— before sunrise


[03.00 AM]

Pukul tiga pagi—suhu kota mencapai 20 derajat celcius. Untuk ukuran wilayah kota, tentu saja suhu pada derajat tersebut termasuk cukup dingin.

Benar kata orang, kota itu tidak akan pernah tertidur—Selalu saja ada aktifitas yang dilakukan para penghuninya—entah itu yang kasat mata atau bukan. Begitupun sekarang. Di luar sana banyak insan yang masih berlalu lalang melintasi jalanan ibu kota yang sepi—mengabaikan suhu yang kian menurun.

Sedangkan Seungmin kini tengah duduk di balkon apartemen kekasihnya. Matanya mengarah ke bawah sana. Seungmin menyukai udara malam, terlebih lagi jika diiringi dengan seperangkat alunan musik klasik, juga ditemani minuman hangat—perpaduan yang pas untuk menemaninya berkutat dengan isi otaknya.

Sesungguhnya, duduk di balkon untuk sekedar menikmati semilir angin bukanlah perkara yang mudah bagi Seungmin. Karena di samping itu ia harus melakukan segalanya dengan perlahan dan sebisa mungkin tidak bersuara. Karena jika Hyunjin terbangun, yang ada kekasihnya itu akan menariknya kembali ke dalam selimut dan merengkuhnya hingga fajar tiba.

Namun, kali ini usahanya berhasil. Ia jalan dengan cara berjinjit menjauhi kasur dan menarik kursinya—di balkon. Ya.. walaupun kali ini ia tidak dapat membuat minuman hangat karena tentu saja akan membuat suara gaduh yang dapat menggugah sang kekasih.

Seungmin biarkan pikirannya menjelajah—jauh—ke segala arah. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, ia hanya ingin membiarkan pikirannya bebas dan lepas.

Saat pikirannya sudah melayang jauh, tiba-tiba suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Seungmin tidak menghindar atau semacamnya, karena percuma saja. Dirinya sudah tertangkap basah.

Tiba-tiba tangan kekar melepas headphone yang Seungmin kenakan untuk meminimalisir suara dari musik yang ia putar.

“Di luar dingin, cantik. Kamu ngapain di sini?”

Suara lembut menyapa rungu Seungmin. Padahal, awalnya ia hanya mengekspektasikan suara bawel Hyunjin yang akan terus menerus mengoceh—yang kemungkinan akan selesai dalam satu jam kemudian.

“Aku tiba-tiba kebangun aja, terus mau tidur lagi ngga bisa.”

Bohong. Nyatanya, Seungmin sedari tadi tidak benar-benar tidur. Ia hanya pura-pura memejamkan mata sampai dirasa kekasih di sebelahnya tertidur pulas.

“Kamu ada kepikiran sesuatu? ada yang ganggu pikiran kamu, ya?”

“Ngga, Hyunjin. It's not a big deal, kok. Cuma, yaaa... gitu deh.”

“Aku tanya serius, cantik.”

“Aku juga jawabnya serius, ganteng.”

Hyunjin tidak menjawab. Ia justru pergi ke dalam untuk membuat teh chamomile. Seungmin yang keheranan pun memilih diam dan membiarkan Hyunjin berbuat sesukanya.

Sesudahnya, Hyunjin mulai menggeser sofa berukuran kecil—cenderung sedang—yang muat untuk dua orang. Sofa itu sengaja Hyunjin beli untuk dirinya dan Seungmin. Sofa itu ia geser tepat ke depan pintu kaca balkon. Sebelumnya, pintu kaca itu ia geser lebar lebar. Entah apa alasannya, tapi Seungmin asumsikan jika pintu tersebut digeser supaya udara bisa leluasa masuk dan keluar.

“Sini, duduknya pindah. Sama teh nya diminum, ya.”

“Tumben nggak ngomel,” sahut Seungmin sambil berpindah tempat.

Hyunjin juga mendudukkan dirinya di samping Seungmin. “Pengen aja sekali kali join sama kamu buat dingin dinginan di sini.”

“Hahahah dingin dinginan apaan? orang biasa aja,”

“Ini dingin, tau. Makanya aku suka marah-marah kalo kamu kelamaan di balkon, apalagi di jam segini.”

“Oh, makanya kamu bikinin aku teh anget?”

“Boleh kamu anggap begitu. Tapi kalo aku bikin ini tujuannya biar pikiran kamu rileks, tenang, gitu.”

“Kamu tuh asumsi dari mana kalo pikiran aku lagi ngga tenang?”

“Keliatan, kok. Aku selalu hafal gimana tingkah kamu. Kalau kamu lagi kaya gini atau gitu—itu tuh, perkara kecil, Seung.”

“Iya, aku paham juga.”

Hyunjin yang notabenenya berada di samping Seungmin—memanfaatkan kedekatan mereka. Hyunjin angkat tubuh Seungmin untuk duduk di pangkuannya.

“Kamu, ih,” protes yang lebih muda.

“Coba bilang, kamu lagi mikirin apa?”

“Yaudah, aku kasih tau. Tapi kamu jangan mikir gimana gimana dulu, ya?”

Hyunjin beri kecup pipi Seungmin yang memerah karena jarak mereka yang terlalu dekat, “Tergantung.”

“Eh, tapi kayanya kamu tau, deh. Jadi, di divisi aku tuh ada beberapa karyawan yang bakalan dipindah tugas ke luar kota gitu. Aku takutnya aku dipindahin juga, gitu aja, sih.”

“So? apa yang kamu takutin?”

“Kamu pasti tau lah, jangan ngeledek aku gituuu.”

“Ngga mau jauh dari aku, kan? hahahaha,”

“Ya emang ada alesan lain? aku udah ngga punya siapa siapa selain kamu. Wajar, kan?”

“Iya, wajar. Aku juga ngga mau kalo jauh jauhan sama kamu. Ini bukan dangdut doang, sumpah.”

Seungmin tertawa tepat di samping telinga Hyunjin. Ia peluk erat kekasihnya itu kala tertawa.

Tangannya sibuk menyugar surai Hyunjin yang sudah mulai memanjang. Sedang Hyunjin membenamkan wajahnya di ceruk leher Seungmin.

“Aku baru nyadar kalo kamu nggak pake baju,”

“Dari tadi kali,”

“Ketutupan selimut, makanya aku ngga sadar. Terus juga kamu baru ke kasur kan pas lampu udah aku matiin.”

“Iya, kamu kan tidur duluan.”

“Tapi aku berasa pas kamu meluk aku, terus kamu cium cium akuuu.”

Hyunjin menjauhkan wajahnya sejenak dan menatap Seungmin lekat, “Rasa apa? cinta, ya?”

“Iya, ganteng. Berasa, kok, hahaha..”

“Good then! — oh iya, kamu kedinginan ngga?”

“Harusnya aku ngga sih yang nanya kamu? aku kan pake hoodie, kamu ngga pake baju, mana celananya pendek lagi.”

“Iya, kan nanyanya gantian. Kamu dingin ngga, candy? mau masuk?”

“Aku belum pengen masuk. Tapi kalo kamu mau duluan gapapa.”

“Aku masih mau di sini sama kamu. Ternyata enak, ya? walaupun ngga ngapa ngapain tapi kaya... enak aja gitu,”

“Iya, kan! udah aku bilang kalo duduk di sini dan di jam segini tuh enak.”

“Tapi jangan keseringan juga, ya.”

“Iya—Hyun, gimana kata kamu? misalnya kalo aku yang dipindahin gimana?”

“Aku ngajuin pindah juga ngga sih enaknya? kalo ngga, ya, aku ikut kamu aja. Terus kerja di sana.”

“O-oh.. iya, kenapa kamu ngga nyuruh aku berhenti kerja aja? atau pindah kerja gitu?”

“Ya ngga bisa gitu, dong. Kan kamu yang jalanin. Selama kamu nyaman di tempat yang sekarang, ya buat apa aku nyuruh pindah. Kecuali kalo kamu udah ngga nyaman dan kamu se-ngga-mau itu buat dipindah, ya aku nyuruh kamu keluar aja.”

“Hehe, thank you, ganteng. Thank you...”

“For?”

“For loving me. For everything.”

“Iya, cantik. Aku juga terima kasih sama kamu, buat ini dan itu, buat semuanya. Makasih banyak karena udah di samping aku terus.”

“Sama-sama, tapi kamu jangan lupa kalo kamu juga samanya ke aku.”

“Simbiosis mutualisme?”

“Lebih dari itu.”

“I love you, candy, cantikku, aku sayang kamuuuuuuu. Boleh cium ngga?”

“Sure! and... love you moreeee, ganteng.”