— Heartbeat
[5:00 P.M]
Sekitar 20 menit kemudian Jeongin sampai juga di depan rumah Seungmin. Seungmin yang menunggu Jeongin dari balkon kamarnya pun bergegas turun.
“Kan.. kan.. repot sendiri bawanya. Dibilang jangan semuanya dibeli.” protes Seungmin, namun tetap membantu Jeongin membawa kantung plastik yang penuh dengan makanan itu.
“Bahasa lo kaya ayah gue,” balas Jeongin sambil melepas sandalnya.
Sesampainya di dalam, Jeongin melihat sekeliling ruangan. Sepi. Sangat sunyi.
“Ortu lo ngga di rumah?”
Seungmin menggelengkan kepalanya sambil terus berjalan ke arah dapur, “Ngga, belum pada pulang kerja.”
“Ohh...”
“Kamu naik aja duluan, Jeong. Naik tangga terus ke arah kiri.”
“Gapapa?”
Seungmin mengangguk.
Jeongin pun menaiki anak tangga dengan perlahan-lahan sambil membawa kantung-kantung tersebut. Sesampainya di lantai dua, Jeongin bermonolog, “Gila, bisa-bisanya dia di rumah sendirian. Mana kompleknya sepi, ini.. rumahnya juga.”
Jeongin memilih menahan diri untuk berkeliling kamar Seungmin sampai si pemilik datang. Tak lama, Seungmin membuka pintu kamarnya sambil membawa piring. Setelah meletakkan piringnya di karpet bulu berwarna putih yang sudah ia gelar sedari tadi—Seungmin meraih remot AC dan menghidupkannya.
“Lo ngga takut di rumah sendiri?”
“Ngga. Udah biasa juga, kenapa? kamu takut?”
“Ngga lah,”
Seungmin hanya menyeringai dan mulai mengutak-atik rak barangnya. Mencari beberapa gulung benang dan seperangkat alat rajut.
“Jeong, aku punya ini,” ucapnya setelah menemukan apa yang dicari.
“Gantungan kunci?”
“Iya,”
“How cute. Lo bikin sendiri?”
“Iya. Aku bikin dua, dan dua-duanya bentuk kura-kura. Jadi punya kita samaan.” jelas Seungmin.
“Oh, ini punya lo?” tanya Jeongin setelah melihat duplikasi gantungan kunci miliknya—yang sebenarnya ada perbedaan antara keduanya.
Seungmin hanya menggeram. Sedangkan alis Jeongin masih tertaut—bingung.
“Punya gue kenapa ya kura-kuranya megang pisau?”
Seungmin tertawa geli. Ia kira Jeongin tidak akan menyadarinya.
“Yaaa.... soalnya kamu galak, marah-marah terus. Lagian juga aku bikinnya udah dari 2 minggu yang lalu.”
“Kenapa baru dikasih sekarang?”
“Sengaja. Nunggu kamu main ke sini aja.”
Jeongin hanya ber-oh ria. Ia kembali memperhatikan boneka rajut mini yang terlihat pas dalam genggamannya.
“Ajarin juga dong,”
Seungmin mengangkat kepalanya untuk menatap Jeongin. Kemudian ia tersenyum lebar, “Boleh!” serunya.
“Bikin ayam bisa ngga?”
“Bisa. Tapi aku bikin 1 buat contoh, ya? nanti sisanya kamu.”
“Iyaa.”
1 jam kemudian.
“Ini udah jadi??? gila, keren banget gue.” ucap Jeongin—cengirannya menggambarkan bahwa ia bangga pada hasil karyanya itu.
Tiba-tiba, Seungmin berceletuk, “Kenapa ya, orang yang jarang senyum tuh kalo sekalinya senyum jadi WAAHHH banget gitu. Sedangkan orang yang suka senyum malah senyumnya biasa aja—eh, enggak! maksudnya ya bagus bagus aja. Tapi juga ngga yang WAAHHH gitu.”
“Hah???” Jeongin nampak bingung dengan pernyataan Seungmin yang tiba-tiba.
“Kenapa Tuhan kasih senyum yang bagus banget ke orang yang jarang senyum?”
“Hah? maksudnya? lo ngomongin apaan deh?”
Seungmin menggeleng ribut, “Ngga, ngga. Aku ngomong sendiri, kok.”
“Ohhh—yaudah ini dimakan dong, jangan didiemin.”
“Lagian kamu, belinya banyak banget. Padahal dari tadi juga aku cemilin.”
“Sengaja kok emang.”
“Dasar! tapi... makasih banyak ya udah mau nemenin aku. Maaf juga kalo di sini terlalu sepi atau gimana. Emang dari dulu begini.”
“Lah? ngapa minta maaf? gapapa kali. Lagian juga tadinya gue mau nanya sama liat-liat buku yang lo punya. Kali aja ada yang seru, terus gue bisa pinjem deh.”
“Ohh, ngomong dong! rak bukunya ngga ada di kamarku—ayo sini ikut.”
Seungmin menarik tangan Jeongin untuk melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke arah yang berlawanan dengan kamarnya.
“Wah, gila. Sumpah banyak banget??? ini lo semua yang baca?” celetuk Jeongin setelah memasuki ruangan berisi banyak buku—atau sebut saja perpustakaan mini.
“Ngga lah. Pusing juga kali kalo sehari-hari melototin buku pelajaran terus sampe rumah baca buku lain.”
“Terus ini?” Jeongin menujuk rak-rak buku itu.
“Itu ada yang punya papa mama. Ngga punyaku doang, Jeong. Aku juga baca buku pas lagi bener-bener senggang, biar enjoy bacanya.”
“Oalah.. sama kalo gitu. Gue juga punya ruangan mirip kaya ini, tapi semua isinya punya ayah gue. Isinya buku tentang sosial, politik, ekonomi sama apalah itu gue ga ngerti. Dan ngga tertarik.”
“Itu mah emang kamunya aja yang males,” Seungmin sedikit tertawa setelahnya.
Kemudian, si pemilik mengelilingi rak paling pojok sebelah kanan. Karena di sana lah buku-buku milik Seungmin tertata dengan rapi.
“Sini Jeong!” serunya.
Jeongin terlebih dulu membaca tulisan di rak paling atas yang bertuliskan 'Seungmin's book!'
“Ohh di sini tempat buku-buku khusus punya lo?”
“Iya!” Seungmin melepas kacamatanya sesaat untuk mengelap kacanya yang ber-uap. Saat Seungmin sibuk menggosokkan bajunya di kaca—Jeongin justru salah fokus. Matanya terpaku pada wajah Seungmin yang berkali-kali lipat nampak indah tanpa kacamata yang bertengger di wajahnya.
“Jeong? kok diem?”
Sial. Detak jantungnya tidak dapat dikontrol.
“Ngga kok, ini diem karena lagi nyari judul buku.”
Seungmin hanya terdiam saat melihat gelagat Jeongin yang gelisah, seakan menutup-nutupi sesuatu. Ia pun menyandarkan tubuhnya pada rak buku—juga melipat tangannya sembari memperhatikan Jeongin.
“Oh iya, Jeong. Kamu kenapa susah banget sih kalo diajak ke kantin? kenapa? ada crush kamu?”
“Ngaco banget sumpah. Ngga lah.” elak Jeongin sambil terus mencari buku—yang padahal hanya alibi semata.
“Terus?”
“Di sana berisik. Semuanya berisik, dan lo juga berisik.”
“Ohh.. then, what about your heartbeat, Jeong? whenever you're next to me, bukannya sama berisiknya?”
“Mak...sudnya?”
“Sejak kapan, Jeong? sejak kapan kamu selalu gelisah kalo aku liatin kamu? sejak kapan kamu mikir dulu kalo aku ngomong sama kamu? sejak kapan kamu ngga berani natap aku?”
Jeongin menghela nafas panjang, nafasnya ikut memberat. Detak jantungnya makin berdetak kencang diluar kendali. Kini hanya matanya lah yang dapat berbicara dengan Seungmin.
“Aku nanya, Jeong.”
“Fine. Gue ngga tau sejak kapan, it's all of sudden, okay?” matanya sedikit memicing.
“Yaudah yaudah, kan cuma nanya. Ngeliatinnya biasa aja dong,”
Saat Seungmin berbalik ketika hendak menuju sofa di ujung ruangan—Jeongin menarik tangan Seungmin dan sedikit mendorong tubuh itu untuk kembali bersandar pada rak buku.
“Ish, kenapa? ngagetin ta—” belum sempat Seungmin menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan Jeongin sudah terlebih dulu mengambil kacamata yang menempel pada wajah Seungmin lalu membuangnya pelan ke sembarang arah.
“Jeong!”
“You look prettier without those glasses.“
“Terus kenapa? kalo mau nyuruh aku lepas kacamata bilang aja. Tapi ini lepasin dulu ih,” Jangan lupa bahwa tangan Jeongin masih menahan bahu Seungmin.
“Gue.. boleh cium.. ngga?”
Seungmin tersentak setelah mendengarkan perkataan Jeongin yang tiba-tiba itu. Karena selama ini Seungmin hanya merasakan sifat Jeongin yang melunak belakangan ini hanya karena sudah mulai akrab. Meskipun begitu, Seungmin tidak dapat menolak permintaan Jeongin. Sebab, dirinya pun sudah mulai jatuh hati pada laki-laki bersurai hitam di depannya itu.
Seungmin pun menjawabnya dengan anggukan kecil. Kemudian dengan cepat Jeongin melesakkan tangan kanannya untuk menahan tengkuk Seungmin.
Ciuman itu terjadi secara lembut, tidak dengan terburu-buru, tidak juga karena keterpaksaan. Tidak. Karena Jeongin memimpinnya dengan tempo pelan—yang sumpah demi apapun kini memabukkan Seungmin.
Lama kelamaan, tangan Jeongin yang menganggur itu hinggap di pinggang ramping Seungmin. Tangan Seungmin pun begitu—perlahan-lahan ia sampirkan pada pundak Jeongin.
Dirasa pasokan udara mereka mulai menipis, Seungmin menepuk pelan pundak Jeongin, “Je..ong,”
“Pretty.” ucap Jeongin sembari mengusap pelan bibir Seungmin yang memerah.
“Seung, what if i tell you that i like you—but not as a friend?“