rigeleo


Setelah mendapat aba-aba dari manager, sekaligus temannya—Felix—Seungmin langsung menuju ke kamar kekasihnya. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu sesaat sebelum ia mengetuk pintu tersebut.

Seungmin sedikit gugup, ia takut jika respons kekasihnya itu justru berbanding terbalik dengan ekspektasinya—ia takut Minho dan Hyunjin justru marah padanya. Maka dari itu ia sibuk menetralkan nafasnya perlahan-lahan.

“Bisa sendiri, kan? gue tinggal, ya.” Pamit Felix sambil menepuk pundak lebar temannya itu.

“Thanks a lot, Lix.”

Seungmin biarkan otaknya yang mengambil alih tindakannya, tanpa mau tahu bagaimana proses dan hasilnya. Ketukan demi ketukan pun ia lantunkan. Matanya menyipit, bibirnya digigit kala mendengar suara gagang pintu yang mulai bergerak.

Minho-lah yang membuka pintu kokoh tersebut—tanpa ragu, tanpa ada pikiran macam-macam. Yang di pikiran Minho kala itu hanyalah managernya. Benar, Minho mengira bahwa ketukan lambat nan nyaring itu berasal dari jari Felix yang beradu dengan pintu.

Saat pintu terbuka, Minho tentulah terkejut. Bukan main. Ia bahkan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu.

“Hai, Inyo...” Begitu sapaan lembut keluar dari sosok di depannya, Minho seketika terperangah sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.

“Siapa, No?” Ucap Hyunjin sehabis menenggak susu. Ah, Seungmin tahu karena salah satu kebiasaan Hyunjin adalah menciptakan kumis susu di bibirnya dan enggan menghapusnya jika bukan Seungmin yang melakukan itu untuknya.

“BABE???!!” Hyunjin mengambil langkah cepat dan segera menarik Seungmin masuk.

“Kamu?—” Minho berucap dengan ragu, namun segera dipotong oleh Seungmin. “Iya, ini aku. Maaf engga bilang-bilang dulu. Jangan marah, please...

“Gilaaa, gimana bisa aku marah, ya ampun, sayang.” Minho langsung memeluk Seungmin erat, disusul dengan Hyunjin yang juga bergabung dengan keduanya untuk menyalurkan rindu.

“Aku kangen kamu banget, Seung. Kamu kenapa ngga bilang kalo mau ke sini?” Tanya Hyunjin sambil terus mengusakkan wajahnya pada perpotongan leher Seungmin.

Surprise aja, mau tau pacarku loyo ngga kalo aku ngga nemenin mereka.”

Minho yang sibuk mengelus punggung Seungmin pun ikut ambil suara, “Ya iya, lah!! Jujur, aslinya iya banget, Bub. Gimana, ya, abisnya kan biasanya ada kamu. Selalu ada kamu. Terus sekarang kamu ngga ikut, rasanya energi aku ilang 89,9%”

“Kenapa pake koma, sih, loyo-nya tanggung amat.”

Minho dan Hyunjin pun tertawa serentak sambil menghujani wajah manis kekasihnya dengan ciuman ciuman.


Mereka menghabiskan waktu semalaman dengan bercerita, tentunya sekaligus bermanja-manja satu sama lain. Terutama Minho dan Hyunjin. Sang dominan itu layaknya bayi jika berhadapan dengan Seungmin, selalu, dan selalu seperti itu.

Bagi mereka, Seungmin bukan hanya tempat mereka pulang. Seungmin adalah sesuatu yang berkali-kali lipat lebih hebat nan luar biasa bagi Minho dan Hyunjin. Singkatnya, Seungmin itu adalah segalanya.

Seungmin pun sama. Walaupun di sini Seungmin terkesan lebih dewasa dan luar biasa sabar, namun di sisi lain Seungmin itu rapuh. Minho dan Hyunjin-lah penguatnya.


Hyun, look at me, hahahah—kamu beneran nangis, emang?”

To be honest, yes. Aku nangis-lah. Ngga tau kenapa kemarin tuh mellow banget hahaha, padahal dari kemarin kita sama sama sibuk dan ngga ketemu juga biasa aja, ngga kepikiran sampe pengen nangis, cuma kangen banget banget banget aja. Mungkin kemarin puncaknya kali, ya?”

Seungmin menangkup pipi Hyunjin, “Lucu amat kamu, biasanya kamu yang sering ngeledekin aku kalo aku nangis,”

“Ya, kan, aku juga bisa nangis, bub..”

“Gapapa, nangis aja kalo mau, jangan ditahan. Tapi sekarangg senyum dulu,” Seungmin mengecup sekilas bibir Hyunjin, dan Hyunjin pun otomatis sumringah. Hatinya menghangat bak musim semi. Bukan hanya menghangat, hatinya pun seperti ditumbuhi bunga-bunga yang cantik, seperti kekasihnya.

“Aku potongin semangka, dimakan, ya.” Minho yang datang dari arah dapur pun menaruh piring itu di atas kasur. Bukannya memakan Semangka hasil potongannya, Minho justru melompat ke dalam tubuh Seungmin dan memeluknya erat sembari menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher kekasihnya.

“Aduh aduh, bayi akuuuu,” Seungmin membalas pelukan Minho dengan membiarkan pipinya bertengger di kepala Minho, tentu sambil mencium dan menghirup dalam-dalam surai kekasihnya yang lebih tua itu.

Tangan Seungmin pun tak tinggal diam saat mendapati Hyunjin hanya tersenyum melihat mereka. Ia ulurkan tangannya untuk meraih Hyunjin untuk ikut masuk ke dalam dekapan ketiganya.

“Aku sayang kamu, No, Hyun. Sehat-sehat terus, ya, biar bisa bareng-bareng sama aku sampe lama...”

“Love you, babe.”

“Kamu juga, ya, bub. Jangan jauh jauh dari aku sama Hyunjin. Nanti Hyunjin nangis lagi, soalnya dia cengeng.” Tutur Minho seraya mengeratkan dekapan.

cw tw // break up


Sesampainya di parkiran jujur saja Nala takut dan setengah gugup ketika mendapati Rendi yang tertunduk di bawah pohon dekat parkiran.

Nala pun menghampiri Rendi. Sedangkan kedua temannya menunggu tak jauh dari sana. Walaupun terlampau dekat, tetap saja, bagaimanapun juga mereka harus menghargai privasi Nala dan memberinya ruang untuk bicara berdua saja. Meskipun begitu, hal tersebut tidak mengurangi upaya Jere dan Tere untuk terus menantau Nala.

“Hai, La...” sapa Rendi kagok dan mempersilahkan Nala untuk duduk.

“Halo, kak.”

“Sebelumnya, pasti lu udah dikasih tau sama Tere, ya, tentang maksud gua ketemu sama lu?”

“Iya, kak, udah.”

“Langsung aja, ya—Nala, gua minta maaf banget atas semua perbuatan gua yang ngga sopan dan ngga menghargai Hazel sebagai pacar lu. Kalau boleh jujur, gua suka sama lu, Nala. Mungkin ini bukan rahasia umum, tapi seengganya gua mau lu tau alasan gua begini—Pertama, pasti karena gua suka sama lu. Kedua, gua tau hubungan lu sama Hazel udah lama, bahkan sebelum kuliah, tapi jujur waktu itu gua yang udah kebawa perasaan sama tingkah baik lu, tiba-tiba jadi ngga suka kalo lu sama Hazel. Gua yang salah artiin maksud baik lu, sapaan lu, senyum lu ke gua waktu itu. Makanya pas gua liat lu sama Hazel, gua jadi gencar buat misahin lu berdua dengan cara yang ngga pantes. Walaupun emang—yang namanya misahin hubungan orang selalu dengan cara yang ngga pantes.”

Nala menunduk, kepalanya mengangguk paham. Ia menyimak perkataan Rendi dengan saksama sampai sang empunya suara menyelesaikan kalimatnya.

“Lama kelamaan gua nyadar, La. Kalo ini semua itu salah. Mau gimanapun juga usaha gua, hati lu ttp buat Hazel. Dan... ya, gua males berantem lagi sama Hazel. Nih, liat, di pipi, bibir, hidung. Semuanya ada bekas pukulan Hazel. Sakit juga, ya, ternyata, hahahaha.”

Perlahan-lahan Rendi memulai candaan supaya Nala yang sedang kikuk itu menampakkan sedikit tawanya.

“Yaelah, kak, belum seberapa itu tonjokannya, hahahaha. Lain kali lo harus nyoba gimana tonjokan dia pas lagi cemburu tingkat akhir!!”

“Emang lu pernah liat Hazel begitu?”

“Nggak sih, dia baik kok sebenarnya. Dia juga tipe yang males berantem. Dan seumur-umur dia juga cuma berantem sama lo aja, tau.”

Nala perlahan-lahan mulai melupakan bagian buruk tentang Rendi. Nala bukanlah seorang penyimpan dendam. Maka dari itu, ia dengan mudah menerima maaf dari Rendi yang nampaknya memang betul-betul tulus.

Hazel yang memang hendak ke parkiran untuk mengambil mobilnya, tiba-tiba melihat Nala dan Rendi tengah berdua—entah membicarakan apa.

“Nala!!” dari kejauhan nampak Hazel yang sedang berjalan cepat menuju ke arah Nala.

“Lu mau apa sama Nala, anjing!” Satu pukulan melayang tepat di pipi Rendi—yang padahal lukanya sudah hampir memudar.

“Hazel, Hazel, stop!”

“Gua ingetin, ya, jangan pernah lu nyamperin Nala lagi. Awas lu—ayo, La, kamu ikut aku.” Hazel pun menyeret Nala masuk ke dalam mobilnya.

Nala menepis tangan Hazel tanpa sedikitpun berniat untuk menimpali perkataan Hazel. Nala justru membantu Rendi yang tersungkur—untuk bangun.

“Kak, gapapa? maaf, ya, kak. Maaf.”

“Gapapa, La. Gua paham, kok.”

Hazel kebingungan setengah mati. Sejak kapan Nala berani untuk dekat dekat dengan Rendi? pikirnya.

“La, kamu apa apaan si?”

“Kamu yang apaan, Zel! Kamu dateng tiba-tiba dan langsung mukul orang? yang bener aja kamu. Ngga semuanya bisa kamu selesai-in dengan kaya gini, Zel.”

“Kenapa kamu belain dia? hah?”

“Karena di sini kamu yang salah.”

Jere dan Tere sedang ramai berbincang dengan temannya, mereka nyaris tidak sadar jika ada keributan di tempat yang HARUSNYA mereka awasi. Tak lama, setelah diberitahu salah seorang teman, Jere dan Tere pun menghampiri Nala dan yang lainnya.

“Ikut aku. Kamu ikut aku. Cepet.” Hazel tarik Nala untuk menjauh.

Sedangkan, belum sempat Jere dan Tere sampai, Hazel sudah melajukan mobilnya.


“Turunin aku, aku ngga mau pulang sama kamu.”

Hazel pun menepikan mobilnya di jalanan sepi.

“Coba jelasin maksud kamu apa tadi? salah aku di mana? aku cuma ngga mau kamu deket deket sama Rendi. Kamu juga tau, kan, kalo dia gimana sebelumnya?”

“Apa bedanya Rendi sama Sabitha? mereka sama sama mau ngerusak. Tapi kamu jatuhnya berat sebelah. Kamu bisa tegas ke Rendi, tapi nggak dengan Sabitha.”

“Sabitha lagi Sabitha lagi. Harus berapa kali aku jelasin kalo aku sama dia—”

“Apa? cuma zoom bareng? iya? terus apalagi, Zel? cuma ngobrol di kelas sama Sabitha padahal jam kuliah kamu udah selesai? Gitu katanya kamu ngga sempet ngabarin karena ngerjain laprak, tapi di sisi lain kamu bisa spare waktu kamu buat Sabitha. Pacar kamu tuh siapa, sih, sebenarnya?”

“Serius kamu nanya ini, La? jawabannya udah jelas. Kamu. Kamu pacar aku.”

“Aku serius nanya ini. Karena emang belakangan kamu aneh, kamu beda, kamu berubah. Aku yakin bukan karena laprak doang, Zel. Aku ngga tau pasti apa yang bikin tingkah kamu jadi beda ke aku. Tapi yang pasti tingkah kamu itu bikin aku ngerasa kalo kamu udah bosen sama aku.”

“Aku ngga pernah bosen sama kamu.”

“Terus apa? coba bilang ke aku.”

Hazel bungkam. Pikirannya berenang-renang di kepala.

See? kamu ngga bisa jawab. And i'll take it as a YES. Ketauan kok, Zel, gimana kamu curi curi kesempatan buat deket sama Sabitha. Entah itu buat ngelampiasin rasa bosen kamu, atau kamu emang beneran niat buat deketin Sabitha.”

“Ngga, Nala, ngga sama sekali. Aku ngga ada niat—”

“Aku pasti maklum, Zel, kalo kamu bosen. Pun, kalo kamu mau putus karena kamu bosen, silahkan. Putusin aku aja. Tapi yang bikin aku ngga nyangka itu kamu ngelampiasin itu semua ke Sabitha yang notabenenya perusak. Dulu kamu selalu pasang badan biar Sabitha ngga bisa reach out aku. Tapi sekarang dengan gampangnya kamu mulai deket sama orang yang pernah bikin aku sakit. Jujur, sekarang rasanya berkali-kali lipat lebih sakit, dibanding waktu itu, Zel.”

“Nala, aku ngga deket sama Sabitha. Aku baru mulai ngobrol sama dia juga belum lama.”

“Terus ini apa, Zel?”

Nala menunjukkan sebuah video yang direkam oleh entah siapa. Di sana terdapat Hazel yang sedang bergurau dan tertawa bersama Sabitha.

“Aku tau persis video ini diambil pas kamu baru mau mulai praktikum. Dari sini aja udah jelas, Zel, kalo kamu mulai deket sama Sabitha udah lumayan lama. Apa lagi alibi kamu? Makanya, sejak kamu mulai praktikum aku mulai was was karena takut ini semua kejadian. Aku berusaha buat tetep komunikasi sama kamu walaupun kamu selalu matiin topik, aku selalu usaha buat reach out kamu buat sekedar nanya hal-hal sederhana biar kamu inget sama aku. Tapi kayanya semuanya sia-sia, ya, Zel? kamu bahkan ngga berusaha buat reach out aku balik. Dan ujungnya semua yang aku takutin beneran kejadian. — Zel, sumpah, aku capek. Aku capek kalo harus disuruh nebak terus apa mau kamu belakangan ini.”

“Nala, aku minta maaf. Please, maaf, sayang, maaf...” Hazel raih tangan Nala yang basah karena tetesan air mata-nya yang jatuh perlahan-lahan ketika ia berbicara.

“Zel, ayo putus.”

“Ngga, aku ngga mau, aku sayang kamu. Sumpah, aku ngga bisa, aku ngga mau, Nala. Ngga boleh. Please, jangan.”

“Zel, aku capek. Semuanya punya batas masing-masing. Dan batas kesanggupan aku buat pertahanin 'kita' udah cukup sampai sini.”

“Kalo gitu biarin aku yang pertahanin ini, ya, Nala, sayang...”

“Ngga, Zel. Ngga bisa. Hasilnya ngga akan pernah bisa maksimal. Sama kaya aku yang susah payah bikin kamu inget sama aku, tapi kamu sendiri ngga pernah ada niatan buat inget kalo kamu punya aku. Kalo ngga diniatin dari dua sisi, bakalan percuma.”

“Nala, please... I swear—

“Ngga perlu sumpah sumpah gitu kalo sekedar omongan aja belum bisa kamu tepatin. Omongan sama kelakuan kamu berbanding terbalik, Zel—”

“Hazel... thanks for everything, aku seneng banget bisa jadi bagian dari kamu selama bertahun-tahun. Aku sedih karena kita pisah dengan jalan yang kaya gini. Aku ngga pernah nyesel ketemu dan jatuh cinta sama kamu. Karena gimanapun juga, kamu pernah jadi yang paling baik dan yang paling indah buat aku. Hazel, aku pamit, ya.”

Dengan sisa suara yang ia punya, dengan sedikit kesanggupan yang tersisa, dengan kepingan kepingan memori indah yang masih melekat—Akhirnya, dengan berat hati Nala menyuarakan ketidaksanggupannya untuk melanjutkan hubungannya dengan Hazel—lelaki yang amat ia kasihi.

Nala keluar dari kuda besi tersebut dengan langkah berat. Meskipun begitu, ia usahakan untuk tidak menoleh ke belakang. Karena jika iya, pertahanannya seketika akan runtuh.

Kini dunia Hazel hilang sudah. Dunianya kiamat, dunianya hancur lebur. Tidak ada lagi sapaan diselipi senyuman hangat yang akan ia dapatkan di tiap harinya. Tidak ada lagi suara umpatan Nala yang memenuhi apartemennya kala kamar Hazel berantakan bak kapal pecah. Tidak ada lagi ciuman manis dari bilah bibir sang kasih. Tidak ada lagi Nala yang selalu memeluknya mesra kala dunia tak berpihak padanya.

Kini, yang tersisa hanyalah Hazel dengan segala penyesalan yang menyertainya. Biarlah begitu, biarlah. Semoga dengan ini, Hazel bisa merasakan bagaimana hari-harinya tanpa Nala. Bahkan, kata kelabu saja tidak mampu mendeskripsikan itu semua.


[03.00 AM]

Pukul tiga pagi—suhu kota mencapai 20 derajat celcius. Untuk ukuran wilayah kota, tentu saja suhu pada derajat tersebut termasuk cukup dingin.

Benar kata orang, kota itu tidak akan pernah tertidur—Selalu saja ada aktifitas yang dilakukan para penghuninya—entah itu yang kasat mata atau bukan. Begitupun sekarang. Di luar sana banyak insan yang masih berlalu lalang melintasi jalanan ibu kota yang sepi—mengabaikan suhu yang kian menurun.

Sedangkan Seungmin kini tengah duduk di balkon apartemen kekasihnya. Matanya mengarah ke bawah sana. Seungmin menyukai udara malam, terlebih lagi jika diiringi dengan seperangkat alunan musik klasik, juga ditemani minuman hangat—perpaduan yang pas untuk menemaninya berkutat dengan isi otaknya.

Sesungguhnya, duduk di balkon untuk sekedar menikmati semilir angin bukanlah perkara yang mudah bagi Seungmin. Karena di samping itu ia harus melakukan segalanya dengan perlahan dan sebisa mungkin tidak bersuara. Karena jika Hyunjin terbangun, yang ada kekasihnya itu akan menariknya kembali ke dalam selimut dan merengkuhnya hingga fajar tiba.

Namun, kali ini usahanya berhasil. Ia jalan dengan cara berjinjit menjauhi kasur dan menarik kursinya—di balkon. Ya.. walaupun kali ini ia tidak dapat membuat minuman hangat karena tentu saja akan membuat suara gaduh yang dapat menggugah sang kekasih.

Seungmin biarkan pikirannya menjelajah—jauh—ke segala arah. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, ia hanya ingin membiarkan pikirannya bebas dan lepas.

Saat pikirannya sudah melayang jauh, tiba-tiba suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Seungmin tidak menghindar atau semacamnya, karena percuma saja. Dirinya sudah tertangkap basah.

Tiba-tiba tangan kekar melepas headphone yang Seungmin kenakan untuk meminimalisir suara dari musik yang ia putar.

“Di luar dingin, cantik. Kamu ngapain di sini?”

Suara lembut menyapa rungu Seungmin. Padahal, awalnya ia hanya mengekspektasikan suara bawel Hyunjin yang akan terus menerus mengoceh—yang kemungkinan akan selesai dalam satu jam kemudian.

“Aku tiba-tiba kebangun aja, terus mau tidur lagi ngga bisa.”

Bohong. Nyatanya, Seungmin sedari tadi tidak benar-benar tidur. Ia hanya pura-pura memejamkan mata sampai dirasa kekasih di sebelahnya tertidur pulas.

“Kamu ada kepikiran sesuatu? ada yang ganggu pikiran kamu, ya?”

“Ngga, Hyunjin. It's not a big deal, kok. Cuma, yaaa... gitu deh.”

“Aku tanya serius, cantik.”

“Aku juga jawabnya serius, ganteng.”

Hyunjin tidak menjawab. Ia justru pergi ke dalam untuk membuat teh chamomile. Seungmin yang keheranan pun memilih diam dan membiarkan Hyunjin berbuat sesukanya.

Sesudahnya, Hyunjin mulai menggeser sofa berukuran kecil—cenderung sedang—yang muat untuk dua orang. Sofa itu sengaja Hyunjin beli untuk dirinya dan Seungmin. Sofa itu ia geser tepat ke depan pintu kaca balkon. Sebelumnya, pintu kaca itu ia geser lebar lebar. Entah apa alasannya, tapi Seungmin asumsikan jika pintu tersebut digeser supaya udara bisa leluasa masuk dan keluar.

“Sini, duduknya pindah. Sama teh nya diminum, ya.”

“Tumben nggak ngomel,” sahut Seungmin sambil berpindah tempat.

Hyunjin juga mendudukkan dirinya di samping Seungmin. “Pengen aja sekali kali join sama kamu buat dingin dinginan di sini.”

“Hahahah dingin dinginan apaan? orang biasa aja,”

“Ini dingin, tau. Makanya aku suka marah-marah kalo kamu kelamaan di balkon, apalagi di jam segini.”

“Oh, makanya kamu bikinin aku teh anget?”

“Boleh kamu anggap begitu. Tapi kalo aku bikin ini tujuannya biar pikiran kamu rileks, tenang, gitu.”

“Kamu tuh asumsi dari mana kalo pikiran aku lagi ngga tenang?”

“Keliatan, kok. Aku selalu hafal gimana tingkah kamu. Kalau kamu lagi kaya gini atau gitu—itu tuh, perkara kecil, Seung.”

“Iya, aku paham juga.”

Hyunjin yang notabenenya berada di samping Seungmin—memanfaatkan kedekatan mereka. Hyunjin angkat tubuh Seungmin untuk duduk di pangkuannya.

“Kamu, ih,” protes yang lebih muda.

“Coba bilang, kamu lagi mikirin apa?”

“Yaudah, aku kasih tau. Tapi kamu jangan mikir gimana gimana dulu, ya?”

Hyunjin beri kecup pipi Seungmin yang memerah karena jarak mereka yang terlalu dekat, “Tergantung.”

“Eh, tapi kayanya kamu tau, deh. Jadi, di divisi aku tuh ada beberapa karyawan yang bakalan dipindah tugas ke luar kota gitu. Aku takutnya aku dipindahin juga, gitu aja, sih.”

“So? apa yang kamu takutin?”

“Kamu pasti tau lah, jangan ngeledek aku gituuu.”

“Ngga mau jauh dari aku, kan? hahahaha,”

“Ya emang ada alesan lain? aku udah ngga punya siapa siapa selain kamu. Wajar, kan?”

“Iya, wajar. Aku juga ngga mau kalo jauh jauhan sama kamu. Ini bukan dangdut doang, sumpah.”

Seungmin tertawa tepat di samping telinga Hyunjin. Ia peluk erat kekasihnya itu kala tertawa.

Tangannya sibuk menyugar surai Hyunjin yang sudah mulai memanjang. Sedang Hyunjin membenamkan wajahnya di ceruk leher Seungmin.

“Aku baru nyadar kalo kamu nggak pake baju,”

“Dari tadi kali,”

“Ketutupan selimut, makanya aku ngga sadar. Terus juga kamu baru ke kasur kan pas lampu udah aku matiin.”

“Iya, kamu kan tidur duluan.”

“Tapi aku berasa pas kamu meluk aku, terus kamu cium cium akuuu.”

Hyunjin menjauhkan wajahnya sejenak dan menatap Seungmin lekat, “Rasa apa? cinta, ya?”

“Iya, ganteng. Berasa, kok, hahaha..”

“Good then! — oh iya, kamu kedinginan ngga?”

“Harusnya aku ngga sih yang nanya kamu? aku kan pake hoodie, kamu ngga pake baju, mana celananya pendek lagi.”

“Iya, kan nanyanya gantian. Kamu dingin ngga, candy? mau masuk?”

“Aku belum pengen masuk. Tapi kalo kamu mau duluan gapapa.”

“Aku masih mau di sini sama kamu. Ternyata enak, ya? walaupun ngga ngapa ngapain tapi kaya... enak aja gitu,”

“Iya, kan! udah aku bilang kalo duduk di sini dan di jam segini tuh enak.”

“Tapi jangan keseringan juga, ya.”

“Iya—Hyun, gimana kata kamu? misalnya kalo aku yang dipindahin gimana?”

“Aku ngajuin pindah juga ngga sih enaknya? kalo ngga, ya, aku ikut kamu aja. Terus kerja di sana.”

“O-oh.. iya, kenapa kamu ngga nyuruh aku berhenti kerja aja? atau pindah kerja gitu?”

“Ya ngga bisa gitu, dong. Kan kamu yang jalanin. Selama kamu nyaman di tempat yang sekarang, ya buat apa aku nyuruh pindah. Kecuali kalo kamu udah ngga nyaman dan kamu se-ngga-mau itu buat dipindah, ya aku nyuruh kamu keluar aja.”

“Hehe, thank you, ganteng. Thank you...”

“For?”

“For loving me. For everything.”

“Iya, cantik. Aku juga terima kasih sama kamu, buat ini dan itu, buat semuanya. Makasih banyak karena udah di samping aku terus.”

“Sama-sama, tapi kamu jangan lupa kalo kamu juga samanya ke aku.”

“Simbiosis mutualisme?”

“Lebih dari itu.”

“I love you, candy, cantikku, aku sayang kamuuuuuuu. Boleh cium ngga?”

“Sure! and... love you moreeee, ganteng.”


Hyunjin kembali dengan membawa beberapa paper bag di tangannya. Isinya beraneka macam, seperti kopi, kue titipan Seungmin, maupun camilan—mengingat kulkas di apartemennya mulai kosong melompong.

“Candy, i'm home,” ucapnya begitu membuka pintu apartemen. Tampak Seungmin yang tengah bermain dengan anjing kecil kesayangannya.

“Hey, babe! belanjaannya taruh aja, kamu siap siap meeting sana. Tadi Mimi udah aku kasih makan.”

“Iya? thank you, cantik. Tolong, ya, aku nyiapin laptop dulu.”

Sebelum merapikan belanjaan, Seungmin menggelar karpet bulu berukuran sedang dan menggeser meja. Karena, Hyunjin lebih suka duduk di lantai ketika meeting, supaya sewaktu-waktu ia dapat melonjorkan kakinya. Hyunjin sadar bahwa dirinya kurang berolahraga beberapa bulan terakhir, jadi wajar saja tubuhnya mudah pegal pegal.

“Kok kamu yang nyiapin? harusnya aku aja, sayang..”

“Biar ngga kelamaan. Ngga baik kalo telat.”

“Hehehe thank youuuu, sayang. Maaf soalnya tadi kelamaan di luar.”

Seungmin mengangguk. Tangannya sambil terus menata kulkas.

“Hyunjin, kamu mau makan apa nanti? kamu mau dimasakin apa?”

“Nanti aja deh, siang atau sore-an. Kita masak bareng, ya?”

Mata Seungmin berbinar penuh harap, “Bener, ya?”

“Ya, cantik.” kata Hyunjin sambil tersenyum.

“Kalau dipikir-pikir kita udah lama ngga masak masak, ya?”

“Iya, makanya aku ngajak kamu. Terakhir kita masak ayam rica rica, dan itu enak banget! takaran bumbunya pas, soalnya 80% kamu yang ngatur masakannya.”

“Hahahaha, iya dong, siapa dulu?”

“Candy, anak cantik,”

Sesaat setelahnya, terdengar suara sapaan dari laptop yang Hyunjin gunakan. Hal itu menandakan bahwa meeting telah dimulai.

Seungmin mendekat ke Hyunjin dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Kamera Hyunjin yang sudah menyala—Seungmin tutup menggunakan telapak tangannya. Lalu ia lumat bibir Hyunjin dengan lembut. Ciuman itu tak berlangsung lama, mengingat Hyunjin sedang ada kepentingan.

“Aku ke kamar, ya? mau selesaiin kerjaan aku. Nanti aku ke sini lagi kalau udah selesai.” bisik Seungmin.

Seungmin pun menyelesaikan pekerjaannya—yang untungnya tidak begitu menumpuk. Hyunjin dan Seungmin bekerja di satu perusahaan yang sama. Hanya beda divisi saja. Dan kali ini mereka mendapat jadwal work from home yang berbarengan.


Tangan Seungmin yang cekatan dalam mengetik, dan otaknya yang lancar bekerja membuat pekerjaannya selesai dalam beberapa jam saja. Ya... walaupun ia tahu bahwa kurang dari satu jam lagi ia akan menerima pekerjaan baru. Tak apa. Sedikit waktu yang tersisa ini ia gunakan untuk beristirahat sejenak.

Ia menghampiri Hyunjin yang masih setia di depan layar. Seungmin yang pada dasarnya suka menggoda Hyunjin pun mulai melancarkan aksinya.

Seungmin menidurkan kepalanya di paha Hyunjin, wajahnya ia tenggelamkan di perut yang lebih tua. Tangan Hyunjin mulai bergerak mengusap kepala Seungmin dengan perlahan-lahan. Hyunjin tidak keberatan sama sekali dengan tingkah kekasihnya itu—Seungmin mode manja adalah favoritnya.

Tak sadar, Seungmin justru tertidur lelap selama satu setengah jam—dengan posisi yang tak berubah. Begitu ia terbangun, ia langsung mendongak menatap Hyunjin. Tak disangka bahwa Hyunjin pun tengah menatapnya.

Netra mereka pun mau-tidak-mau jadi beradu. Hyunjin tersenyum melihat Seungmin yang kebingungan. Nyawanya seakan masih berputar-putar diatas dirinya.

“Rise and shine, candy.”

“Hah? ngaco kamu, orang masih sore—Eh! udah sore?” Seungmin langsung mendudukkan tubuhnya dengan tegak.

“Kenapa? kamu ada yang mau dikerjain?”

“Kamu belum makan, Hyunjin!” kemudian Seungmin menoleh ke sebelah kanan Hyunjin. Terlihat 2 buah cup kopi kosong. Dapat Seungmin simpulkan bahwa Hyunjin telah meminum kedua kopi yang ia beli di pagi hari.

“Kopinya kamu minum? dua-duanya?”

“Candy, i'm sorry, sumpah aku tadi ngantuk banget banget banget.”

“Kamu tuh, ya,” yang lebih muda menggelengkan kepalanya, kemudian berlalu ke arah dapur.

“Candyyyy, maaf...”

“Sekarang, makan. Tuh kamu dari kemarin cemilin makanan ringan doang. Giliran disuruh makan nasi gamau.”

“Yaudah deh, ayo masak,” Hyunjin akhirnya mengalah supaya kekasihnya itu tidak marah berkepanjangan.


Malam hari pun tiba, Seungmin yang menginap di apartemen Hyunjin pun kini sudah berbaring di kasur sambil menonton tv. Sedangkan Hyunjin masih menyelesaikan sisa pekerjaannya hari ini.

Sekitar satu jam kemudian Hyunjin menghampiri Seungmin yang berada di kamar. Ia tiba-tiba berbaring sambil memeluk pinggang Seungmin, wajahnya mendusel pada perut kekasihnya.

“Kenapa kamu? mau makan lagi, ngga?”

“Perut aku ngga enak, kayanya lambungnya, deh??? aku juga ngantuk banget, capek.”

“Tuh, kan dibilanginnya. Gimana ngga sakit? orang ngopi aja lancar, giliran makan macet, istirahat kurang. Emang kalau begini baik buat badan kamu?”

Hyunjin menggeleng ribut, helaian rambutnya menggelitik perut Seungmin.

“Bentar, aku ambil minyak angin dulu. Sama sekalian aku masakin nasi goreng, ya? sebentar aja.”

“Aku ngantuk, ngga bisa ngunyah makanan. Mau tidur aja, sambil peluk tapi,”

“Yaudah tidur aja,” tangan Seungmin melesak masuk ke dalam kaus oblong yang Hyunjin pakai—tangannya mulai bergerak—mengusap-usap punggung Hyunjin, sambil menepuknya sesekali supaya lelakinya itu cepat terlelap.

“Maaf ya, aku akhir akhir ini suka batu kalo dibilangin...”

“Iyaaa, ganteng. Tidur, biar perutnya ngga sakit.”

“Cium dikit,”

Kali ini, Hyunjin lah yang manja. Sedangkan Seungmin tidak punya alasan untuk menolak. Ia kecup pipi kanan kiri, dahi, hingga bibir Hyunjin.

“Thank you, cantik, good night! Aku sayang kamuuuuu.”

“Iyaa, aku juga, ganteng.”

Selagi memastikan Hyunjin terlelap, mulut Seungmin berucap 'pain pain, go away. pacarku ngga boleh sakit.'

— caféin


Hyunjin kembali dengan membawa beberapa paper bag di tangannya. Isinya beraneka macam, seperti kopi, kue titipan Seungmin, maupun camilan—mengingat kulkas di apartemennya mulai kosong melompong.

“Candy, i'm home,” ucapnya begitu membuka pintu apartemen. Tampak Seungmin yang tengah bermain dengan anjing kecil kesayangannya.

“Hey, babe! belanjaannya taruh aja, kamu siap siap meeting sana. Tadi Mimi udah aku kasih makan.”

“Iya? thank you, cantik. Tolong, ya, aku nyiapin laptop dulu.”

Sebelum merapikan belanjaan, Seungmin menggelar karpet bulu berukuran sedang dan menggeser meja. Karena, Hyunjin lebih suka duduk di lantai ketika meeting, supaya sewaktu-waktu ia dapat melonjorkan kakinya. Hyunjin sadar bahwa dirinya kurang berolahraga beberapa bulan terakhir, jadi wajar saja tubuhnya mudah pegal pegal.

“Kok kamu yang nyiapin? harusnya aku aja, sayang..”

“Biar ngga kelamaan. Ngga baik kalo telat.”

“Hehehe thank youuuu, sayang. Maaf soalnya tadi kelamaan di luar.”

Seungmin mengangguk. Tangannya sambil terus menata kulkas.

“Hyunjin, kamu mau makan apa nanti? kamu mau dimasakin apa?”

“Nanti aja deh, siang atau sore-an. Kita masak bareng, ya?”

Mata Seungmin berbinar penuh harap, “Bener, ya?”

“Ya, cantik.” kata Hyunjin sambil tersenyum.

“Kalau dipikir-pikir kita udah lama ngga masak masak, ya?”

“Iya, makanya aku ngajak kamu. Terakhir kita masak ayam rica rica, dan itu enak banget! takaran bumbunya pas, soalnya 80% kamu yang ngatur masakannya.”

“Hahahaha, iya dong, siapa dulu?”

**“Candy, anak cantik,” **

Sesaat setelahnya, terdengar suara sapaan dari laptop yang Hyunjin gunakan. Hal itu menandakan bahwa meeting telah dimulai.

Seungmin mendekat ke Hyunjin dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Kamera Hyunjin yang sudah menyala—Seungmin tutup menggunakan telapak tangannya. Lalu ia lumat bibir Hyunjin dengan lembut. Ciuman itu tak berlangsung lama, mengingat Hyunjin sedang ada kepentingan.

“Aku ke kamar, ya? mau selesaiin kerjaan aku. Nanti aku ke sini lagi kalau udah selesai.” bisik Seungmin.

Seungmin pun menyelesaikan pekerjaannya—yang untungnya tidak begitu menumpuk. Hyunjin dan Seungmin bekerja di satu perusahaan yang sama. Hanya beda divisi saja. Dan kali ini mereka mendapat jadwal work from home yang berbarengan.


Tangan Seungmin yang cekatan dalam mengetik, dan otaknya yang lancar bekerja membuat pekerjaannya selesai dalam beberapa jam saja. Ya... walaupun ia tahu bahwa kurang dari satu jam lagi ia akan menerima pekerjaan baru. Tak apa. Sedikit waktu yang tersisa ini ia gunakan untuk beristirahat sejenak.

Ia menghampiri Hyunjin yang masih setia di depan layar. Seungmin yang pada dasarnya suka menggoda Hyunjin pun mulai melancarkan aksinya.

Seungmin menidurkan kepalanya di paha Hyunjin, wajahnya ia tenggelamkan di perut yang lebih tua. Tangan Hyunjin mulai bergerak mengusap kepala Seungmin dengan perlahan-lahan. Hyunjin tidak keberatan sama sekali dengan tingkah kekasihnya itu—Seungmin mode manja adalah favoritnya.

Tak sadar, Seungmin justru tertidur lelap selama satu setengah jam—dengan posisi yang tak berubah. Begitu ia terbangun, ia langsung mendongak menatap Hyunjin. Tak disangka bahwa Hyunjin pun tengah menatapnya.

Netra mereka pun mau-tidak-mau jadi beradu. Hyunjin tersenyum melihat Seungmin yang kebingungan. Nyawanya seakan masih berputar-putar diatas dirinya.

“Rise and shine, candy.”

“Hah? ngaco kamu, orang masih sore—Eh! udah sore?” Seungmin langsung mendudukkan tubuhnya dengan tegak.

“Kenapa? kamu ada yang mau dikerjain?”

“Kamu belum makan, Hyunjin!” kemudian Seungmin menoleh ke sebelah kanan Hyunjin. Terlihat 2 buah cup kopi kosong. Dapat Seungmin simpulkan bahwa Hyunjin telah meminum kedua kopi yang ia beli di pagi hari.

“Kopinya kamu minum? dua-duanya?”

“Candy, i'm sorry, sumpah aku tadi ngantuk banget banget banget.”

“Kamu tuh, ya,” yang lebih muda menggelengkan kepalanya, kemudian berlalu ke arah dapur.

“Candyyyy, maaf...”

“Sekarang, makan. Tuh kamu dari kemarin cemilin makanan ringan doang. Giliran disuruh makan nasi gamau.”

“Yaudah deh, ayo masak,” Hyunjin akhirnya mengalah supaya kekasihnya itu tidak marah berkepanjangan.


Malam hari pun tiba, Seungmin yang menginap di apartemen Hyunjin pun kini sudah berbaring di kasur sambil menonton tv. Sedangkan Hyunjin masih menyelesaikan sisa pekerjaannya hari ini.

Sekitar satu jam kemudian Hyunjin menghampiri Seungmin yang berada di kamar. Ia tiba-tiba berbaring sambil memeluk pinggang Seungmin, wajahnya mendusel pada perut kekasihnya.

“Kenapa kamu? mau makan lagi, ngga?”

“Perut aku ngga enak, kayanya lambungnya, deh??? aku juga ngantuk banget, capek.”

“Tuh, kan dibilanginnya. Gimana ngga sakit? orang ngopi aja lancar, giliran makan macet, istirahat kurang. Emang kalau begini baik buat badan kamu?”

Hyunjin menggeleng ribut, helaian rambutnya menggelitik perut Seungmin.

“Bentar, aku ambil minyak angin dulu. Sama sekalian aku masakin nasi goreng, ya? sebentar aja.”

“Aku ngantuk, ngga bisa ngunyah makanan. Mau tidur aja, sambil peluk tapi,”

“Yaudah tidur aja,” tangan Seungmin melesak masuk ke dalam kaus oblong yang Hyunjin pakai—tangannya mulai bergerak—mengusap-usap punggung Hyunjin, sambil menepuknya sesekali supaya lelakinya itu cepat terlelap.

“Maaf ya, aku akhir akhir ini suka batu kalo dibilangin...”

“Iyaaa, ganteng. Tidur, biar perutnya ngga sakit.”

“Cium dikit,”

Kali ini, Hyunjin lah yang manja. Sedangkan Seungmin tidak punya alasan untuk menolak. Ia kecup pipi kanan kiri, dahi, hingga bibir Hyunjin.

**“Thank you, cantik, good night! Aku sayang kamuuuuu,” **

“Iyaa, aku juga, ganteng.”


[5:00 P.M]

Sekitar 20 menit kemudian Jeongin sampai juga di depan rumah Seungmin. Seungmin yang menunggu Jeongin dari balkon kamarnya pun bergegas turun.

“Kan.. kan.. repot sendiri bawanya. Dibilang jangan semuanya dibeli.” protes Seungmin, namun tetap membantu Jeongin membawa kantung plastik yang penuh dengan makanan itu.

“Bahasa lo kaya ayah gue,” balas Jeongin sambil melepas sandalnya.

Sesampainya di dalam, Jeongin melihat sekeliling ruangan. Sepi. Sangat sunyi.

“Ortu lo ngga di rumah?”

Seungmin menggelengkan kepalanya sambil terus berjalan ke arah dapur, “Ngga, belum pada pulang kerja.”

“Ohh...”

“Kamu naik aja duluan, Jeong. Naik tangga terus ke arah kiri.”

“Gapapa?”

Seungmin mengangguk.

Jeongin pun menaiki anak tangga dengan perlahan-lahan sambil membawa kantung-kantung tersebut. Sesampainya di lantai dua, Jeongin bermonolog, “Gila, bisa-bisanya dia di rumah sendirian. Mana kompleknya sepi, ini.. rumahnya juga.”

Jeongin memilih menahan diri untuk berkeliling kamar Seungmin sampai si pemilik datang. Tak lama, Seungmin membuka pintu kamarnya sambil membawa piring. Setelah meletakkan piringnya di karpet bulu berwarna putih yang sudah ia gelar sedari tadi—Seungmin meraih remot AC dan menghidupkannya.

“Lo ngga takut di rumah sendiri?”

“Ngga. Udah biasa juga, kenapa? kamu takut?”

“Ngga lah,”

Seungmin hanya menyeringai dan mulai mengutak-atik rak barangnya. Mencari beberapa gulung benang dan seperangkat alat rajut.

“Jeong, aku punya ini,” ucapnya setelah menemukan apa yang dicari.

“Gantungan kunci?”

“Iya,”

“How cute. Lo bikin sendiri?”

“Iya. Aku bikin dua, dan dua-duanya bentuk kura-kura. Jadi punya kita samaan.” jelas Seungmin.

“Oh, ini punya lo?” tanya Jeongin setelah melihat duplikasi gantungan kunci miliknya—yang sebenarnya ada perbedaan antara keduanya.

Seungmin hanya menggeram. Sedangkan alis Jeongin masih tertaut—bingung.

“Punya gue kenapa ya kura-kuranya megang pisau?”

Seungmin tertawa geli. Ia kira Jeongin tidak akan menyadarinya.

“Yaaa.... soalnya kamu galak, marah-marah terus. Lagian juga aku bikinnya udah dari 2 minggu yang lalu.”

“Kenapa baru dikasih sekarang?”

“Sengaja. Nunggu kamu main ke sini aja.”

Jeongin hanya ber-oh ria. Ia kembali memperhatikan boneka rajut mini yang terlihat pas dalam genggamannya.

“Ajarin juga dong,”

Seungmin mengangkat kepalanya untuk menatap Jeongin. Kemudian ia tersenyum lebar, “Boleh!” serunya.

“Bikin ayam bisa ngga?”

“Bisa. Tapi aku bikin 1 buat contoh, ya? nanti sisanya kamu.”

“Iyaa.”


1 jam kemudian.

“Ini udah jadi??? gila, keren banget gue.” ucap Jeongin—cengirannya menggambarkan bahwa ia bangga pada hasil karyanya itu.

Tiba-tiba, Seungmin berceletuk, “Kenapa ya, orang yang jarang senyum tuh kalo sekalinya senyum jadi WAAHHH banget gitu. Sedangkan orang yang suka senyum malah senyumnya biasa aja—eh, enggak! maksudnya ya bagus bagus aja. Tapi juga ngga yang WAAHHH gitu.”

“Hah???” Jeongin nampak bingung dengan pernyataan Seungmin yang tiba-tiba.

“Kenapa Tuhan kasih senyum yang bagus banget ke orang yang jarang senyum?”

“Hah? maksudnya? lo ngomongin apaan deh?”

Seungmin menggeleng ribut, “Ngga, ngga. Aku ngomong sendiri, kok.”

“Ohhh—yaudah ini dimakan dong, jangan didiemin.”

“Lagian kamu, belinya banyak banget. Padahal dari tadi juga aku cemilin.”

“Sengaja kok emang.”

“Dasar! tapi... makasih banyak ya udah mau nemenin aku. Maaf juga kalo di sini terlalu sepi atau gimana. Emang dari dulu begini.”

“Lah? ngapa minta maaf? gapapa kali. Lagian juga tadinya gue mau nanya sama liat-liat buku yang lo punya. Kali aja ada yang seru, terus gue bisa pinjem deh.”

“Ohh, ngomong dong! rak bukunya ngga ada di kamarku—ayo sini ikut.”

Seungmin menarik tangan Jeongin untuk melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke arah yang berlawanan dengan kamarnya.

“Wah, gila. Sumpah banyak banget??? ini lo semua yang baca?” celetuk Jeongin setelah memasuki ruangan berisi banyak buku—atau sebut saja perpustakaan mini.

“Ngga lah. Pusing juga kali kalo sehari-hari melototin buku pelajaran terus sampe rumah baca buku lain.”

“Terus ini?” Jeongin menujuk rak-rak buku itu.

“Itu ada yang punya papa mama. Ngga punyaku doang, Jeong. Aku juga baca buku pas lagi bener-bener senggang, biar enjoy bacanya.”

“Oalah.. sama kalo gitu. Gue juga punya ruangan mirip kaya ini, tapi semua isinya punya ayah gue. Isinya buku tentang sosial, politik, ekonomi sama apalah itu gue ga ngerti. Dan ngga tertarik.”

“Itu mah emang kamunya aja yang males,” Seungmin sedikit tertawa setelahnya.

Kemudian, si pemilik mengelilingi rak paling pojok sebelah kanan. Karena di sana lah buku-buku milik Seungmin tertata dengan rapi.

“Sini Jeong!” serunya.

Jeongin terlebih dulu membaca tulisan di rak paling atas yang bertuliskan 'Seungmin's book!'

“Ohh di sini tempat buku-buku khusus punya lo?”

“Iya!” Seungmin melepas kacamatanya sesaat untuk mengelap kacanya yang ber-uap. Saat Seungmin sibuk menggosokkan bajunya di kaca—Jeongin justru salah fokus. Matanya terpaku pada wajah Seungmin yang berkali-kali lipat nampak indah tanpa kacamata yang bertengger di wajahnya.

“Jeong? kok diem?”

Sial. Detak jantungnya tidak dapat dikontrol.

“Ngga kok, ini diem karena lagi nyari judul buku.”

Seungmin hanya terdiam saat melihat gelagat Jeongin yang gelisah, seakan menutup-nutupi sesuatu. Ia pun menyandarkan tubuhnya pada rak buku—juga melipat tangannya sembari memperhatikan Jeongin.

“Oh iya, Jeong. Kamu kenapa susah banget sih kalo diajak ke kantin? kenapa? ada crush kamu?”

“Ngaco banget sumpah. Ngga lah.” elak Jeongin sambil terus mencari buku—yang padahal hanya alibi semata.

“Terus?”

“Di sana berisik. Semuanya berisik, dan lo juga berisik.”

Ohh.. then, what about your heartbeat, Jeong? whenever you're next to me, bukannya sama berisiknya?”

“Mak...sudnya?”

“Sejak kapan, Jeong? sejak kapan kamu selalu gelisah kalo aku liatin kamu? sejak kapan kamu mikir dulu kalo aku ngomong sama kamu? sejak kapan kamu ngga berani natap aku?”

Jeongin menghela nafas panjang, nafasnya ikut memberat. Detak jantungnya makin berdetak kencang diluar kendali. Kini hanya matanya lah yang dapat berbicara dengan Seungmin.

“Aku nanya, Jeong.”

Fine. Gue ngga tau sejak kapan, it's all of sudden, okay?” matanya sedikit memicing.

“Yaudah yaudah, kan cuma nanya. Ngeliatinnya biasa aja dong,”

Saat Seungmin berbalik ketika hendak menuju sofa di ujung ruangan—Jeongin menarik tangan Seungmin dan sedikit mendorong tubuh itu untuk kembali bersandar pada rak buku.

“Ish, kenapa? ngagetin ta—” belum sempat Seungmin menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan Jeongin sudah terlebih dulu mengambil kacamata yang menempel pada wajah Seungmin lalu membuangnya pelan ke sembarang arah.

“Jeong!”

You look prettier without those glasses.

“Terus kenapa? kalo mau nyuruh aku lepas kacamata bilang aja. Tapi ini lepasin dulu ih,” Jangan lupa bahwa tangan Jeongin masih menahan bahu Seungmin.

“Gue.. boleh cium.. ngga?”

Seungmin tersentak setelah mendengarkan perkataan Jeongin yang tiba-tiba itu. Karena selama ini Seungmin hanya merasakan sifat Jeongin yang melunak belakangan ini hanya karena sudah mulai akrab. Meskipun begitu, Seungmin tidak dapat menolak permintaan Jeongin. Sebab, dirinya pun sudah mulai jatuh hati pada laki-laki bersurai hitam di depannya itu.

Seungmin pun menjawabnya dengan anggukan kecil. Kemudian dengan cepat Jeongin melesakkan tangan kanannya untuk menahan tengkuk Seungmin.

Ciuman itu terjadi secara lembut, tidak dengan terburu-buru, tidak juga karena keterpaksaan. Tidak. Karena Jeongin memimpinnya dengan tempo pelan—yang sumpah demi apapun kini memabukkan Seungmin.

Lama kelamaan, tangan Jeongin yang menganggur itu hinggap di pinggang ramping Seungmin. Tangan Seungmin pun begitu—perlahan-lahan ia sampirkan pada pundak Jeongin.

Dirasa pasokan udara mereka mulai menipis, Seungmin menepuk pelan pundak Jeongin, “Je..ong,”

“Pretty.” ucap Jeongin sembari mengusap pelan bibir Seungmin yang memerah.

Seung, what if i tell you that i like you—but not as a friend?

tags : top!Hazel, bot!Nala, nsfw, explicit sexual content, kissing, making out, praising, neck biting, nipple play, nipple suck, blow job, deep throat, anal fingering, unprotected sex, vanilla sex, creampie, aftercare.


Setelah sesi santai dengan menonton film tadi sore, sekarang mereka berencana untuk mandi. Mengingat mereka hanya merebahkan diri sejak tadi.

“Aku mandi duluan, ya?” tanya Hazel.

“Ih, akuu!”

“Aku dulu plissss, katanya kamu mau masak mi dulu?”

Benar juga, dari tadi Nala membicarakan mi tanpa henti, lalu ia bilang bahwa ia akan memasaknya setelah film selesai. Walaupun begitu, Nala tetap bersungut kesal. “Yaudah sana. Jangan lama-lama.”

Mendengarnya, Hazel langsung menyambar bathrobe miliknya dan masuk ke kamar mandi.

Sementara itu, Nala tidak langsung pergi ke dapur, mengambil panci berisikan air, lalu memasak mi. Tidak. Dirinya sekarang diselimuti rasa malas secara tiba-tiba.

“Ntar aja deh. Bikin kopi aja dulu.” gumamnya sambil turun dari kasur.


15 menit kemudian, Hazel keluar dari kamar mandi sambil mengusak rambutnya dengan handuk kecil yang bertengger di lehernya.

“Dah sana mandi, aku udah.”

“Ngga kurang lama zel?”

Hazel hanya menunjukkan cengirannya, lalu mengecup sekilas bibir Nala.

“Kalah kamu sama Mayo. Mayo aja udah mandi.”

“Makanya, mandiin aku juga.” ledeknya.

“Oh, mau? kenapa ngga bilang?”

“BERCANDAAAA” kemudian Nala berlari kecil ke arah kamar mandi.

Sepuluh menit berikutnya, Nala berseru dari kamar mandi. “Hazeeeel, lampunya jangan dimatiin, rese kamu!!” Iya, jeritan itu disebabkan oleh Hazel yang dengan sengaja menggoda Nala.

Setelah lampu dinyalakan—beberapa menit setelahnya Nala keluar kamar mandi dengan wajah kesalnya. “Untung tadi aku ngga kepentok lemari kecil! kalo iya, abis kamu.” kata Nala sambil mengikat tali bathrobenya.

“Huuuu ngeri,”

Nala duduk di pinggir ranjang—menghadap pada cermin yang berbentuk persegi sembari menyiapkan hairdryer untuk mengeringkan rambutnya dengan segera. Ia tidak betah berlama-lama dengan kondisi rambut yang basah. Berbeda dengan Hazel yang cuek akan kondisi rambutnya setelah mandi—entah itu basah atau kering. Ya... kecuali saat hendak berangkat ke kampus atau pergi ke luar rumah. Pada saat itulah Hazel harus memastikan bahwa rambutnya kering dan rapi.

“Sini aku bantuin,” Hazel mengajukan diri untuk membantu kekasihnya itu. Dan Nala pun menyerahkan hairdryer itu ke tangan Hazel. Hazel dengan telaten mengeringkan rambut Nala. Mungkin karena sudah terbiasa.

Hanya butuh waktu sebentar untuk itu. Lalu Hazel duduk di belakang Nala yang masih menghadap cermin. Dagunya ia tempelkan pada pundak Nala sambil sesekali mengecupnya.

“Wangi aku deh,”

“Aku emang pake sabun kamu zel, hehehe,”

Hazel memilih bungkam—ia justru kembali memberi kecupan pada pundak Nala. Namun tampaknya kecupan pada pundak itu tidak bertahan lama. Kini Hazel memperluas areanya pada leher jenjang Nala. Ia sesekali menyesap dan menggigitnya pelan. Hal itu membuat tubuh Nala menggeliat geli. Ia juga berusaha mati-matian untuk menahan suaranya yang sekarang tercekat di tenggorokan.

Hazel memperhatikan mata Nala yang terpejam lewat cermin di depannya. Dapat ia pastikan bahwa Nala juga menikmatinya. “Open your eyes. Look at you, Nala,” Nala langsung membuka matanya dan memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Nala melihat wajahnya yang memerah, juga matanya yang sayu, padahal Hazel hanya bermain pada area lehernya.

“Kamu cantik. Cantik banget. Don't you see that?

Nala hanya mengangguk, yang akhirnya menuai protes dari Hazel. “Dijawab. Iya atau ngga?”

“I..ya..”

Hazel mengangkat tubuh Nala dengan mudahnya untuk duduk pada pangkuannya. Secara spontan mata Nala terbelalak kaget karena Hazel mengangkatnya secara tiba-tiba. Tatapan kaget itu perlahan berubah menjadi tatapan intens yang tertuju untuk Hazel. Mereka beradu tatap untuk kurang lebih 3 menit. Tapi Nala gugur— alhasil ia langsung memeluk Hazel supaya Hazel tidak lagi menatap wajahnya. Bisa-bisa ia digoda habis-habisan jika Hazel tau wajahnya makin memerah akibat tatapannya.

“Mukanya udah merah, aku tau. Ngga usah malu, sini aku mau liat mata kamu yang cantik banget itu.”

“Ngga mau, malu..”

Hazel mendorong pelan tubuh Nala supaya Nala melepas pelukannya yang erat. Begitu terlepas, ia angkat dagu Nala, “Lucu banget, cantik.”

Setelahnya, bibir Hazel mendarat di atas bibir Nala. Ia memagut bibir Nala dengan lembut dan perlahan, tanpa terburu-buru. Hal itu dibalas dengan perasaan senang oleh Nala. Nala pun membalas ciuman tersebut, mengikuti tempo sang dominan.

Bibir mereka saling tersapu lembut, yang lama kelamaan melibatkan lidah mereka di dalamnya. Hazel melesakkan lidahnya dan menjelajah tiap inci dari mulut Nala. Seiring ciuman mereka yang kian memanas, Hazel pun kian menarik tubuh Nala untuk mendekat. Tangan kekarnya mulai membelai punggung mulus Nala—tangan Nala juga ikut bergerak untuk meremat rambut Hazel.

“Mau lanjut?” tanya Hazel. Walaupun Hazel yakin dengan jawaban Nala, ia selalu ingin memastikan consent dari kekasihnya itu.

Sebagai jawaban, Nala mengangguk malu-malu.

Kemudian tanpa berlama-lama, Hazel membalik posisinya. Nala yang semula berada di pangkuannya—kini sudah berada dibawah kungkungannya.

Tangan Hazel dengan sigap melepas bathrobe yang Nala kenakan. Terpampang jelas kulit putih nan mulus milik Nala—yang membuat Hazel ingin memberinya beberapa tanda keunguan di atasnya.

Hazel kembali mencium bilah delima di depannya. Ciuman itu perlahan-lahan turun ke leher si submisif.

Ahhh...” Nala mendesah kala Hazel menggigit lehernya. Desahan sensual itu membuat Hazel makin gencar untuk kembali memberi tanda pada bagian lain dari lehernya.

Perlahan ciuman itu turun ke dada keksihnya. Lidah Hazel mulai bermain-main pada dua buah noktah kecoklatan di depannya secara bergantian.

Haz—ahhh...

Kadang kala sesapan Hazel berhenti pada satu titik, dan tangannya yang lain memilin puting Nala—yang mengundang desahan yang mengelu-elukan namanya berulang kali.

“Aku.. aku juga mau,” ucap Nala pelan.

Hazel tau maksudnya, maka dari itu—ganti, sekarang Hazel-lah yang bersandar pada headboard sambil mengelus rambut Nala.

Dengan perlahan Nala buka kancing celana jeans selutut yang masih Hazel kenakan. Tak lupa Nala singkap kaus berwarna putih polos milik Hazel. Sebelum itu, Nala mengalihkan sekilas pandangannya pada Hazel. Dapat ia lihat bahwa Hazel sedang berusaha menetralkan napasnya yang memburu.

Sebagai permulaan, Nala kecup-kecup perut Hazel. Di sana tercetak dengan jelas otot sixpack hasil workout kekasihnya itu.

Nala... sayang...

Lidahnya ia gunakan untuk mulai mengulum habis kejantanan Hazel. Hangat pun dirasakan oleh si empunya. Nala memaju mundurkan kepalanya dengan tempo sedang, sesekali kulumannya digantikan oleh kocokan tangannya.

Ahhh— Nala.. sayang..” Hazel meracau dengan mata terpejam dan kepala yang mendongak. Ia sungguh menyukai bagaimana Nala bermain di bawahnya.

Terbawa oleh suasana, makin lama Nala membawa penis Hazel makin dalam hingga menyentuh pangkal kerongkongannya—Nala semakin kuat menghisap penis Hazel.

Haaa—ahh Nala—you take it so good...

Stop.. stop it. Aku ngga mau keluar sekarang sayang.

Nala pun melepas kulumannya itu.

I'll prep you first, okay?” ucap Hazel.

Yeah, just do it.

Posisi mereka pun berubah lagi pada posisi awal—di mana Nala berada di bawah Hazel. Sebelum itu, Hazel melepas semua pakaiannya tanpa tersisa.

Setelahnya, Hazel langsung memasukkan satu jarinya pada anal Nala. Satu jari itu masih dapat ditoleransi olehnya. Namun ketika Hazel menambahkan satu jari lagi, Nala sedikit mengerang karena rasanya yang sedikit nyeri. Kedua jari Hazel bermain dengan baik di bawah sana—jarinya memutar, membuat gerakan menggunting, tak jarang jarinya pun menyentuh prostat Nala.

Aaaaah—hazel.. hazel..” Nala mendesah tak karuan saat jari Hazel menyentuh prostatnya.

Dirasa cukup, Hazel mengeluarkan jemarinya. Dan dengan cekatan mengambil lube yang ada di nakas, lalu menuangkan lube tersebut di atas lubang Nala, juga penisnya.

“Aku masuk, ya. Kalo sakit cakar aja,”

Perlahan Hazel melesakkan kejantanannya itu ke dalam lubang milik Nala. Milik Hazel yang masih tegak dan keras membuat Nala menggeram. Tangannya juga tanpa sadar mencakar punggung Hazel.

Nghhh.. wait wait. Pelan-pelan please..

Sorry sayang,

Untuk mengalihkan rasa sakit itu, Hazel memagut bibir Nala yang sudah sedikit terbuka, sambil terus memasukkan miliknya itu.

Sekarang kejantanannya sudah tertanam sempurna di dalamnya, “M-move aja, zel. Tapi pelan dulu,”

Dapat Hazel rasakan dinding rektum itu mencengkeram penisnya dengan ketat. Nala pun juga begitu, lubangnya terasa penuh dan sesak begitu kejantanan Hazel masuk sempurna.

Sempit banget—Aaahhh

Sang dominan mulai menggerakkan kejantannya maju mundur—Ia memulai dengan tempo perlahan. Hazel dapat melihat betapa cantiknya Nala dari atasnya. Tubuhnya memantul seiring dengan tempo yang diberikan, bibirnya yang terbuka, juga peluh yang menghiasi dahi serta lehernya.

“Cantik, sayangku paling cantik,”

Tempo pun dibuat semakin cepat oleh Hazel—kejantanannya menyentuh prostat Nala berkali-kali.

Aaahh.. Hazel.. sayang—right there—keep going please please please..

Mendengar namanya dielukan, membuat Hazel semakin liar. Ia meremat pinggang ramping Nala sembari menumbuk telak pada sweet spot Nala.

Paha Nala bergetar merasakan kenikmatan tiada henti. Kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya yang membuat mulutnya tak henti-hentinya mendesah.

Nala—you're doing so good babe—aahh

Tubuh ramping Nala melengkung indah saat ia rasakan bahwa dirinya akan sampai. Namun Hazel seakan tak memberinya jeda untuk bersuara karena saking hebatnya tumbukan yang diberikan.

Dapat Nala rasakan kejantanan Hazel makin menegang dan berdenyut di dalam sana. Pertanda bahwa putihnya akan segera sampai.

Nghhh—Hazel.. Hazel.. aku mau keluar..

Yes, cum for me,

Benar saja, tak lama Nala sampai pada putihnya. Cairan sperma itu mengenai perut dan selangkangannya. Tak sedikit juga mengenai Hazel yang masih sibuk menumbuk di atasnya.

Haahh—Aaahh... Nala sayang, cantikku—Aku juga mau keluar,

Dengan beberapa tumbukan lagi, akhirnya Hazel pun menumpahkan spermanya di dalam lubang Nala. Putihnya mengalir sampai ke paha bagian dalam Nala ketika penisnya dicabut.

Mata Nala terpejam—napas keduanya masih memburu. Hazel buru-buru memberi banyak ciuman pada wajah Nala.

“Cantik, sayangku, makasih banyak.” Hazel membiarkan Nala memejamkan matanya sejenak, sedangkan dirinya langsung bangun untuk membersihkan tubuh Nala juga membersihkan kekacauan akibat sesi bercinta mereka barusan.

Ia mengusap setiap senti tubuh Nala dengan lembut menggunakan handuk basah secara telaten. Ia juga usap peluh yang masih terus membasahi dahi dan leher Nala. Terakhir, ia menutupi tubuh Nala dengan selimutnya.

Lepas itu, Nala menarik tubuh Hazel untuk memeluknya—Hazel dengan senang hati mendekap Nala sambil terus membubuhi pucuk kepalanya dengan kecupan juga usapan halus.

Good night, Nala, i love you,

Love you more, zel..

—————

cw // kissing


Suara bel rumah Nala menyebar ke ruang tengah. Dengan mudahnya Nala menebak bahwa itu adalah Hazel. Ia pun dengan sigap berdiri untuk pamit lalu menghampiri Hazel.

“Mam, Hazel udah di depan. Aku berangkat, ya?”

“Iya, tapi itu Hazel ngga diajak masuk dulu?”

“Ngga mam, aku mau langsung aja.”

“Oke kalo gitu, hati-hati.”

Nala melangkahkan tungkainya dengan sedikit terburu. Setelah menutup pagar, ia melihat Hazel yang sedang menunggunya di dalam mobil sambil tersenyum.

“Hazel!!” Nala langsung melayangkan pelukan erat pada Hazel—yang dibalas sama eratnya. Sekilas, Hazel menoleh untuk mencium leher Nala sekilas.

Setelah pelukan terlepas, Nala kecup bibir Hazel. Hazel pun membalasnya dengan menghadiahkan banyak kecupan singkat pada pipi, juga dahi Nala.

“Kangennn,” tutur Nala. “Kamu makin cantik, makin lucu.” balas Hazel.

Nala menanggapinya dengan senyuman—tak lama, Hazel pun melajukan mobilnya.

“Kamu mau beli sesuatu dulu ngga?”

“Aku mau ngemil zel, tapi ga tau beli apa. Kamu mau apa?”

“Macaroon mau? sama beli bubble milk tea gitu. Atau yang lain juga gapapa.”

“Mauuu! di all pink aja, ya?” usul Nala.

“Boleh. Habis itu langsung aja? kamu ngga mau ke mana dulu gitu?”

Nope, cuz i miss my boyfie, i wanna spend my time with him.

Hazel mengangguk paham, kemudian mengusak rambut Nala. “Sure, anything for my Nala.


Setelah membeli beberapa camilan, mereka langsung menuju apartemen Hazel. Sesampainya di sana, keduanya berjalan beriringan—tangan kiri Hazel memegang plastik berisi belanjaan, sedang tangan kanannya melingkar pada pinggang Nala.

Di depan pintu apartemen, Hazel mencekal tangan Nala, “Sebentar, sini plastiknya.” Hazel menyambar plastik belanjaan yang juga dipegang Nala. Nala yang kebingungan hanya dapat menurut. “Itu, masukin aja pinnya.” perintah Hazel.

Nala pun memasukkan pin tersebut. Ia masuk terlebih dulu dan langsung mencari tombol lampu. Setelah lampu menyala, mata Nala langsung terarahkan ke sudut ruangan—tepatnya di samping kanan ranjang Hazel, bersebelahan dengan meja belajar.

Raut wajah Nala seperti membentuk tanda tanya, “Zel???”

Hazel mengangkat bahunya sekilas, lalu pergi ke dapur untuk menaruh plastik belanjaan. Sementara itu Nala menghampiri sudut ruangan itu dan memperhatikannya dengan antusias.

Terdapat single chair berwarna biru yang berpasangan dengan sebuah meja kecil berbentuk lingkaran. Tepat di atas kursi, terdapat papan mading berukuran sedang. Pada papan mading itu, banyak menggantung foto-foto mereka yang dijepit menggunakan jepitan khusus foto dengan bentuk menarik, juga tali rami berwarna cokelat.

Foto yang dimaksud adalah foto mereka berdua—walaupun kebanyakan berisi foto Nala—yang sedang tertawa, tersenyum, cemberut, bahkan foto saat Nala sedang tertidur pun ada. Nala pandangi foto tersebut satu persatu dengan senyum yang tak kunjung luntur dari wajahnya.

“Zel, aku kemarin ngga liat ini loh? tell me kalo emang ini baru ada? atau.. atau aku yang ngga nyadar, ya?”

Hazel menghampiri Nala yang menatap matanya intens dari kejauhan. “Kemarin tuh kemarin kapan, Nala? kamu aja ke sini baru hari ini.”

“Berarti baru?”

“Ngga juga, kok. Aku mulai bikin sekitar 4 hari lalu. Terus baru jadi tadi, soalnya dari tokonya ada keterlambatan pengiriman gitu. Makanya aku ngga bolehin kamu dateng lebih awal. Bukannya aku ngga kangen, Aku mah mau banget cepet-cepet ketemu, cuma ini nanggung. Jadi aku selesaiin dulu.”

“Zel???”

Hazel menangkup pipi Nala gemas, “Aku bikin ini soalnya kangen kamu, hahahaha—biar nanti kalo sewaktu-waktu aku atau kamu lagi sibuk dan ngga bisa ketemu, aku bisa liatin kamu dari sini. Terus kenapa di samping meja belajar aku? jawabannya, biar kalo aku pusing aku bisa ngeliat ke kamu.”

Nala langsung memeluk Hazel tanpa berbicara sepatah katapun.

“Di samping itu juga, aku dari dulu emang pengen banget bikin satu spot di mana isinya itu kamu sama aku. Tapi isinya ttp harus banyakan kamu.” jelas Hazel lagi.

“Thank you zel, aku sayang kamuuu. Banget.”

I love you more than ever.” bisik Hazel.


Setelahnya, mereka menggeser sofa menghadap balkon. Nala merebahkan dirinya, dengan Hazel yang berada di atas sambil memeluk pinggangnya.

Mereka menghabiskan sore hari bersama, sambil memperhatikan semburat berwarna jingga itu pudar dan digantikan oleh malam.


“Hemaaa, jadi bareng ngga?”

“Iyaa, lagi pake sepatu, bentar.”

Itu suara mereka yang bersahut-sahutan—Dewata menunggu Hema yang sedang memakai sepatu. Dan Hema meminta Dewata untuk menunggu dirinya—karena mereka akan pergi ke gor bersama.

“Siap siap kalah ya dew, hahahaha,”

“Sombong. Kalo gua yang menang awas aja. Gua peres tuh dompet lu.”

“Try me then.”


Sesampainya di sana, ternyata kubu dari masing-masing sekolah sudah memenuhi gor. Padahal ini bukanlah turnamen, ini hanyalah bermain santai. Maka dari itu keduanya terkejut, “Buset, rame banget, mau tawuran apa gimana?” celetuk Dewata.

“Nervous gua dew,”

“Itu tandanya mau kalah.”

Di sana, ternyata penyewa sebelum mereka masih menggunakan lapangan, dan masih tersisa sekitar 15 menit lagi.

“Hem, beli minum dulu yuk? jalan bentar ke depan.”

“Yaudah ayo, masih lumayan juga tuh yang main.”

Gor tersebut terletak di tepi jalan yang tidak terlalu besar. Namun cukup ramai, apalagi ketika sore hari. Sambil menunggu menit demi menit berlalu—seusai membeli minum—mereka duduk sebentar di bangku permanen yang ada di atas trotoar.

Di sampingnya terdapat tanaman maupun bunga liar yang tumbuh dengan baik meskipun sedikit tertutup debu. Salah satunya adalah bunga Aster.

Dewa memetik bunga tersebut dan membentuk tangkainya menjadi lingkaran kecil—bak cincin yang ia buat semasa kecil dulu.

“Hem,”

Hema menoleh. Matanya langsung tertuju pada jemari Dewa yang masih sibuk melilit batang bunga aster tersebut.

“Pake deh,” Dewa meraih jari manis Hema dan melingkarkan cincin yang ia buat barusan.

“Ini dulu kita sering banget bikin ini ngga sih? hahaha, terus juga kok bisa ya bunganya tumbuh di pinggir jalan gini?”

“Kalo pagi atau sore ada kakek kakek yang biasa nyapu jalanan, Hem. Dia yang nyiram ini.”

“Serius?”

“Iya. Waktu pagi jam 8-an, gua kan pelajaran olahraga, ya. Terus kan sekolahan gua di depan, tuh, jadi kalo olahraga sering ke sini. Dan ngga jarang juga gua liat kakeknya lagi nyapu, atau duduk sambil nyiram bunga.”

“Ih kalo gitu ngapain diambil bunganya?! berarti ini ada yang melihara dong.”

“Gapapa, udah izin, kok.”

“Izin? izin gimana?”

“Waktu itu gua izin, gini, 'Permisi, kek, kakek yang nyiram bunganya ya?' terus kakeknya jawab iya. Gua ngomong gini, 'Kalo sewaktu-waktu, tapi gatau kapan, saya minta bunganya satu buat pacar saya boleh ngga kek?' Terus kakeknya senyum, katanya boleh.”

“Bisa banget ya lu,” Hema tertunduk malu.

“Suka ngga?”

Hema mengangguk pelan, “Ada filosofinya?”

“Jangan ditanya apa filosofinya, Hem. Soalnya versi filosofinya ada banyak. Nanti cari aja di google, terus pilih filosofi mana yang mau lu percaya.”

“Bilang aja ngga tau, dew. Ngga gua ketawain kok.” Hema tersenyum lebar.


Mereka kembali ke lapangan.

Pertandingan pun berjalan lancar, tanpa ada kekerasa antar penonton dan sebagainya.

Berjalan lancar yang dimaksud adalah berjalan lancar pada umumnya. Namun tidak bagi Hema.

Timnya kalah dengan skor tipis. Harusnya tadi gema mencetak gol— setidaknya untuk membuat skor imbang. Namun ternyata tidak semudah itu.

Hema tidak sedih. Ia hanya sedikit kesal. Pasti Dewata dan mulut besarnya itu akan enggan untuk berhenti mengoceh, meledek, dan menggodanya.

“Yaaaahhh kalah, hem.” Belum 5 menit Hema membatin. Benar saja apa kata Hema.

“Hmm, mau apa?”

“Buru-buru amat. Nanti aja lah, sekalian balik.”


Keduanya pun meninggalkan tempat—namun sebelum itu mereka memilih untuk memutar jalan, supaya tidak langsung sampai ke rumah. Sehingga mereka bisa berbincang sejenak.

“Hem, kan lu kalah nih,”

“Iyaaa, ga usah di ulang-ulang! mau apa?”

“Kan yang kalah harus nurutin maunya yang menang, ya?”

“Iya dewata, iya, gua ngga lupa kok.”

“Gua mau minta sesuatu deh,”

“Iya sebut aja,”

“Jadi pacar gua, ” kata Dewata. “Ini bukan pertanyaan ya, ini udah punya jawaban mutlaknya.”

“Kok???”

“Mau kan? harus mau sih.”

Walaupun terkesan memaksa, Dewata tidak serius dengan perkataannya. Ia pun akan tetap menerima jika Hema menolaknya.

Hema masih belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka sampai rumah.

Hema pun turun dari motor Dewata, “Hem,” Dewata menggenggam pergelangan tangan Hema dengan tiba-tiba.

“Gua ngga kabur kok.” ucap Dewata yang kemudian memajukan wajahnya.

Bibirnya menempel sempurna di atas bibir Dewata dan melumatnya sekilas.

Ia pun melepas tautan bibir mereka, “Iya, mau. Ayo pacaran sama gua, dew.”

Dewa tertegun, matanya menatap lurus ke depan, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

Anyway, we're 18 now, right?” kata Hema.

Gantian, sekarang Dewata-lah yang meraih tengkuk Hema untuk menyatukan kembali bilah delima mereka.

Keduanya tersenyum di sela-sela ciuman, “Love you, Hem.” bisik Dewata.

— fin.

cw // kissing

Saat ini kedua murid tahun ketiga ini sedang saling terdiam, ragu, canggung, dan enggan untuk memulai percakapan.

Tercetak jelas bahwa sebetulnya mereka masih canggung akibat kejadian satu hari yang lalu.

“Mau mulai kapan?” tanya Hyunjin.

“Eh.. ayo, sekarang?”

“Bentar ya, gue nyiapin bahan bahannya dulu,”

“Okay then, gue yang nyiapin peralatannya.”

“Oiya, mau minum ngga?” tawar Hyunjin.

“Boleh deh, apa aja yang manis.”

Hyunjin membuat minuman bukannya tanpa maksud, melainkan sembari mencampur minuman tersebut dengan love potion yang ia buat.

Seungmin pun tidak bodoh, Seungmin termasuk golongan murid pintar. Ia dapat mengenali berbagai aroma potion hanya dengan mengandalkan indra penciumannya. Begitupun sekarang, ia sadar bahwa Hyunjin pasti sedang membuka sebuah botol potion, karena aromanya menyeruak dengan jelas.

Seungmin menghampiri Hyunjin dengan sekali jentikan jari, supaya langkahnya tidak terdengar.

Ah... love potion? you must have put in too much rose powder. The smell is so clear, Hwang.

Hyunjin terlonjak kaget, ia menoleh, mendapati Seungmin yang menatapnya.

You don't have to make a love potion to make me loves you. because i already.

“Ngga Seung, ini bukan buat lu,”

“There's my name.”

Hyunjin terdiam. Ia takut Seungmin akan membencinya.

“Don't you hear me?”

“Hah? excuse me?”

“I said You don't have to make a love potion to make me loves you, because i already. Stupid.”

Seungmin mendekat, membuat Hyunjin perlahan mundur.

Kedua tangannya, ia letakkan pada pundak Hyunjin. Wajahnya mendekat, hendak cium bibir sang kasih.

Hyunjin biarkan Seungmin ambil first move terlebih dulu.

Gerakan Seungmin pelan dan perlahan namun memabukkan bagi Hyunjin.

Why do you look so desperate? kaya bukan Hyunjin gue. Kenapa sampe harus bikin love potion?

I couldn't take in any longer.

“Ngga sabaran.”

Let me be yours,

Of course you can.

I love you, babe, my love, cuties.

Love you more, Mr. Celo.