— ⊹ ; Back to You
Dua hari dari rencana yang dibuatnya—sekarang, Sastra akan menemui Nara. Tanpa sepengetahuannya, tentu saja.
Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, sembari menetralkan degup jantung, juga emosinya. Takut-takut jika nanti dirinya tidak dapat menahan diri untuk menangis ketika akhirnya—setelah sekian lama—kembali ke dalam dekapan Nara.
Selama sekitar 10 menit berkendara, Sastra akhirnya sampai pada tempat yang dituju, yaitu cafe Summer Vibe tempat Nara biasa kerja paruh waktu.
Tidak mungkin, kan, jika Sastra datang hanya untuk menanyakan tentang Nara? maka dari itu ia sekaligus memesan beberapa makanan dan minuman.
“Halo, kak. Mari saya bantu untuk pesanannya— eh, kakak yang waktu itu, ya?” Nampaknya staff toko tersebut masih mengenali Sastra yang datang tempo hari.
“Hehehe iya, mas. Masih inget aja.”
“Gampang buat ngenalinnya, kak, hahaha,”
Kemudian Sastra menyebutkan daftar pesanannya. Ia menunggu pesanannya di meja dekat kasir, jadi, sekarang ia menunggu sambil berbincang dengan staff yang dirasanya ramah tersebut.
“Oh, iya, mas. Saya boleh tanya sesuatu?”
“Boleh kak, kalo bisa saya jawab, ya, saya jawab.”
“Nara... ke mana, ya? soalnya setau saya dia sekarang shift siang. Terus juga sekarang bukan jam istirahat, kok saya ngga liat dia, ya?”
“Iya, kak. Waktu kakaknya dateng ke sini, kan siang, ya? dia pulang sore, sekalian pamit, izin gitu. Izin buat ngga masuk selama beberapa hari, karena lagi kurang fit. Katanya sih gitu.”
“Sakit, mas?”
“Iya, kak, mungkin. Soalnya beberapa hari sebelum dia izin ngga masuk juga kaya lesu banget, kecapean juga kayanya, terus sering bengong juga. Tapi saya salut sih, walaupun dia cape gitu, tapi kinerjanya masih bagus.”
“Astaga...”
“Pacarnya, ya, kak?”
“Eh.. iya, mas.”
“Oalah, pantesan, — Nah, ini dia pesanannya, udah jadi, kak.”
“Makasih banyak ya mas.” Kemudian Sastra langsung melenggang pergi tanpa pikir panjang— ia menuju apartemen Nara yang alamatnya sudah ia kantongi dari Dirga. Kalaupun tidak ada di sana, ia akan pergi ke rumah bunda-nya.
Ia memarkirkan mobilnya di halaman parkir secepat yang ia bisa, sesudahnya, ia berlari kecil menuju lift.
Sastra menekan bel berulang kali, namun nihil, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Tanpa pikir panjang, ia pun kembali ke parkiran untuk mengendarai mobilnya lagi. Dengan harapan akan menemukan Nara di tempat lain—rumah bunda-nya.
Ternyata waktu yang ditempuh sedikit lebih lama, dikarenakan jaraknya yang lumayan jauh. Ditambah macet. Jadi, Sastra berkendara kurang lebih satu jam setengah.
Sesampainya di sana, Sastra mengamati sekitar. Dilihatnya mobil yang biasa Nara gunakan. Semoga dugaannya tidak salah.
'Tok Tok Tok'
Tidak butuh waktu lama, pintu pun terbuka. Memperlihatkan separuh wajah Nara yang terlihat pucat.
“Sastra?” Mata Nara terbelalak kaget karena melihat siapa yang datang.
Tangan Nara tergerak untuk menangkup pipi kiri Sastra, “— Kamu tau dari mana aku di sini?”
“Kamu sakit?”
“Ngga juga, kok. Sini masuk dulu,”
“— Ah, untung rumahnya udah aku beresin.” Kata Nara sambil melihat sekeliling.
“Ka, kamu ngga mau peluk aku?” Ucapan tidak terduga keluar dari mulut Sastra.
Mau, tentu Nara mau.
Sejak Sastra berdiri di ambang pintu, rasanya Nara ingin melebur ke pelukan Sastra saat itu juga. Tapi, Nara takut jika Sastra akan merespon sebaliknya.
Seakan tau apa alasan dibaliknya, Sastra menampiknya terlebih dahulu, “Aku ngga bakalan marah, Ka.”
Dirasa mendapat lampu hijau, Nara segera menarik tangan Sastra untuk membawanya ke dalam dekapan.
Hening pun menyelimuti masing-masing dari mereka yang sedang sibuk melepas rindu kepada satu sama lain.
“Aku kangen banget sama kamu, Sas. Kamu makan-nya ngga bolong-bolong, kan?”
“Ngga. Tapi aku rasa kamu yang bolong-bolong, entah itu makan atau istirahat.”
“Aku cuma kecapean aja, Sas. Bentar lagi juga enakan— emangnya kamu tau dari siapa?”
“Ada lah pokoknya, — kamu makan dulu, ya? aku suapin.”
“Sas, soal itu—”
“Makan dulu.” Nara pun memilih untuk patuh.
“Sas, ayo, diomongin. Kamu dateng ke sini pasti sekalian mau ngomong itu, kan?”
“Aku minta maaf, Ka—”
“Aku yang harusnya minta maaf sama kamu, Sastra..”
“— Aku terima semua keputusan kamu. Sekarang, coba diperjelas.”
“Aku ngga mau putus, Ka.” Jawaban yang diberikan Sastra tidak seperti yang Nara pikirkan.
“Ka, aku sadar kalo di sini bukan sepenuhnya salah kamu. Tapi aku juga salah. Maaf kalo aku nempatin kamu dalam posisi seakan-akan semua salah kamu.”
“Aku—”
“Aku masih bisa dapet kesempatan itu ngga, Ka?” tanya Sastra dengan nada lemah.
“Harusnya aku yang ngomong gitu, kan? apa aku bisa dapet kesempatan lagi?”
“Kamu selalu bisa dapet kesempatan dari aku, Ka...”
Sadar akan tatapan keduanya yang saling meminta untuk didekap, maka mereka kikis jarak yang ada untuk kembali berpelukan. Kali ini, disertai tangisan.
Keduanya menangis, namun, tangisan Sastra-lah yang lebih mendominasi.
Sedangkan Nara hanya menitikkan air matanya beberapa kali sambil merapalkan terima kasih secara berulang kali dalam hatinya. Ia merasa beruntung karena memiliki Sastra di sampingnya.
Sastra yang tidak memiliki kurang sedikitpun di matanya.
Menurut Nara, Sastra merupakan seseorang yang memiliki perasaan yang terlewat lembut. Mata Sastra selalu dapat menjelaskan seberapa dalam perasaannya pada Nara. Untuk itu Nara bersyukur.