Suara kerikil yang bergesekan dengan ban mobil di halaman rumahnya pada awalnya tak Nala indahkan sama sekali. Sampai tak lama setelah suara tersebut menghilang, Nala dibuat terkejut dengan suara lain—suara ketukan pintu yang menguar di indra pendengarannya.

Nala tentu tak berpikir macam-macam, ia hanya berpikir bahwa itu mungkin temannya, atau bahkan kedua orang tuanya yang kembali lagi untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Namun, sayangnya Nala tidak berpikiran ke arah Hazel. Karena baginya, memikirkan Hazel sudah cukup membuatnya sakit. Lagipula untuk apa ia mengharapkan Hazel datang? Justru ia mengharapkan yang sebaliknya, gumamnya dalam hati.

Nala dibuat bingung seraya berjalan menuruni tangga untuk membuka pintu. Siapakah gerangan yang ada di baliknya? Karena, jika itu adalah kedua orang tuanya tentulah akan langsung masuk, lagipula mereka punya kunci cadangan.

“Iya, sebentar,” suara kunci pun berputar di telinga si tamu.

“Nala...” Begitu pintu terbuka, Hazel menangkap sosok Nala yang terlihat seperti bukan Nala. Wajah dan bibirnya nampak pucat, ditambah matanya yang sayu dan sembab. Hazel dibuat makin merasa bersalah. Padahal, memang seharusnya begitu.

Nala refleks menutup kembali pintu tersebut tanpa berniat untuk meninggalkan sepatah kata pun.

“Nala, wait, please...”

“Kamu mau apa lagi?”

“Nala aku minta maaf,”

“Emangnya kalo kamu minta maaf bisa sembuhin sakit hati aku? Emangnya kalo kamu minta maaf bisa balikin semuanya? Aku maafin kamu atau ngga, kamu minta maaf atau ngga—itu ngga akan ngubah semuanya sama sekali.”

“Aku tau, Nala, aku tau. But, please, give me a chance, i prom—

“Ada ngga saat dimana aku ngga ngasih kamu kesempatan?”

Hazel tertunduk diam.

“Jawab aku, Zel. Kamu kemana aja? Kamu ngapain aja selama ini? Setiap hari, setiap waktu, sebelum kita putus aku selalu ngasih kamu kesempatan buat balik ke aku, ngabarin aku, tapi apa kamu pernah ambil kesempatan itu?”

Hazel hendak mendekat, namun Nala mencegahnya terlebih dulu, “Stay away!”

Hati Hazel seakan dicubit ketika mendengarnya. Begitu sakit ketika ia mendengar Nala melafalkan kalimat yang bahkan ia pikir tidak akan pernah terucap dari mulut Nala.

Dulu, Nala-nya tak pernah sudi berjauhan dengan dirinya. Namun sekarang sebaiknya, Nala ingin Hazel menjauh sejauh-jauhnya.

Sekarang, persetan dengan harga dirinya. Hazel berlutut di hadapan Nala untuk mengais sisa sisa nurani Nala untuk dapat menerimanya kembali.

Nala yang sesungguhnya masih menyisakan sedikit rasa cintanya untuk Hazel pun ikut sesak ketika melihat Hazel memohon seperti ini. Namun, rasa sakitnya berkata lain.

“Pulang, Zel. Ngga ada lagi yang bisa kamu cari di sini, we are done. Aku ngga mau ketemu kamu lagi.”

“Rumah aku... kamu.” Ucap Hazel terbata-bata.

“Tapi kamu ngga pernah pulang lagi sejak kamu deket sama Sabitha. Dan itu cukup bikin aku tau kalo aku bukan rumah kamu lagi.”

'Kamu ngga pernah pulang lagi...'

'Aku bukan rumah kamu lagi...'

Kalimat tersebut seketika berputar di otak Hazel. Memorinya kembali menyetel saat-saat ketika Hazel sedang berada di titik terendahnya, dan di sana terlihat sosok Nala yang sedang memeluknya dengan penuh kasih—menaunginya dari segala pemikiran negatif yang muncul dalam dirinya.

'Hazel... kamu punya aku, kamu bisa pulang ke aku kapanpun kamu mau.'

'Hazel, kamu gapapa?'

'Hazel, jangan mikir yang ngga-ngga, ya? Aku bakalan di sini terus sama kamu. Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian, aku janji.'

'Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian...'

'Aku janji...'

Hazel menyadari, bahwa Nala tidak pernah meninggalkan janji yang ia buat.

Lamunannya terpecah saat sepatah kalimat tak sengaja keluar dari bilah bibirnya, “Kata kamu, kamu ngga bakalan ninggalin aku...”

“I did. Tapi nyatanya kamu yang ninggalin aku, Zel.”

Benar, diri-nya lah yang meninggalkan Nala. Nala masih sama, Nala menepati janjinya.

“Maaf...”

“Pulang.”

“Nala, please, kamu boleh maki maki aku tapi—”

“Buat apa?”

“—Pulang, Zel. Please, pulang.”

“Nala, kamu sakit, ya? Soalnya, selama semingguan ini kamu ngga ke kampus. Kamu mau makan apa, hm? Mau jajan di belakang kampus, ngga? Tapi janji kamu harus sembuh dulu. Waktu itu kamu pengen banget, kan, jajan di sana? Tapi selalu aku ngga bolehin karena kamu ngga bisa makan sembarangan. Ya?”

Tangis yang Nala tahan selama ini pun akhirnya ia lepas.

“Zel, jangan begini...”

“Kamu mau, kan?”

Nala menggeleng pelan, Enough. Sekarang kamu pulang.”

Nala coba kembali untuk tidak menitikkan air matanya sambil berbalik untuk menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Menyisakan Hazel yang masih duduk berlutut di depan pintunya sambil tertunduk.

Hazel pun bangkit untuk kembali mengetuk pintu tersebut.

“Nala, maafin aku, please...

Banyak sudah kalimat kalimat maaf yang terlambat keluar dari mulut Hazel.

Sekarang, maaf-nya itu tak mengubah apapun. Tak juga mengubah fakta jika hubungannya sekarang telah benar benar kandas.