara dari kaca di depannya.

tiba-tiba atmosfer di sekelilingnya menjadi dingin dan sunyi.

“sastra, liat aku.”

sastra menurut. dirinya menatap nara dengan wajah kebingungan serta bibir yang sedikit melengkung ke bawah.

nara tatap netra kekasihnya— terlihat sorot mata yang melunak. berbeda dengan nara. sorot matanya tajam dan mengintimidasi. hal itu cukup membuat sastra memilih untuk bungkam.

nara mengikis jarak wajah keduanya. perlahan-lahan bibir mereka bersentuhan. nara mencium sastra dengan mata terpejam, begitupun sastra. sastra jatuh ke dalam permainan nara. rasanya terlalu nikmat untuk ditolak— ciuman nara selalu memabukkan. bukan tipe yang terburu-buru dikejar nafsu, bukan. nara selalu melakukannya dengan lembut.

nara memutus ciumannya sejenak dan berbisik, “buka.” kemudian ia curi satu kecupan pada bilah delima kesukaannya itu.

dan benar saja, sastra langsung patuh.

ganti, sekarang sastra yang meraih bibir nara. berbeda dengan yang di awal— nara melumat bibir merah itu dengan nafas yang memburu dan mulai menuntut. jantung sastra berdegup kencang— mungkin nara mendengarnya. dirinya tak pandai mengimbangi permainan nara. ia cenderung menerima. namun kali ini sastra tak mau kalah, sastra juga membalas lumatan yang nara berikan.

tangan nara menjelajah ke dalam baju— mengusap punggung sastra— menahan pinggang ramping sastra. sampai membuat yang diberi sentuhan mengerang.

“ssshh hhh ra..”

sastra dapat merasakan nara yang tersenyum puas di sela-sela ciumannya. kemudian ciuman nara berpindah, ia mengecup setiap inci dari wajah sastra, yang kemudian berakhir pada perpotongan leher mulus lawan mainnya. bibir nara gencar menyusuri tiap jengkal leher kekasihnya.

benda lunak itu enggan berhenti, sampai terlihat tanda keunguan pada leher laki-laki di depannya. suara kecipak menggema di seluruh ruangan, lenguhan terdengar bersahut-sahutan.

“ngghhh raa... — ahh...”

nara melepas kembali ciumannya. ia menatap wajah sastra lamat-lamat, dilihatnya pipi yang merona kemerahan, mata yang sayu, juga bibir yang membengkak.

tangan nara kembali merengkuh sastra setelah sebelumnya menahan rahang yang lebih muda. sastra mengalungkan tangannya pada leher nara, dan kembali menyatukan bibir mereka.

tiba-tiba,

tok tok!

“sastraaa, bukain, ini bian!”


tiga hari setelah hari di ruang sinematografi— minho memutuskan untuk mengambil langkah terakhir. maksudnya, jika kali ini seungmin menolaknya lagi, maka minho akan berhenti.

sekarang, cuacanya lumayan sejuk karena hujan tadi sore. hanya menyisakan mendung yang entah akan dilanjut dengan turunnya hujan atau tidak.

minho melajukan kendaraan bermotornya sambil membawa paw, kucing sekolah yang diberi nama oleh seungmin.

sesampainya di sana, minho memanggil-manggil seungmin. namun, yang terdengar hanyalah suara musik yang kencang dari arah kamar seungmin— di atas.

minho mengirim pesan pun rasanya mustahil akan dibalas. jika minho menerobos masuk— ahh apalagi itu, justru ia akan diteriaki maling. maka, minho gunakan satu satunya cara.

minho lepas gelang manik miliknya dan memutus talinya. beruntung, jendela kamar seungmin belum ditutup, jadi ia bisa melemparkan manik tersebut ke dalamnya.

untungnya berhasil.

tak lama, seungmin mengintip dari jendela dengan ragu-ragu— terlihat dari wajahnya yang setengah takut.

“seung!” seru minho.

“kamu ngapain? pulang kak, mendung.”

“mau ngomong sebentar.”

lalu seungmin mengabaikan minho, ia tidak berniat untuk keluar dari kamarnya, barang selangkah pun.

namun minho bersikeras untuk tetap menunggu seungmin. sampai akhirnya rintik halus mulai turun.

“aduh, paw!” minho seketika tersadar.

“seung!” minho berseru lagi.

“kenapa?”

minho mengangkat tinggi tinggi tas kucing yang dibawanya.

“seengganya bawa paw masuk, seung.”

seungmin mengambil tongkat bantu jalannya untuk menuruni tangga.

sekarang ia berdiri di depan pintu, menatap minho yang berjalan ke arahnya sambil tersenyum kecil.

minho menyerahkan paw ke dalam pelukan seungmin.

“halooo paw, udah sehat, ya?” seungmin menyapa hewan berbulu tersebut. kemudian dilanjut dengan membubuhi kucing tersebut dengan ciuman.

“oh iya, kamu bawa jas hujan?”

“ngga...”

“tunggu,” seungmin masuk membawa paw dan keluar dengan membawa jas hujan.

“dibawa aja, takutnya di jalan hujan. sekarang kamu pulang.” final seungmin. kemudian ia kembali masuk.

minho melihat bahwa seungmin masih peduli dengannya. maka dari itu ia belum menyerah.

ia melihat bayang bayang seungmin dari balik gorden— seungmin nampak kegirangan bermain dengan kucing yang ia bawa. minho tersenyum lega.

di dalam sana, seungmin merapalkan kalimat yang sama berulang kali. yaitu, “jangan hujan, nanti ino sakit.” tanpa sadar, seungmin sedikit lantang dalam mengucapkannya. sehingga terdengar samar-samar oleh minho.

“kalo masih peduli, jangan denial, seung.” minho bermonolog.

sampai pada akhirnya hujan mulai semakin lebat. seungmin iseng melihat ke luar jendela, ternyata masih ada minho yang baru akan memakai jas hujan yang seungmin beri— dengan kondisi baju yang sudah basah.

seungmin bergumam, “hujannya udah dari tadi, berarti ino di situ hujan-hujanan?”

seungmin berjalan perlahan menuruni tangga.

ia berdiri di ambang pintu, “kak! kenapa belum pulang?” ucapnya setengah berteriak.

lagi-lagi minho hanya menanggapi senyuman yang entah apa maksudnya.

“kalo ga jawab, aku yang kesana!”

“disitu aja, hujan.” kata minho.

“sini kak, nanti sakit!”

“mau pulang dulu. pintunya dikunci ya, seung.”

seungmin susah payah berlari menghampiri minho dan meraih tangannya.

“udah tau hujan, masih aja nyamperin. masuk, seung. badan lu basah semua,”

seungmin menatap minho dengan tatapan sedu. air matanya turun bercampur dengan hujan.

“kenapa nangis?” minho menunduk, sejajarkan wajahnya dengan seungmin.

seungmin menunduk, “ngomong kak, bilang apa yang kamu mau bilang.”

“liat gua dulu coba,” seungmin mendongak, “kenapa nangis?” tanya minho.

seungmin enggan menjawab. maka dari itu minho mendekap seungmin ke dalam pelukannya.

“gua ga bakalan sakit, seung. jangan nyuruh langitnya biar ga hujan, langitnya jangan dimarahin.”

“kamu denger?”

“siapa yang ga denger kalo lu ngomongnya sambil marah marah?”

“kamunya ga mau pulang.”

“abis ini gua balik. boleh ngomong dulu?”

“iya...”

“seung, gua tau banget pasti lu bosen dengernya. tapi gua minta maaf, bener-bener minta maaf. maaf udah bentak bentak lu, maaf karena ga mau cari tau dulu, maaf udah nuduh lu, dan maaf karena udah ngeraguin lu. gua bego banget ya, seung?”

“banget, kak.”

minho sesekali mengecup kepala seungmin, “maaf ya... jangan nangisin gua, ga pantes banget.”

baru saja minho berkata demikian. seungmin justru makin menguatkan tangisannya.

“dibilang jangan nangis. jelek. lu jelek banget kalo nangis.” kata minho sambil menepuk punggung seungmin.

“kak... jujur aku kecewa banget sama kamu... tapi... di sisi lain aku nyadar kalo aku cuma mau kamu...”

“seung, tolong suruh gua pergi sekali lagi. kalo sekali lagi lu suruh gua pergi, gua janji bakalan langsung pergi.”

seungmin mengeratkan pelukannya sembari menggelengkan kepalanya, “engga, jangan. aku ga mau. jangan pergi, aku mau kamu di sini aja, jangan kemana-mana.”

“kenapa tiba-tiba berubah pikiran? jangan merasa ga enak, seung. gapapa. jangan pernah ngerasa ga enakan sama hal yang bikin lu sedih.”

“tapi sama kamu lebih banyak senengnya, kak. i feel more more more comfortable when im with you, i feel better when you hug me.”

“kalo banyak senengnya, sekarang lu ga nangis...”

seungmin mengusap air matanya dengan kasar, “aku udah ngga nangis. tapi janji jangan pergi.”

“i can't handle this. too cute to be mine hahaha.”

“tadi katanya jelek.”

“banget,”

“kak, kita udah baikan?”

“if you kiss me,” pinta minho sambil menunjuk pipi kanannya.

seungmin dengan ragu ragu mencium pipi kanan minho, kemudian memeluknya kembali karena malu.

“yang dicium siapa, yang pipinya merah siapa,”

“kak, kenapa kita ngga pacaran aja?”

“mau emangnya?”

“mau. kalo ga mau, aku ngga bakal nungguin kamu sampai berbulan-bulan.”

“maaf ya, nunggunya kelamaan,”

“kamu jahat..”

“jadi pacar gua ya, seung.”

“ga mauuuuu,”

“itu pernyataan, bukan pertanyaan.”

“ubah jadi pertanyaan dulu,”

“seung, jadi pacar gua, ya?”

“maaaauuuuuu!!”


tiga hari setelah hari di ruang sinematografi— minho memutuskan untuk mengambil langkah terakhir. maksudnya, jika kali ini seungmin menolaknya lagi, maka minho akan berhenti.

sekarang, cuacanya lumayan sejuk karena hujan tadi sore. hanya menyisakan mendung yang entah akan dilanjut dengan turunnya hujan atau tidak.

minho melajukan kendaraan bermotornya sambil membawa paw, kucing sekolah yang diberi nama oleh seungmin.

sesampainya di sana, minho memanggil-manggil seungmin. namun, yang terdengar hanyalah suara musik yang kencang dari arah kamar seungmin— di atas.

minho mengirim pesan pun rasanya mustahil akan dibalas. jika minho menerobos masuk— ahh apalagi itu, justru ia akan diteriaki maling. maka, minho gunakan satu satunya cara.

minho lepas gelang manik miliknya dan memutus talinya. beruntung, jendela kamar seungmin belum ditutup, jadi ia bisa melemparkan manik tersebut ke dalamnya.

untungnya berhasil.

tak lama, seungmin mengintip dari jendela dengan ragu-ragu— terlihat dari wajahnya yang setengah takut.

“seung!” seru minho.

“kamu ngapain? pulang kak, mendung.”

“mau ngomong sebentar.”

lalu seungmin mengabaikan minho, ia tidak berniat untuk keluar dari kamarnya, barang selangkah pun.

namun minho bersikeras untuk tetap menunggu seungmin. sampai akhirnya rintik halus mulai turun.

“aduh, paw!” minho seketika tersadar.

“seung!” minho berseru lagi.

“kenapa?”

minho mengangkat tinggi tinggi tas kucing yang dibawanya.

“seengganya bawa paw masuk, seung.”

seungmin mengambil tongkat bantu jalannya untuk menuruni tangga.

sekarang ia berdiri di depan pintu, menatap minho yang berjalan ke arahnya sambil tersenyum kecil.

minho menyerahkan paw ke dalam pelukan seungmin.

“halooo paw, udah sehat, ya?” seungmin menyapa hewan berbulu tersebut. kemudian dilanjut dengan membubuhi kucing tersebut dengan ciuman.

“oh iya, kamu bawa jas hujan?”

“ngga...”

“tunggu,” seungmin masuk membawa paw dan keluar dengan membawa jas hujan.

“dibawa aja, takutnya di jalan hujan. sekarang kamu pulang.” final seungmin. kemudian ia kembali masuk.

minho melihat bahwa seungmin masih peduli dengannya. maka dari itu ia belum menyerah.

ia melihat bayang bayang seungmin dari balik gorden— seungmin nampak kegirangan bermain dengan kucing yang ia bawa. minho tersenyum lega.

di dalam sana, seungmin merapalkan kalimat yang sama berulang kali. yaitu, “jangan hujan, nanti ino sakit.” tanpa sadar, seungmin sedikit lantang dalam mengucapkannya. sehingga terdengar samar-samar oleh minho.

“kalo masih peduli, jangan denial, seung.” minho bermonolog.

sampai pada akhirnya hujan mulai semakin lebat. seungmin iseng melihat ke luar jendela, ternyata masih ada minho yang baru akan memakai jas hujan yang seungmin beri— dengan kondisi baju yang sudah basah.

seungmin bergumam, “hujannya udah dari tadi, berarti ino di situ hujan-hujanan?”

seungmin berjalan perlahan menuruni tangga.

ia berdiri di ambang pintu, “kak! kenapa belum pulang?” ucapnya setengah berteriak.

lagi-lagi minho hanya menanggapi senyuman yang entah apa maksudnya.

“kalo ga jawab, aku yang kesana!”

“disitu aja, hujan.” kata minho.

“sini kak, nanti sakit!”

“mau pulang dulu. pintunya dikunci ya, seung.”

seungmin susah payah berlari menghampiri minho dan meraih tangannya.

“udah tau hujan, masih aja nyamperin. masuk, seung. badan lu basah semua,”

seungmin menatap minho dengan tatapan sedu. air matanya turun bercampur dengan hujan.

“kenapa nangis?” minho menunduk, sejajarkan wajahnya dengan seungmin.

seungmin menunduk, “ngomong kak, bilang apa yang kamu mau bilang.”

“liat gua dulu coba,” seungmin mendongak, “kenapa nangis?” tanya minho.

seungmin enggan menjawab. maka dari itu minho mendekap seungmin ke dalam pelukannya.

“gua ga bakalan sakit, seung. jangan nyuruh langitnya biar ga hujan, langitnya jangan dimarahin.”

“kamu denger?”

“siapa yang ga denger kalo lu ngomongnya sambil marah marah?”

“kamunya ga mau pulang.”

“abis ini gua balik. boleh ngomong dulu?”

“iya...”

“seung, gua tau banget pasti lu bosen dengernya. tapi gua minta maaf, bener-bener minta maaf. maaf udah bentak bentak lu, maaf karena ga mau cari tau dulu, maaf udah nuduh lu, dan maaf karena udah ngeraguin lu. gua bego banget ya, seung?”

“banget, kak.”

minho sesekali mengecup kepala seungmin, “maaf ya... jangan nangisin gua, ga pantes banget.”

baru saja minho berkata demikian. seungmin justru makin menguatkan tangisannya.

“dibilang jangan nangis. jelek. lu jelek banget kalo nangis.” kata minho sambil menepuk punggung seungmin.

“kak... jujur aku kecewa banget sama kamu... tapi... di sisi lain aku nyadar kalo aku cuma mau kamu...”

“seung, tolong suruh gua pergi sekali lagi. kalo sekali lagi lu suruh gua pergi, gua janji gua bakalan pergi.”

seungmin mengeratkan pelukannya sembari menggelengkan kepalanya, “engga, jangan. aku ga mau. jangan pergi, aku mau kamu di sini aja, jangan kemana-mana.”

“kenapa tiba-tiba berubah pikiran? jangan merasa ga enak, seung. gapapa. jangan pernah ngerasa ga enakan sama hal yang bikin lu sedih.”

“tapi sama kamu lebih banyak senengnya, kak. i feel more more more comfortable when im with you, i feel better when you hug me.”

“kalo banyak senengnya, sekarang lu ga nangis...”

“aku udah ngga nangis. tapi janji jangan pergi.”

“i can't handle this. too cute too be mine hahaha.”

“tadi katanya jelek.”

“banget,”

“kak, kita udah baikan?”

“if you kiss me,” pinta minho sambil menunjuk pipi kanannya.

seungmin dengan ragu ragu mencium pipi kanan minho, kemudian memeluknya kembali karena malu.

“yang dicium siapa, yang pipinya merah siapa,”

“kak, kenapa kita ngga pacaran aja?”

“mau emangnya?”

“mau. kalo ga mau, aku ngga bakal nungguin kamu sampai berbulan-bulan.”

“maaf ya, nunggunya kelamaan,”

“kamu jahat..”

“jadi pacar gua ya, seung.”

“ga mauuuuu,”

“itu pernyataan, bukan pertanyaan.”

“ubah jadi pertanyaan dulu,”

“seung, jadi pacar gua, ya?”

“maaaauuuuuu!!”


tiga hari setelah hari di ruang sinematografi— minho memutuskan untuk mengambil langkah terakhir. maksudnya, jika kali ini seungmin menolaknya lagi, maka minho akan berhenti.

sekarang, cuacanya lumayan sejuk karena hujan tadi sore. hanya menyisakan mendung yang entah akan dilanjut dengan turunnya hujan atau tidak.

minho melajukan kendaraan bermotornya sambil membawa paw, kucing sekolah yang diberi nama oleh seungmin.

sesampainya di sana, minho memanggil-manggil seungmin. namun, yang terdengar hanyalah suara musik yang kencang dari arah kamar seungmin— di atas.

— under the moonlight


“halo?” sapa minho sebagai pembuka, “liat, lu kaya bocil deh, seung. bocil yang kalo keluar harus pake jaket tebel.” lanjutnya.

seungmin mendengus, “ih kenapa?” tanya-nya, “gapapa, lucu” kata minho sambil mengacungkan jempol.

“ini sebetulnya ngga terlalu tebel, kok. terus juga ini idenya abang,” seungmin mencebik.

“bagus dong, malem-malem jangan kaosan doang, dingin.”

“dih, sendirinya juga kaosan doang tuh,”

“yang ga boleh kaosan doang itu bocil, kan gua udah gede,”

“maksud kakak, aku bocil gitu? matanya kemana deh?”

“kan, makin kaya bocil hahaha— sabuknya dipake ya.”

seungmin memasangkan sabuknya, lalu menatap minho heran, “kak, tumben bawa mobil?”

“pengen aja, lagian takut baliknya kemaleman.”

kemudian minho mulai melajukan mobilnya. belum setengah perjalanan, minho menyerahkan tangannya yang membentuk dua jari, “pilih, jari telunjuk atau jari tengah.”

seungmin yang ragu pun bertanya, “ini apaan dulu?” minho memicingkan matanya, “mmm yaaa, ini anggep aja kaya mau ngapain dulu

seungmin tunjuk jari tengah minho, “ini aja deh, artinya apa?” minho tersenyum, “nah, sesuai. kalo jari tengah kita makan sama beli jajan dulu.”

“yesss! tapi, kita mau kemana?”

“kita nitip mobilnya di rumah chan. nah, ga jauh dari rumah chan tuh biasanya ada food court gitu. terus jalan sebentar, terus ada deh...” jelas minho.

tak lama, keduanya sampai di depan rumah chan— yang rupanya, sang pemilik sedang duduk bersantai di teras.

“oy, ho! langsung masukin aja.” setelah mendapat aba-aba, minho masukkan mobilnya ke garasi chan.

minho dan seungmin keluar dari mobilnya, “tante sama om kemana?” tanya minho basa basi, “nginep di rumah kakaknya,”

“ohh berarti aman dong, ya?” minho memainkan alisnya, “aman, sip, udah sana. keburu malem, ntar diributin changbin lagi.”

“hahaha, yaudah gua cabut dulu,”

“pergi dulu ya, kak!” seru seungmin.

mereka berjalan tak jauh, hingga nampak keramaian yang minho maksud.

“mau makanan berat atau jajan aja?”

“aku jajan aja, tadi udah makan sama abang.” kemudian mereka berjalan, disamping itu, minho mencoba untuk mengambil gambar dari keramaian di depannya dengan kameranya.

kemudian seungmin yang penasaran pun mendongak melihat minho. minho yang paham pun langsung menunjukkan hasilnya, “gimana?” seungmin tercengang, “ihh bagus, kak! lagi-lagi!”

“iya ayo sambil jalan, sekalian lu liat liat mau jajan apa. harus jajan loh, ya”

“beres deh.”

lalu, seungmin memilih beberapa jajanan yang menarik perhatiannya. ia membeli sekotak takoyaki, thai tea, tak lupa dengan dimsum, juga roti toast dengan saus black pepper.

sedangkan minho, ia membeli manisan rambut nenek, es coklat, sosis kentang, dan corn dog.

'ini namanya kulineran' batin seungmin.

sembari jalan, minho terus menangkap gambar. tak jarang juga minho mengambil gambar seungmin yang tengah membayar jajanannya. juga menjadikannya objek utama di tengah keramaian.

“beres!” ucap seungmin yang selesai dengan apa yang ia beli.

“masukin tas gua aja makanannya.”

lalu seungmin membuka resleting tas minho— lalu memasukkannya.

mereka semakin berjalan menuju tempat yang minim lampu jalan. hal itu membuat seungmin bingung, “kita mau kemana?” minho menunjuk bukit di belakang sekolah.

“di sana kalau malem itu bagus.”

“apa ngga gelap?”

“ngga, di sana justru ada banyak orang, biasanya sih banyak yang ke sana. terus ada penjual dadakan yang nyediain lapak buat makan lesehan gitu,” seungmin kaget, bagaimana bisa ia baru tau tempat semacam itu.

“kita nanjak dong?”

“ya... iya, gimana lagi?”

mereka terus berjalan sampai pada gapura, mereka berhenti sejenak.

“ini, lu gendong tas gua,” minho menyerahkan tasnya, tanpa basa basi, seungmin langsung ambil.

“nah, lu naik,” kata minho.

“ayo!” kemudian seungmin berjalan mendahului minho yang baru mengambil posisi berjongkok.

lalu minho berlari mengejar seungmin, menarik tudung kepala pada hoodienya, “bocil, lu naik ke punggung gua. gua gendong.”

seungmin menautkan alisnya, “berat kali kak,” minho memasangkan tudung kepala seungmin, “emang.”

“tuh, yaudah jangan!”

“becanda si— ayo naik. di sini masih gelap, kalo gamau naik gua tinggal.”

seungmin menatap minho sinis, “iya iya, dasar maksa!”

“udahh?” minho memastikan.

seungmin berseru, “satu... dua... tiga... lets gooooo!”

seungmin memposisikan satu tangannya ke depan bak superman yang sedang terbang, sedangkan minho berlari kecil sambil tertawa.

— : —

mereka pun sampai diatas bukit, yang ternyata tidak terlalu jauh. kalau kata seungmin, ini adalah bukit versi mini.

seungmin kemudian loncat dari gendongan minho, “ih, ih, apaan nih bagus banget???” seungmin menatap pemandangan dari atas bukit dengan ekspresi kagum.

“bagus, kan? — coba nengok,”

seungmin menoleh,

ckrek!

kilau flash dari kamera minho menyilaukan pandangan seungmin.

“inoooo!”

“hahaha, bagus kok, nih liat.”

“iya bagus, tapi kan kaget.”

kemudian minho mendatangi seorang penyedia jasa pinjam tikar yang memang selalu berjualan di sana.

“kak, kenapa kita ke sini?”

“biar ga berisik, di sini ngga terlalu rame, tapi ngga sepi banget juga.”

“iya sih bener, ada orang tapi ngga banyak, jadi pas.”

kemudian seungmin mengeluarkan semua yang dibelinya tadi, “kak, kamu sering ke sini?” minho mengangguk, “sering, sendirian.”

“kak, kalau mau ke sini jangan sendirian, ajak aku!”

“boleh, tapi gantian ya nanti, lu yang gendong gua, gimana?”

“ih, kan yang tadi kakak yang mau,”

“iyaa, kalo lu yang mau juga gapapa, gua gendong naik turun.”

“emang ngga berat?”

“”gendong aja bocil, nah, rasanya kaya gitu.”

“sumpah, stop ngeledekin aku bocil bocil!”

“emang bocil, nih, kecil banget, segini.” minho mengangkat tangannya dengan jari membentuk (🤏)

“kalo gitu aku boleh minta gendong setiap hari?”

“boleh boleh,”

“di sekolah?”

“boleh, biar orang tau, seungmin sekecil itu, seungmin punya gua..”

“hahaha bisa! tapi nanti ciwi ciwi kamu....”

“ciwi ciwi apaan, ngga ada tuh!”

“minho lovers, hahahaha” seungmin tertawa kencang.

sinar bulan menemani mereka—berbincang ringan, tertawa, menangkap gambar satu sama lain. melakukan hal-hal sederhana yang besar dampaknya bagi keduanya.

mereka rasa, hari itu adalah hari dimana mereka lebih terbuka satu sama lain dibanding hari biasanya— yang hanya sekedar bercanda, atau hanya meledek satu sama lain.

namun, kali ini beda, mereka coba berbicara menggunakan hati. dengan perlahan, tapi sampai.

...jika bukit ini bisa berbicara, mungkin sekarang ia sudah mengucap syukur karena hari itu adalah pertama kalinya minho datang dengan ke sana tawa, dengan perasaan bahagia, dan juga dengan seungmin.


p.s : latar bukit ini udah pernah aku pakai di oneshot angkasa pukul tiga pagi. aku baru inget pas udah selesai nulis hehehe, well.. semoga ngga bosen ya! 🤓

lowercase


siang ini, selepas pulang sekolah— seungmin berencana mengunjungi perpustakaan sekaligus toko buku milik teman kakeknya tersebut. bukan sekedar ingin meminta saran, namun, ia merasa akhir-akhir ini jarang mengunjungi keduanya.

beruntung, cuaca siang ini tidak sepanas hari hari sebelumnya. seungmin memilih naik bus sampai ke toko kue langganannya, kemudian dilanjut dengan berjalan kaki ke tempat yang ia tuju.

cling

bunyi lonceng pintu toko kue terdengar nyaring.

di toko ini tidak hanya menjual berbagai macam kue, tapi juga ice cream dan beberapa camilan. namun, karena seungmin lebih sering membeli kue di sini, maka ia sebut toko ini sebagai toko kue saja.

sebelum membuat pesanan, tentunya seungmin akan melihat lihat apa yang ingin ia beli.

“misi, mba, ada kue yang less sugar ngga ya? tapi juga yang lembut gitu,” tanya seungmin kepada salah satu karyawan toko.

nampaknya, karyawan tersebut mengenali seungmin, “ah, seungmin? pasti mau beli buat oma, ya?”

seungmin kira, yang ia ajak bicara barusan bukanlah yang biasa membuat pesanannya, “eh iyaa, ini aku, mba nya masih inget aja hehehe— iya, ini buat oma sama opa, mereka suka makanan manis, mba. tapi, tau sendiri mereka ngga boleh terlalu banyak makan makanan manis.” jelas seungmin.

“iya sih bener, oh iya, kuenya ada kok. mau yang kaya gimana?”

“yang kaya biasa aja mba,”

karyawan tersebut berjalan ke arah belakang— mungkin untuk mengambil persediaan kue yang diminta seungmin.

“nah, ini kuenya— terus, mau yang mana lagi, nih?” tanya wanita tsb sambil menempatkan kue pada sebuah kotak.

“mmmm.. apa ya, ini aja deh mba, ice cream yang mint choco. sama macaroonnya juga, sekotak.”

“oke deh siap, sebentar ya!”

setelah beberapa saat, seungmin akhirnya mendapatkan pesanannya. setelah membayar— tak lupa berterimakasih, seungmin berjalan menuju perpustakaan.

di perjalanan, ia bertemu banyak kucing— namun, bukan itu poinnya. ketika ia melihat kucing kucing tersebut, ia teringat pada minho— juga rasa bersalahnya.

jarak dari toko kue menuju perpustakaan tidaklah terlalu jauh. jadi, sekarang seungmin sudah sampai.

ting!

suara khas pintu dibuka membuat sang pemilik lantas menoleh untuk memastikan siapa yang datang.

“halooo oma, opa!” sapa seungmin bersemangat.

“aduh nak, siang-siang gini kamu kesini apa ngga panas?” tanya opa khawatir.

“ngga kok, pa, di luar ngga terlalu panas. makanya seungmin kesini hehehe,” jawabnya.

seungmin memeluk opa kemudian mendudukkan dirinya di kursi dekat pintu, “oma kemana, pa?” tanya seungmin, karena sepertinya oma sedang tidak ada di dalam.

“oma-mu lagi ke seberang, beli koran,”

“orang disini aja banyak bacaan hahaha,” opa langsung mengangguk, tanda setuju, “iya, tadi opa bilang begitu, tapi yaudahlah. mungkin dia udah hafal buku buku di sini, plus isinya.”

tidak lama kemudian, yang dibicarakan pun datang dengan langkah pelan, “ohhh ada seungmin? udah lama, nak?”

“hehe belum kok, ma, barusan aja nyampe,” seungmin berjalan ke arah pintu untuk membawakan sesuatu yang dibawa oma— yang nyatanya bukan hanya koran, melainkan beberapa belanjaan.

“eh, oma lupa, nak... kemarin itu, temenmu yang kamu bawa, siapa namanya?” tanya oma penasaran

“ohhh, kak minho itu, ma. ada apa?”

“kemarin dia ke sini, agak murung gitu. tapi pas opa-mu tanya, katanya lagi capek sama cuma pengen baca buku aja.”

dalam hati, seungmin membatin, 'bukannya kak minho ngga suka baca buku? maksudnya, kalaupun cape, ya... gue pikir dia ke tempat yang dia suka, bukan ke sini, ke tempat penuh buku yang notabenenya dia gak suka.'

“gitu, ya, ma? — ma, pa, aku mau cerita, boleh?”

kemudian seungmin ceritakan apa yang menjadi pikirannya 2 hari belakangan, beserta kalimat yang di katakan kakaknya lewat chat, tentunya.

“kalau opa, setuju sama abangmu, nak. kalau memang begitu posisinya, kamu memang harus ngalah. mulai komunikasi, walaupun susah. coba saja kamu bayangkan, kalau saat kamu komunikasi saja kondisinya ngga terlalu baik, bagaimana kalau ngga komunikasi sama sekali?” tutur opa.

“iya, nak, betul itu. oma tau, mungkin kamu mau kasih waktu buat minho, cuma, bedakan mana kasih waktu, mana putus komunikasi.” imbuhnya.

seungmin menimpalinya dengan beberapa kalimat diselingi beberapa pertanyaan.

beberapa jam berlalu, waktu menunjukkan pukul 7 malam. merasa sudah mendapatkan jawaban, seungmin pamit pulang.

ia memilih berjalan kaki lagi, menuju halte tempatnya turun. di tengah perjalanan, ternyata turun hujan yang membuatnya mau tidak mau harus berteduh, karena, ia tidak membawa payung, jas hujan, atau benda semacamnya.

seungmin sadar, dirinya kini tengah berada di dekat kedai kopi tempat dirinya dan minho membeli kopi waktu itu. ia sangat ingin memesan secangkir kopi hangat di dalam sana, namun, rasa ingin itu tiba-tiba lenyap. mungkin seungmin merasa, kopi tersebut akan berkali-kali lipat lebih nikmat jika ia meminumnya bersama orang yang membawanya kemari.

tidak perlu ku sebutkan, ku rasa kalian paham siapa orangnya.

seungmin menunggu hujan mereda sambil membuka handphone-nya— menggulir layarnya ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, kemanapun itu asal dirinya tidak merasa bosan.

dari arah kanan, datang laki-laki yang memakai hoodie beserta tudung kepala, tak lupa masker untuk menutupi wajahnya.

kendati demikian, seungmin tidak sesulit itu untuk mengenali sosok yang mendekat ke arahnya. namun— seungmin takut dugaannya tak pasti, maka, ia hanya melihat ke arahnya.

kini, sosok tersebut berada tepat di depan seungmin— lalu, membuka tudung serta maskernya satu persatu.

“lain kali, kalo kemana-mana bawa payung.”

“kak inoooo!”

ahh sial, panggilan tersebut membuat minho melemah. kemudian, minho duduk di samping seungmin, “kakak sendiri, kesini ga bawa payung...” kata seungmin, mencoba memulai percakapan.

“ngga penting,” sahutnya minho singkat.

“kakak ngapain ke sini?”

“hujan, harusnya lu tau,”

“aku paham aja, kok. cuma ngga mau kepedean, kalau kakak ke sini mau jemput aku.” tukasnya.

minho terdiam,

“kak, ayo pulang,” pinta seungmin sambil menatap minho.

“masih hujan.”

“hujan hujanan aja...”

“ga usah ngaco, nanti lu sakit,”

“ngga bakal, kak. aku ga gampang sakit, aku suka hujan—” seungmin memotong kalimatnya sembari menggigit bibirnya, “oh iya, maaf, aku lupa kalo kakak juga bisa sakit. kita neduh dulu aja, ya?”

minho paham, saat ini ia sedang merajuk. juga, suasana hatinya belum sepenuhnya membaik sejak hari itu. tapi minho yakin, semuanya akan berangsur membaik seiring dirinya menggenggam tangan milik sosok di sampingnya kini.

maka, minho tautkan jemarinya dengan jari seungmin— mengeratkan genggamannya seraya menatap seungmin. mengisyaratkan bahwa dirinya tidak keberatan berada di bawah derasnya hujan, asalkan bersama seungmin—berdua—menggenggam satu sama lain.

seungmin mendongak sembari tersenyum, paham akan maksud minho. kemudian keduanya berlari kecil di tengah derasnya hujan.

malam itu, mereka biarkan hujan yang menjadi alasan bagi keduanya untuk memulai segala sesuatu yang baru.

lowercase


seungmin melangkahkan tungkainya menuju ruang sinematografi— ruang yang ia hindari selama beberapa minggu.

walaupun seungmin terkadang masih mengingat hal menjengkelkan pada hari itu dan enggan ke ruang tersebut— namun, tidak menutup fakta bahwa ia menuruti permintaan minho— manusia penyebab dirinya kesal. dan sekarang, ia sudah berada tepat di depan pintu dengan perasaan senang cenderung campur aduk, memikirkan apa yang akan menjadi topiknya dengan minho kali ini.

secara, dirinya tak pandai memulai percakapan, sedang minho tak mahir mencari topik.… entah apa jadinya jika mereka berdua berada dalam satu ruangan yang sama. mungkin mereka akan diselimuti oleh rasa hening hingga jam istirahat berakhir. tapi, siapa tahu kali ini berbeda.

“kakkk???” panggil seungmin dari luar, “kok dikunci? — ehh atau belum di dalem ya?” sambungnya.

kemudian bunyi kunci diputar terdengar di telinga seungmin, “sini, masuk,” ketika seungmin masuk, minho mengunci pintunya lagi.

seungmin menatap minho penuh heran, “kenapa dikunci?” tanya-nya.

“soalnya kalo ngga dikunci kadang ada anak yang istirahat di sini,— tenang gua ga macem-macem kok.” jawab minho.

seungmin tahu apa maksud perkataan minho, maka, ia hanya menanggapi kalimat sebelumnya, “anak? anak apaan, kak, maksudnya? umm.. han.. tu... anak anak?”

minho menghela nafasnya, “bisa-bisanya lu mikir begitu. maksudnya tuh ya murid yang lain. logika aja, kalo hantu, walaupun dikunci masih bisa masuk, kan?”

“iya sih... kali aja gitu hantunya beda,”

minho tidak menjawab, ia menggelar karpet bulu yang biasa anak ekskul sinematografi gunakan ketika rapat atau sekedar bersantai.

“bawa bekal apa?” tanya minho.

“bawa nasi goreng. tadi mau bawa makanan yang beberapa macem lauk gitu, tapi bunda kesiangan.” jawab seungmin yang sudah membuka kotak bekalnya ketika minho menggelar karpet.

minho mengangguk, “sini di bawah aja,” lalu seungmin bawa kotak bekalnya.

ketika seungmin hendak duduk, ia teringat sesuatu, “yahhhhh... aku lupa bawa minum, bentar ya kak,”

“disini aja jagain ruangannya, gua mau keluar bentar.”

“ish aneh— jangan lama-lama.”

ketika minho sudah berada di luar ruangan, seungmin mulai mengeluh akan sikap aneh minho — yang menyuruhnya datang, tapi dia sendiri meninggalkan seungmin sendirian. seungmin tidak berpikir bahwa minho pergi untuk membeli air mineral untuknya, karena, sungguh, seungmin tidak berpikir bahwa minho adalah tipikal orang yang seperti itu.

seungmin pikir, minho orang yang cuek. memang, hal itu tidak salah, namun 'cuek' yang dipikiran seungmin adalah cuek yang seperti betul-betul tidak peduli, tidak mau tahu, sedikit kasar, enggan meminta maaf, dan tentunya asal bicara.

tapi tenang itu hanya first impression dan tolong maafkan pikiran seungmin pada saat itu. karena sekarang seungmin merasa bahwa minho tidak seburuk itu. hal-hal buruk yang dipikirannya saat itu langsung terbantah seketika, kecuali sifatnya yang cuek itu. minho masih cuek, dan mungkin itu ciri khas nya, pikir seungmin.

minho memasuki kembali ruangan tersebut, “kakak abis darimana sih?” tanya seungmin dengan mulut penuh makanan.

jawaban minho lain dari jawaban yang diminta seungmin, “makan itu dikunyah, seungmin. bukan diemut.”

“kata bunda, aku emang kalo makan lama, tapi ngga diemut. cuma ngunyah-nya aja yang lama.” jawab seungmin mantap.

setelah mengunci pintu, minho meletakkan sebuah botol air mineral di sampingnya kotak bekal seungmin, “nih, buat minum.”

seungmin mengambilnya botol tersebut, “hihihi makasih kak!”

seungmin berkata dalam hati, 'sekarang apa?'

karena, minho hanya memperhatikan seungmin makan. sembari sesekali melihat ponselnya yang sebetulnya hanya digeser ke segala arah tanpa punya tujuan pasti.

“kata abang, kalo lagi ngobrol sama orang, mendingan hpnya disimpen dulu.” ucap seungmin tiba-tiba yang otomatis mengejutkan minho.

minho menaruh handphone-nya di sebelahnya, “iya, mau ngomong apa?” kata minho yang langsung memusatkan pandangannya pada seungmin.

“ummm, apaya... aku penasaran aja kenapa kakak kaya cuek gitu? atau apaya dibilangnya, pendiem padahal ngga juga, tapi keren juga.” seungmin mengedikkan bahunya.

minho tersenyum, “mau bilang kalo gua cool? bilang aja, emang bener, kan?”

“ih ngga ya, pede banget— btw, aku ngga suka kalo kakak terlalu ketus gitu nadanya, serem, berasa dimarahin, udah gitu mukanya datar aja lagi.” jelas seungmin

“emang iya? perasaan biasa aja. kalo muka, kayanya ngga yakin bisa 'ramah' terus. soalnya emang begini muka gua,”

“kak, aku ngga nyuruh kamu ngerubah apa-apa, cuma cerita aja. kan sekarang aku tau kalo kakak sebenarnya ngga beneran marahin aku, cuma nadanya aja kaya orang marah.”

“maaf ya, lo jadi mikir gitu...”

seungmin mengerucutkan bibirnya, maksud seungmin bukan seperti itu, seungmin tidak menuntut kata maaf dari minho karena memang bukan itu maksudnya. seungmin hanya bercerita sedikit tentang pandangannya ke minho,

“kok minta maaf? ga perlu, orang kakak ga ngapa ngapain. aku juga baru kenal kakak, anggap aja penyesuaian, ya.”

minho tidak menjawab karena merasa sedikit canggung, ia tidak pandai dalam mengucap kata, namun jika soal aksi, perlakuan maupun pembuktian, ialah jagonya.

minho mengambil remote proyektor untuk memutar lagu, “mau lagu apa?”

“the most beautiful thing (?) — ah aku ngga tau lagu yang bagus, mungkin genrenya bukan tipe kakak.”

“kan gua nanya ke lu, berarti gua 'ikut' lu.”

“gitu yaa... coba aja setel,”

minho mencari judul lagu tersebut di bar pencarian, kemudian muncul di baris paling atas. maka tanpa ragu minho pencet video musik paling atas.

kemudian akhirnya, seungmin menyelesaikan acara makan bekalnya, kemudian menutup kotak bekal lalu minum.

saat itu, minho menerima panggilan masuk. minho izin mengangkat panggilan tersebut. sepertinya, bukan panggilan yang terlalu penting, karena minho hanya mengucapkan beberapa kata yang meng-iya-kan si pembicara di seberang sana.

“seung seung, masa katanya guru-guru rapat lagi? aneh, bukannya kemarin udah rapat ya? masa rapat terus.” ujar minho sarkas, padahal dalam hatinya ia merasa senang.

“yang bener kak? coba aku cek dulu,” seungmin buka handphone-nya untuk memastikan info yang masuk adalah benar, “eh iya, kata temenku, berarti kita freeclass dong?” kemudian ia tertawa.

minho mengangguk, “iya sampai ishoma. btw mau nyanyi ngga? micnya bisa nih, daripada ga ngapa-ngapain kan?” tanya minho sambil mempersiapkan mic dan speaker mini yang akan digunakan.

“mau mau mau!”

mereka menghabiskan waktu freeclass mereka untuk melakukan hal-hal acak yang sekiranya bisa dilakukan, mulai dari karaoke-an, menonton film pendek, me-review dan mendengarkan rekomendasi lagu satu sama lain, dan sebagainya.

tak terasa, pada film pendek terakhir yang mereka putar, seungmin secara tak sadar tertidur pulas.

minho yang menyadari itu pun membiarkan seungmin tidur, “capek banget emang?” minho menatap seungmin sambil bergumam. mendengar gumam-an minho, seungmin sedikit terusik, “tidur aja, nanti gua bangunin,”

kemudian minho menjauh menuju meja, takut tiba-tiba ada orang yang mengintip ke arah pintu— mengingat pintu tersebut terbuat dari kaca yang walaupun luarnya gelap, jika diteliti, masih bisa melihat ke arah dalam. takut jika nantinya ia dikira berbuat yang tidak-tidak dengan seungmin.

ia menatap seungmin yang sepertinya sangat tenang dalam mimpinya, hal itu membuat hati minho menghangat. di sisi pikirannya yang lain, ia mengakui bahwa seungmin terlihat cantik saat tidur, dan ia mempertanyakan, bagaimana bisa seseorang tidur dalam keadaan cantik? mungkin ia akan bertanya pada seungmin suatu hari nanti.

saat sedang fokus memperhatikan seungmin, ia mendengar seungmin bergumam— yang tak lain bahwa seungmin sedang mengigau. ia hampiri seungmin perlahan-lahan.

“kak minho galak... je... lek...” ucap seungmin di mimpinya.

minho lagi-lagi hanya bisa tersenyum, menahan gemas.

satu jam berlalu, waktu ishoma pun tiba. minho bangunkan seungmin dengan hati-hati,

“seung, bangun, ishoma. istirahat dulu ayo ke kelas atau jajan ke kantin.”

seungmin membuka matanya perlahan-lahan, “h.. hah? seriusan kak? aduh kayanya aku tidur lama banget,”

“ngga, ngga lama, cuma satu jam lebih sedikit.”

seungmin merenggangkan tubuhnya, “itu lumayan lama tau, kalo tidur di sekolah tuh ngga tau kenapa jadi 'berasa' gitu” ucapnya sambil membuka botol air mineral.

“kakakkk...” panggilnya.

“apaa?”

seungmin menunduk ragu, “m-mau baikan sekarang aja, boleh ngga?”

jemari minho terangkat untuk menegakkan kepala seungmin yang tertunduk, “jangan nunduk, kalo ngomong sama gua, liat gua, kaya kemarin kemarin..”

“iya.. kak, maaf udah ngerepotin beberapa minggu belakangan.”

“ngga ngerepotin— jadi, kita baikan?”

seungmin mengangguk ria bak anak anjing kegirangan, “baikan!”, kemudian tersenyum manis.

minho mengusak kepala seungmin, “udah, yuk, keluar— tadi lu dicariin 2 temen lu itu, si jisung sama jeong.”

kemudian keduanya meninggalkan ruangan yang menjadi penyebab sekaligus akhir dari pertengkaran mereka belakangan.