rigeleo

Dua hari dari rencana yang dibuatnya—sekarang, Sastra akan menemui Nara. Tanpa sepengetahuannya, tentu saja.

Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, sembari menetralkan degup jantung, juga emosinya. Takut-takut jika nanti dirinya tidak dapat menahan diri untuk menangis ketika akhirnya—setelah sekian lama—kembali ke dalam dekapan Nara.

Selama sekitar 10 menit berkendara, Sastra akhirnya sampai pada tempat yang dituju, yaitu cafe Summer Vibe tempat Nara biasa kerja paruh waktu.

Tidak mungkin, kan, jika Sastra datang hanya untuk menanyakan tentang Nara? maka dari itu ia sekaligus memesan beberapa makanan dan minuman.

“Halo, kak. Mari saya bantu untuk pesanannya— eh, kakak yang waktu itu, ya?” Nampaknya staff toko tersebut masih mengenali Sastra yang datang tempo hari.

“Hehehe iya, mas. Masih inget aja.”

“Gampang buat ngenalinnya, kak, hahaha,”

Kemudian Sastra menyebutkan daftar pesanannya. Ia menunggu pesanannya di meja dekat kasir, jadi, sekarang ia menunggu sambil berbincang dengan staff yang dirasanya ramah tersebut.

“Oh, iya, mas. Saya boleh tanya sesuatu?”

“Boleh kak, kalo bisa saya jawab, ya, saya jawab.”

“Nara... ke mana, ya? soalnya setau saya dia sekarang shift siang. Terus juga sekarang bukan jam istirahat, kok saya ngga liat dia, ya?”

“Iya, kak. Waktu kakaknya dateng ke sini, kan siang, ya? dia pulang sore, sekalian pamit, izin gitu. Izin buat ngga masuk selama beberapa hari, karena lagi kurang fit. Katanya sih gitu.”

“Sakit, mas?”

“Iya, kak, mungkin. Soalnya beberapa hari sebelum dia izin ngga masuk juga kaya lesu banget, kecapean juga kayanya, terus sering bengong juga. Tapi saya salut sih, walaupun dia cape gitu, tapi kinerjanya masih bagus.”

“Astaga...”

“Pacarnya, ya, kak?”

“Eh.. iya, mas.”

“Oalah, pantesan, — Nah, ini dia pesanannya, udah jadi, kak.”

“Makasih banyak ya mas.” Kemudian Sastra langsung melenggang pergi tanpa pikir panjang— ia menuju apartemen Nara yang alamatnya sudah ia kantongi dari Dirga. Kalaupun tidak ada di sana, ia akan pergi ke rumah bunda-nya.


Ia memarkirkan mobilnya di halaman parkir secepat yang ia bisa, sesudahnya, ia berlari kecil menuju lift.

Sastra menekan bel berulang kali, namun nihil, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Tanpa pikir panjang, ia pun kembali ke parkiran untuk mengendarai mobilnya lagi. Dengan harapan akan menemukan Nara di tempat lain—rumah bunda-nya.

Ternyata waktu yang ditempuh sedikit lebih lama, dikarenakan jaraknya yang lumayan jauh. Ditambah macet. Jadi, Sastra berkendara kurang lebih satu jam setengah.

Sesampainya di sana, Sastra mengamati sekitar. Dilihatnya mobil yang biasa Nara gunakan. Semoga dugaannya tidak salah.

'Tok Tok Tok'

Tidak butuh waktu lama, pintu pun terbuka. Memperlihatkan separuh wajah Nara yang terlihat pucat.

“Sastra?” Mata Nara terbelalak kaget karena melihat siapa yang datang.

Tangan Nara tergerak untuk menangkup pipi kiri Sastra, “— Kamu tau dari mana aku di sini?”

“Kamu sakit?”

“Ngga juga, kok. Sini masuk dulu,”

“— Ah, untung rumahnya udah aku beresin.” Kata Nara sambil melihat sekeliling.

“Ka, kamu ngga mau peluk aku?” Ucapan tidak terduga keluar dari mulut Sastra.

Mau, tentu Nara mau.

Sejak Sastra berdiri di ambang pintu, rasanya Nara ingin melebur ke pelukan Sastra saat itu juga. Tapi, Nara takut jika Sastra akan merespon sebaliknya.

Seakan tau apa alasan dibaliknya, Sastra menampiknya terlebih dahulu, “Aku ngga bakalan marah, Ka.”

Dirasa mendapat lampu hijau, Nara segera menarik tangan Sastra untuk membawanya ke dalam dekapan.

Hening pun menyelimuti masing-masing dari mereka yang sedang sibuk melepas rindu kepada satu sama lain.

“Aku kangen banget sama kamu, Sas. Kamu makan-nya ngga bolong-bolong, kan?”

“Ngga. Tapi aku rasa kamu yang bolong-bolong, entah itu makan atau istirahat.”

“Aku cuma kecapean aja, Sas. Bentar lagi juga enakan— emangnya kamu tau dari siapa?”

“Ada lah pokoknya, — kamu makan dulu, ya? aku suapin.”

“Sas, soal itu—”

“Makan dulu.” Nara pun memilih untuk patuh.


“Sas, ayo, diomongin. Kamu dateng ke sini pasti sekalian mau ngomong itu, kan?”

“Aku minta maaf, Ka—”

“Aku yang harusnya minta maaf sama kamu, Sastra..”

“— Aku terima semua keputusan kamu. Sekarang, coba diperjelas.”

“Aku ngga mau putus, Ka.” Jawaban yang diberikan Sastra tidak seperti yang Nara pikirkan.

“Ka, aku sadar kalo di sini bukan sepenuhnya salah kamu. Tapi aku juga salah. Maaf kalo aku nempatin kamu dalam posisi seakan-akan semua salah kamu.”

“Aku—”

“Aku masih bisa dapet kesempatan itu ngga, Ka?” tanya Sastra dengan nada lemah.

“Harusnya aku yang ngomong gitu, kan? apa aku bisa dapet kesempatan lagi?”

“Kamu selalu bisa dapet kesempatan dari aku, Ka...”

Sadar akan tatapan keduanya yang saling meminta untuk didekap, maka mereka kikis jarak yang ada untuk kembali berpelukan. Kali ini, disertai tangisan.

Keduanya menangis, namun, tangisan Sastra-lah yang lebih mendominasi.

Sedangkan Nara hanya menitikkan air matanya beberapa kali sambil merapalkan terima kasih secara berulang kali dalam hatinya. Ia merasa beruntung karena memiliki Sastra di sampingnya.

Sastra yang tidak memiliki kurang sedikitpun di matanya.

Menurut Nara, Sastra merupakan seseorang yang memiliki perasaan yang terlewat lembut. Mata Sastra selalu dapat menjelaskan seberapa dalam perasaannya pada Nara. Untuk itu Nara bersyukur.

tw // major character death cw // angst, hallucination, delusional


Seperti permintaan, Hyunjin akhirnya datang ke apartemen Seungmin dengan berat hati.

Cklek

Terlihat bahwa pintu apartemen tersebut sengaja tidak dikunci oleh sang pemilik. Seakan tahu bahwa akan ada tamu yang datang.

Hal yang pertama kali Hyunjin sadari adalah wangi. Saat ia membuka pintu, tercium wangi khas dari sang kekasih yang biasanya tidak bosan untuk ia hirup sekalipun pemiliknya berulang kali protes karena rasa menggelitik yang dibuat oleh yang lebih tua.

Hal kedua adalah foto. Terpampang jelas foto keduanya pada bingkai berwarna putih tulang yang berukuran 40 kali 60 ketika Hyunjin memasuki ruangan.

Hal ketiga adalah Seungmin. Ia melihat Seungmin yang menghadap ke arahnya dengan tatapan resah dan bersalah.

Hyunjin putuskan untuk mendekat— untuk memastikan, sekaligus berbicara.

“A-apa kabar, kak?”

“Kamu pasti selalu tau jawabannya.”

“Maaf..”

“Kamu sendiri gimana? selama dua bulan kamu ngga ketemu atau bahkan kasih kabar.”

“Baik, mungkin?”

“Kenapa ngga yakin gitu?”

“Kamu pasti sedih,”

“Iya.”

“Sekarang kamu tau jawabannya.”

“Kamu sedih juga?”

Yang lebih muda pun mengangguk lemah.

“Kalo sedih, kenapa kamu tiba-tiba minta putus?”

“Aku takut kamu makin sedih.”

“You did it.”

“Jangan sedih terus, kak. Kamu bisa cari yang lain, banyak di luar sana yang lebih baik daripada aku, kan?”

“Yang lebih baik itu banyak. Tapi yang kaya kamu itu ngga ada, Seung.”

“Felix...”

“Aku cuma mau kamu.”

“Ngga bisa, kak.”

“Kamu rencananya mau ke mana habis ini?” Tanya Hyunjin mengalihkan.

“Balik lagi, kak. Ngga boleh lama-lama soalnya.”

“Aku... boleh ikut ngga, sih?”

“Jangan, nanti ada yang marah. Kamu di sini aja.”

“Siapa yang marah? Jeongin, ya?”

“Iya, Jeongin bakalan marah sama kamu kalo kamu begini.”

“Terus sekarang aku harus apa?”

“Damai, kak. Terima semuanya.”

“Terlalu banyak pertanyaan yang ngumpul di otak aku.”

“Oh... maaf kalo ninggalin banyak pertanyaan. Kamu pasti pusing, ya, mikirnya? — umm.. coba kamu ambil surat di atas meja, samping kasur aku, di dalam kamar.”

Hyunjin menuruti perintah Seungmin. Ia mulai berjalan ke arah nakas—mengambil surat—lalu duduk di pinggiran ranjang.

'Kak Hyunjin!'

Tercetak jelas bagaimana gambaran nada, juga raut wajah Seungmin yang biasa memanggilnya dengan sangat bersemangat.

'Kamu masih sibuk kerja? kalo jawabannya iya, maaf soalnya udah maksa kamu buat dateng ke sini cuma buat baca surat ini.'

'Pertama. Kak, aku sama sekali ngga masalah kamu mau kerja di mana, sama siapa, dan gajinya berapa. Aku juga ngga masalah kalo kamu ngga punya banyak waktu buat aku, aku paham itu. Tapi, tolong, seengganya kamu sisihin sedikit aja waktu yang kamu punya buat diri kamu. Istirahat, makan yang teratur, jangan begadang terus. Aku takut kamu bakalan sakit kalo aku ngga bisa ngingetin kamu lagi. Walaupun aku tau kalo temen kamu itu baik-baik semua dan pasti bakalan ngingetin kamu ini itu.'

“Maaf, Seung. Harusnya aku punya lebih banyak waktu buat kamu.”

'Selain itu, maaf juga karena udah bohong. Tolong jangan marah sama Jeongin, karena Jeongin pun awalnya ngga setuju, tapi aku maksa dia, hahahah tolong bilangin ke Jeongin kalo aku minta maaf dan terima kasih udah minjemin namanya buat hal yang ngga baik.'

'Aku minta maaf, karena udah bohong ke kamu tentang perasaan aku. Kak Hyunjin, perlu kamu tau, kalo aku ngga pernah bisa bosen sama kamu. Aku ngga pernah ngga cinta sama kamu. Aku ngga pernah kepikiran buat putus, pisah, ataupun pergi dari kamu. Semuanya bohong.

Aku bohong.'

“Aku tau, pasti berat, ya, bilangnya?”

'Kak, jujur aku bingung, sebenarnya semesta baik atau jahat, ya, sama aku? Aku bersyukur karena semesta udah ambil semua rasa sakit yang ada di tubuh aku. Tapi aku ngga suka, aku sedih pas tau kalo ternyata sebagai gantinya aku harus tinggalin kamu. Kalo begini, berarti aku egois, ya?'

“Iya, kamu manusia paling egois.”

'Jangan nangis, kak. Aku bakalan jaga diri aku, kok. Inget! aku bisa ngawasin kakak dari atas, loh!'

“Kenapa harus bohong?”

'Jujur aku ngga tau mau pakai alasan apa lagi biar kamu mau ngelepas aku. Aku cuma ngga mau kamu bergantung sama aku, bahkan pas aku udah ngga ada. Aku mau kamu terbiasa tanpa aku, kak. Maaf kalau caranya salah.'

“Kenapa kamu ngga jujur tentang penyakit kamu?”

'Aku ngga berani jujur, kak. Aku ngga mau kamu sedih juga. Walaupun kata kak abin nanti kamu bakalan lebih sedih—tapi waktu itu aku ngga percaya. Emang iya? kalo sekarang kamu lebih sedih?

“Lebih. Lebih dari sedih.”

'Kalo iya, maaf. Sekali lagi aku minta maaf karena udah egois. Kamu tau kan kalo aku ngga pinter bikin rencana dan sebagainya? hahaha kamu pasti inget kalo aku kadang lupa kalo mau jalan sama kamu, atau... aku ngajak jalan kamu di tanggal yang kamu ngga bisa, padahal kamu udah pernah bilang.

Itu... bawaan sakitnya, kak. Aku ngga tau juga gimana caranya biar aku ngga lupa terus. Aku udah cari alternatif dengan cara catat semua yang kamu omongin ke aku, tapi habis itu, aku yang lupa di mana taruh kertasnya. Emang dasar ngga becus hahahaha.'

“Kamu lucu, aku kangen liat kamu kaget pas tau kalo ternyata hari itu kamu ada janji buat jalan sama aku. Habis itu, kamu loncat dari kasur buat cepet cepet mandi.”

'Kak, kamu pasti marah banget, ya?'

“Banget.”

'Hehehe ketebak! Sebenarnya, sebulan setelah itu, aku berusaha buat hubungin kamu lagi. Tapi, kamu blokir aku di semua sosial media, jadi yaudah. Aku juga bingung mau sedih atau lega. Aku sedih karena untuk pertama kalinya kamu marah besar sama aku, tapi aku lega karena aku pikir kamu udah terbiasa tanpa aku.'

“Ngga akan. Gimana caranya aku terbiasa tanpa kamu?”

'Kamu kan hebat. Kamu keren! kamu pacar aku yang paling pengertian, yang selalu dahuluin apa mau aku, selalu ngalah, ngga pernah kasar. Kamu tuh lebih dari sekedar hebat, kak! jadi, kamu pasti bisa lanjutin hidup kamu tanpa aku.'

“Aku bisa sehebat dan sekeren itu karena kamu ada di samping aku. Kalo sekarang, aku udah ngga hebat, udah ngga keren karena udah ngga ada kamu di samping aku.”

'Kamu itu tetep keren. Dengan, atau tanpa aku.'

'Kak, hidup sebaik mungkin, ya? demi aku. Maaf aku pergi duluan, maaf udah bohong, maaf ngga bisa temenin kamu dalam waktu yang lama, tapi aku janji, aku selalu jagain kamu dari sini.

Maaf kalo perginya aku bikin kamu sedih,

kak, i love you..

Aku sayang banget sama kamu, jadi, kamu harus sayang sama diri kamu juga, ya?

Aku pamit.

Semoga kita nanti ketemu lagi.'

Seiring surat tersebut habis dibaca, semakin keras pula tangisannya.

Dadanya sakit bukan main.

Sesak.

Ia merasa bodoh karena tidak tahu apapun tentang keadaan separuh jiwanya.

Merasa bodoh karena meng-iya-kan ajakan pisah dari cintanya. Ia pikir, setidaknya (harusnya) ia bisa menemani sisa hidup Seungmin walau sebentar.

Kalimat terakhir,

'Oh, ya! satu lagi. Tolong, jangan salahin diri kamu atas apa yang terjadi.'

Tidak, tidak.

Hyunjin tidak sekuat itu untuk menerima kenyataan.

Ia pun bukannya baru menerima kabar tersebut, melainkan kabar tersebut sudah beredar di telinganya sejak satu bulan yang lalu.

Maafkan Hyunjin yang baru berani mendatangi apartemen Seungmin sekarang. Ia hanya belum siap.

Tak lama, suara pintu terbuka,

“Hyunjin, udah?” Tanya Changbin.

“Kalo udah, ayo, sekarang gantian. Kita ke makamnya.”

Hyunjin meremat kertas tersebut sambil pula meremat dadanya yang kepalang sesak.

“Bin..”

“Ikhlas, Hyun. Seungmin mau lu ikhlas.”

Dengan begitu, perjalanan baru bagi Hyunjin pun dimulai,

bukan untuk melupakan,

juga bukan untuk untuk berlarut-larut dalam kesedihan,

melainkan ikhlas.

— fin.

tw // major character death cw // angst, hallucination, delusional


Seperti permintaan, Hyunjin akhirnya datang ke apartemen Seungmin dengan berat hati.

Cklek

Terlihat bahwa pintu apartemen tersebut sengaja tidak dikunci oleh sang pemilik. Seakan tahu bahwa akan ada tamu yang datang.

Hal yang pertama kali Hyunjin sadari adalah wangi. Saat ia membuka pintu, tercium wangi khas dari sang kekasih yang biasanya tidak bosan untuk ia hirup sekalipun pemiliknya berulang kali protes karena rasa menggelitik yang dibuat oleh yang lebih tua.

Hal kedua adalah foto. Terpampang jelas foto keduanya pada bingkai berwarna putih tulang yang berukuran 40 kali 60 ketika Hyunjin memasuki ruangan.

Hal ketiga adalah Seungmin. Ia melihat Seungmin yang menghadap ke arahnya dengan tatapan resah dan bersalah.

Hyunjin putuskan untuk mendekat— untuk memastikan, sekaligus berbicara.

“A-apa kabar, kak?”

“Kamu pasti selalu tau jawabannya.”

“Maaf..”

“Kamu sendiri gimana? selama dua bulan kamu ngga ketemu atau bahkan kasih kabar.”

“Baik, mungkin?”

“Kenapa ngga yakin gitu?”

“Kamu pasti sedih,”

“Iya.”

“Sekarang kamu tau jawabannya.”

“Kamu sedih juga?”

Yang lebih muda pun mengangguk lemah.

“Kalo sedih, kenapa kamu tiba-tiba minta putus?”

“Aku takut kamu makin sedih”

“You did it.”

“Jangan sedih terus, kak. Kamu bisa cari yang lain, banyak di luar sana yang lebih baik daripada aku, kan?”

“Yang lebih baik itu banyak. Tapi yang kaya kamu itu ngga ada, Seung.”

“Felix...”

“Aku cuma mau kamu.”

“Ngga bisa, kak.”

“Kamu rencananya mau ke mana habis ini?” Tanya Hyunjin mengalihkan.

“Balik lagi, kak. Ngga boleh lama-lama soalnya.”

“Aku... boleh ikut ngga, sih?”

“Jangan, nanti ada yang marah. Kamu di sini aja.”

“Siapa yang marah? Jeongin, ya?”

“Iya, Jeongin bakalan marah sama kamu kalo kamu begini.”

“Terus sekarang aku harus apa?”

“Damai, kak. Terima semuanya.”

“Terlalu banyak pertanyaan yang ngumpul di otak aku.”

“Oh... maaf kalo ninggalin banyak pertanyaan. Kamu pasti pusing, ya, mikirnya? — umm.. coba kamu ambil surat di atas meja, samping kasur aku, di dalam kamar.”

Hyunjin menuruti perintah Seungmin. Ia mulai berjalan ke arah nakas—mengambil surat—lalu duduk di pinggiran ranjang.

'Kak Hyunjin!'

Tercetak jelas bagaimana gambaran nada, juga raut wajah Seungmin yang biasa memanggilnya dengan sangat bersemangat.

'Kamu masih sibuk kerja? kalo jawabannya iya, maaf soalnya udah maksa kamu buat dateng ke sini cuma buat baca surat ini.'

'Kak, aku sama sekali ngga masalah kamu mau kerja di mana, sama siapa, dan gajinya berapa. Aku juga ngga masalah kalo kamu ngga punya banyak waktu buat aku, aku paham itu. Tapi, tolong, seengganya kamu sisihin sedikit aja waktu yang kamu punya buat diri kamu. Istirahat, makan yang teratur, jangan begadang terus. Aku takut kamu bakalan sakit kalo aku ngga bisa ngingetin kamu lagi. Walaupun aku tau kalo temen kamu itu baik-baik semua dan pasti bakalan ngingetin kamu ini itu.'

“Maaf, Seung. Harusnya aku punya lebih banyak waktu buat kamu.”

'Selain itu, maaf juga karena udah bohong. Tolong jangan marah sama Jeongin, karena Jeongin pun awalnya ngga setuju, tapi aku maksa dia, hahahah tolong bilangin ke Jeongin kalo aku minta maaf dan terima kasih udah minjemin namanya buat hal yang ngga baik.'

'Aku minta maaf, karena udah bohong ke kamu tentang perasaan aku. Kak Hyunjin, perlu kamu tau, kalo aku ngga pernah bisa bosen sama kamu. Aku ngga pernah ngga cinta sama kamu. Aku ngga pernah kepikiran buat putus, pisah, ataupun pergi dari kamu. Semuanya bohong.

Aku bohong.'

“Aku tau, pasti berat, ya, bilangnya?”

'Kak, jujur aku bingung, sebenarnya semesta baik atau jahat, ya, sama aku? Aku bersyukur karena semesta udah ambil semua rasa sakit yang ada di tubuh aku. Tapi aku ngga suka, aku sedih pas tau kalo ternyata sebagai gantinya aku harus tinggalin kamu. Kalo begini, berarti aku egois, ya?'

“Iya, kamu manusia paling egois.”

'Jangan nangis, kak. Aku bakalan jaga diri aku, kok. Inget! aku bisa ngawasin kakak dari atas, loh!'

“Kenapa harus bohong?”

'Jujur aku ngga tau mau pakai alasan apa lagi biar kamu mau ngelepas aku. Aku cuma ngga mau kamu bergantung sama aku, bahkan pas aku udah ngga ada. Aku mau kamu terbiasa tanpa aku, kak. Maaf kalau caranya salah.'

“Kenapa kamu ngga jujur tentang penyakit kamu?”

'Aku ngga berani jujur, kak. Aku ngga mau kanu sedih juga. Walaupun kata kak abin nanti kamu bakalan lebih sedih—tapi waktu itu aku ngga percaya. Emang iya? kalo sekarang kamu lebih sedih?

“Lebih dari sedih.”

Kalo iya, maaf. Sekali lagi aku minta maaf karena udah egois. Kamu tau kan kalo aku ngga pinter bikin rencana dan sebagainya? hahaha kamu pasti inget kalo aku kadang lupa kalo mau jalan sama kamu, atau... aku ngajak jalan kamu di tanggal yang kamu ngga bisa, padahal kamu udah pernah bilang.

Itu... bawaan sakitnya, kak. Aku ngga tau juga gimana caranya biar aku ngga lupa terus. Aku udah cari alternatif dengan cara catat semua yang kamu omongin ke aku, tapi habis itu, aku yang lupa di mana taruh kertasnya. Emang dasar ngga becus hahahaha.'

“Kamu lucu, aku kangen liat kamu kaget pas tau kalo ternyata hari itu kamu ada janji buat jalan sama aku. Habis itu, kamu loncat dari kasur buat cepet cepet mandi.”

'Kak, kamu pasti marah banget, ya?'

“Banget.”

'Hehehe ketebak! Sebenarnya, sebulan setelah itu, aku berusaha buat hubungin kamu lagi. Tapi, kamu blokir aku di semua sosial media, jadi yaudah. Aku juga bingung mau sedih atau lega. Aku sedih karena untuk pertama kalinya kamu marah besar sama aku, tapi aku lega karena aku pikir kamu udah terbiasa tanpa aku.'

“Ngga akan. Gimana caranya aku terbiasa tanpa kamu?”

'Kamu kan hebat. Kamu keren! kamu pacar aku yang paling pengertian, yang selalu dahuluin apa mau aku, selalu ngalah, ngga pernah kasar. Kamu tuh lebih dari sekedar hebat, kak! jadi, kamu pasti bisa lanjutin hidup kamu tanpa aku.'

“Aku bisa sehebat dan sekeren itu karena kamu ada di samping aku. Kalo sekarang, aku udah ngga hebat, udah ngga keren karena udah ngga ada kamu di samping aku.”

'Kamu itu tetep keren. Dengan, atau tanpa aku.'

'Kak, hidup sebaik mungkin, ya? demi aku. Maaf aku pergi duluan, maaf udah bohong, maaf ngga bisa temenin kamu dalam waktu yang lama, tapi aku janji, aku selalu jagain kamu dari sini.

Maaf kalo perginya aku bikin kamu sedih,

**kak, i love you.. **

Aku sayang banget sama kamu, jadi, kamu harus sayang sama diri kamu juga, ya?

Aku pamit.

Semoga kita nanti ketemu lagi.'

Seiring surat tersebut habis dibaca, semakin keras pula tangisannya.

Dadanya sakit bukan main.

Sesak.

Ia merasa bodoh karena tidak tahu apapun tentang keadaan separuh jiwanya.

Merasa bodoh karena meng-iya-kan ajakan pisah dari cintanya. Ia pikir, setidaknya (harusnya) ia bisa menemani sisa hidup Seungmin walau sebentar.

Kalimat terakhir,

'Oh, ya! satu lagi. Tolong, jangan salahin diri kamu atas apa yang terjadi.'

Tidak, tidak.

Hyunjin tidak sekuat itu untuk menerima kenyataan.

Ia pun bukannya baru menerima kabar tersebut, melainkan kabar tersebut sudah beredar di telinganya sejak satu bulan yang lalu.

Maafkan Hyunjin yang baru berani mendatangi apartemen Seungmin sekarang. Ia hanya belum siap.

Tak lama, suara pintu terbuka,

“Hyunjin, udah?” Tanya Changbin.

“Kalo udah, ayo, sekarang gantian. Kita ke makamnya.”

Hyunjin meremat kertas tersebut sambil pula meremat dadanya yang kepalang sesak.

“Bin..”

“Ikhlas, Hyun. Seungmin mau lu ikhlas.”

Dengan begitu, perjalanan baru bagi Hyunjin pun dimulai,

bukan untuk melupakan,

juga bukan untuk untuk berlarut-larut dalam kesedihan,

melainkan ikhlas.

— fin.

tw // major character death cw // angst, hallucination, delusional


Seperti permintaan, Hyunjin akhirnya datang ke apartemen Seungmin dengan berat hati.

Cklek

Terlihat bahwa pintu apartemen tersebut sengaja tidak dikunci oleh sang pemilik. Seakan tahu bahwa akan ada tamu yang datang.

Hal yang pertama kali Hyunjin sadari adalah wangi. Saat ia membuka pintu, tercium wangi khas dari sang kekasih yang biasanya tidak bosan untuk ia hirup sekalipun pemiliknya berulang kali protes karena rasa menggelitik yang dibuat oleh yang lebih tua.

Hal kedua adalah foto. Terpampang jelas foto keduanya pada bingkai berwarna putih tulang yang berukuran 40 kali 60 ketika Hyunjin memasuki ruangan.

Hal ketiga adalah Seungmin. Ia melihat Seungmin yang menghadap ke arahnya dengan tatapan resah dan bersalah.

Hyunjin putuskan untuk mendekat— untuk memastikan, sekaligus berbicara.

“A-apa kabar, kak?”

“Kamu pasti selalu tau jawabannya.”

“Maaf..”

“Kamu sendiri gimana? selama dua bulan kamu ngga ketemu atau bahkan kasih kabar.”

“Baik, mungkin?”

“Kenapa ngga yakin gitu?”

“Kamu pasti sedih,”

“Iya.”

“Sekarang kamu tau jawabannya.”

“Kamu sedih juga?”

Yang lebih muda pun mengangguk lemah.

“Kalo sedih, kenapa kamu tiba-tiba minta putus?”

“Aku takut kamu makin sedih”

“U did it.”

“Jangan sedih terus, kak. Kamu bisa cari yang lain, banyak di luar sana yang lebih baik daripada aku, kan?”

“Yang lebih baik itu banyak. Tapi yang kaya kamu itu ngga ada, Seung.”

“Felix...”

“Aku cuma mau kamu.”

“Ngga bisa, kak.”

“Kamu rencananya mau ke mana habis ini?” Tanya Hyunjin mengalihkan.

“Balik lagi, kak. Ngga boleh lama-lama soalnya.”

“Aku... boleh ikut ngga, sih?”

“Jangan, nanti ada yang marah. Kamu di sini aja.”

“Siapa yang marah? Jeongin, ya?”

“Iya, Jeongin bakalan marah sama kamu kalo kamu begini.”

“Terus sekarang aku harus apa?”

“Damai, kak. Terima semuanya.”

“Terlalu banyak pertanyaan yang ngumpul di otak aku.”

“Oh... maaf kalo ninggalin banyak pertanyaan. Kamu pasti pusing, ya, mikirnya? — umm.. coba kamu ambil surat di atas meja, samping kasur aku, di dalam kamar.”

Hyunjin menuruti perintah Seungmin. Ia mulai berjalan ke arah nakas—mengambil surat—lalu duduk di pinggiran ranjang.

'Kak Hyunjin!'

Tercetak jelas bagaimana gambaran nada, juga raut wajah Seungmin yang biasa memanggilnya dengan sangat bersemangat.

'Kamu masih sibuk kerja? kalo jawabannya iya, maaf soalnya udah maksa kamu buat dateng ke sini cuma buat baca surat ini.'

'Kak, aku sama sekali ngga masalah kamu mau kerja di mana, sama siapa, dan gajinya berapa. Aku juga ngga masalah kalo kamu ngga punya banyak waktu buat aku, aku paham itu. Tapi, tolong, seengganya kamu sisihin sedikit aja waktu yang kamu punya buat diri kamu. Istirahat, makan yang teratur, jangan begadang terus. Aku takut kamu bakalan sakit kalo aku ngga bisa ngingetin kamu lagi. Walaupun aku tau kalo temen kamu itu baik-baik semua dan pasti bakalan ngingetin kamu ini itu.'

'Selain itu, maaf juga karena udah bohong. Tolong jangan marah sama Jeongin, karena Jeongin pun awalnya ngga setuju, tapi aku maksa dia, hahahah tolong bilangin ke Jeongin kalo aku minta maaf dan terima kasih udah minjemin namanya buat hal yang ngga baik.'

'Aku minta maaf, karena udah bohong ke kamu tentang perasaan aku. Kak Hyunjin, perlu kamu tau, kalo aku ngga pernah bisa bosen sama kamu. Aku ngga pernah ngga cinta sama kamu. Aku ngga pernah kepikiran buat putus, pisah, ataupun pergi dari kamu. Semuanya bohong.

Aku, bohong.'

'Kak, jujur aku bingung, sebenarnya semesta baik atau jahat, ya, sama aku? Aku bersyukur karena semesta udah ambil semua rasa sakit yang ada di tubuh aku. Tapi aku ngga suka, aku sedih pas tau kalo ternyata sebagai gantinya aku harus tinggalin kamu. Kalo begini, berarti aku egois, ya?'

“Iya, kamu manusia paling egois.”

'Jangan nangis, kak. Aku bakalan jaga diri aku. Inget! aku bisa ngawasin kakak dari atas, loh!'

“Kenapa harus bohong?”

'Jujur aku ngga tau mau pakai alasan apa lagi biar kamu mau ngelepas aku. Aku cuma ngga mau kamu bergantung sama aku, bahkan pas aku udah ngga ada. Aku mau kamu terbiasa tanpa aku, kak. Maaf kalau caranya salah.'

“Kenapa kamu ngga jujur tentang penyakit kamu?”

'Aku ngga berani jujur, kak. Aku ngga mau kanu sedih juga. Walaupun kata kak abin nanti kamu bakalan lebih sedih—tapi waktu itu aku ngga percaya. Emang iya? kalo sekarang kamu lebih sedih?

Kalo iya, maaf. Sekali lagi aku minta maaf karena udah egois. Kamu tau kan kalo aku ngga pinter buat prediksi rencana, bikin rencana dan sebagainya? hahaha kamu pasti inget kalo aku kadang lupa kalo mau jalan sama kamu, atau... aku ngajak jalan kamu di tanggal yang kamu ngga bisa, padahal kamu udah pernah bilang.*

Itu... bawaan sakitnya, kak. Aku ngga tau juga gimana caranya biar aku ngga lupa terus. Aku udah cari alternatif dengan cara catat semua yang kamu omongin ke aku, tapi habis itu, aku yang lupa di mana taruh kertasnya. Emang dasar ngga becus hahahaha.'

'Kak, kamu pasti marah banget, ya?'

“Banget.”

'Hehehe ketebak! Sebenarnya, sebulan setelah itu, aku berusaha buat hubungin kamu lagi. Tapi, kamu blokir aku di semua sosial media, jadi yaudah. Aku juga bingung mau sedih atau lega. Aku sedih karena untuk pertama kalinya kamu marah besar sama aku, tapi aku lega karena aku pikir kamu udah terbiasa tanpa aku.'

“Ngga akan. Gimana caranya aku bisa tanpa kamu?”

'Kamu kan hebat. Kamu keren! kamu pacar yang aku paling pengertian, yang selalu dahuluin apa mau aku, selalu ngalah, ngga pernah kasar. Kamu tuh lebih dari sekedar hebat, kak! jadi, kamu pasti bisa lanjutin hidup kamu tanpa aku.'

“Aku bisa sehebat dan sekeren itu karena kamu ada di samping aku. Kalo sekarang, aku udah ngga hebat, udah ngga keren karena udah ngga ada kamu di samping aku.”

'Kamu itu tetep keren, selamat dengan, atau tanpa aku.'

'Kak, hidup sebaik mungkin, ya? demi aku. Maaf aku pergi duluan, maaf udah bohong, maaf ngga bisa temenin kamu dalam waktu yang lama, tapi aku janji, aku selalu jagain kamu dari sini.

Maaf kalo perginya aku bikin kamu sedih,

*kak, i love you.. *

Aku sayang banget sama kamu, jadi, kamu harus sayang sama diri kamu juga, ya?

Aku pamit.

Semoga kita nanti ketemu lagi.'

Seiring surat tersebut habis dibaca, semakin keras tangisannya.

Dadanya sakit bukan main.

Sakit.

Ia merasa bodoh karena tidak tahu apapun tentang keadaan separuh jiwanya.

Merasa bodoh karena meng-iya-kan ajakan pisah dari cintanya. Ia pikir, setidaknya (harusnya) ia bisa menemani sisa hidup Seungmin walau sebentar.

Kalimat terakhir,

'Oh, ya! satu lagi. Tolong, jangan salahin diri kamu atas apa yang terjadi.'

Tidak, tidak.

Hyunjin tidak sekuat itu untuk menerima kenyataan.

Ia pun bukannya baru menerima kabar tersebut, melainkan kabar tersebut sudah beredar di telinganya sejak satu bulan yang lalu.

Maafkan Hyunjin yang baru berani mendatangi apartemen Seungmin sekarang. Ia hanya belum siap.

Tak lama, suara pintu utama terbuka,

“Hyunjin, udah?” Tanya Changbin.

“Kalo udah, ayo, sekarang gantian kita ke makamnya.”

Hyunjin meremat kertas tersebut sambil pula meremat dadanya yang kepalang sesak.

“Bin..”

“Ikhlas, Hyun. Seungmin mau lu ikhlas.”

Dengan begitu, perjalanan baru bagi Hyunjin pun dimulai,

bukan untuk melupakan,

juga bukan untuk untuk berlarut-larut dalam kesedihan,

melainkan ikhlas.

— fin.

tw // major character death cw // angst, hallucination, delusional


Seperti permintaan, Hyunjin akhirnya datang ke apartemen Seungmin dengan berat hati.

Cklek

Terlihat bahwa pintu apartemen tersebut sengaja tidak dikunci oleh sang pemilik. Seakan tahu bahwa akan ada tamu yang datang.

Hal yang pertama kali Hyunjin sadari adalah wangi. Saat ia membuka pintu, tercium wangi khas dari sang kekasih yang biasanya tidak bosan untuk ia hirup sekalipun pemiliknya berulang kali protes karena rasa menggelitik yang dibuat oleh yang lebih tua.

Hal kedua adalah foto. Terpampang jelas foto keduanya pada bingkai berwarna putih tulang yang berukuran 40 kali 60 ketika Hyunjin memasuki ruangan.

Hal ketiga adalah Seungmin. Ia melihat Seungmin yang menghadap ke arahnya dengan tatapan resah dan bersalah.

Hyunjin putuskan untuk mendekat— untuk memastikan, sekaligus berbicara.

“A-apa kabar, kak?”

“Kamu pasti selalu tau jawabannya.”

“Maaf..”

“Kamu sendiri gimana? selama dua bulan kamu ngga ketemu atau bahkan kasih kabar.”

“Baik, mungkin?”

“Kenapa ngga yakin gitu?”

“Kamu pasti sedih,”

“Iya.”

“Sekarang kamu tau jawabannya.”

“Kamu sedih juga?”

Yang lebih muda pun mengangguk lemah.

“Kalo sedih, kenapa kamu tiba-tiba minta putus?”

“Aku takut kamu makin sedih”

“U did it.”

“Jangan sedih terus, kak. Kamu bisa cari yang lain, banyak di luar sana yang lebih baik daripada aku, kan?”

“Yang lebih baik itu banyak. Tapi yang kaya kamu itu ngga ada, Seung.”

“Felix...”

“Aku cuma mau kamu.”

“Ngga bisa, kak.”

“Kamu rencananya mau ke mana habis ini?” Tanya Hyunjin mengalihkan.

“Balik lagi, kak. Ngga boleh lama-lama soalnya.”

“Aku... boleh ikut ngga, sih?”

“Jangan, nanti ada yang marah. Kamu di sini aja.”

“Siapa yang marah? Jeongin, ya?”

“Iya, Jeongin bakalan marah sama kamu kalo kamu begini.”

“Terus sekarang aku harus apa?”

“Damai, kak. Terima semuanya.”

“Terlalu banyak pertanyaan yang ngumpul di otak aku.”

“Oh... maaf kalo ninggalin banyak pertanyaan. Kamu pasti pusing, ya, mikirnya? — umm.. coba kamu ambil surat di atas meja, samping kasur aku, di dalam kamar.”

Hyunjin menuruti perintah Seungmin. Ia mulai berjalan ke arah nakas—mengambil surat—lalu duduk di pinggiran ranjang.

'Kak, Hyunjin!'

Tercetak jelas bagaimana gambaran nada, juga raut wajah Seungmin yang biasa memanggilnya dengan sangat bersemangat.

'Kamu masih sibuk kerja? kalo jawabannya iya, maaf soalnya udah maksa kamu buat dateng ke sini cuma buat baca surat ini.'

'Kak, aku sama sekali ngga masalah kamu mau kerja di mana, sama siapa, dan gajinya berapa. Aku juga ngga masalah kalo kamu ngga punya banyak waktu buat aku, aku paham itu. Tapi, tolong, seengganya kamu sisihin sedikit aja waktu yang kamu punya buat diri kamu. Istirahat, makan yang teratur, jangan begadang terus. Aku takut kamu bakalan sakit kalo aku ngga bisa ngingetin kamu lagi. Walaupun aku tau kalo temen kamu itu baik-baik semua dan pasti bakalan ngingetin kamu ini itu.'

'Selain itu, maaf juga karena udah bohong. Tolong jangan marah sama Jeongin, karena Jeongin pun awalnya ngga setuju, tapi aku maksa dia, hahahah tolong bilangin ke Jeongin kalo aku minta maaf dan terima kasih udah minjemin namanya buat hal yang ngga baik.'

'Aku minta maaf, karena udah bohong ke kamu tentang perasaan aku. Kak Hyunjin, perlu kamu tau, kalo aku ngga pernah bisa bosen sama kamu. Aku ngga pernah ngga cinta sama kamu. Aku ngga pernah kepikiran buat putus, pisah, ataupun pergi dari kamu. Semuanya bohong.

Aku, bohong.'

'Kak, jujur aku bingung, sebenarnya semesta baik atau jahat, ya, sama aku? Aku bersyukur karena semesta udah ambil semua rasa sakit yang ada di tubuh aku. Tapi aku ngga suka, aku sedih pas tau kalo ternyata sebagai gantinya aku harus tinggalin kamu. Kalo begini, berarti aku egois, ya?'

“Iya, kamu manusia paling egois.”

'Jangan nangis, kak. Aku bakalan jaga diri aku. Inget! aku bisa ngawasin kakak dari atas, loh!'

“Kenapa harus bohong?”

'Jujur aku ngga tau mau pakai alasan apa lagi biar kamu mau ngelepas aku. Aku cuma ngga mau kamu bergantung sama aku, bahkan pas aku udah ngga ada. Aku mau kamu terbiasa tanpa aku, kak. Maaf kalau caranya salah.'

“Kenapa kamu ngga jujur tentang penyakit kamu?”

'Aku ngga berani jujur, kak. Aku ngga mau kanu sedih juga. Walaupun kata kak abin nanti kamu bakalan lebih sedih—tapi waktu itu aku ngga percaya. Emang iya? kalo sekarang kamu lebih sedih?

Kalo iya, maaf. Sekali lagi aku minta maaf karena udah egois. Kamu tau kan kalo aku ngga pinter buat prediksi rencana, bikin rencana dan sebagainya? hahaha kamu pasti inget kalo aku kadang lupa kalo mau jalan sama kamu, atau... aku ngajak jalan kamu di tanggal yang kamu ngga bisa, padahal kamu udah pernah bilang.*

Itu... bawaan sakitnya, kak. Aku ngga tau juga gimana caranya biar aku ngga lupa terus. Aku udah cari alternatif dengan cara catat semua yang kamu omongin ke aku, tapi habis itu, aku yang lupa di mana taruh kertasnya. Emang dasar ngga becus hahahaha.'

'Kak, kamu pasti marah banget, ya?'

“Banget.”

'Hehehe ketebak! Sebenarnya, sebulan setelah itu, aku berusaha buat hubungin kamu lagi. Tapi, kamu blokir aku di semua sosial media, jadi yaudah. Aku juga bingung mau sedih atau lega. Aku sedih karena untuk pertama kalinya kamu marah besar sama aku, tapi aku lega karena aku pikir kamu udah terbiasa tanpa aku.'

“Ngga akan. Gimana caranya aku bisa tanpa kamu?”

'Kamu kan hebat. Kamu keren! kamu pacar yang aku paling pengertian, yang selalu dahuluin apa mau aku, selalu ngalah, ngga pernah kasar. Kamu tuh lebih dari sekedar hebat, kak! jadi, kamu pasti bisa lanjutin hidup kamu tanpa aku.'

“Aku bisa sehebat dan sekeren itu karena kamu ada di samping aku. Kalo sekarang, aku udah ngga hebat, udah ngga keren karena udah ngga ada kamu di samping aku.”

'Kamu itu tetep keren, selamat dengan, atau tanpa aku.'

'Kak, hidup sebaik mungkin, ya? demi aku. Maaf aku pergi duluan, maaf udah bohong, maaf ngga bisa temenin kamu dalam waktu yang lama, tapi aku janji, aku selalu jagain kamu dari sini.

Maaf kalo perginya aku bikin kamu sedih,

*kak, i love you.. *

Aku sayang banget sama kamu, jadi, kamu harus sayang sama diri kamu juga, ya?

Aku pamit.

Semoga kita nanti ketemu lagi.'

Seiring surat tersebut habis dibaca, semakin keras tangisannya.

Dadanya sakit bukan main.

Sakit.

Ia merasa bodoh karena tidak tahu apapun tentang keadaan separuh jiwanya.

Merasa bodoh karena meng-iya-kan ajakan pisah dari cintanya. Ia pikir, setidaknya (harusnya) ia bisa menemani sisa hidup Seungmin walau sebentar.

Kalimat terakhir,

'Oh, ya! satu lagi. Tolong, jangan salahin diri kamu atas apa yang terjadi.'

Tidak, tidak.

Hyunjin tidak sekuat itu untuk menerima kenyataan.

Ia pun bukannya baru menerima kabar tersebut, melainkan kabar tersebut sudah beredar di telinganya sejak satu bulan yang lalu.

Maafkan Hyunjin yang baru berani mendatangi apartemen Seungmin sekarang. Ia hanya belum siap.

Tak lama, suara pintu utama terbuka,

“Hyunjin, udah?” Tanya Changbin.

“Kalo udah, ayo, sekarang gantian kita ke makamnya.”

Hyunjin meremat kertas tersebut sambil pula meremat dadanya yang kepalang sesak.

“Bin..”

“Ikhlas, Hyun. Seungmin mau lu ikhlas.”

Dengan begitu, perjalanan baru bagi Hyunjin pun dimulai,

bukan untuk melupakan,

juga bukan untuk untuk berlarut-larut dalam kesedihan,

melainkan ikhlas.

— fin.


Sekala sampai terlebih dahulu di tempat yang sudah ditentukan.

Sekala mengamati mata Sastra yang sembab— tak lain disebabkan oleh menangis, pastinya.

“Habis nangis?” tanya Sekala.

“Mau ngomong apa?”

“Sas, kali ini gua seriusan ga minta lu buat balik ke gua. Karena gua nyadar mau segimanapun gua usaha, ga bakal bisa, di hati lu bakalan terus ada Nara dan ga mungkin bisa digeser sama apapun. Gua minta maaf, Sas, karena gua udah bikin berantakan semuanya. Termasuk hubungan lu sama Nara.”

“Gue udah maafin lo dari lama, kal. Gue cuma ga mau berurusan sama lo karena semua yang berhubungan sama lo selalu bikin gue sakit.”

“Maaf, Sas. Gua yakin kalo Nara bakalan perjelas dan selesain semuanya. Sekali lagi gua minta maaf, gua bakalan bantu sebisa gua.

Gua pamit.”

# — Break.

cw tw // cheating, mention of cheating, mention of kissing


Benar saja, malam itu Nara datang ke kediaman Sastra. Berharap semuanya akan lebih baik.

Ia tak henti-hentinya membunyikan bel rumah Sastra. Tak lama sang empunya pun keluar dengan wajah yang membengkak karena menangis semalaman.

Saat tahu bahwa yang membunyikan bel adalah Nara, Sastra terduduk lemas. Karena khawatir, Nara membuka pagar Sastra tanpa izin dan menghampirinya.

“Sas? kamu kenapa?” Ucap Nara sambil meraba pundak dan wajah Sastra.

Stop it.

— kamu ngapain ke sini?”

“Sas... maaf...”

“Aku ini apa sih buat kamu?”

“Maaf..”

Just answer!

Everything.

“Kamu bilang itu setelah kamu cium perempuan itu? how can you come to me and say that after you cheated on me?

“Aku ga selingkuh, sas.”

“Kenapa juga aku harus percaya, WHEN YOU DON'T EVEN WANT TO LISTEN TO MY EXPLANATION AT ALL.

I swear to God, Sas. Aku ngga niat begitu.”

“Oke kalo menurut kamu selingkuh itu tentang kamu pacaran sama orang lain disaat kamu pacaran sama aku. Tapi aku ngga! kamu cium perempuan itu, kamu tidur sama dia. Menurut aku kamu selingkuh, Ra.”

“Sastra aku minta maaf,” Nara bersimpuh di depan Sastra yang kembali menangis.

“Aku emang salah, Ra. Aku juga wajar kamu marah sama aku kaya semalem, aku gapapa kamu ngomong kasar sama aku. Tapi ngga dengan kaya gini, Ra.”

“Aku ngga bisa mikir jernih belakangan ini, Sas. Aku takut. Aku takut kamu balik ke mantan kamu.”

“Cewe itu siapa?”

“Mantan aku...”

“Liat, kan? kamu bisa liat sendiri siapa yang sebenarnya balik ke masa lalunya.”

“But—”

“Kamu taunya kalo aku pelukan sama Sekala, kan? kamu cuma tau itu. Kamu ga tau sebanyak apa aku nolak Sekala buat kamu. Aku ga mau cerita ke kamu karena aku rasa ini masalah masa lalu aku. Aku mutusin buat iyain ajakan Sekala pun buat negesin ke dia buat yang terakhir kali kalo aku ngga bisa balik ke dia KARENA AKU PUNYA KAMU, RA. AKU SELALU BILANG KE SEKALA KALO AKU UDAH PUNYA NARANTAKA SADEWA— ORANG YANG JAUH LEBIH BAIK DARIPADA DIA.” Jelas Sastra dengan suara lantang, penuh penekanan, juga air mata yang masih mengalir.

Sedangkan Nara hanya tertunduk diam, merasa malu sekaligus bersalah.

“Ra...”

“Taka... panggil aku taka....”

Nara, should we break up?

No... please Sastra... one more chance. Aku minta maaf, please...”

“Terus mau kamu apa? aku bahkan gatau kamu nantinya bakal kaya Sekala atau ngga. Aku tau, Ra, kalo kamu tau tentang Sekala. Tepatnya tentang masa lalu aku sama dia. Tapi kenapa? kenapa kamu ngelakuin hal yang sama kaya waktu Sekala selingkuh?”

“Aku semalem mabok, Sas... aku ngga tau kenapa tiba-tiba kepikiran buat ke apart Keira.”

“Dari sini aja udah keliatan, Ra, kalo aku bukan tempat kamu pulang. Kamu lebih milih buat pergi ke mantan kamu dibanding aku. Keliatan kok, aku juga paham.”

“Bukan begitu, Sastra—”

“Ra, ayo putus...”

“Ngga, aku ngga mau... please Sastra, please..

Fine.”

Really? — thank u, Sas. Sumpah aku ga bakal bertindak bodoh lagi.”

“Aku mau kita break dulu.”

“Sastra? kamu bercanda?”

“Mending kamu pulang, udah malem. Ga baik nyetir malem-malem, bahaya.”

Tanpa melirik ke belakang, Sastra meninggalkan Nara yang masih bersimpuh.

Nara tidak ingin protes lebih lanjut, karena tidak jadi putu saja... dirinya sudah bersyukur. Yang harus ia lakukan sekarang adalah membuktikan dan berusaha lebih keras untuk membangun kepercayaan Sastra.


[ nara's apartment ]

apartemen milik nara jaraknya tidak terlalu jauh dari toko kue milik keluarga dirga. kebetulan saat itu dirga sedang berada di sana, sehingga nara meminta dirga untuk menghampirinya ke apartemen.

tentu, dirga bersedia.

sekarang ia berada di ambang pintu apartemen nara yang terbuka,

toktok

“dirga? masuk aja,” seakan tahu siapa yang datang, nara langsung persilahkan dirga untuk masuk.

“bagi minum dong,” pinta dirga setelah melepas sepatunya.

“ambil sendiri, kulkas gua tempatnya masih sama.”

“lu lagi sensi banget, kenapa lu?”

“sastra.”

“kenapa dia?”

nara menceritakan saat di mana dirinya dan papa sastra bertemu, tak lupa juga percakapannya dengan bian.

”– nah, abis bian bilang gitu, gua kepikiran sastra, ga. bian bilang begitu seakan akan mantannya sastra bakalan balik lagi, gua takut. gua sayang sama sastra, ga, sumpah.”

“lu stress mikirin itu? oke gua paham banget ra. tapi bisa aja masalahnya ini emang se-pribadi itu, who knows? entah lu nyadar atau ngga, lu maksa dia, ra. padahal dia udah bilang bakalan cerita, tapi nanti.”

“biasanya dia ga begitu, ga.”

“se-biasa apapun itu pasti ada saatnya seseorang butuh ruang buat dirinya sendiri, ra. lu harusnya paham.”

benar, dirga tidaklah salah. tapi apakah khawatir itu salah?

nara terdiam, ia menyenderkan tubuhnya di sofa, kemudian melamun.

“oh iya, di hari sastra pulang ke rumahnya, lu bilang kan kalo ada orang yang dateng ke asrama dan nyari sastra?” tanya dirga yang dibalas anggukan oleh nara.

“namanya?”

“sekala.”

seketika air wajah dirga berubah. ia mencoba untuk mengontrol ekspresi wajahnya yang terkejut, namun hal itu sudah lebih dulu disadari nara.

“kenapa? lo kenal?”

“ng-ngga,”

“jangan boong, ga. ekspresi lu ngga bisa boong, lu kaget pas gua nyebut namanya.”

sudah tertangkap basah, ingin mengelak pun dirga tidak bisa.

“i-itu...” ucap dirga terbata-bata.

“mantannya sastra, ra.” lanjutnya.

“lu bercanda?”

“gua serius, ra. gua ngga pernah liat orangnya, cuma beberapa kali bian pernah cerita ke gua.”

“ceritain apa yang lu tau, ga, please...”

“sorry, bi. aku ga maksud apa-apa.” ucap dirga pelan, seakan berbicara dengan bian.

“pasti lu udah tau kan kenapa mereka putus? iya, karena sekala selingkuh. jujur gua lupa detailnya. as far as i know, sastra belum sepenuhnya lupa sama sekala. tapi soal dia cinta sama lu, gausah diraguin lagi, ra. tapi emang kata bian sometimes dia masih mikirin sekala. gatau tuh dikasih pelet kali, ya?”

“fuck, why didn't anyone tell me?”

“masalah ini emang sensitif buat sastra, ra.”

“tapi gua pacarnya, ga. kalaupun se-sensitif itu kenapa dia masih mikirin sekala terus?”

“hati manusia ga ada yang tau, ra. gua rasa sastra juga masih bingung sama perasaannya. kaya, dia sakit hati, udah jelas. tapi dia juga kangen sekala dan itu hal yang ga bisa diprediksi kapan terjadinya.”

“gua mau ke rumah sastra.” nara langsung menyambar kuncinya yang ada di meja kemudian berlari keluar, mengabaikan dirga yang ada di sana.

“ra, bentar, ra!!”


[ cafe ]

sastra dan sekala kini duduk berhadap-hadapan tanpa ada yang memulai percakapan. sampai akhirnya sekala yang memulai,

“apa kabar?”

“better than when i'm with you.” jawab sastra yang membuat sekala sedikit tertohok.

“o-oke... do you miss me?” ucap sekala percaya diri.

“lo tuh ga mikir apa gimana, kal?”

“cuma make sure, kali aja kan???”

“never. now, better lo omongin apa yang mau lo omongin.”

“balik ke gua, sas. gua mau lu balik ke gua.”

“lo tau jawaban gue kan?”

“please?”

“kalo ga ada yang mau lo omongin lagi gue mau pulang.”

“fine, gua anterin.” sekala memilih menyerah untuk saat ini.


[ sastra's house ]

beruntung, sastra sudah mengirimkan alamat rumahnya beberapa hari yang lalu. jadi sekarang nara hanya perlu mengikuti petunjuk yang ada di maps.

-:-

sastra telah sampai di rumahnya.

sebelum sekala benar-benar pulang, mereka masih berbicara beberapa patah kata. walaupun sebetulnya sastra sudah muak.

“sas, tolong pertimbangin permintaan gua tadi.”

“what? lo bahkan ga pernah dengerin atau bahkan sekedar pertimbangin permintaan gue... lo tuh... ga pernah, kal. dulu gue minta lo buat stay sama gue, gue minta lo buat tinggalin selingkuhan lo. emang lo dengerin? ngga kan?”

“sorry sas, tapi gua janji.”

“terserah apa mau lo, mending lo pulang sekarang. gue masuk dulu, makasih tumpangannya.”

namun tangan sastra ditarik kemudian tubuhnya direngkuh secara tiba-tiba oleh sekala.

“sastra, i miss u, please come back to me...” entah sudah ke berapa kali sekala mengucapkan ini.

sekarang, tubuh sastra membeku dan air matanya turun. memorinya seakan memutar kejadian di masa lampau yang membuatnya sakit.

“maaf, maafin gua, sastra....” ucap sekala sambil mengusap pelan kepala belakang sastra yang tanpa sadar membuat wajah sastra tenggelam di ceruk leher sekala.

dari kejauhan, terlihat sebuah mobil hitam yang terparkir di sana sejak kedatangan mereka.

pemilik mobil tersebut tidak lain adalah nara.

benar, nara menyaksikan semua itu tepat di depan matanya.

tanpa pikir panjang nara memutar balik mobilnya dan mulai berkendara ke sembarang arah.

kemudian sastra melepas pelukannya dengan sekala yang seharusnya tidak terjadi.

“maaf kal, jawaban gue selalu 'ngga', kita bisa temenan tapi untuk itu gue ga bisa. gue udah punya nara. lo tau itu kan? gue harap lo bisa hargain keputusan gue. bye, kal.”

// hurt-comfort (?) , angst, bad past, happy ending.

ngga proofread, jadi, mohon maaf kalo ada typo ataupun ada bagian yang agak ngga nyambung :D

kalo tagsnya kurang, tolong kasih tau aku 🙏🏻


Suhu malam ini cukup dingin, namun, hal itu tidak mengurungkan niat Seungmin untuk pergi keluar— untuk sekedar berjalan-jalan sebentar.

Satu kebiasaan Seungmin yang hanya diketahui oleh Jeongin— Yaitu, jika Seungmin merasa sedih dan butuh waktu untuk sendiri, ia akan pergi berjalan-jalan di malam hari dan memutuskan untuk duduk sejenak di ayunan taman bermain yang menjadi langganan kunjungan para anak-anak di sekitar kota pada saat siang hari.

Malam.

Apa yang dipikirkan kebanyakan orang tentang malam?

Pasti keheningan, gelap, sepi, dan sebagainya. Begitu pula gambaran saat ini. Seungmin tetap melanjutkan perjalanannya tanpa takut akan hal-hal yang kebanyakan orang takutkan.

Sembari memikirkan sesuatu yang baru saja dirasakannnya.

Iya,

kembalinya Jeongin ke dalam hidupnya.

Entah itu untuk sekedar meminta maaf atau lainnya. Tetapi bagi Seungmin itu bukanlah hal yang mudah, mengingat sebab perpisahan mereka dua tahun lalu yang sangat konyol dan menyakitkan menurut Seungmin.

-:-

“Seung, aku mau ngomong sesuatu..”

“Hm? kenapa? gimana harinya? tadi kamu pemotretannya lancar kan?”

“Seungmin.”

“Je, kamu ngga serius, kan?”

“Maaf seung... kamu tau, kan? ini impian aku, ini cita-cita aku. Dan agensi punya peraturan.”

Seungmin tahu, Jeongin tidak pandai berbohong.

Seungmin tersenyum getir, “okay, let's break up.”

“Seung, aku minta maaf...”

Ahh... memori sialan itu terus saja berputar. Pikir Seungmin.

Seungmin menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk mengembalikan kesadarannya supaya tidak larut dalam kenangan masa lalunya tersebut.

Aneh memang. Ia enggan mengingat apapun tentang Jeongin. Namun, ia malah sering datang ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama sang mantan kekasih.

-:-

Benar, taman bermain itu menjadi saksi segala tentang mereka.

Tawa mereka ketika bertukar cerita saat pulang sekolah,

Perasaan takut mereka yang bertemu diam-diam di sana, karena ayah Seungmin yang overprotective.

Tangis mereka saat mereka lolos perguruan tinggi negeri,

Tangis bahagia mereka saat mereka dinyatakan lolos dari perguruan tinggi,

dan masih banyak lagi tentunya.

Jujur, jika ditanya apakah Seungmin masih menginginkan Jeongin— jawaban satu-satunya adalah mungkin.

Hatinya tidak menarik kartu bertuliskan kata “iya” karena memang dirinya masih ragu.

Ia rindu Jeongin, rindu kenangan di dalamnya.

Tapi, di sisi lain ia membenci sosok laki-laki tersebut.

Seungmin masih berpikir bahwa ini tidak adil. Bagaimana bisa dirinya yang selalu ada untuk Jeongin, tiba-tiba putus dengan alasan yang Seungmin pikir— ia menjadi penghalang kesuksesan Jeongin.

Bukan tanpa alasan Seungmin berpikiran seperti itu. Kata-kata Jeongin sendiri-lah yang bermaksud ke sana.

Lalu dengan itu, Seungmin putuskan untuk melepas Jeongin. Jika Jeongin sudah berpikiran demikian, apalagi yang harus dipertahankan?

Seungmin dudukkan dirinya di ayunan yang biasa ia gunakan untuk duduk sembari bergantian menatap langit dan jalanan kosong.

Bohong jika Seungmin tidak merasa rindu Jeongin jika ia duduk di sini.

Seakan-akan di sini-lah pusat mesin waktu yang terus menerus memutar memori siapapun yang berada di sana.

Seungmin ingin Jeonginnya kembali, namun rasa takut itu terus bermunculan.

“Bagaimana jika jeongin pergi lagi?”

Ia benci dicampakkan.

Sekarang yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan semuanya hanyalah tertunduk sambil menangis.

Di sela-sela tangisannya, Seungmin menyadari sesuatu.

Telinga Seungmin masih berfungsi dengan baik. Ia mendengar suara langkah kaki berjalan ke arahnya.

Seungmin memutuskan untuk tidak menghiraukannya.

Jika orang jahat, biarlah. Jika hantu, biarlah.

Pikirannya terlalu dipenuhi oleh Jeongin, sehingga rasa takut itu tidak ada apa-apanya.

Ia lanjut menangis tersedu-sedu— masih dengan posisi tertunduk.

Kemudian ia lihat sepatu berwarna cream berada tepat di depan kakinya. Lantas Seungmin langsung mendongak untuk memastikan.

Tidak,

tidak sekarang, Jeongin.

“Seungmin...”

Seungmin menyeka air matanya dan membuang wajahnya ke sembarang arah, asalkan tidak menatap Jeongin.

“What are u doing here?”

“Habis nangis?”

“None of ur business. Please go away.”

Jeongin tanpa ragu bersimpuh di hadapan Seungmin dengan penuh harap, semoga Seungmin tidak menolak permintaan maafnya kali ini.

“Je, please, jangan begini. Kita cuma masa lalu. Biarin gue hidup tenang tanpa lo, Je.”

“Seung, aku minta maaf...”

“Gue udah bilang, kan? gue maafin. So, go fucking away.”

“Seung, sebegitu bencinya kamu ke aku, ya?”

“Iya.”

Jeongin tertunduk menyesal.

Ia belum menyerah, ia bawa tangan Seungmin bertaut dengan tangannya.

“Seung, semuanya sia-sia karena ga ada kamu.”

“Sia-sia apanya? bukannya lo udah dapet semua yang lo mau? lo jadi model terkenal sekarang, lo punya banyak uang, lo punya koneksi di mana-mana.”

“But, it's nothing.”

“— Lo bahkan bisa dapetin pasangan yang setara sama lo, sama karir lo, sama pencapaian lo. Bohong besar, Je, kalo lo mau gue. Dari awal kita putus pun gue tau—” Seungmin berhenti sejenak untuk menarik dalam-dalam napasnya.

“— Gue tau kalo lo ngerasa gue adalah penghalang. Gue tau kalo lo sebetulnya nyari yang setara sama lo. Gue tau semua maksud yang tersirat dari kata-kata lo dua tahun lalu, Je.”

“No, ngga gitu, Seung.”

“Terus maksud lo balik ke gue apa? di awal lo bilang mau minta maaf aja, kan? oke gue maafin. Terus sekarang mau lo apalagi, Je? gue cape.”

Tanpa sadar Seungmin bersuara lantang dengan air mata mengalir di pipinya.

Jeongin mendekatkan tangan yang ia genggam ke dahinya.

“Maaf...” lirih Jeongin.

“Semua yang kamu omongin tentang apa yang aku punya itu emang bener, Seung. Aku punya apapun, aku bisa dapetin apa yang aku mau. Tapi demi Tuhan, semua itu ga ada apa-apanya. Di awal aku merasa oke aja tanpa kamu. Lama kelamaan aku sadar kalo selama ini aku denial. Aku mau kamu, hidup aku beneran kosong, Seung.”

“— Ini mungkin kedengeran konyol dan ga tau diri. Tapi, kalau kamu izinin, apa aku bisa dapet kesempatan ke dua? Aku janji aku ga akan ngulang kebodohan aku lagi. Aku ga akan ngelepas kamu demi ego aku lagi.”

“Je, lo itu cuma kesepian. Bukan beneran cinta sama gue.”

“Aku harus bilang kaya gimana lagi Seung biar kamu percaya?”

Seungmin tidak menanggapi dan memilih untuk bungkam dengan tangisnya.

Hati dan pikirannya seakan terbelah menjadi dua sisi berlawanan. Di satu sisi ia senang Jeongin memintanya kembali, dan berpikir untuk menerima Jeongin, lagi. Dan di sisi lain ketakutannya masih mengakar di sana.

Seungmin lepas genggamannya dari Jeongin. Kedua tangannya ia gunakan untuk menyeka air matanya. Namun, segera ditarik dan digantikan oleh tangan Jeongin.

Jeongin mengusap pipi Seungmin lembut, sembari menyeka air mata Seungmin yang terus menerus mengalir.

Jeongin bersumpah, ini akan menjadi yang terakhir. Jika Seungmin menolaknya lagi, maka ia akan benar-benar menyerah atas Seungmin dan melepas Seungmin dengan apa yang membuatnya bahagia.

“Maaf.. maaf..” Ia tak henti hentinya merapalkan kata maaf. Bedanya, kali ini ia beranikan diri lagi untuk membawa Seungmin ke dalam dekapannya.

“Maafin aku...”

“Lo jahat je,”

“Iya...”

“Jeongin brengsek,”

“— Lo gatau seberapa susahnya gue buat lupain lo selama ini. Bahkan saat lo beneran hilang dari kehidupan gue, itu ga cukup buat gue lupain lo, Je.”

“— Gue benci sama diri gue sendiri yang ngga bisa benci sama lo.”

“— Gue benci banget buat ngaku kalo gue ternyata bener-bener jatuh cinta sama lo sebegitu dalamnya.

Kenapa, Je? kenapa lo balik lagi? lo seneng? lo tau kelemahan gue yang selalu ngga bisa nolak lo? Je, jangan bikin gue bingung tentang apa mau lo, apa maksud lo, apa tujuan lo dateng lagi ke gue.

Jangan mainin perasaan gue, Je... tolong...”

Seungmin makin larut dalam tangisnya, dadanya sesak, tangisnya kian mengeras.

“Aku ga maksud, Seung... aku janji, ini terakhir kalinya aku minta kamu buat balik ke aku. Buat mulai semuanya dari awal.”

“Jahat... gue benci sama lo.” Ucap Seungmin pelan.

Pelukan Jeongin terbalaskan— tangan Seungmin perlahan-lahan melingkar pada pinggang Jeongin. Kepalanya ia sandarkan pada dada bidang lelaki di depannya.

Berharap Jeongin tahu maksudnya,

bahwa masih ada kesempatan kedua untuknya.

Tidak lebih.

Jeongin berbisik, “Aku janji...” kemudian melepas pelukan mereka.

Tangannya beralih untuk menangkup wajah Seungmin.

Menatap dalam-dalam wajah sosok di depannya.

Mata yang membengkak,

Hidung yang memerah,

Dan pipi yang masih basah akan air mata.

Masih cantik, pikir Jeongin.

-:-

Setelah puas menatap wajah Seungmin— Jeongin menahan tengkuk Seungmin.

Membawanya ke dalam ciuman yang lembut dan tidak terburu oleh nafsu.

Seungmin kaitkan tangannya pada leher Jeongin sembari perlahan-lahan membalas ciuman Jeongin.

Seungmin dapat merasakan bahwa Jeongin tengah tersenyum di sela-sela ciumannya.

Jeongin lepas sejenak tautan bibirnya, dan bertanya untuk memastikan, “So, yes?”

Seungmin mengangguk malu-malu, ia memilih cara tersendiri untuk menjawab pertanyaan Jeongin.

Dengan kembali melumat bibir Jeongin-nya.

Seungmin rindu ciuman ini. Ciuman yang dahulu selalu Jeongin berikan di sela-sela waktunya.

Candu.

Memabukkan. Bahkan alkohol pun kalah.

I miss u, Je. Tolong jangan pergi lagi.”

I will never.

— fin.

cw // harsh words


Sekarang adalah hari di mana classmeeting dilaksanakan. Para siswa siswi tentunya berlomba-lomba untuk menjadi juara— apalagi kalau bukan karena hadiah yang menggiurkan?

Sama halnya seperti yang lainnya. Adven, Nico dan temannya pun ikut meramaikan acara tersebut. Keduanya— tim basket dan voli sibuk untuk mempersiapkan permainan yang akan dilaksanakan kurang lebih satu jam lagi.

Adven sibuk berkutat dengan baju volinya yang sudah mulai ketat di tubuhnya dan Adven rasa ia harus mendapatkan satu yang baru. Sedangkan Nico sibuk dengan sepatunya. Ya, seperti itulah kira-kira persiapan mereka.

“EGYYYYYY!!” Suara Adven menggema di ruang ganti yang berisi puluhan loker yang juga milik tim basket. “Apa sih? b aja dong,” sahut Egy.

“Gue lupa bawa baju ganti, gimana dong?”

“Katanya pinjem gue?”

“Coba cek dulu di loker lo..” Egy pun membuka lokernya dan memilah-milah barangnya. Nihil. Egy tidak memiliki baju ganti cadangan di lokernya.

“Yahh ven, ga ada ternyata.”

“Lo kutangan aja, gue yang pake baju,” Alis Adven naik turun menggoda Egy.

“Udah gila, ya? coba pinjem danu kek faza kek, sama itu tuh bestot lu si Kio.”

“Wah penghinaan ni namanya— KIOOOO KIOOO!!”

Egy membekap mulut Adven dengan tangannya. “Diem anjrit, gua gamau diamuk Kio, kuping gua sakit.”

Adven mencebik kesal, “yaudahlah, gampang, topless aja gue.”

“Gih, nanti pada gini, aaaaa Ka Advennnnn, Ka Adven pacaran yukkk, Ka Adven ganteng banget.

“Dih siapa?”

Fanbase lu HAHAHAHA,”

Adven merinding juga ketika membayangkannya. Sebetulnya, menurut Adven, jadi terkenal tidak se-enak kelihatannya. Kadang tingkah mereka yang berlebihan cukup mengganggunya.

“Rese lo. Btw, bando gue mana?”

“Sama Kio tuh, anaknya di luar lagi pdkt sama Brian.”

“Brian, who?”

“Liat aja sendiri.” Kemudian Egy berlalu begitu saja.


Pertandingan voli berjalan dengan sengit, dengan skor 23-24. 24 dari tim Adven, yang artinya mereka butuh satu skor lagi untuk memenangkan pertandingan.

Namun tampaknya tidak semudah itu. Tim lawan baru saja mencetak satu gol yang mengharuskan tim Adven mencetak selisih sebanyak 2 skor lagi.

“Ah anjing dikit lagi,” umpat Adven.

“Bisa yuk, fokus.” Kata Faza serius.

Dari bangku penonton, Nico dan Brian mengamati pertandingan dengan serius, “Kalah ini mah kelas kita. Itu dia yang make bando cak— eh maksudnya jago banget anjir.” Ujar Nico.

Brian sontak menoleh, “Mau ngomong apa lu?”

“Keren,”

“Siapa?”

“Yang pake bando...”

“Adven?”

“Iya kayanya, yang marah marah waktu gua rusuh pas latihan anak voli. Dia punya pacar?”

“Ngga kayanya. Demen lu?”

“Dia cakep banget Bri...”

Balik ke pertandingan, kemudian satu skor didapat tim Adven dengan mudahnya, “Satu lagi, fokus fokus!” Ucap Danu.

Dan ya... tim Adven sanggup mencetak satu skor, Permainan berakhir dengan skor 24-26, dimenangkan oleh tim Adven.

“Hah menang anjing???” Sorak Egy.

Kio menghampiri yang lainnya di pinggir lapangan, “You did well guys!!

Adven reflek melepas bando yang ia pakai dan menyugar rambutnya ke belakang tanpa sadar bahwa ratusan pasang mata tertuju padanya. Perilaku Adven tersebut membuat sekitarnya bersorak sorak memuji parasnya yang mampu mencuri hati tiap orang di sana. Termasuk satu orang yang sudah terlebih dahulu mengagungkan parasnya— tak lain adalah Nico.

“Bangsat, gua deg-degan bri.”

“Gara-gara Adven mainin rambutnya? lemah lu.”

“Damagenya ke dalem-dalem kalo lu tau mah..”

“Adven ga suka troublemaker btw,”

“Lu kira Kio demen juga sama lu? dia kasian ege,”

“Mulut lu gua tabok pake parutan biar diem.”

“Nih,” Nico justru menantang Brian dengan memajukan bibirnya, kemudian ia berlari menuruni bangku penonton dan pergi ke ruang loker.


“Gua nyuci badan dulu dah ya di kamar mandi,” pamit Kio, Faza, Danu, dan Egy dengan serentak.

“Mau mandi bareng, ketauan.” Ucap Adven asal.

“Sembarangan lu. Btw mau join?” Kata Faza.

Kemudian suara tertawa menggelegar ke seluruh sudut ruangan.

“HAHAHA becanda anjrit,”

Seusai teman-temannya pamit, sekarang tinggal Adven seorang yang berada di ruang loker. Adven baru sadar bahwa ia melupakan sesuatu. Ia lupa bertanya pada temannya, apakah ada yang membawa baju lagi atau tidak.

Saat ini Adven kebingungan. Pasalnya, ia sudah terlanjur melepas baju atasnya, dan meninggalkan bajunya di tasnya— ah... tasnya pun dibawa oleh Kio.

“Woy pake baju kek!” teriak seseorang setelah pintu ditutup dari dalam. Kemudian Adven otomatis menoleh sambil menutupi tubuhnya, “Tutup mata dong!!”

“Eh lu yang tadi voli?”

“Aduh gue kira cewe... — iya.”

“Main lu jago,”

“Thanks.”

Nico berjalan ke lokernya dengan hati yang berdegup tak karuan.

Ia terus menerus membatin, 'Manis banget bangsat'

Sampai saat Nico selesai ganti baju, Adven belum juga keluar ruangan. Ia tahu karena tidak ada suara pintu terbuka.

“Lu kenapa masih di situ?” seru Nico dari lokernya.

Tak ada jawaban. Nico putuskan untuk menghampiri tempat Adven berdiri tadi.

“Ih lo ngapain ngintip?”

“Lu ga nyaut. Lagian sama-sama cowo.”

“Ya... kan kali aja lo belok. Ntar nafsu lagi liat gue.”

“Emang. Tapi gua ga berani ya macem-macem sama lu. Jangan salah paham.”

“Kan bener. Yaudah sana, ngapain di situ?” Kata Adven sambil menutupi tubuhnya dengan tas kosong milik Egy.

“Lu kenapa ga pake baju?”

“Lupa bawa.”

“Ohhh,”

Adven bermonolog sembari melihat Nico yang kembali ke lokernya, 'Ohh doang? aneh dasar.'

Nico kembali dengan hoodie berwarna hijau tua di tangannya. Wajah dan setengah badannya bersembunyi di balik loker— sedang tangannya menyerahkan hoodie tersebut.

“Eh ambil nih, gua ga ngintip.”

“Apaan?”

“Hoodie— Lu ga bakal keluar tanpa baju kan?”

“Y-ya ngga lah!” kemudian Adven menerima hoodie tersebut.

“— Gue pinjem dulu ya... makasih banyak. Gue duluan.”

Tinggal Nico seorang yang berada di dalam sana. Ia tengah kegirangan karena ia merasa mendapatkan kesempatan untuk mendekati Adven. Tentunya menggunakan hoodienya sebagai alasan.