rigeleo

cw // kissing

Sesuai rencana, mereka pergi menggunakan sapu terbang untuk mencari bahan untuk membuat ramuan.

Awalnya mereka pergi menggunakan sapu terbang milik masing-masing, namun nampaknya sang pemilik bahan-bahan tersebut enggan memberikannya secara cuma-cuma, jadi keduanya menyerahkan sapu terbang milik mereka. Beruntungnya, mereka punya cadangan sapu terbang di asrama, jadi mereka tidak perlu terlalu khawatir.

“Gila ya, mintanya ga nanggung nanggung,” cibir Seungmin.

“Hahaha semuanya ngga selamanya gratis, seung.”

“Ya tau, tapi kan sapu terbang mahal. Dikira belinya pake pasir?”

“Yaudah lah, yang penting bahan-bahannya sekarang udah lengkap. Kita bisa cepet cepet ngerjain.”

“Ngerjain mah belakangan aja. Yang harus lo pikirin tuh kita pulangnya gimana?”

Hyunjin bersiul, nadanya familiar di pendengaran Seungmin.

Benar saja, tak lama datanglah Gerald—naga milik Changbin.

“Seriously, Hwang Hyunjin?”

“Nanti gua bilangin biar terbangnya ngga terlalu tinggi kok—yaudah, ayo naik.”

Kemudian, kaki Seungmin bertumpu pada telapak tangan Hyunjin, lalu sedikit mendorong badannya naik supaya ia dapat langsung mencapai punggung si naga—yang kemudian disusul Hyunjin.

Mereka menempuh perjalanan selama 45 menit.

45 menit berlalu—Setelah itu mereka turun di halaman belakang dan berpamitan pada satu sama lain.

“Thanks ya, Hyun. Oh iya! besok mau dipake buat istirahat dulu atau langsung aja? soalnya rentang waktunya masih cukup kalo sehari diambil buat istirahat dulu.”

“Istirahat dulu, ya? gapapa, kan?”

Seungmin mengangguk perlahan, “Iya gapapa. Yaudah kalo gitu, gue masuk ya.”

Seungmin baru berjalan beberapa langkah menjauh, namun langkahnya terhenti. Seungmin memutuskan untuk berbalik menghampiri Hyunjin dan memeluknya.

“Makasih banyak, Hyun. You never stop taking care of me.

Tubuh Hyunjin menegang—kaget dengan apa yang baru saja terjadi padanya.

Karena Hyunjin lambat merespon, Seungmin eratkan lagi pelukannya, berharap bahwa Hyunjin akan mengatakan sesuatu padanya.

Benar saja, Hyunjin pun kemudian balas memeluk Seungmin. Tangannya menahan tubuh Seungmin untuk tidak buru-buru melepas pelukannya.

Dirasa cukup, mereka melepaskan pelukan mereka, dan begitu pelukan terlepas, Hyunjin mendekatkan wajahnya dengan Seungmin.

Seungmin sepertinya tahu maksud dari tingkah Hyunjin yang satu ini—Seungmin pun perlahan memejamkan matanya.

cup

Sebuah ciuman mendarat di pipi kiri Seungmin.

“Prettiest,” Bisik Hyunjin sambil memegang bibir Seungmin dengan jempolnya.

Air muka Seungmin berubah, ia tidak menyangka bahwa Hyunjin hanya menciumnya di pipi.

Bukannya Seungmin memaksa, namun ia kepalang malu karena memejamkan matanya. Ia takut Hyunjin akan meledeknya lagi.

“Ini mukanya merah karena malu atau marah?” Tanya Hyunjin sambil menyinggungkan senyum.

“Ngga tau, ah, udah. Gue mau balik.” Ia menghentakkan kakinya lalu berbalik.

Baru saja berbalik, tangannya sudah ditarik kembali oleh Hyunjin.

“Sorry,” Hyunjin langsung menyambar bibir Seungmin yang membuat Seungmin tersentak.

Tengkuknya ditahan supaya ciuman tidak terlepas, pinggangnya dipeluk erat supaya tidak menjauh.

Seungmin memejamkan matanya, dan mulai pasrah dengan tempo yang dimainkan Hyunjin. Tangan Seungmin pun mulai mengalung sempurna di leher Hyunjin.

“Love you, Seungmin.”

cw // neck kisses not proofread.


Derasnya hujan pada sore hari membuat jalanan ibu kota basah di tiap incinya. Namun tak membuat para warganya enggan untuk tetap beraktivitas. Ya.. walaupun terselip sedikit rasa malas, sebetulnya.

Begitupun Nala.

Kali ini Nala pergi ke kampusnya menggunakan transportasi umum—bis. Sepanjang bis melaju, Nala melihat ratusan orang berlalu lalang tanpa peduli dingin, basah, juga kotor.

'Lagi dikejar deadline atau ada urusan penting, mungkin.' Batin Nala saat itu.

Tidak, sampai saat Nala melihat beberapa pasangan yang berjalan di trotoar ibu kota dengan sebuah payung yang digenggam kuat-kuat supaya tidak diterpa angin dan berujung terbang entah ke mana.

Walaupun terlihat sesak berjalan di bawah sebuah payung—berdua—namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara tidak langsung mereka sedang berbagi kehangatan untuk satu sama lain.

Setelahnya, Nala terkekeh saat melihat sebuah pasangan yang berlarian membelah jalanan penuh genangan tanpa khawatir akan ini dan itu.

'Satu kemungkinan lagi. Mereka ngga peduli dingin, basah, kotor, itu karena selama mereka bareng, mereka ngga perlu khawatirin apapun, kan?' Batinnya sekali lagi.

Jalanan yang sedikit melengang pun menjadi alasan mengapa Nala sampai di kampusnya sedikit lebih cepat. Nala langsung pergi ke toilet sejenak untuk membersihkan sepatunya yang terkena percikan air.

Sekitar 5 menit kemudian, ponsel Nala berdering menunjukkan panggilan masuk dari Tere.

“Halo, Re? kenapa?” “Nalaaaa, lo di mana? udah sampe belum?” “Udah, baru aja nyampe. Lagi di toilet.” “Gue di kantin ya. Ntar lo ke sini aja. Aman kok ga ada si rese,” “Ohh iya iya, bentar lagi gue ke sana.” “Oke dehh byeeee.”

Ia melangkahkan tungkainya dengan santai seraya melihat ponselnya yang kering kerontang karena tidak mendapat notif dari kekasihnya setelah gelembung pesan terakhir yang ia kirim.

Terbesit rasa bersalah di benaknya. Nala tidak dapat berbohong jika terkadang ia merasa responnya kemarin terlalu berlebihan. Namun di sisi lain ia juga sangat tidak menyukai hal tersebut.

Dari kejauhan, Tere melambaikan tangannya, menandakan bahwa Nala harus berjalan sedikit lagi ke arahnya.

“Dari tadi, Re?”

“Baru bangettt, kirain gue lo ngga ngampus hahaha,”

“Gue mahasiswa teladan, for your information.” Nala menyombongkan dirinya diiringi gelak tawa Tere setelahnya.

“Gimana tuh, udah baikan?”

Nala menggelengkan kepalanya yang dengan mudah ditangkap maksudnya oleh Tere.

“Ga tau deh, males gue, Re.”

“Hahahaha tapi kalo kangen, langsung baikan aja. Gue tau banget lo tuh sebenarnya ngga bisa marahan sama Hazel atau cuekin Hazel walaupun cuma sehari.”

Nala cemberut, “Sebenarnya iya, tapi ya gitu deh...”

“Hmm tap— eh, bentar dah, cek grup La, coba.”

Nala buru-buru membuka ponselnya dengan alis tertaut—bingung.

“Anjing,” Umpat Tere.

“Hah, kok???” Nala pun sama kagetnya. Ia masih sibuk menggulir pesan grupnya untuk mencari kemungkinan bahwa kelas akan tetap dilaksanakan.

“Dosennya ngga masuk, astaga, kenapa ga bilang dari tadi si? sumpah mana ujan.”

“Sumpah, Re, ini yang infoin dia beneran lupa atau emang sengaja ga ngasih tau sih? nyebelin amat.”

“Ya kan??? gue takutnya dia nyimpen ini info sendiri terus baru dikasih tau pas udah mepet, bangke.”

Nala menghela nafasnya dalam-dalam guna menahan emosinya, “Jadi, kita balik lagi? ke rumah? anjir males banget.”

“Iya, mau ga mau. Orang hari ini cuma ada kelas ini doang.”

“Oke, ayo balik terus tidur aja ampe. malem.”

Mereka pun berjalan beriringan menyusuri lorong yang nyaris kosong.

“Sepi dah, ini dosennya pada berencana ngga masuk apa gimana, ya? ahahaha,” Celetuk Tere.

“Bilang aja lo takut kalo jalan di lorong sendirian. Ya, kan?”

“Jangan diomongin, ntar dateng beneran aja.”

“Kalo... dateng beneran gue lari!!” Ucap Nala kemudian berlari sekencang-kencangnya.

Tere ikut berlari mengejar Nala, “Nala, jangan rese lo!”

Pada belokan lorong terakhir sebelum mereka menuju parkiran—dengan Nala yang masih setengah berlari—tubuhnya tiba-tiba tersentak dan seketika laju larinya terhenti ketika Nala dengan tidak sengaja menabrak seorang pria di depannya.

Ia jatuh terduduk lalu mendongak,

“Zel?”

“Jangan lari-lari, kebiasaan. Ngga ada hantu, ngga ada.” Ucap Hazel sambil meraih kedua tangan Nala untuk membantunya bangun.

Nala memang suka berlarian di lorong ketika lorong sepi. Dengan alibi 'takut ada hantu', padahal memang dirinya saja yang ingin berlarian. Hazel sudah hafal itu diluar kepala.

“Nalaaaaaa!” terdengar suara Tere yang tertinggal jauh di belakangnya.

Tere menghentikan langkah kakinya tepat di samping Nala yang celingukan.

“Re, ada Davi tuh di depan, ditungguin.”

“Yang bener? aaaa thank you zel. Nala, gue duluan yaaaa, byeee.” Pamit Tere kegirangan saat mengetahui Davi sedang menunggunya.

Kemudian Nala berjalan—hendak membuntuti Tere—namun pergelangan tangannya dicekal oleh Hazel.

“Nala,”

“Aku mau pulang.”

“Yaudah, ayo, aku anterin.”

Nala enggan menanggapi, ia terus berjalan, sedangkan Hazel mengekor dibelakangnya.

“Yah ujan,” Nala menggumam pelan secara spontan.

Hazel melepas jaket levisnya—meletakkan jaket tersebut di kepala. Nala—terakhir, ia rangkul Nala untuk mengajaknya berlari kecil ke mobil.

Di dalam mobil, Nala justru menunjukkan raut khawatir sambil menatap Hazel yang sibuk memasangkan sabuk pengaman untuknya.

“Kenapa ngga nunggu redaan dikit, sih?”

“Hujannya awet.”

“Minjem payung atau apa gitu,”

“Tadi ngga ada orang, Nala, sepi.”

Memang semua yang dikatakan Hazel benar. Nala hanya sedikit khawatir, karena sepanjang ingatan yang ia punya, Hazel mudah sakit.

Nala kira, Hazel akan langsung melajukan mobilnya untuk menerjang hujan—nyatanya, mereka hanya terdiam canggung.

“Nala...”

Nala menoleh, namun kepalanya tertunduk—pandangannya ia lempar ke sembarang sisi.

Tangan dingin Hazel meraih kedua tangan Nala yang juga sama dinginnya. Ia genggam tangan Nala, tak lupa membubuhinya dengan kecupan-kecupan ringan, tak jarang juga Hazel letakkan tangan Nala pada pipinya yang hangat.

“Nala—”

“Aku bakalan ngalah kalo kamu dari awal bilang. Aku ga masalah mau jalan kapanpun, asal apa? kamu tau kan?”

“Asal aku bilang.”

“Itu kamu tau. Aku ga pernah ngerasa saingan sama temen kamu, aku ga pernah mau debat tentang kamu yang dahuluin hal yang lain dari pada aku. Aku ga masalah sama itu semua asalkan kamu bilang. Di sini kamu udah janji, Zel. Pertama kamu bilang agak telat, aku oke-in karena kamu bilang sama aku. Kedua, kamu bilang kalo dateng jam 7, tapi kamu baru bales jam 10. Paham kan?”

“Iya aku tau, aku paham. Aku minta maaf. Aku ga bakalan bela diri aku, karena aku emang salah. Aku bener-bener lupa, sampe pas Jere mention nama kamu, katanya 'Oh iya, Zel, katanya lu mau jalan sama Nala, ngga jadi?' walaupun aku kemarin agak pusing karena minum, aku masih denger apa yang Jere omongin. Makanya aku baru mau chat kamu waktu di jam segitu.”

“Terus kamu pulang jam berapa?”

“Aku pamit saat itu juga. Aku ngechat kamu pas di mobil, siapa tau kamu masih mau. Pas kamu ternyata marah, yaudah aku pulang.”

“Kamu nyetir pas mabok-mabok, gitu?”

“Aku ngga mabok banget, Sayang. Aku masih sadar.”

“Ngerti bahaya ngga?”

“Iya tau, kan aku—”

“Kecuali kamu pergi sama aku, sama Jere atau sama Tere. Jadi ada yang nyetirin kamu, kalo begini kan ngga aman, Zel. Walaupun kamu bilang pusingnya cuma dikit.”

“Iya. maaf maaf,”

Nala mengangguk pelan, “Zel, aku juga minta maaf...”

“Sini, duduk sini.” Hazel menepuk pahanya, mengisyaratkan pada Nala untuk duduk dipangkuannya.

Nala pun dengan susah payah memposisikan dirinya dengan nyaman. Tangannya ia kalungkan—kepalanya ia sandarkan pada pundak Hazel.

“Zel, capek ngga sih ngadepin aku yang banyak mau, ambekan gara-gara hal sepele gini?”

“Ngomong apa si?”

“Serius, jawab aku.”

“Ngga.”

“Ngga doang?”

“Ya iya, lagian juga kamu ngambek ngga setiap hari. Kalo soal banyak maunya, ya bisa diatur. Toh, aku seneng aja nurutin mau kamu.”

“Tapi kesannya aku kaya egois, Zel.”

“Egois gimana? ngga tuh. Aku rasa juga ngga kamu doang yang bakal marah kalo aku ngga nepatin janji. Tapi aku juga, atau bahkan mayoritas orang juga begitu, kan. Jadi, sebab kamu marah itu sebenarnya juga masih 'biasa'. Ngga berlebihan.”

Hazel tiba-tiba mencium leher Nala sekilas. Nala pun mengusap-usap rambut Hazel dengan lembut.

“Zel, aku minta maaf.”

“Maaf kenapa? bukannya aku?”

“Aku nyuekin kamu, terus juga sewot gitu.”

“Gapapa, aku juga paham.”

;

Nala paling senang jika Hazel membubuhi ciuman pada perpotongan lehernya dan beruntungnya, Hazel tau itu.

“Hihii, geli, Zel.”

“Katanya suka?”

Nala mengangguk antusias sebelum wajahnya mendekat untuk menyatukan bibirnya dengan bibir Hazel.

Biarlah keduanya seperti itu sampai hujan sedikit mereda.

cw // neck kisses not proofread.


Derasnya hujan pada sore hari membuat jalanan ibu kota basah di tiap incinya. Namun tak membuat para warganya enggan untuk tetap beraktivitas. Ya.. walaupun terselip sedikit rasa malas, sebetulnya.

Begitupun Nala.

Kali ini Nala pergi ke kampusnya menggunakan transportasi umum—bis. Sepanjang bis melaju, Nala melihat ratusan orang berlalu lalang tanpa peduli dingin, basah, juga kotor.

'Lagi dikejar deadline atau ada urusan penting, mungkin.' Batin Nala saat itu.

Tidak, sampai saat Nala melihat beberapa pasangan yang berjalan di trotoar ibu kota dengan sebuah payung yang digenggam kuat-kuat supaya tidak diterpa angin dan berujung terbang entah ke mana.

Walaupun terlihat sesak berjalan di bawah sebuah payung—berdua—namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara tidak langsung mereka sedang berbagi kehangatan untuk satu sama lain.

Setelahnya, Nala terkekeh saat melihat sebuah pasangan yang berlarian membelah jalanan penuh genangan tanpa khawatir akan ini dan itu.

'Satu kemungkinan lagi. Mereka ngga peduli dingin, basah, kotor, itu karena selama mereka bareng, mereka ngga perlu khawatirin apapun, kan?' Batinnya sekali lagi.

Jalanan yang sedikit melengang pun menjadi alasan mengapa Nala sampai di kampusnya sedikit lebih cepat. Nala langsung pergi ke toilet sejenak untuk membersihkan sepatunya yang terkena percikan air.

Sekitar 5 menit kemudian, ponsel Nala berdering menunjukkan panggilan masuk dari Tere.

“Halo, Re? kenapa?” “Nalaaaa, lo di mana? udah sampe belum?” “Udah, baru aja nyampe. Lagi di toilet.” “Gue di kantin ya. Ntar lo ke sini aja. Aman kok ga ada si rese,” “Ohh iya iya, bentar lagi gue ke sana.” “Oke dehh byeeee.”

Ia melangkahkan tungkainya dengan santai seraya melihat ponselnya yang kering kerontang karena tidak mendapat notif dari kekasihnya setelah gelembung pesan terakhir yang ia kirim.

Terbesit rasa bersalah di benaknya. Nala tidak dapat berbohong jika terkadang ia merasa responnya kemarin terlalu berlebihan. Namun di sisi lain ia juga sangat tidak menyukai hal tersebut.

Dari kejauhan, Tere melambaikan tangannya, menandakan bahwa Nala harus berjalan sedikit lagi ke arahnya.

“Dari tadi, Re?”

“Baru bangettt, kirain gue lo ngga ngampus hahaha,”

“Gue mahasiswa teladan, for your information.” Nala menyombongkan dirinya diiringi gelak tawa Tere setelahnya.

“Gimana tuh, udah baikan?”

Nala menggelengkan kepalanya yang dengan mudah ditangkap maksudnya oleh Tere.

“Ga tau deh, males gue, Re.”

“Hahahaha tapi kalo kangen, langsung baikan aja. Gue tau banget lo tuh sebenarnya ngga bisa marahan sama Hazel atau cuekin Hazel walaupun cuma sehari.”

Nala cemberut, “Sebenarnya iya, tapi ya gitu deh...”

“Hmm tap— eh, bentar dah, cek grup La, coba.”

Nala buru-buru membuka ponselnya dengan alis tertaut—bingung.

“Anjing,” Umpat Tere.

“Hah, kok???” Nala pun sama kagetnya. Ia masih sibuk menggulir pesan grupnya untuk mencari kemungkinan bahwa kelas akan tetap dilaksanakan.

“Dosennya ngga masuk, astaga, kenapa ga bilang dari tadi si? sumpah mana ujan.”

“Sumpah, Re, ini yang infoin dia beneran lupa atau emang sengaja ga ngasih tau sih? nyebelin amat.”

“Ya kan??? gue takutnya dia nyimpen ini info sendiri terus baru dikasih tau pas udah mepet, bangke.”

Nala menghela nafasnya dalam-dalam guna menahan emosinya, “Jadi, kita balik lagi? ke rumah? anjir males banget.”

“Iya, mau ga mau. Orang hari ini cuma ada kelas ini doang.”

“Oke, ayo balik terus tidur aja ampe. malem.”

Mereka pun berjalan beriringan menyusuri lorong yang nyaris kosong.

“Sepi dah, ini dosennya pada berencana ngga masuk apa gimana, ya? ahahaha,” Celetuk Tere.

“Bilang aja lo takut kalo jalan di lorong sendirian. Ya, kan?”

“Jangan diomongin, ntar dateng beneran aja.”

“Kalo... dateng beneran gue lari!!” Ucap Nala kemudian berlari sekencang-kencangnya.

Tere ikut berlari mengejar Nala, “Nala, jangan rese lo!”

Pada belokan lorong terakhir sebelum mereka menuju parkiran—dengan Nala yang masih setengah berlari—tubuhnya tiba-tiba tersentak dan seketika laju larinya terhenti ketika Nala dengan tidak sengaja menabrak seorang pria di depannya.

Ia jatuh terduduk lalu mendongak,

“Zel?”

“Jangan lari-lari, kebiasaan. Ngga ada hantu, ngga ada.” Ucap Hazel sambil meraih kedua tangan Nala untuk membantunya bangun.

Nala memang suka berlarian di lorong ketika lorong sepi. Dengan alibi 'takut ada hantu', padahal memang dirinya saja yang ingin berlarian. Hazel sudah hafal itu diluar kepala.

“Nalaaaaaa!” terdengar suara Tere yang tertinggal jauh di belakangnya.

Tere menghentikan langkah kakinya tepat di samping Nala yang celingukan.

“Re, ada Davi tuh di depan, ditungguin.”

“Yang bener? aaaa thank you zel. Nala, gue duluan yaaaa, byeee.” Pamit Tere kegirangan saat mengetahui Davi sedang menunggunya.

Kemudian Nala berjalan—hendak membuntuti Tere—namun pergelangan tangannya dicekal oleh Hazel.

“Nala,”

“Aku mau pulang.”

“Yaudah, ayo, aku anterin.”

Nala enggan menanggapi, ia terus berjalan, sedangkan Hazel mengekor dibelakangnya.

“Yah ujan,” Nala menggumam pelan secara spontan.

Hazel melepas jaket levisnya—meletakkan jaket tersebut di kepala. Nala—terakhir, ia rangkul Nala untuk mengajaknya berlari kecil ke mobil.

Di dalam mobil, Nala justru menunjukkan raut khawatir sambil menatap Hazel yang sibuk memasangkan sabuk pengaman untuknya.

“Kenapa ngga nunggu redaan dikit, sih?”

“Hujannya awet.”

“Minjem payung atau apa gitu,”

“Tadi ngga ada orang, Nala, sepi.”

Memang semua yang dikatakan Hazel benar. Nala hanya sedikit khawatir, karena sepanjang ingatan yang ia punya, Hazel mudah sakit.

Nala kira, Hazel akan langsung melajukan mobilnya untuk menerjang hujan—nyatanya, mereka hanya terdiam canggung.

“Nala...”

Nala menoleh, namun kepalanya tertunduk—pandangannya ia lempar ke sembarang sisi.

Tangan dingin Hazel meraih kedua tangan Nala yang juga sama dinginnya. Ia genggam tangan Nala, tak lupa membubuhinya dengan kecupan-kecupan ringan, tak jarang juga Hazel letakkan tangan Nala pada pipinya yang hangat.

“Nala—”

“Aku bakalan ngalah kalo kamu dari awal bilang. Aku ga masalah mau jalan kapanpun, asal apa? kamu tau kan?”

“Asal aku bilang.”

“Itu kamu tau. Aku ga pernah ngerasa saingan sama temen kamu, aku ga pernah mau debat tentang kamu yang dahuluin hal yang lain dari pada aku. Aku ga masalah sama itu semua asalkan kamu bilang. Di sini kamu udah janji, Zel. Pertama kamu bilang agak telat, aku oke-in karena kamu bilang sama aku. Kedua, kamu bilang kalo dateng jam 7, tapi kamu baru bales jam 10. Paham kan?”

“Iya aku tau, aku paham. Aku minta maaf. Aku ga bakalan bela diri aku, karena aku emang salah. Aku bener-bener lupa, sampe pas Jere mention nama kamu, katanya 'Oh iya, Zel, katanya lu mau jalan sama Nala, ngga jadi?' walaupun aku kemarin agak pusing karena minum, aku masih denger apa yang Jere omongin. Makanya aku baru mau chat kamu waktu di jam segitu.”

“Terus kamu pulang jam berapa?”

“Aku pamit saat itu juga. Aku ngechat kamu pas di mobil, siapa tau kamu masih mau. Pas kamu ternyata marah, yaudah aku pulang.”

“Kamu nyetir pas mabok-mabok, gitu?”

“Aku ngga mabok banget, Sayang. Aku masih sadar.”

“Ngerti bahaya ngga?”

“Iya tau, kan aku—”

“Kecuali kamu pergi sama aku, sama Jere atau sama Tere. Jadi ada yang nyetirin kamu, kalo begini kan ngga aman, Zel. Walaupun kamu bilang pusingnya cuma dikit.”

“Iya. maaf maaf,”

Nala mengangguk pelan, “Zel, aku juga minta maaf...”

“Sini, duduk sini.” Hazel menepuk pahanya, mengisyaratkan pada Nala untuk duduk dipangkuannya.

Nala pun dengan susah payah memposisikan dirinya dengan nyaman. Tangannya ia kalungkan—kepalanya ia sandarkan pada pundak Hazel.

“Zel, capek ngga sih ngadepin aku yang banyak mau, ambekan gara-gara hal sepele gini?”

“Ngomong apa si?”

“Serius, jawab aku.”

“Ngga.”

“Ngga doang?”

“Ya iya, lagian juga kamu ngambek ngga setiap hari. Kalo soal banyak maunya, ya bisa diatur. Toh, aku seneng aja nurutin mau kamu.”

“Tapi kesannya aku kaya egois, Zel.”

“Egois gimana? ngga tuh. Aku rasa juga ngga kamu doang yang bakal marah kalo aku ngga nepatin janji. Tapi aku juga, atau bahkan mayoritas orang juga begitu, kan. Jadi, sebab kamu marah itu sebenarnya juga masih 'biasa'. Ngga berlebihan.”

Hazel tiba-tiba mencium leher Nala sekilas. Nala pun mengusap-usap rambut Hazel dengan lembut.

“Zel, aku minta maaf.”

“Maaf kenapa? bukannya aku?”

“Aku nyuekin kamu, terus juga sewot gitu.”

“Gapapa, aku juga paham.”

Nala paling senang jika Hazel membubuhi ciuman pada perpotongan lehernya dan beruntungnya, Hazel tau itu.

“Hihii, geli, Zel.”

“Katanya suka?”

Nala mengangguk antusias sebelum wajahnya mendekat untuk menyatukan bibirnya dengan bibir Hazel.

cw // harsh word, hit, bruises, mention of wounds, mention of blood, kissing

Hazel kini sedang menunggu pesanan kopi titipan nala siap untuk ia bawa. Sembari itu, ia merenung, menyesali keputusannya yang terlalu tiba-tiba.

;

Selepas Tere menceritakan segala hal yang terjadi pada siang hari tadi, seketika emosi Hazel memuncak. Otomatis, Hazel langsung bergegas ke kampus dan mencari sang pelaku yang telah membuatnya naik darah—Rendy.

Selama ini, Hazel menahan segala amarah yang mengendap di dalam dirinya hanya karena Nala. Ia menghormati Nala yang selalu berusaha menahannya setengah mati untuk tidak adu fisik dengan kakak tingkat yang paling dibencinya itu.

Karena, bagaimanapun juga, Nala-lah yang berhak memutuskan untuk membalas Rendy atau tidak. Namun, sekarang tidak lagi. Hazel anggap keputusannya adalah keputusan Nala juga. Walaupun ia tau ini salah.

Berbekal info dan dengan ditemani temannya—Jeremy—Hazel pergi mencari Rendy di parkiran belakang kampus yang biasa digunakan mahasiswa lain berkumpul setelah jam kuliah selesai.

Walaupun Rendy bersama banyak teman, hal itu tidak membuat Hazel takut. Hazel menghampiri Rendy dan berdiri tepat di hadapannya.

Ketika Rendy bangun dari duduknya, Hazel langsung menghantam pipi kiri Rendy tanpa didahului sepatah kata pun.

Rendy memegang pipinya sekilas lalu membalas pukulan Hazel. Pukulan tersebut melayang tepat pada bibir sebelah kanan bawah Hazel.

Rendy berseru, “Lu kenapa anjing?!”

“Lu yang kenapa, tolol. Ga usah belaga bego. Gua nahan-nahan biar ga berantemin lu gara-gara Nala, ya. Tapi lu didiemin makin ngelunjak bangsat.”

Rendy menyunggingkan senyumnya sambil menatap remeh Hazel, “Oh, ngadu?”

Hazel tidak menggubris, ia justru membalas pertanyaan Rendy dengan pukulan lagi. Mereka bertengkar di sana, entah seberapa lama. Yang jelas, tubuh Hazel menampilkan beberapa luka lebam yang terlihat jelas.

;

'Harusnya gua ga berantemin sekarang. Gua lupa kalo mau ketemu Nala nanti.' Gumam Hazel.

Hazel tau jika Nala tidak suka dengan seseorang yang dengan mudahnya membatalkan janji. Maka dari itu, Hazel tetap bersikeras ingin menemui Nala—walaupun ia tau, beberapa jam ke depan, pertemuannya akan dihiasi dengan ocehan, omelan, serta nasehat tanpa jeda dari Nala.

;

Ketika Hazel sampai di depan pagar rumah Nala yang terbuka lebar—ia melihat Nala yang sedang duduk manis di teras sembari celingukan memastikan siapa yang lewat di halaman rumahnya.

“Hazel!”

Hazel yang biasa menyibak poninya supaya tidak menutupi dahi—kini membenahi poninya untuk menutupi dahinya yang terluka akibat perkelahian tadi.

“Wangi banget, mau ke mana?” Ledek Hazel begitu Nala memeluknya.

“Aku baru selesai mandi, kan mau ketemu kamu.”

Ketika Nala hendak melepas pelukannya, Hazel menahan pinggang Nala—yang menyebabkan Nala mendongak menatap Hazel.

Nala tersenyum, tangannya ia arahkan untuk memainkan rambut Hazel, seperti biasa.

Hazel lupa, ia terlalu terlena dengan senyuman manis Nala. Sehingga ketika Nala menyibak poninya, Hazel tidak sempat menghindar. Sehingga luka di dahinya terpampang dengan jelas.

“Zel?”

Sadar akan nada bicara Nala yang terdengar khawatir, Hazel menanggapinya dengan kalimat yang (semoga) meyakinkan.

“Ini, aku belum potong kuku, terus pas lagi buru-buru sambil benerin rambut, jadi kecakar.”

Entah alasannya yang bodoh, atau Nala yang pintar.

Tangan Nala langsung menyambar kedua tangan Hazel.

“Kuku kamu pendek, garis kukunya juga ngga keliatan kaya baru dipotong. Aku ngga bego, ya, Zel. Luka kamu juga bukan luka yang sekedar kegores kuku. Robek, Zel, robek.”

Nada bicara Nala mulai tidak teratur, sedikit terengah juga terselip rasa khawatir di sela-selanya.

“Jawab. Kamu kenapa? abis ngapain?”

Sebelum Hazel menjawab, Nala membuka mulutnya dengan ekspresi terkejut, seperti menyadari sesuatu.

“Jangan bilang kamu berantem sana Rendy? — jawab!”

“Sorry,”

Kemudian Nala langsung melepas masker yang Hazel pakai. Betapa terkejutnya Nala karena dugaannya benar—bahwa pipi, juga bibir Hazel penuh dengan luka lebam.

Nala menarik napasnya panjang dan menarik Hazel untuk masuk ke dalam rumahnya. Nala berlari kecil untuk mengambil kotak obatnya yang berada di dekat dapur.

“Nala, sorry...” Ucap Hazel lirih, ketika Nala sibuk mengeluarkan isi kotak obatnya.

“Nala,”

“Kamu diem.”

Nala membersihkan luka lebam tersebut dengan telaten, walaupun tadi di rumah, Hazel sudah membersihkannya.

Sebelum memberinya salep, Nala menekan pelan luka lebam tersebut. Yang membuat Hazel sedikit meringis kesakitan.

“Sakit, kan?” tanya Nala.

“Perih doang dikit.”

“Kamu berantemin dia sendiri? kan temen dia banyak, Zel. Nanti kalo kamu dikeroyok gimana?”

“Aku sama Jeremy, kok. Jeremy juga ga suka kalo Tere digituin, makanya dia mau mau aja nemenin aku. Mendingan kan daripada sendiri?”

“Mendingan dari mananya? kamu berdua aja masih kurang. Ngga liat temennya dia segerombolan?”

Hazel tertawa kecil, “Jadi aku bawa pasukan, nih?”

“Ngga gitu!”

“Aku ga suka kamu digodain dia mulu, Nal. Apalagi tadi dia maksa-maksa kamu, narik-narik kamu. Itu kan udah keterlaluan.”

“Ya tapi jangan berantem gini, Zel. Sekarang aku tanya, kamu kesel ngga kalo aku digodain Rendy?”

“Kesel, ngga suka. Makanya aku berantemin.”

“Sama, aku juga gitu. Aku ngga suka liat kamu berantem, apalagi sampe luka-luka gini.”

“Jadi, kalo berantem jangan sampe luka, gitu, ya?”

“Kamu berantem duluan sini sama aku.”

“Ngga deh, ngga sanggup. Kayanya bakalan langsung kalah telak.”

“Masih aja ya bisa bercanda.”

“Biar kamu tau, kalo aku tuh gapapa.”

Hening pun seketika menyelimuti mereka.

“Di mana letak gapapanya? sini?” Tanya Nala sambil menekan luka Hazel, “Atau sini?” lanjutnya.

“Aw, sakit sakit, masih ngilu, sumpah.”

“Katanya gapapa?”

“Ya emang gapapa. Nih, ya—” Hazel menunjuk luka di sudut bibirnya.

“Kalo ini dicium, aku yakin bakal langsung 'gapapa', langsung sembuh.”

“Tau ah!” Nala mencebik kesal dan mencoba bangun untuk mengembalikan kotak obat.

Namun tangannya buru-buru ditarik Hazel untuk kembali duduk. Lalu Hazel memajukan bibirnya—memberi isyarat.

Sedangkan Nala memutar bola matanya malas.

Diciumnya bibir Hazel sekilas, yang mengundang protes dari sang pemilik.

“Lagi,” pinta

Sekarang, Nala justru tersenyum. Menurutnya, Hazel menjelma menjadi makhluk paling lucu saat meminta ciuman. Apalagi dengan bibirnya yang sengaja cemberut untuk mengundang empati Nala.

Nala menciumnya sekali lagi,

tapi, tangan Hazel menahan tengkuknya sambil melumat bibir Nala dengan lembut.

Tercetak senyuman keduanya pada sesi ciuman mereka.

Setelahnya, Hazel menatap Nala, “Nala, maaf ya.”

“Kalo kamu ngga gini lagi, aku maafin.”

Hazel mengangguk cepat, mengiyakan perkataan Nala—yang padahal dirinya tidak menjamin akan menepatinya atau tidak.

“Please, don't get hurt, Zel. Aku juga sakit liatnya.”

Hazel mengangguk sekali lagi dan meraih rambut Nala untuk ia usap, sambil membubuhinya ciuman.

cw // kiss

Yang namanya hubungan pasti tak luput dengan lika-liku, begitu pun dengan Jeongin dan Seungmin.

Mereka melalui gunung dan lembah dalam 'perjalanan' mereka selama kurang lebih tiga tahun.

Beruntungnya, mereka dapat saling mengerti satu sama lain. Jika terjadi salah paham, salah satunya akan menjelaskan. Jika salah satunya dirundung amarah, satu lainnya akan mengalah.

;

Bagi Jeongin, tidak ada kata sibuk untuk Seungmin. Maka dari itu, Jeongin tidak pernah absen memberi kabar untuk kekasihnya.

Hari ini adalah anniversary mereka yang ke-tiga tahun. Bukanlah waktu yang sebentar, bukan?

Karena hari ini terbilang sangat spesial, maka, Jeongin ingin merayakannya dengan maksimal. Ia akan melakukan apapun supaya Seungmin merasa senang dan dicintai— walaupun kata Seungmin,

“Kamu biasa-biasa aja juga aku udah ngerasa kalo kamu cinta sama aku, Jeku.”

Namun, Jeongin tetaplah Jeongin—yang selalu memegang teguh komitmennya. Jika dari awal ia sudah bertekad untuk memberikan sesuatu yang maksimal, maka seterusnya akan selalu begitu.

;

Matahari masih menampakkan sinarnya dengan terik, pertanda masih siang— Hari masih terlalu dini untuk melihat bintang. Namun, Jeongin sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.

Meskipun dalam benaknya, Seungmin masih bertanya-tanya, ia tetap meng-iya-kan keputusan Jeongin.

Begitu Jeongin sampai, Seungmin berniat untuk berceloteh panjang lebar, mempertanyakan alasan Jeongin, dan sebagainya.

Seungmin berjalan ke arah Jeongin, “Jekuuuuuu,”

Sedangkan Jeongin yang tadinya bersandar pada pintu mobil—pun langsung berdiri dan merentangkan tangannya untuk menyambut Seungmin.

“Halo, sayang— cantik banget.”

“Aku kangen deh,”

“Hahaha aku juga, kok.”

Seungmin makin mengeratkan pelukannya pada Jeongin. Tangan Jeongin pun tak tinggal diam, ia arahkan tangan kanannya untuk mengusap kepala Seungmin.

“Je, kita jadi stargazing?”

“Jadi, kok, kenapa emangnya?”

“Kamu tau maksud aku, kan, Je?” Seungmin memasang wajah seperti 'Come on, Jeongin.'

“Hahaha berarti tunggu malem nanti. Kalo sekarang sama aku dulu, emangnya kamu ga mau ketemu aku?”

“Mauuu, cuma tadinya di bayangan aku tuh kayak... kita langsung, gitu.”

“Yaudah, ayo deh sekarang. Biar kamu ga makin penasaran. Liat aja tuh, muka kamu kalo lagi bingung lucu banget, hahahaha ga bisa aku.”

“Nyebelin banget kamu.” Cibir Seungmin.

Selagi Seungmin memajukan bibirnya, Jeongin curi satu ciuman di sana—yang mengundang protes dari yang lebih tua.


Mata Seungmin berbinar saat melihat tempat yang dijadikan tujuan oleh Jeongin.

“Je?”

“Stargazing, sayang.”

“Je, kamu bercanda?”

“Ngapain aku ke sini kalo bercanda?”

Ternyata, tempat yang dituju Jeongin adalah lokasi konser. Konser yang selama ini Seungmin tunggu tunggu. Jadi, wajar Seungmin se-kaget ini. Ia bahkan tidak memperkirakan bahwa Jeongin mempersiapkan semua ini untuknya.

“Je, tapi kan—”

“Gapapa, aku beneran ngga keberatan, Seung. Aku tau kalo kamu pengen banget dateng, tapi harinya barengan sama anniv kita. Jadi, kamu bisa anggap ini hadiah, oke? dan hadiah ga boleh ditolak.”

Seungmin yang sedari tadi menahan air matanya untuk tidak menetes—akhirnya menyerah.

“Hahaha kenapa kamu nangis? seneng dong harusnya,”

“Aku seneng. Seneng banget, Je. Emangnya ini ga berlebihan? kamu tuh, ya—”

Sebelum Seungmin menyelesaikan kalimatnya, Jeongin buru-buru memeluknya.

“Ssstt sssttt, nanti aku dimarahin, soalnya bawa bayi ke konser.”

“Je...”

Bukannya menenangkan, Jeongin justru meledek Seungmin berkali-kali. Menurutnya, Seungmin paling lucu saat menangis—tapi tentu saja menangis dalam artian lain.

“Makan dulu, yuk?” ajak Jeongin.

Seungmin tidak menjawab, ia justru menarik leher Jeongin untuk menciumnya. Sedangkan Jeongin dengan senang hati menerimanya.


Saat konser berlangsung, mereka berdiri berdampingan.

Sudah hal biasa ketika sang bintang pergi ke pinggir panggung untuk menyapa, atau bahkan mengambil ponsel penggemar untuk mengambil foto atau video.

Begitu juga dengan Seungmin kini. Idola nya tepat berada di depannya—tangan kanan Seungmin sudah siap untuk memberikan ponselnya —dengan posisi kamera yang menyala.

Namun sayang, yang ingin diambil justru ponsel Jeongin.

Kemudian Jeongin buru-buru menyambar ponsel Seungmin lalu menyodorkannya kepada sang idola.

Seungmin tersenyum sumringah, kemudian memerintahkan pada Jeongin untuk sedikit menunduk.

Tanpa ragu, Seungmin kecup pipi Jeongin lalu berkata, “Thank you, Jekuuu.”

“Anything to make you happy, cupcake.” Jeongin pun ikut tersenyum.

;

Di sela-sela konser, Jeongin bernyanyi sebisanya—bermodalkan ingatan saat Seungmin memutar lagu dari idolanya di mobil Jeongin.

“Seung, love you,” Jeongin menatap Seungmin.

“Love you more more more, Jeku— with or without concert ticket, hahahaha.”

cw // kiss

Yang namanya hubungan pasti tak luput dengan lika-liku, begitu pun dengan Jeongin dan Seungmin.

Mereka melalui gunung dan lembah dalam 'perjalanan' mereka selama kurang lebih tiga tahun.

Beruntungnya, mereka dapat saling mengerti satu sama lain. Jika terjadi salah paham, salah satunya akan menjelaskan. Jika salah satunya dirundung amarah, satu lainnya akan mengalah.

;

Bagi Jeongin, tidak ada kata sibuk untuk Seungmin. Maka dari itu, Jeongin tidak pernah absen memberi kabar untuk kekasihnya.

Hari ini adalah anniversary mereka yang ke-tiga tahun. Bukanlah waktu yang sebentar, bukan?

Karena hari ini terbilang sangat spesial, maka, Jeongin ingin merayakannya dengan maksimal. Ia akan melakukan apapun supaya Seungmin merasa senang dan dicintai— walaupun kata Seungmin,

“Kamu biasa-biasa aja juga aku udah ngerasa kalo kamu cinta sama aku, Jeku.”

Namun, Jeongin tetaplah Jeongin—yang selalu memegang teguh komitmennya. Jika dari awal ia sudah bertekad untuk memberikan sesuatu yang maksimal, maka seterusnya akan selalu begitu.

;

Matahari masih menampakkan sinarnya dengan terik, pertanda masih siang— Hari masih terlalu dini untuk melihat bintang. Namun, Jeongin sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.

Meskipun dalam benaknya, Seungmin masih bertanya-tanya , ia tetap meng-iya-kan keputusan Jeongin.

Begitu Jeongin sampai, ia berniat untuk berceloteh panjang lebar, mempertanyakan alasan Jeongin.

Seungmin berjalan ke arah Jeongin, “Jekuuuuuu,”

Sedangkan Jeongin yang tadinya bersandar pada pintu mobil—pun langsung berdiri dan merentangkan tangannya untuk menyambut Seungmin.

“Halo, sayang— cantik banget.”

“Aku kangen deh,”

“Hahaha aku juga, kok.”

Seungmin makin mengeratkan pelukannya pada Jeongin. Tangan Jeongin pun tak tinggal diam, ia arahkan tangan kanannya untuk mengusap kepala Seungmin.

“Je, kita jadi stargazing?”

“Jadi, kok, kenapa emangnya?”

“Kamu tau maksud aku, kan, Je?” Seungmin memasang wajah seperti 'Come on, Jeongin.'

“Hahaha berarti tunggu malem. Emangnya kamu ga mau cepet-cepet ketemu aku?”

“Mauuu, cuma tadinya di bayangan aku tuh kayak... kita langsung, gitu.”

“Yaudah, ayo deh sekarang. Biar kamu ga makin penasaran. Liat aja tuh, muka kamu kalo lagi bingung lucu banget, hahahaha ga bisa aku.”

“Nyebelin banget kamu.” Cibir Seungmin.

Selagi Seungmin memajukan bibirnya, Jeongin curi satu ciuman di sana—yang mengundang protes dari yang lebih tua.


Mata Seungmin berbinar saat melihat tempat yang dijadikan tujuan oleh Jeongin.

“Je?”

“Stargazing, sayang.”

“Je, kamu bercanda?”

“Ngapain aku ke sini kalo bercanda?”

Ternyata, tempat yang dituju Jeongin adalah lokasi konser. Konser yang selama ini Seungmin tunggu tunggu. Jadi, wajar Seungmin se-kaget ini. Ia bahkan tidak memperkirakan bahwa Jeongin mempersiapkan semua ini untuknya.

“Je, tapi kan—”

“Gapapa, aku beneran ngga keberatan, Seung. Aku tau kalo kamu pengen banget dateng, tapi harinya barengan sama anniv kita. Jadi, kamu bisa anggap ini hadiah, oke? dan hadiah ga boleh ditolak.”

Seungmin yang sedari tadi menahan air matanya untuk tidak menetes—akhirnya menyerah.

“Hahaha kenapa kamu nangis? seneng dong harusnya,”

“Aku seneng. Seneng banget, Je. Emangnya ini ga berlebihan? kamu tuh, ya—”

Sebelum Seungmin menyelesaikan kalimatnya, Jeongin buru-buru memeluknya.

“Ssstt sssttt, nanti aku dimarahin, soalnya bawa bayi ke konser.”

“Je...”

Bukannya menenangkan, Jeongin justru meledek Seungmin berkali-kali. Menurutnya, Seungmin paling lucu saat menangis—tapi tentu saja menangis dalam artian lain.

“Makan dulu, yuk?” ajak Jeongin.

Seungmin tidak menjawab, ia justru menarik leher Jeongin untuk menciumnya. Sedangkan Jeongin dengan senang hati menerimanya.


Saat konser berlangsung, mereka berdiri berdampingan.

Sudah hal biasa ketika sang bintang pergi ke pinggir panggung untuk menyapa, atau bahkan mengambil ponsel penggemar untuk mengambil foto atau video.

Begitu juga dengan Seungmin kini. Idola nya tepat berada di depannya—tangan kanan Seungmin sudah siap untuk memberikan ponselnya —dengan posisi kamera yang menyala.

Namun sayang, yang ingin diambil justru ponsel Jeongin.

Kemudian Jeongin buru-buru menyambar ponsel Seungmin lalu menyodorkannya kepada sang idola.

Seungmin tersenyum sumringah, kemudian memerintahkan pada Jeongin untuk sedikit menunduk.

Tanpa ragu, Seungmin kecup pipi Jeongin lalu berkata, “Thank you, Jekuuu.”

“Anything to make you happy, cupcake.” Jeongin pun ikut tersenyum.

#— where there's jeku, there's love.

cw // kiss

Yang namanya hubungan pasti tak luput dengan lika-liku, begitu pun dengan Jeongin dan Seungmin.

Mereka melalui gunung dan lembah dalam 'perjalanan' mereka selama kurang lebih tiga tahun.

Beruntungnya, mereka dapat saling mengerti satu sama lain. Jika terjadi salah paham, salah satunya akan menjelaskan. Jika salah satunya dirundung amarah, satu lainnya akan mengalah.

;

Bagi Jeongin, tidak ada kata sibuk untuk Seungmin. Maka dari itu, Jeongin tidak pernah absen memberi kabar untuk kekasihnya.

Hari ini adalah anniversary mereka yang ke-tiga tahun. Bukanlah waktu yang sebentar, bukan?

Karena hari ini terbilang sangat spesial, maka, Jeongin ingin merayakannya dengan maksimal. Ia akan melakukan apapun supaya Seungmin merasa senang dan dicintai— walaupun kata Seungmin,

“Kamu biasa-biasa aja juga aku udah ngerasa kalo kamu cinta sama aku, Jeku.”

Namun, Jeongin tetaplah Jeongin—yang selalu memegang teguh komitmennya. Jika dari awal ia sudah bertekad untuk memberikan sesuatu yang maksimal, maka seterusnya akan selalu begitu.

;

Matahari masih menampakkan sinarnya dengan terik, pertanda masih siang— Hari masih terlalu dini untuk melihat bintang. Namun, Jeongin sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.

Meskipun dalam benaknya, Seungmin masih bertanya-tanya , ia tetap meng-iya-kan keputusan Jeongin.

Begitu Jeongin sampai, ia berniat untuk berceloteh panjang lebar, mempertanyakan alasan Jeongin.

Seungmin berjalan ke arah Jeongin, “Jekuuuuuu,”

Sedangkan Jeongin yang tadinya bersandar pada pintu mobil—pun langsung berdiri dan merentangkan tangannya untuk menyambut Seungmin.

“Halo, sayang— cantik banget.”

“Aku kangen deh,”

“Hahaha aku juga, kok.”

Seungmin makin mengeratkan pelukannya pada Jeongin. Tangan Jeongin pun tak tinggal diam, ia arahkan tangan kanannya untuk mengusap kepala Seungmin.

“Je, kita jadi stargazing?”

“Jadi, kok, kenapa emangnya?”

“Kamu tau maksud aku, kan, Je?” Seungmin memasang wajah seperti 'Come on, Jeongin.'

“Hahaha berarti tunggu malem. Emangnya kamu ga mau cepet-cepet ketemu aku?”

“Mauuu, cuma tadinya di bayangan aku tuh kayak... kita langsung, gitu.”

“Yaudah, ayo deh sekarang. Biar kamu ga makin penasaran. Liat aja tuh, muka kamu kalo lagi bingung lucu banget, hahahaha ga bisa aku.”

“Nyebelin banget kamu.” Cibir Seungmin.

Selagi Seungmin memajukan bibirnya, Jeongin curi satu ciuman di sana—yang mengundang protes dari yang lebih tua.


Mata Seungmin berbinar saat melihat tempat yang dijadikan tujuan oleh Jeongin.

“Je?”

“Stargazing, sayang.”

“Je, kamu bercanda?”

“Ngapain aku ke sini kalo bercanda?”

Ternyata, tempat yang dituju Jeongin adalah lokasi konser. Konser yang selama ini Seungmin tunggu tunggu. Jadi, wajar Seungmin se-kaget ini. Ia bahkan tidak memperkirakan bahwa Jeongin mempersiapkan semua ini untuknya.

“Je, tapi kan—”

“Gapapa, aku beneran ngga keberatan, Seung. Aku tau kalo kamu pengen banget dateng, tapi harinya barengan sama anniv kita. Jadi, kamu bisa anggap ini hadiah, oke? dan hadiah ga boleh ditolak.”

Seungmin yang sedari tadi menahan air matanya untuk tidak menetes—akhirnya menyerah.

“Hahaha kenapa kamu nangis? seneng dong harusnya,”

“Aku seneng. Seneng banget, Je. Emangnya ini ga berlebihan? kamu tuh, ya—”

Sebelum Seungmin menyelesaikan kalimatnya, Jeongin buru-buru memeluknya.

“Ssstt sssttt, nanti aku dimarahin, soalnya bawa bayi ke konser.”

“Je...”

Bukannya menenangkan, Jeongin justru meledek Seungmin berkali-kali. Menurutnya, Seungmin paling lucu saat menangis—tapi tentu saja menangis dalam artian lain.

“Makan dulu, yuk?” ajak Jeongin.

Seungmin tidak menjawab, ia justru menarik leher Jeongin untuk menciumnya. Sedangkan Jeongin dengan senang hati menerimanya.


Saat konser berlangsung, mereka berdiri berdampingan.

Sudah hal biasa ketika sang bintang pergi ke pinggir panggung untuk menyapa, atau bahkan mengambil ponsel penggemar untuk mengambil foto atau video.

Begitu juga dengan Seungmin kini. Idola nya tepat berada di depannya—tangan kanan Seungmin sudah siap untuk memberikan ponselnya —dengan posisi kamera yang menyala.

Namun sayang, yang ingin diambil justru ponsel Jeongin.

Kemudian Jeongin buru-buru menyambar ponsel Seungmin lalu menyodorkannya kepada sang idola.

Seungmin tersenyum sumringah, kemudian memerintahkan pada Jeongin untuk sedikit menunduk.

Tanpa ragu, Seungmin kecup pipi Jeongin lalu berkata, “Thank you, Jekuuu.”

“Anything to make you happy, cupcake.” Jeongin pun ikut tersenyum.


“Hi, love. I'm home.” sapa Minho sesaat setelah membuka pintu apartemen mereka.

Minho langsung menuangkan beberapa tetes hand sanitizer ke telapak tangannya.

“Agak cepet ya nyampenya. Ngga macet, ya, kak?”

“Macet, kaya biasa. Untung tadi aku keluar dari kantor lebih cepet, jadi bisa cepet nyampe juga.”

“Sorry, ya, kalo aku tiba-tiba ngechat kamu begitu. Kamu kepikiran, ya?”

“Iya, sedikit. Takut kamu nangis lagi, soalnya aku lupa nyetok permen,”

“Nyebelin,”

Minho duduk sejenak di sofa untuk meluruskan punggungnya, sedangkan Seungmin membuatkan Minho teh melati, seperti biasa.

“Kak, serius, aku udah biasa aja. Tapi kenapa tadi aku kaget gitu, ya?”

“Kamu ngga ketemu dia udah satu, hampir dua tahun. Itu pun ngga ketemu karena hal buruk, jadi, wajar kamu kaget pas tiba-tiba ketemu dia.”

“Kak, kalo misal aku ketemuan sama Hyunjin gimana? aku pengen selesain ini semua. Maksudnya... iya, udah selesai. Tapi ada satu yang kurang, kamu tau maksudnya, kan?”

“Tau, sayang. Aku paham. Gapapa, ketemu aja, aku seneng karena kamu udah berani ambil keputusan yang sebenarnya ga gampang buat kamu.”

Seungmin menghampiri Minho—ikut duduk di sebelahnya. Sedang Minho menyambut Seungmin dengan rangkulannya.

“You did well, you did well. My Seungmin did very well.” ucap Minho kegemasan saat Seungmin tiba-tiba memeluknya dan menenggelamkan wajahnya pada leher Minho—sambil membubuhi kepalanya dengan ciuman.

Seungmin tersenyum lebar, “Nanti kamu ikut, ya? aku ngga mau dateng sendirian.”

“Nanti kita omongin lagi kalo soal itu. Emangnya kamu mau ketemu Hyunjin kapan?”

“Tanggal 8.”

“Ohh okay, abis dari sana kita ada janji loh, jangan lupa.”

“Hampir lupa heheheh,”

Minho melihat tangan Seungmin—tak nampak ada sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya.

“Cincin kamu ke mana? kok ngga dipake?”

Seungmin seketika tersadar, “Eh, iya, di mana ya kak? tadi aku taro sini deh,” jelas Seungmin sambil meraba-raba meja di depannya.

“Aku tuh tadi habis bersihin ikan, terus cincinnya aku lepas, aku taro sini dulu— sebentar deh aku cari di kamar.” Seungmin hendak berdiri, namun tangannya buru-buru ditarik kembali oleh Minho.

“Ini apa?” Minho menunjukkan cincin yang terselip di jari telunjuk dan jempolnya.

“Sorry kak,”

“Hahahah kenapa tiba-tiba murung gitu?”

“Abisnya..”

“Cium. Nanti aku kasih cincinnya.”

Seungmin menurut, ia mengecup sekilas bibir Minho.

“Di sini juga,” Minho menunjuk pipi kanan dan kirinya.

Seungmin lagi-lagi dengan senang hati menuruti permintaan Minho.

“Satu lagi di sini, terakhir terakhir,”

Minho menunjuk bibirnya, lagi.

“Kak!”

Seungmin mencium bibir Minho—ketika ia ingin menjauhkan wajahnya, Minho justru tarik tengkuk Seungmin untuk menahan ciuman mereka.

“I love youuu 100 juta,” ucap Minho.

“Kalo aku, i love you to the moon, and saturn, bolak balik 7 kali, kak!”

— ;

seungjin ft. 2min cw // angst, break up, cheating, bad memories


Januari, 2022.

Bulan Januari tahun ini—seperti biasa—selalu di guyur hujan hampir setiap harinya. Menurut yang Seungmin pelajari saat di bangku sekolah dulu, penyebabnya adalah ; pertama, kehendak Tuhan ; kedua, memang musimnya.

Ada beberapa tipe suasana hati manusia saat dihadapkan dengan hujan. Seperti senang, kesal, bahkan sedih. Kalau Seungmin pribadi merupakan gabungan dari ketiga tipe tersebut, walaupun sebenarnya cenderung sedih, ia bersikeras untuk menyangkalnya.

Hujan—terlebih lagi pada bulan Januari memberi Seungmin perspektif berbeda, tepat sejak dua tahun yang lalu.

Hubungan yang ia jalin dengan Hyunjin—mantan kekasihnya—kandas pada bulan satu, dua tahun lalu—Saat hujan sedang turun dengan derasnya

Kala itu, Seungmin berusaha mempertahankan hubungan mereka yang sebetulnya sudah terlanjur mustahil untuk dipertahankan.


Januari, 2020.

Selama beberapa hari belakangan, Hyunjin selalu sibuk. Jadi, ia tidak dapat bertemu Seungmin barang sebentar saja.

Sebagai kekasih yang sudah kepalang rindu, ditambah kekhawatiran Seungmin—yang takut jika Hyunjin akan mementingkan pekerjaannya daripada dirinya—membuat Seungmin sekarang sudah berdiri tepat di depan pintu apartemen Hyunjin.

Ia masukkan pin apartemen Hyunjin yang sudah diluar kepala sembari menaruh harap, semoga setengah jiwanya dalam keadaan baik.

Sesaat setelah Seungmin membuka pintu, ia dapat langsung menyimpulkan bahwa Hyunjin sedang dalam keadaan baik. Sangat baik.

Meskipun seisi ruangan tersebut dipenuhi oleh alunan musik, bukan berarti Seungmin tidak dapat mendengar suara lenguhan bersahut-sahutan, mendengar nama kekasihnya dielu-elukan entah oleh siapa, yang jelas bukan dirinya.

Seungmin langsung berbalik arah untuk kembali ke mobilnya dengan tubuh yang bergetar, air matanya sudah tertampung penuh di pelupuk mata—siap untuk jatuh membasahi pipinya. Saat ia mendudukkan dirinya, saat itu pula ia menangis sejadi-jadinya.

;

“Hyunjin, aku mau kita ketemu. Aku ngga peduli kamu sibuk atau ngga. Aku cuma mau ngomong sebentar, ngga sampai satu jam. Alamat rumahku masih sama, kalo kamu lupa.” Pesan Seungmin pada pagi keesokan harinya.

Setelah beberapa kesepakatan, akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu pada malam harinya.

“Kamu akhir-akhir ini sibuk banget, ya?”

“As you see, Seung.”

“Aku bisa nyamperin kamu ke apart kok kalo kamu ngga sempet ninggalin apart buat ketemu aku. Tapi kenapa selalu ngga boleh?”

“Takut ganggu kerjaanku,”

“Aku ganggu, ya? padahal aku cuma mau liat kamu sebentar. Aku ngga minta kamu buat peluk aku atau semacamnya, loh.”

“Seung, kalo kamu cuma mau ribut, aku pulang sekarang.”

“Go on, someone is waiting for you to do a hot session, right?”

“Apa? apalagi sekarang mau kamu? mau nuduh aku?”

“Faktanya gitu, kok. Aku dateng ke apartemen kamu kemarin.”

Hyunjin memasang ekspresi terkejut. Seungmin pikir Hyunjin akan membujuk Seungmin atau setidaknya mengaku kemudian meminta maaf.

Namun, tidak seperti itu adanya.

“Kamu... udah tau? — I won't defend myself. It's not wrong at all, that.. i already have someone new.”

Seungmin kehabisan kata-kata untuk sekedar menanggapi Hyunjin.

“Sekarang kamu udah tau semuanya, jadi, maunya gimana?”

“Kamu putusin dia.”

“If i have to break up, then it's with you, Seung. Jujur selama 3 bulan belakangan aku udah ngga ngerasa kalo aku masih cinta sama kamu. Aku pengen bilang ini, tapi kamu selalu nunjukin kalo kamu masih cinta banget sama aku, dan itu bikin aku ngga tega.”

“Ngga tega kata kamu? you actually hurt me more by doing all this shit.”

“Aku bingung, this choice... is... too difficult for me.”

“Then what's easy for you? selingkuh?”

“Kamu jangan bilang seakan-akan aku selalu selingkuh, ya.”

“Kamu tersinggung? berarti bener?”

“Terserah, aku ngga mau debat lama-lama. Kalo mau putus, putus aja.”

“You— really? after everything?”

“Stop it, okay? aku anggap kamu setuju, dan kita. Udah. Putus. Ngga ada yang perlu dibicarain lagi, aku pamit.”

Seiring langkah Hyunjin menjauh, semakin keras pula tangisan Seungmin pada malam berhujan tersebut.

Sejak saat itu ia membenci semua yang ada pada saat itu. Bulan Januari, Hujan pada bulan Januari, juga kenangan pada bulan Januari.


Agustus, 2020.

Perlahan-lahan, seiring berjalannya waktu, juga atas kehadiran Minho di sampingnya—Seungmin mulai mencoba menerima semuanya.

Minho dan Seungmin merupakan teman lama. Teman SMP, kalau tidak salah.

Namun, mereka baru bertemu kembali saat Seungmin pindah perusahaan tempatnya bekerja.

Berkat Minho, Seungmin merasa kembali dicintai dan merasa pantas untuk dicintai— karena sejak saat itu—saat ia putus denga Hyunjin—ia selalu meragukan dirinya, selalu berata jika ia tak pantas untuk siapapun.

Pernah, pada suatu waktu, Minho berkata,

“Jangan salahin diri kamu saat kamu tau siapa yang sebenarnya salah di sini,”

“Salah aku. Aku banyak kurangnya, kak. Karena.. kalo aku ngga kurang apapun, kaya apa kata kamu. Aku ngga bakal diselingkuhin, kak.”

“Mau sesempurna apapun kamu, kalo Hyunjin niatnya selingkuh, ya dia bakalan ngelakuin itu, Seung. Kamu harus tau kalo selingkuh itu ngga ada dasar yang jelas selain karena orang itu sendiri yang mau.”

Mungkin Seungmin muak mendengar itu semua dan menolak percaya pada awalnya. Namun, Minho selalu punya caranya tersendiri.

Jika kata-kata tak mampu mengetuk hati Seungmin untuk kembali percaya, maka Minho buktikan dengan perbuatan.

Tak pernah ada kisah di mana Minho meninggalkan Seungmin—yang lama kelamaan membuat Seungmin terbiasa akan kehadiran Minho dan mulai paham, bahwa semua yang Minho katakan adalah benar.


Oktober, 2020.

Pada bulan Oktober ini, Seungmin mulai membangun kembali semuanya bersama Minho.

“Thank you for always being by my side when i need a place to lean on, thank you for waiting for me, kak. From now on, ayo jadi bahu buat satu sama lain.”

Mereka pun menjadi sepasang kekasih saat Seungmin yakin bahwa sudah tidak ada bayang-bayang Hyunjin lagi dalam benaknya—yang ada hanya Minho dan sejuta rasa cintanya.


Januari, 2022 ; sekarang.

Hujan pertama di tahun 2022 turun pada tanggal 8 bulan Januari. Tidak terasa bahwa Seungmin sudah melalui semuanya bersama Minho.

Sekarang, Seungmin memutuskan untuk sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya.

“Di luar hujan, Seung. Ketemu Hyunjinnya mau di hari lain aja?” tanya Minho dengan hati-hati.

“Ngga, kak. Aku mau sekarang,”

“Tapi—”

“Kak, aku punya kamu. Aku pun udah ngga ambil pusing sama semua yang ada di masa lalu. Asal aku sama kamu, aku gapapa. Kamu mau, kan, nemenin aku?”

Minho tersenyum teduh, “Iya, nanti aku temenin. Tapi aku tunggu mobil, karena aku tau kamu butuh ruang buat ngomongin semuanya sama Hyunjin.”

“Tapi, kak... aku ta—”

“Aku percaya sama kamu.”

Ganti, sekarang Seungmin tersenyum dan berjalan ke arah Minho untuk memeluknya erat, “Makasih banyak, kak.”

;

Beberapa hari sebelumnya, Seungmin sudah membuat janji dengan Hyunjin untuk bertemu.

Jadi, sekarang ia sudah berada di depan apartemen Hyunjin.

Tidak, ini bukanlah apartemen yang sama. Hyunjin sudah pindah dari apartemen lamanya.

“H-hai, Hyun... apa kabar? long time no see, ya?”

“Seung... gue baik,” Hyunjin berbohong.

“Glad to hear that,” Seungmin tersenyum, “Masih sama yang waktu itu?”

“Umm.. nope.”

“Ah.. sorry,”

“Its fine. — Seung, gue mau minta maaf buat semuanya, maaf karena—”

“Nooo, gue masih inget, kok. Jangan diceritain lagi, ya? gue udah maafin lo, kok.”

Mereka berbincang sejenak, walaupun isi dari perbincangan mereka kebanyakan hanya permintaan maaf dari Hyunjin.

“Seung, lo mau mulai—”

“Seungmin!”

Ucapan Hyunjin terputus saat Minho keluar dari mobil—memanggil—lalu menghampiri Seungmin.

“Sorry kalo aku ganggu, kita ada janji buat ketemu orang WO,”

“Oh, iya! hampir lupa.” kata Seungmin.

Seungmin pun mengeluarkan sebuah undangan berwarna rose gold yang berhiaskan glitter—tak lupa bahwa di sana tertulis nama Seungmin dan Minho.

“Hyunjin, gue cuma mau kasih ini. Gue bakalan seneng banget kalau lo mau dateng— Oh ya, sebelumnya, ini kak Minho.”

Hyunjin dan Minho pun saling berjabat tangan.

“A..ahh.. i'm happy for you two. Semoga lancar, ya?”

“Iya, makasih, Hyun. Gue pamit dulu, ya?”

Hyunjin mengangguk, mereka berpelukan sekilas, lalu langkah Seungmin mulai menjauh.

Tampak sekali bahwa sudah tidak ada celah bagi Hyunjin untuk masuk, Hyunjin sadar akan hal itu.

Biarlah ia belajar dari kesalahannya, biarlah Hyunjin juga merasakan bagaimana rasanya ikhlas itu—sama seperti Seungmin dahulu.

;

Sekarang, bulan Januari, Hujan, dan segala apa yang ada di dalamnya bukanlah apa-apa bagi Seungmin.


“Udah? Yuk.”

“Udah, sebentar. Rambutku berantakan ngga?” Tanya Sastra sambil mendongak menatap Nara. Kemudian Nara membenahi rambut Sastra yang sebetulnya tidak terlalu berantakan.

“Nah, udah,” Lalu ia genggam tangan Sastra sembari melangkahkan tungkainya keluar café

Mereka berada di café selama kurang lebih setengah jam, selepasnya mereka memutuskan untuk late night drive sebelum kembali ke apartemen Nara.

Ngomong-ngomong tentang apartemen, kali ini Sastra memutuskan untuk menginap di apartemen Nara. Mengingat bahwa orang tuanya sedang melakukan perjalanan luar kota, jadi, Sastra enggan untuk berdiam di rumah sendirian. Padahal, bisa saja ia yang mengajak Nara ke rumahnya. Namun, ia berpikir masih ada lain waktu.

Mereka pun menyusuri jalanan ibu kota yang sudah mulai nampak sepi. Dengan suara musik yang menyeruak memenuhi pendengaran, jendela mobil yang dibuka sehingga angin dapat masuk dan menerpa wajah mereka, juga tangan yang saling bertaut. Tidak ada momen sederhana yang lebih sempurna daripada itu.

Perjalanan malam yang barusan itu memiliki efek luar biasa bagi keduanya. Pikiran mereka jadi lebih tenang. Disamping itu, selama perjalanan mereka tidak ragu untuk bercerita satu sama lain. Waktu kian berlalu, membuat keduanya terpaksa untuk mengakhiri sesi perjalanan malam mereka kali ini. Keduanya pun melaju menuju apartemen untuk beristirahat.

Sastra merasa ia butuh mandi setelah ini. Maka setelah Nara memarkirkan mobilnya dengan sempurna, ia lari meninggalkan Nara.

“Ka, aku lari, ya! Aku mau mandi duluan!”

Di belakang, Nara hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah gemas kekasihnya itu. Padahal, tidak apa juga jika Sastra ingin mandi duluan. Pasti Nara akan mengizinkannya, toh, Nara juga terbiasa untuk merebahkan dirinya terlebih dahulu, barulah ia akan pergi mandi.

Nara memasuki lift dengan harapan kekasihnya itu sudah sampai di depan unitnya, tapi setelah pintu lift terbuka di lantai 8, ia agak kaget melihat Sastra yang menunggunya di depan lift seperti anak anjing yang polos.

“Loh? Kenapa nunggu aku? Tadi katanya mau mandi duluan.”

“Ih! Kan aku ngga tau passwordnya, Ka.”

“Oh, hahaha makanya jangan sotau,”

Sastra berjalan mundur dengan posisi dirinya yang menghadap Nara. Mereka berjalan di koridor dengan mulut Sastra yang tidak berhenti berceloteh, sedangkan Nara hanya memperhatikan tingkah Sastra sambil sesekali merespon dengan tertawa kecil.

Nara menekan tombol angka pada pintunya sambil menyuruh Sastra untuk memperhatikan passwordnya. Pintu pun terbuka, secepat kilat Sastra langsung masuk kamar mandi. Lagi-lagi Nara hanya tersenyum.

“Ka, aku pinjem bajunya!” Serunya dari dalam kamar mandi.

“Iya, nanti aku ambilin. Pake bathrobe aja dulu, di situ ada dua, kan?”

“Iya,”

Selang 10 menit, Sastra pun keluar kamar mandi.

Wangi pun menyebar di penjuru ruangan, “Aku jadi wangi kamuuuu,” Ucap Sastra yang sedang sibuk dengan tali bathrobe nya. Tau jika Sastra kesulitan, Nara hampiri Sastra untuk membantunya mengikat tali bathrobe tersebut.

“Nanti kamu ke kamar aja, pilih baju sendiri, sambil dicoba mana yang pas, ya?”

“Okay! Tapi aku pengen ngemil, ada roti ngga?”

“Ada deh kayanya, di meja, aku baru beli kemarin. Dimakan aja.”

“Aku bikin roti panggang, ya? Kamu mau?”

“Boleh, satu aja.”

“Yaudah, mandi sana.”

Selesai memanggang roti, Sastra memilih untuk mencuci teflon terlebih dahulu, baru ia akan makan rotinya dengan Nara.

Dikarenakan suara air yang mengalir, Sastra tidak tau menau bahwa Nara sudah selesai mandi, dan sekarang tangan Nara sudah melingkar sempurna di pinggangnya, dengan dagu yang disandarkan pada bahunya sambil sesekali mencuri-curi ciuman pada pipi juga leher Sastra secara bergantian.

“Geli, Ka!”

Nara tidak berniat untuk mengungkung Sastra, namun karena perilaku Sastra yang tiba-tiba membalik badannya, jadilah demikian.

Akhirnya jarak antara mereka hanya bersisa beberapa senti saja. Sastra yang sadar pun ingin mencoba keluar dari situasi canggung tersebut.

Tapi, gerak gerik Sastra sepertinya terbaca, sehingga Nara buru-buru menarik pinggang Nara untuk lebih mendekat dengan tangan kiri yang masih digunakan untuk menahan tubuhnya.

Nara tatap lekat-lekat kedua manik hazel milik Sastra, “Cantik, mata kamu beneran secantik itu.”

Sastra merasakan pipinya yang menghangat sesaat setelah Nara melontarkan kalimat pujian tersebut. Beruntung, lampu dapur tidak menyala seluruhnya, hanya menyisakan lampu lampu kecil berwarna kuning yang cahaya nya tidak seterang lampu-lampu pada umunya.

Karena, bisa-bisa Sastra makin malu jikalau Nara tau bahwa pipinya sedang memerah sekarang.

“Aku boleh confess lagi ngga, sih?”

Sastra menampakkan cengirannya sambil memainkan rambut Nara, “Boleh, coba aku mau denger.”

“Waktu pertama kali aku liat kamu, kamu itu pake masker, jadi yang pertama kali aku liat itu mata kamu. At that time, I thought your eyes had magic. Buktinya aku langsung cinta sama kamu.”

Ughh cheesy,” ledek Sastra.

Tidak peduli akan ejekan Sastra, Nara melanjutkan kalimatnya, “Padahal waktu itu aku liatnya dari jauh, loh. Gimana dari deket? – tapi, aku udah ngga penasaran gimana rasanya natap mata kamu dari deket. Karena sekarang aku ngerasain itu.”

Ah, really? Rasanya gimana?”

Unbelievable – melebihi ekspektasi aku.”

Sastra menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Nara, karena ucapan Nara sukses membuatnya benar-benar tersipu sekarang. Tidak terima jika wajah yang ditatapnya hilang dari tatapannya, maka, Nara bawa lagi wajah Sastra untuk mendongak menatapnya.

“Sejak itu, aku ngga bisa liat kamu dengan cara yang biasa aja – dengan cara orang-orang pada umumnya. Aku bersyukur banget bisa liat mata kamu dengan jarak sedeket ini, setiap harinya. You’re gonna live forever in me, sas.

“Kayanya kamu berlebihan, Ka, I don’t really deserve that.

“Ngga, ngga berlebihan sama sekali. Justru kamu lebih dari itu, Sas.”

Nara tidak dapat menahan lebih lama lagi untuk mencumbu kekasihnya itu. Ia menaikkan Sastra untuk duduk di pinggir wastafel, kemudian menarik dagunya untuk mendekat. Bibir keduanya pun bertemu, secara reflek mereka menyapu bibir satu sama lain.

Ternyata, selain mata, bagian favorit dari Sastra yang Nara kagumi adalah bibirnya. Terasa seperti permen kenyal dan tak jarang juga ketika Nara melumatnya terdapat rasa manis strawberry.

Hal itu dikarenakan kebiasaan Sastra yang tidak pernah absen untuk mengaplikasikan lip balm rasa strawberry kesukaannya.

Sesapan demi sesapan mereka berikan untuk satu sama lain, sebelum Nara gigit pelan bibir Sastra yang menyebabkan Sastra melenguh dan membuka bibirnya untuk mengizinkan lidah Nara ikut serta dalam ciuman panas mereka.

Mmhh,” lenguhan Sastra tertahan. Dirinya mulai mengalungkan kedua tangannya pada leher Nara.

Ciuman Nara pun lama kelamaan turun ke perpotongan leher Sastra. Sastra mencoba sekuat tenaga untuk menahan lenguhannya, namun usahanya seketika gagal ketika Nara mulai menyesap sambil sesekali menggigit pelan lehernya.

Ahhh, Ka–”

Usai meninggalkan jejak keunguan di sana, ciumannya mulai berpindah lagi. Nara sedikit menyibak bathrob yang Sastra gunakan untuk menampakkan bagian atas Sastra.

Ah, itu.. lain kali tolong ingatkan Sastra untuk segera memakai pakaiannya.

Nara mengusap collarbone milik Sastra yang terpampang jelas di hadapannya,

Prettiest,” Bisik Nara sebelum akhirnya melayangkan kecupan kecupan kecil di sana.

Dirasa cukup, Nara mencium kembali bibir Sastra. Sekarang tangan Nara mulai menjelajah di punggung Sastra. Usapannya perlahan, tidak terburu-buru, namun cukup membuat tubuh Sastra menegang.

Sesekali Nara remas bokong Sastra dengan jahil, tujuannya untuk mengundang erangan Sastra yang tertahan. Benar saja,

Mmmhh,

Sastra mengunci tubuh Nara menggunakan kedua kakinya yang saling terkait di pinggang Nara. Otomatis jarak keduanya sudah sepenuhnya lenyap, yang menghasilkan gesekan-gesekan pada bagian privasi mereka.

Nara lepas ciuman mereka, kedua tangannya ia taruh kembali pada bokong Sastra, kemudian mengangkatnya untuk menahan tubuh Sastra yang hendak ia bawa ke kamarnya.

Sebelum itu, Nara bertanya pada Sastra untuk memastikan, “I will stop, sas, kalo kamu ngga mau lanjut.”

Go ahead.” pintanya.

Are you sure? Aku beneran ngga mau maksa kamu..” tanya Nara sekali lagi yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Sastra.

Selanjutnya tanpa pikir panjang Nara membawa Sastra ke kamarnya dengan cara menggendongnya seperti koala.

Nara menyenderkan tubuhnya pada headboard nya, “Come, sit on my lap.” suara Nara memberat.

Sastra menurut, ia langsung duduk di pangkuan Nara. Kali ini Sastra-lah yang memagut bibir Nara terlebih dulu.

Sedang tangan Nara tidak tinggal diam – tangannya perlahan mulai melepas ikatan tali pada bathrob yang dipakai Nara.

Tak mau kalah, Sastra juga melepas kaos putih yang dipakai Nara. Jemarinya menyusuri tiap jengkal dada bidang milik Nara dan berhenti pada tengkuk yang lebih tua.

Keduanya kini saling beradu tatap,

“Cantik, Sastra cantik,” bisiknya sambil menyingkirkan rambut yang menutupi dahi Sastra.

Sastra hanya tersenyum, tatapannya pada Nara jadi tidak konsisten karena pujian yang diberikan Nara, entah untuk yang ke berapa kali.

Kulit tubuh Sastra begitu halus, Nara tidak dapat menahan hasratnya untuk menjamah apa yang ada di depan matanya. Sasaran pertamanya adalah nipple milik Sastra.

Diusapnya bagian tersebut menggunakan ibu jarinya sambil sesekali meremasnya pelan. Sentuhan yang Nara berikan sungguh nikmat, padahal ini baru permulaan.

Mata Sastra memejam sambil mendesis keenakan.

Ahhh, Ka…

“Aku ngga bohong kalo aku bilang kamu beneran seindah itu, Sas, cantik banget.” Entah mengapa pujian ini membakar libidonya. Membuat bagian privasi milik Sastra makin mengeras bersamaan dengan gesekan yang otomatis terjadi karena pergerakan dari keduanya.

Nara julurkan lidahnya lalu menghisap lembut dua buah noktah kecoklatan di depannya secara bergantian. Tangan Sastra pun memegang kepala Nara untuk memberikan rangsangan lebih.

Uhhh–

Sementara bibir Nara masih sibuk di sana, tangan Sastra justru terburu-buru melepaskan celana yang dikenakan Nara.

Isapan Nara pada nipple nya makin menguat, membuat Sastra mendesah lebih panjang,

Hhhng… Taka– Mmmhh..” respon Sastra justru membuat Nara makin liar.

Ia meremat pinggang Sastra, hasratnya tidak dapat ditahan lebih lama lagi. Sastra pun begitu, ia mulai menggoda Nara dengan menekan pinggul dan menggesekkan bokongnya pada penis yang lebih tua. Hal itu menyebabkan Nara sesekali menggeram.

Tanpa aba-aba, Sastra turun dari pangkuan Nara dan tangannya meraba milik Nara yang mulai mengeras.

Ahh… Sas–

Sastra tersenyum jahil, “Mau.. boleh?”

Mmhh– take it, sayang…

Setelah mendapat persetujuan, Sastra menggenggam kejantanan Nara yang tampak kebesaran di tangannya. Ia mulai mengulum sambil sesekali memompanya secara berulang kali.

Tangan Nara mengusap kepala Sastra, sesekali juga ia meremas bokong Sastra yang membuat empunya sedikit terlonjak kaget.

It feels– Ahhh..” Kalimat Nara terpotong ketika penisnya menyentuh tenggorokan Sastra.

Di sisi lain Sastra nampak menggairahkan dengan mulut yang penuh akan kejantanan Nara. Matanya pun terlihat sedikit berlinang air mata karena tindakannya sendiri.

Tangannya lanjut mengurut batang milik yang lebih dua dengan gerakan naik dan turun.

Sastra menyadari bahwa penis Nara semakin tegang dan berkedut, tak lama,

Mmhhh.. Ahhh– Sas, I’m close–

“Gapapa keluarin aja,” kata Sastra sambil terus mengulum penis Nara dengan tempo yang lebih cepat daripada sebelumnya.

Yang lebih muda mengarahkan penis sang dominan tepat di wajahnya,

“Ahh… sastra, sayang– Hngghh” nafasnya terengah-engah setelah pelepasan pertamanya.

Tak ingin mengulur waktu, Nara kembali menautkan bibirnya. Ia sesekali menggoda Sastra dengan menusuk lubang Sastra dengan jari tengahnya. Mulut Nara kembali menyambar kedua noktah coklat milik Sastra yang menyebabkan tubuh Sastra lagi-lagi meremang dengan hebat, seperti ada aliran listrik di dalamnya.

“Gantian sini, aku–”

“M-mau langsung aja…” Pinta Sastra.

“Prep dulu, ya?”

Nara mengambil lube pada laci meja samping kasurnya. Kemudian menuangkannya pada tangannya juga sedikit pada lubang Sastra.

Mereka akhirnya bertukar posisi, dengan Sastra yang berada dibawah Nara sambil membuka lebar-lebar kakinya.

Nara membuat gerakan memutar pada permukaan lubang Sastra. Jarinya sesekali masuk kemudian keluar lagi. Nara ingin melihat Sastra yang tampak putus asa di depannya.

“Ka, please, please...

“Hahaha, iya, sabar.”

Akhirnya Nara mengarahkan jari tengahnya keluar masuk lubang Sastra yang sudah berkedut sedari tadi. Lelaki dibawahnya itu mendesis tak karuan sambil memejamkan matanya.

“Ketat banget, Sas..” Nara menambah satu jari lagi untuk masuk, “Aku tambah, ya, biar cepet.”

Ahhhh… Ka, Shhh– more please,

“Mmm, apanya?”

“Cepetin lagi sedikit,”

Nara menuruti permintaan kekasihnya itu. Selagi ia sibuk di bawah sana, tak sengaja jarinya menekan sweetspot yang membuat Sastra terbelalak kaget,

Mmhhh, right there– Ka.. – AHHH” Jari Nara dengan sengaja menekan lagi titik nikmat sang submisif, yang menyebabkan Sastra mendesah sedikit lebih keras.

Lalu Nara mulai memeluk Sastra sambil berbisik, “Pretty pretty Sastra. You look super cute,” kemudian mencium belakang telinga Sastra yang lumayan sensitif.

Shhh.. stophh teasing me!” Penis Sastra semakin menegang, siap untuk pelepasan.

“Dikeluarin aja dulu, Sas.” Himbau Nara. Benar saja , Sastra menembakkan cairan putihnya setelahnya.

Nara membuat gerakan menggunting sebagai akhiran, lalu berpesan, “Aku masuk, tahan sebentar, ya, sayang.”

Ia memasukkan penisnya perlahan-lahan. Baru setengah, tapi lubang Sastra terasa sesak karena penis Nara yang berukuran besar itu. Gurat wajah Sastra seperti menggambarkan rasa sakit, Nara sadar akan hal itu, “Sorry, sakit, ya?” Sastra mengangguk lemah sebagai jawaban.

Nara langsung mencium Sastra sebagai distraksi sambil mendorong penisnya masuk. Saat penisnya masuk dengan sempurna, ciuman mereka terputus.

Shhhh– Aw.. Mmhhh.. Taka–” “Tell me when youre ready, okay..

Selagi Sastra biarkan lubangnya beradaptasi sejenak, ia menarik tengkuk Nara untuk menciumnya lagi. Lidahnya berhasil melesak untuk mengabsen deretan gigi sang dominan.

M-move… please..

Mendapat aba-aba, Nara langsung memompa kejantanannya keluar masuk lubang Sastra,

Ahhh– sempit banget, Sas.. Mmmhh..” racau Nara saat penisnya dijepit kuat oleh lubang sang submisif.

Nara memaju mundurkan kejantanannya sambil terus mengurut milik Sastra yang mulai menegang kembali. Tangannya yang lain ia gunakan untuk mengusap peluh di dahi Sastra– kemudian meraih tangan Sastra untuk mengunci jemari mereka bersamaan.

Lidah yang lebih tua kembali menyapu leher jenjang milik Sastra yang sudah terdapat beberapa bercak keunguan akibat ulahnya tadi.

Ia lepas kuncian jemari mereka dan beranjak untuk memilin nipple Sastra.

Ahh… ahhh, Narantaka.. Mmmhhh– faster please..

Mendengar namanya disebut di sela desahan, libido Nara semakin melonjak. Ia percepat tempo hantaman di lubang Sastra.

Lenguhan keduanya tak tertahankan, saling bersahut-sahutan dengan nyaring di dalam ruangan. Bibirnya kembali menyesap nipple Sastra. Sastra merasa dimanjakan dari segala sisi, kepalanya mendongak ke atas, matanya mengerjap berulang kali. Jiwanya seperti diterbangkan ke langit ke tujuh.

Batang milik Nara berhasil menekan prostat Sastra. Sontak, tubuh Sastra mengejang, tangannya meremat bahu yang lebih tua, berusaha mati-matian menahan terjangan luar biasa yang didapatnya.

Ngghh, enak banget, Sas… AHHHH

Mmhhh… Ka, bentar lagi¬– aku keluar..

Lantas Nara mempercepat tempo tusukannya sembari ikut memompa milik Sastra supaya dapat keluar bersamaan.

“Aku keluar di dalem, ya?”

Sastra mengangguk ribut. Setelah beberapa kali tusukan telak pada prostatnya, akhirnya Sastra menumpahkan putihnya yang mengenai perut serta dadanya.

Taka– Ahhhh..

Tak lama, Nara pun menyusul putihnya. Ia keluarkan semuanya di dalam lubang Sastra. Putihnya memenuhi lubang lelakinya, ketika kejantanannya dicabut, spermanya membanjiri paha Sastra.

Napas keduanya terengah-engah setelah pergulatan hebat mereka. Nara jatuhkan badannya di samping yang lebih muda dan mengisyaratkan Sastra untuk mendekat padanya.

Ia mengusap-usap wajah Sastra yang berpeluh sambil sesekali mengecup bibirnya. Dilihatnya kondisi Sastra yang super duper berantakan, dengan mata sayu dan tubuh dipenuhi kissmark.

Ia layangkan kecupan di dahi Sastra dengan penuh cinta, “Masih cantik. Malah tambah cantik hahaha,” Sastra tidak menjawab, ia hanya menyunggingkan senyum sambil menetralkan napasnya.

“Sebentar, ya?” Nara keluar kamar sejenak, lalu kembali dengan membawa handuk kering. Ia mulai mengusap wajah Sastra dengan lembut dan perlahan-lahan. Lalu lanjut ke sekujur tubuh Sastra, terutama paha bagian dalam.

“Mau mandi?” tawar Nara.

“Nanti dulu, capek..”

Setelah dirasa cukup, Nara kembali naik ke kasur untuk mendekap Sastra. Sastra pun menerimanya dengan senang hati.

“Makasih banyak, sayang,” Sejujurnya Sastra masih agak malu, karena sudah lama ia tidak berhubungan badan dengan Nara sejak terakhir kali mereka melakukannya di asrama.

Jadi, Sastra hanya merespon dengan mengusakkan wajahnya pada dada Nara. Nara menyadari tingkah Sastra dan hanya membalasnya dengan usapan usapan lembut pada kepala Sastra.

“Kamu ngga boleh pergi,”

“Kamu juga, jangan jauh-jauh, ya?”

Mereka pun makin mengeratkan pelukannya dan tertidur sejenak.