— aster, bloom, love.
“Hemaaa, jadi bareng ngga?”
“Iyaa, lagi pake sepatu, bentar.”
Itu suara mereka yang bersahut-sahutan—Dewata menunggu Hema yang sedang memakai sepatu. Dan Hema meminta Dewata untuk menunggu dirinya—karena mereka akan pergi ke gor bersama.
“Siap siap kalah ya dew, hahahaha,”
“Sombong. Kalo gua yang menang awas aja. Gua peres tuh dompet lu.”
“Try me then.”
Sesampainya di sana, ternyata kubu dari masing-masing sekolah sudah memenuhi gor. Padahal ini bukanlah turnamen, ini hanyalah bermain santai. Maka dari itu keduanya terkejut, “Buset, rame banget, mau tawuran apa gimana?” celetuk Dewata.
“Nervous gua dew,”
“Itu tandanya mau kalah.”
Di sana, ternyata penyewa sebelum mereka masih menggunakan lapangan, dan masih tersisa sekitar 15 menit lagi.
“Hem, beli minum dulu yuk? jalan bentar ke depan.”
“Yaudah ayo, masih lumayan juga tuh yang main.”
Gor tersebut terletak di tepi jalan yang tidak terlalu besar. Namun cukup ramai, apalagi ketika sore hari. Sambil menunggu menit demi menit berlalu—seusai membeli minum—mereka duduk sebentar di bangku permanen yang ada di atas trotoar.
Di sampingnya terdapat tanaman maupun bunga liar yang tumbuh dengan baik meskipun sedikit tertutup debu. Salah satunya adalah bunga Aster.
Dewa memetik bunga tersebut dan membentuk tangkainya menjadi lingkaran kecil—bak cincin yang ia buat semasa kecil dulu.
“Hem,”
Hema menoleh. Matanya langsung tertuju pada jemari Dewa yang masih sibuk melilit batang bunga aster tersebut.
“Pake deh,” Dewa meraih jari manis Hema dan melingkarkan cincin yang ia buat barusan.
“Ini dulu kita sering banget bikin ini ngga sih? hahaha, terus juga kok bisa ya bunganya tumbuh di pinggir jalan gini?”
“Kalo pagi atau sore ada kakek kakek yang biasa nyapu jalanan, Hem. Dia yang nyiram ini.”
“Serius?”
“Iya. Waktu pagi jam 8-an, gua kan pelajaran olahraga, ya. Terus kan sekolahan gua di depan, tuh, jadi kalo olahraga sering ke sini. Dan ngga jarang juga gua liat kakeknya lagi nyapu, atau duduk sambil nyiram bunga.”
“Ih kalo gitu ngapain diambil bunganya?! berarti ini ada yang melihara dong.”
“Gapapa, udah izin, kok.”
“Izin? izin gimana?”
“Waktu itu gua izin, gini, 'Permisi, kek, kakek yang nyiram bunganya ya?' terus kakeknya jawab iya. Gua ngomong gini, 'Kalo sewaktu-waktu, tapi gatau kapan, saya minta bunganya satu buat pacar saya boleh ngga kek?' Terus kakeknya senyum, katanya boleh.”
“Bisa banget ya lu,” Hema tertunduk malu.
“Suka ngga?”
Hema mengangguk pelan, “Ada filosofinya?”
“Jangan ditanya apa filosofinya, Hem. Soalnya versi filosofinya ada banyak. Nanti cari aja di google, terus pilih filosofi mana yang mau lu percaya.”
“Bilang aja ngga tau, dew. Ngga gua ketawain kok.” Hema tersenyum lebar.
Mereka kembali ke lapangan.
Pertandingan pun berjalan lancar, tanpa ada kekerasa antar penonton dan sebagainya.
Berjalan lancar yang dimaksud adalah berjalan lancar pada umumnya. Namun tidak bagi Hema.
Timnya kalah dengan skor tipis. Harusnya tadi gema mencetak gol— setidaknya untuk membuat skor imbang. Namun ternyata tidak semudah itu.
Hema tidak sedih. Ia hanya sedikit kesal. Pasti Dewata dan mulut besarnya itu akan enggan untuk berhenti mengoceh, meledek, dan menggodanya.
“Yaaaahhh kalah, hem.” Belum 5 menit Hema membatin. Benar saja apa kata Hema.
“Hmm, mau apa?”
“Buru-buru amat. Nanti aja lah, sekalian balik.”
Keduanya pun meninggalkan tempat—namun sebelum itu mereka memilih untuk memutar jalan, supaya tidak langsung sampai ke rumah. Sehingga mereka bisa berbincang sejenak.
“Hem, kan lu kalah nih,”
“Iyaaa, ga usah di ulang-ulang! mau apa?”
“Kan yang kalah harus nurutin maunya yang menang, ya?”
“Iya dewata, iya, gua ngga lupa kok.”
“Gua mau minta sesuatu deh,”
“Iya sebut aja,”
“Jadi pacar gua, ” kata Dewata. “Ini bukan pertanyaan ya, ini udah punya jawaban mutlaknya.”
“Kok???”
“Mau kan? harus mau sih.”
Walaupun terkesan memaksa, Dewata tidak serius dengan perkataannya. Ia pun akan tetap menerima jika Hema menolaknya.
Hema masih belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka sampai rumah.
Hema pun turun dari motor Dewata, “Hem,” Dewata menggenggam pergelangan tangan Hema dengan tiba-tiba.
“Gua ngga kabur kok.” ucap Dewata yang kemudian memajukan wajahnya.
Bibirnya menempel sempurna di atas bibir Dewata dan melumatnya sekilas.
Ia pun melepas tautan bibir mereka, “Iya, mau. Ayo pacaran sama gua, dew.”
Dewa tertegun, matanya menatap lurus ke depan, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“Anyway, we're 18 now, right?” kata Hema.
Gantian, sekarang Dewata-lah yang meraih tengkuk Hema untuk menyatukan kembali bilah delima mereka.
Keduanya tersenyum di sela-sela ciuman, “Love you, Hem.” bisik Dewata.
— fin.