rigeleo

lowercase


2 tahun berlalu, banyak tanda tanya yang muncul dalam benak seungmin—salah satunya tentang bagaimana bisa ia bertahan jika tidak ada minho di sampingnya?

bagi segelintir orang memang terdengar terlalu berlebihan, tak sedikit juga yang mungkin akan melontarkan cercaan jikalau tau bahwa itulah yang terlintas di benak seungmin selama ini. terlebih lagi dua orang temannya.

seribu satu cara sudah ditawarkan, baik oleh jisung maupun jeongin. namun tak satupun yang dapat menghapus ruang untuk minho di hati seungmin. kendati dua orang teman itu mendukung hubungan seungmin, tetapi ada masanya mereka lelah mendengar seungmin menangis. lelah dalam artian iba, tentunya.

jika jisung dan jeongin bersikeras menghapus awan kelabu pada hari-hari seungmin—dengan alasan tidak tega jika melihatnya terus menangis—seungmin pun mempunyai alasan lain untuk menolak bantuan sahabatnya.

seungmin percaya minho akan kembali.

acap kali seungmin mengambil satu langkah untuk mencoba melupakan minho, pada saat itulah bayang-bayang minho muncul di hadapannya dan memaksa untuk menarik mundur langkahnya. pada saat yang sama pula, hatinya langsung meyakini bahwa pria bersurai legam itu akan kembali ke dalam peluknya.

benar saja,

sekarang,

minho—semestanya,

kembali.

dengan hati yang siap, kini seungmin membuka lebar-lebar pintu gerbangnya kala bel rumah miliknya ditekan sebanyak 2 kali oleh seseorang yang tengah ia tunggu.

begitu gerbang sepenuhnya terbuka, temu tatap tak dapat dihindarkan. keduanya mematung sempurna—memproses apa yang tengah mereka lihat dengan netra masing-masing.

angin bertiup dengan lembut—menyapa lonceng angin yang tergantung di teras. alunan suara nan syahdu pun menguar di sela-sela hembusan angin.

suara itu pada akhirnya membangunkan mereka yang terlelap dalam adu tatap yang tak berujung.

mula-mula minho ulas senyum terbaiknya, namun ternyata respon seungmin justru berbanding terbalik.

air mata yang sudah di pelupuk mata itu pun tak dapat seungmin tahan lebih lama. air mata itu terjun bebas membasahi pipinya yang nampak sedikit tirus dari yang terakhir kali minho lihat.

minho pun mengambil langkah cepat untuk memeluk jiwa rapuh di depannya. ia dekap tubuh itu dengan harapan bahwa jiwa di dalamnya perlahan akan memulih. rasa rindu yang saling berbalas itu pada akhirnya akan terobati.

“saya di sini...”

isak tangis itu justru makin menguat begitu mendengar suara minho untuk pertama kalinya—setelah dua tahun.

suara itu masih sama.

suara itu masih terdengar begitu lembut saat menyapa rungu seungmin.

seungmin rindu kata 'saya' yang selalu minho ucapkan kala berbicara dengannya. hal ini mengingatkan seungmin pada kejadian di masa lampau,

kala itu, seungmin melayangkan protes bertubi-tubi pada minho, karena kekasihnya itu lebih memilih menggunakan kata 'saya' dibanding 'aku' untuk berbicara pada seungmin. tentu hal ini bukanlah tabiat dua insan yang sedang menjalin asmara pada umumnya.

“ih, pake aku aja, jangan saya saya, kak!” cebik seungmin dahulu.

“seungmin, kapan kita pertama kali ketemu?”

“ya... waktu itu kamu kan atasan aku.”

“nah, itu alasannya.”

butuh waktu setengah tahun bagi seungmin untuk mencerna maksud dibalik perkataan minho—yang padahal waktu itu seungmin pikir kekasihnya itu tidak memberikan jawaban.

namun pada hari-hari menjelang perpisahan mereka, minho mengatakan—bahwa minho sekedar ingin saja memakai kata saya di sela percakapan mereka sehari-hari.

minho ingin selalu dapat mengingat bagaimana kupu-kupu di perutnya itu kembali beterbangan—membawanya pada masa lalu, saat keduanya bertemu.

sejak mereka bertemu, minho sudah terhanyut dalam apiknya netra seungmin. setiap kali keduanya berpapasan, dan seungmin dengan sengaja melempar senyum... saat itu juga minho langsung salah tingkah. hatinya seketika membentuk taman bunga yang luas nan indah, tak lupa di perutnya juga beterbangan kupu-kupu yang cantik—namun lebih cantik si pujaan hati.

•••

“seungmin, saya kangen kamu—kata orang-orang, rasanya ngga enak. ternyata bener.”

“jangan pergi lagi, aku ngga suka sendiri.”

“iya, lain kali saya titip kucing saya ke kamu. biar kamu ngga sendiri.”

“jangan konyol.”

di tengah isak minho yang tertahan, ia masih lebih mendahulukan senyum seungmin. ia ingin melihat senyum itu kembali terukir pada wajah cantiknya.

satu bulir,

dua bulir,

pada akhirnya bulir demi bulir air mata minho menetes membasahi baju yang seungmin kenakan. seiring rintik air mata yang terjatuh, semakin erat pula dekapannya.

minho juga rindu seungmin. rasanya banyak yang ingin ia ungkapkan kala rindu itu melanda. namun kata-kata nya seakan tercekat di pangkal tenggorokan, yang lama-kelamaan mengendap dalam benaknya.

“ngga apa-apa kalau ngga bisa diungkapin pakai kata-kata. nangis aja, ada aku.” begitulah ucap seungmin.

“maafin saya...”

“iya, aku maafin, walaupun yang ini kebangetan jahat.”

“seungmin, saya ngga mau lagi ke mana-mana sendiri. enakan ada kamu. kalau ngga ada kamu, saya selalu bingung, rasanya kaya hilang arah.”

“ajak aku kalau kamu pergi, kak. nanti aku bantu cari jalan.”

“kalau ngga ada kamu, rasanya... semua jalan yang saya lewatin itu berakhir di kamu.”

“oh... berarti ngga ada opsi buat ninggalin aku. gitu, ya?”

minho tertawa sekilas dan menatap paras seungmin. tangan kirinya mengusap hidung bangir seungmin yang memerah sebab menangis. kemudian, ia tangkup juga pipi kirinya sembari diusap-usap perlahan.

minho mengangguk pelan, menyetujui jawaban yang seungmin tangkap. “boleh, deh. itu jawaban versi kamu, kamu simpen sendiri. nah, jawaban versi saya, juga saya simpen sendiri.”

“kok gitu? berarti itu bukan jawaban yang bener, dong?”

“bener, sayang. tergantung perspektif.”

“ternyata kamu ngga berubah, ya...”

•••

— fin.

Sejak pagi menjelang, hal pertama yang mengendap pada pikiran Keenan ialah maksud dari perkataan Naren.

Besok...

“Apaan, sih? Aneh.” Gumam Keenan begitu kata itu kembali melintas di otaknya.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Keenan tidaklah menyangkal bahwa tingkah lakunya yang seolah tidak menginginkan Naren itu justru terlihat bodoh sekarang.

Karena, jika dipikir-pikir, kemarin ia selalu mendorong Naren begitu jauh. Masa iya sekarang kalau Naren nembak, gue terima? Kan malu!

Tapi di bagian hatinya yang lain, ia sudah menantikan hal ini terjadi dalam hidupnya–di mana Naren mengungkapkan perasaannya, kemudian meminta Keenan untuk menjalin hubungan dengannya.

Ah... sekedar memikirkannya saja sudah sukses membuat pipi Keenan merona sempurna, bagaimana jika nanti benar-benar terjadi?


Sedari pagi, Keenan tidak melihat keberadaan Naren maupun Aldo. Sepasang sahabat itu seakan lenyap ditelan bumi, bahkan Aldi—saudara kembar Aldo pun menanyakan hal yang sama.

Hingga saat pulang sekolah, tepatnya di lapangan menuju gerbang—tiba-tiba Naren muncul dengan senyum sumringahnya, sambil berjalan ke arah Keenan.

“Len?”

“Yah, Nan... Gua kira lu bakalan nyariin gua.” Nada bicara kecewa dan raut sedih yang sengaja dibuat-buat pun terlukis pada paras Naren.

“Kenapa emangnya? Lagian juga lu dari tadi ke mana? Tumben.”

“Ada kok, di kelas. Soalnya dari tadi gua degdegan, takut ketemu lu... Hahaha..”

“Aneh.”

“Pulang bareng, yuk?” Tiba-tiba saja lengan panjang Naren menyergap pundak Keenan. Walaupun Keenan memiliki bahu lebar, namun ternyata tangan Naren dapat mudah menjangkaunya. Sontak, Keenan pun terbelalak kaget.

Seakan paham, Naren pun berkata, “Masih ada hutang dare, nan.” ucapnya sembari menunjukkan cengiran yang tak dapat ditolak oleh seorang pun, termasuk Keenan.

Belum sempat Keenan berkata sepatah kata pun— kini tangan kanan Naren sudah menggenggam pergelangan Keenan untuk dilingkarkan pada pinggang Naren.

(+) Jadi tuh kayak... tangan kiri Alen ngerangkul pundak Keenan. Terus tangan kanan Keenan ngerangkul pinggang Alen dari belakang gitu. t_t semoga paham yahhh

Walaupun posisi mereka kini sudah berada di depan gerbang, kini warga sekolah yang tengah menuju parkiran siswa pun menujukan netra mereka pada keduanya.

“Len, lepas gak?! Ntar gue ketemu antek antek lu gimana?”

Mendengarnya, tawa Naren meledak.

“Oh, jadi selama ini lu nolak gua gara-gara takut?”

“Nih, ya. Pertama, mereka itu sangar sangar. Kayak... Alen is mine! Terus juga, yang kedua, gue ngga pernah nolak lu, ya!”

“Hahaha oke??? Jadinya gua diterima, dong?”

“Alen, bisa ngga jangan ngomong di sini? Diliatin, tuh!” Kemudian Keenan buru buru melepas rangkulan Naren dengan menggigit punggung tangannya. Kemudian ia segera berlari mencari motor Naren.

“Aw! Eh, jangan lari!” Walaupun sedikit nyeri, Naren masih bisa tertawa sekilas karena melihat tingkah Keenan yang menggemaskan. Naren paham betul bahwa pipi Keenan kini tengah menunjukkan rona merah muda.

Dalam hatinya, Naren melayangkan harapan—semoga suatu saat ia dapat melihat senyum manis, serta rona cantik itu menguar dari wajah Keenan secara jelas. Pasti akan terlihat sangat cantik, pikir Naren.

Seperti yang dikatakan Hazel melalui pesan singkat kemarin malam—hari ini Nala akan menghabiskan sebagian waktunya bersama Hazel.

Mereka membuat janji untuk pergi di malam hari. Namun sayang, hari masih terlalu pagi untuk dinantikan malamnya. Padahal, Nala sudah kepalang bersemangat untuk menemui kekasihnya itu—dan tentu saja, alasannya tak lain adalah karena kepergian Hazel yang memaksa mereka untuk berjarak selama beberapa waktu.

Pagi ini, begitu Nala bangun, ia langsung bergegas untuk mandi. Memang, bukanlah hal yang umum untuk dilakukan Nala sehari-hari. Wajar saja, karena kali ini ia mempunyai maksud dan tujuan tertentu, maka dari itu ia memaksa jiwanya untuk bersiap lebih awal.

Setelah banyak bimbang dilalui di sela-sela lamunan bangun tidurnya—kini Nala sudah siap dengan pakaian olahraganya. Lengkap dengan celana training, jaket, dan juga sepatu.

Hari masih lumayan gelap, bahkan semburat cahaya sang fajar masih terlihat samar—bayangan tuan bulan yang masih terjaga sepanjang malam pun ikut bersanding dengan sang fajar. Meskipun didukung dengan suasana demikian, tekad adalah tekad, Nala tidak berniat sedikitpun untuk mengurangi tekadnya.

Good for you, Nala.

Pagi nan sejuk ini membawa langkah Nala berjalan—terkadang berlari—menjajaki segala tempat. Terkadang langkah kakinya terhenti untuk meminum beberapa teguk air supaya dirinya tetap terhidrasi.

Nala terus menyusuri arah yang sudah ia tentukan—arah itu menuju wilayah apartemen Hazel. Seiring langkah yang ia tempuh, matahari kian naik. Kini sang surya telah menampakkan diri sepenuhnya.

Beruntung, sebelum hari terlalu panas ia sudah mencapai unit apartemen Hazel. Ditekannya pin yang sudah ia hafal di luar kepala—begitu masuk, tampak banyak kekacauan. Seperti perabotan bekas memasak yang belum dicuci, koper yang terbuka dengan isi yang tercecer, juga Mayo dan Ginger yang terus memanggilnya untuk mengisi mangkuk makanannya.

Sedangkan Hazel masih terbaring di tempat tidur. Matanya terpejam dengan rapat, tak ada kerutan dahi khas orang yang tengah terinterupsi akan suara. Dapat dipastikan bahwa Hazel kelelahan setelah perjalanan yang kemarin ia tempuh. Nala pun memutuskan untuk tidak membangunkan Hazel terlebih dahulu.

Sembari menunggu Hazel bangun, Nala membereskan seluruh kekacauan ini dengan perlahan. Bahkan, sebisa mungkin ia lakukan dengan suara yang minim.

Sekitar satu jam kemudian, Nala telah selesai. Kini, jam menunjukkan pukul 10 pagi—tiba-tiba mata Nala merasa berat. Mungkin karena ia bangun terlalu pagi hari ini.

Nala tidak dapat menahannya lebih lama, bahkan untuk berdiri saja rasanya sudah sedikit limbung. Ia pun segera mengambil tempat di samping Hazel untuk membaringkan tubuhnya. Posisi Hazel yang terlentang membuat naluri Nala mengajaknya untuk menenggelamkan diri dalam pelukan Hazel.

Karena Nala tahu Hazel tidak mudah untuk terbangun, maka tanpa ragu Nala pun menyamankan diri di samping kekasihnya. Kepalanya ia letakkan di atas lengan kekar Hazel—dan tak lupa, tangannya ia bawa melingkari pinggang lelakinya. Nala pun dengan mudah ikut menyusul Hazel ke alam mimpi.


“La, bangun. Udah jam 10 lewat, makan, yuk?” ucap Hazel sembari mengusap dahi Nala.

Nala itu kebalikan dari Hazel. Maka dari itu ketika Hazel mendaratkan tangannya pada dahi Nala, Nala pun dengan mudah terbangun.

Begitu Nala membuka matanya perlahan, ia langsung menangkap sosok Hazel yang masih mendekapnya, “pa-gi, Hazel.” tuturnya setengah sadar.

“Pagi, cantik,” bukannya langsung bangkit, Hazel justru semakin mendekap Nala. Sedangkan yang didekap hanya menurut.

“Kamu sejak kapan di sini? kok ngga bangunin aku?”

“Aku tadi abis jogging, terus sekalian ke sini.”

“Kan lumayan jauh, La. Tadi juga masih pagi, masih sepi, emang gapapa?”

“It's fine, aku emang lagi pengen jogging aja. Terus juga kalo nunggu malem kelamaan.”

“Tinggal bilang kangen padahal,” seperti biasa, Hazel dipaksa untuk menahan gemas. Tingkah kekasihnya itu memang sulit ditebak. Padahal beberapa tahun mereka menjalin hubungan, seharusnya bukanlah perkara sulit untuk mengatakan hal semacam itu.

“Kamu mau makan apa?” tanya Nala mengalihkan.

“Ngga tau. Mau masak aja? tapi aku cuma ada bahan buat sandwich sama pasta doang kayanya.”

“Gapapa. Ayo, bangun.” Tubuh Nala yang sudah hampir dalam posisi duduk tiba-tiba kembali ditarik pelan oleh Hazel.

“Tapi sebentar, aku kangen kamu. Mau peluk dulu 5 menit.”

Nala mengiyakan permintaan Hazel. Toh, ia pun samanya. Mereka saling mendekap dalam hening. Hanya ada suara kecupan kecil yang sesekali dilayangkan Hazel. Nala terlihat menyusut setiap kali Hazel merengkuhnya. Tubuh mungilnya itu sangat cocok untuk terus berada dalam pelukan kekasihnya.


“Sayang, kamu beresin semuanya tadi?” tanya Hazel dengan lantang.

“Iya, Zel, berantakan banget. Kamu semalem capek banget, ya?” jawab Nala dari dalam kamar mandi.

“Capeknya biasa aja, kok. Aku emang niatnya pengen beresin hari ini, aku berantakin emang biar pas aku liat ini tuh bawaannya mau langsung aku beresin.” Jelas Hazel sembari membalik roti yang ia panggang di atas teflon.

Nala pun akhirnya keluar dari kamar mandi sembari mengusak rambutnya dengan handuk. “Yah, Zel, udah terlanjur..”

“Kok yah? justru aku yang ngga enak, La. Kamu ke sini pagi-pagi, berangkatnya jalan kaki, pas udah di sini malah beresin apart aku.”

Nala mengalungkan handuk itu di lehernya. Tangannya ia gunakan untuk meraih kucing oranye yang diketahui bernama Ginger itu; untuk duduk di pangkuannya. “Gapapa, Zel. Kamu kaya sama siapa aja, sih.”

“Makasih banyak, ya, cantik.” Hazel mengecup pucuk kepala Nala sekilas, dilanjut dengan menaruh sepiring sandwich dan susu di depan Nala.

“Sama-sama, Ajel.”

“Sekarang kamu cuci tangan dulu, habis itu makan.”

Nala menurunkan Ginger ke lantai dan segera menghampiri wastafel. Setelahnya, ia kembali duduk untuk menyantap sajian yang dibuat oleh Hazel. Awalnya mereka ingin membuatnya bersama, tetapi Hazel bersikeras membujuk Nala supaya tidak membantunya.

Ia mengunyah rotinya perlahan-lahan sembari menonton acara televisi kesukaannya. Dari arah punggungnya, ia dapati suara Hazel yang sepertinya tengah mencari sesuatu. “Hazel, kamu cari apa?” tanya Nala.

“Ngga, kok. Ini, hairdryer, udah ketemu.”

Hazel menghampiri Nala, tangan kanannya membawa hairdryer sedangkan tangan kirinya menggenggam vitamin rambut.

“Bangkunya aku mundurin dikit, ya, La. Aku keringin dulu rambutnya.”

Nala memang tidak suka jika rambutnya lembab—apalagi basah. Dan Hazel tau itu.

“Padahal habis ini mau aku keringin sendiri, hehehe,”

“Udah, kamu makan dulu aja, ya.”

Di sela-sela kegiatan mereka, tiba-tiba memori Nala membawanya pada suatu waktu di bulan September—kejadiannya sama persis seperti saat ini.

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Hazel yang seketika memecah lamunan Nala.

“Hahaha engga,”

Nala teringat saat dirinya usai mandi—saat itu Hazel juga membantunya mengeringkan rambut. Namun setelahnya, terjadilah pergelutan antara dua insan yang terbalut nafsu—di atas ranjang.

Hal itu membuat Nala sedikit salah tingkah, bahkan, sekarang pipinya mungkin sudah sedikit memancarkan rona kemerahan.

“Selesai!” Hazel mematikan pengering rambut itu, dan seketika suara bising pun mereda.

“Hazel, nanti kita ngga usah pergi, ya? kayanya kamu masih capek.”

“Aduh, kebiasaan. Aku ngga suka, ya, kalo kamu ngga enakan gini. Padahal kamu sendiri ngga suka kalo aku ingkar janji.”

“Ih, tapi 'kan ini aku yang mau. Ya?”

“Emang mau ngapain? ngga bosen di sini?”

Nala bangkit dari duduknya. Ia langsung menghadap Hazel untuk membelai rahang lelaki di depannya.

“Aku mau. Kamu.. mau ngga?” bisik Nala selembut mungkin.

“Bukannya kalo kaya gini akunya lebih capek, ya?” timpal Hazel sambil menyunggingkan senyum.

Nala dengan puppy eyes-nya pun beraksi, “Can i take it as a 'yes'?”

“Emang ada jawaban lain selain itu?”

[ tbc ]

Seperti yang dikatakan Hazel melalui pesan singkat kemarin malam—hari ini Nala akan menghabiskan sebagian waktunya bersama Hazel.

Mereka membuat janji untuk pergi di malam hari. Namun sayang, hari masih terlalu pagi untuk dinantikan malamnya. Padahal, Nala sudah kepalang bersemangat untuk menemui kekasihnya itu—dan tentu saja, alasannya tak lain adalah karena kepergian Hazel yang memaksa mereka untuk berjarak selama beberapa waktu.

Pagi ini, begitu Nala bangun, ia langsung bergegas untuk mandi. Memang, bukanlah hal yang umum untuk dilakukan Nala sehari-hari. Wajar saja, karena kali ini ia mempunyai maksud dan tujuan tertentu, maka dari itu ia memaksa jiwanya untuk bersiap lebih awal.

Setelah banyak bimbang dilalui di sela-sela lamunan bangun tidurnya—kini Nala sudah siap dengan pakaian olahraganya. Lengkap dengan celana training, jaket, dan juga sepatu.

Hari masih lumayan gelap, bahkan semburat cahaya sang fajar masih terlihat samar—bayangan tuan bulan yang masih terjaga sepanjang malam pun ikut bersanding dengan sang fajar. Meskipun didukung dengan suasana demikian, tekad adalah tekad, Nala tidak berniat sedikitpun untuk mengurangi tekadnya.

Good for you, Nala.

Pagi nan sejuk ini membawa langkah Nala berjalan—terkadang berlari—menjajaki segala tempat. Terkadang langkah kakinya terhenti untuk meminum beberapa teguk air supaya dirinya tetap terhidrasi.

Nala terus menyusuri arah yang sudah ia tentukan—arah itu menuju wilayah apartemen Hazel. Seiring langkah yang ia tempuh, matahari kian naik. Kini sang surya telah menampakkan diri sepenuhnya.

Beruntung, sebelum hari terlalu panas ia sudah mencapai unit apartemen Hazel. Ditekannya pin yang sudah ia hafal di luar kepala—begitu masuk, tampak banyak kekacauan. Seperti perabotan bekas memasak yang belum dicuci, koper yang terbuka dengan isi yang tercecer, juga Mayo dan Ginger yang terus memanggilnya untuk mengisi mangkuk makanannya.

Sedangkan Hazel masih terbaring di tempat tidur. Matanya terpejam dengan rapat, tak ada kerutan dahi khas orang yang tengah terinterupsi akan suara. Dapat dipastikan bahwa Hazel kelelahan setelah perjalanan yang kemarin ia tempuh. Nala pun memutuskan untuk tidak membangunkan Hazel terlebih dahulu.

Sembari menunggu Hazel bangun, Nala membereskan seluruh kekacauan ini dengan perlahan. Bahkan, sebisa mungkin ia lakukan dengan suara yang minim.

Sekitar satu jam kemudian, Nala telah selesai. Kini, jam menunjukkan pukul 10 pagi—tiba-tiba mata Nala merasa berat. Mungkin karena ia bangun terlalu pagi hari ini.

Nala tidak dapat menahannya lebih lama, bahkan untuk berdiri saja rasanya sudah sedikit limbung. Ia pun segera mengambil tempat di samping Hazel untuk membaringkan tubuhnya. Posisi Hazel yang terlentang membuat naluri Nala mengajaknya untuk menenggelamkan diri dalam pelukan Hazel.

Karena Nala tahu Hazel tidak mudah untuk terbangun, maka tanpa ragu Nala pun menyamankan diri di samping kekasihnya. Kepalanya ia letakkan di atas lengan kekar Hazel—dan tak lupa, tangannya ia bawa melingkari pinggang lelakinya. Nala pun dengan mudah ikut menyusul Hazel ke alam mimpi.


“La, bangun. Udah jam 10 lewat, makan, yuk?” ucap Hazel sembari mengusap dahi Nala.

Nala itu kebalikan dari Hazel. Maka dari itu ketika Hazel mendaratkan tangannya pada dahi Nala, Nala pun dengan mudah terbangun.

Begitu Nala membuka matanya perlahan, ia langsung menangkap sosok Hazel yang masih mendekapnya, “pa-gi, Hazel.” tuturnya setengah sadar.

“Pagi, cantik,” bukannya langsung bangkit, Hazel justru semakin mendekap Nala. Sedangkan yang didekap hanya menurut.

“Kamu sejak kapan di sini? kok ngga bangunin aku?”

“Aku tadi abis jogging, terus sekalian ke sini.”

“Kan lumayan jauh, La. Tadi juga masih pagi, masih sepi, emang gapapa?”

“It's fine, aku emang lagi pengen jogging aja. Terus juga kalo nunggu malem kelamaan.”

“Tinggal bilang kangen padahal,” seperti biasa, Hazel dipaksa untuk menahan gemas. Tingkah kekasihnya itu memang sulit ditebak. Padahal beberapa tahun mereka menjalin hubungan, seharusnya bukanlah perkara sulit untuk mengatakan hal semacam itu.

“Kamu mau makan apa?” tanya Nala mengalihkan.

“Ngga tau. Mau masak aja? tapi aku cuma ada bahan buat sandwich sama pasta doang kayanya.”

“Gapapa. Ayo, bangun.” Tubuh Nala yang sudah hampir dalam posisi duduk tiba-tiba kembali ditarik pelan oleh Hazel.

“Tapi sebentar, aku kangen kamu. Mau peluk dulu 5 menit.”

Nala mengiyakan permintaan Hazel. Toh, ia pun samanya. Mereka saling mendekap dalam hening. Hanya ada suara kecupan kecil yang sesekali dilayangkan Hazel. Nala terlihat menyusut setiap kali Hazel merengkuhnya. Tubuh mungilnya itu sangat cocok untuk terus berada dalam pelukan kekasihnya.


“Sayang, kamu beresin semuanya tadi?” tanya Hazel dengan lantang.

“Iya, Zel, berantakan banget. Kamu semalem capek banget, ya?” jawab Nala dari dalam kamar mandi.

“Capeknya biasa aja, kok. Aku emang niatnya pengen beresin hari ini, aku berantakin emang biar pas aku liat ini tuh bawaannya mau langsung aku beresin.” Jelas Hazel sembari membalik roti yang ia panggang di atas teflon.

Nala pun akhirnya keluar dari kamar mandi sembari mengusak rambutnya dengan handuk. “Yah, Zel, udah terlanjur..”

“Kok yah? justru aku yang ngga enak, La. Kamu ke sini pagi-pagi, berangkatnya jalan kaki, pas udah di sini malah beresin apart aku.”

Nala mengalungkan handuk itu di lehernya. Tangannya ia gunakan untuk meraih kucing oranye yang diketahui bernama Ginger itu; untuk duduk di pangkuannya. “Gapapa, Zel. Kamu kaya sama siapa aja, sih.”

“Makasih banyak, ya, cantik.” Hazel mengecup pucuk kepala Nala sekilas, dilanjut dengan menaruh sepiring sandwich dan susu di depan Nala.

“Sama-sama, Ajel.”

“Sekarang kamu cuci tangan dulu, habis itu makan.”

Nala menurunkan Ginger ke lantai dan segera menghampiri wastafel. Setelahnya, ia kembali duduk untuk menyantap sajian yang dibuat oleh Hazel. Awalnya mereka ingin membuatnya bersama, tetapi Hazel bersikeras membujuk Nala supaya tidak membantunya.

Ia mengunyah rotinya perlahan-lahan sembari menonton acara televisi kesukaannya. Dari arah punggungnya, ia dapati suara Hazel yang sepertinya tengah mencari sesuatu. “Hazel, kamu cari apa?” tanya Nala.

“Ngga, kok. Ini, hairdryer, udah ketemu.”

Hazel menghampiri Nala, tangan kanannya membawa hairdryer sedangkan tangan kirinya menggenggam vitamin rambut.

“Bangkunya aku mundurin dikit, ya, La. Aku keringin dulu rambutnya.”

Nala memang tidak suka jika rambutnya lembab—apalagi basah. Dan Hazel tau itu.

“Padahal habis ini mau aku keringin sendiri, hehehe,”

“Udah, kamu makan dulu aja, ya.”

Di sela-sela kegiatan mereka, tiba-tiba memori Nala membawanya pada suatu waktu di bulan September—kejadiannya sama persis seperti saat ini.

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Hazel yang seketika memecah lamunan Nala.

“Hahaha engga,”

Nala teringat saat dirinya usai mandi—saat itu Hazel juga membantunya mengeringkan rambut. Namun setelahnya, terjadilah pergelutan antara dua insan yang terbalut nafsu—di atas ranjang.

Hal itu membuat Nala sedikit salah tingkah, bahkan, sekarang pipinya mungkin sudah sedikit memancarkan rona kemerahan.

“Selesai!” Hazel mematikan pengering rambut itu, dan seketika suara bising pun mereda.

“Hazel, nanti kita ngga usah pergi, ya? kayanya kamu masih capek.”

“Aduh, kebiasaan. Aku ngga suka, ya, kalo kamu ngga enakan gini. Padahal kamu sendiri ngga suka kalo aku ingkar janji.”

“Ih, tapi 'kan ini aku yang mau. Ya?”

“Emang mau ngapain? ngga bosen di sini?”

Nala bangkit dari duduknya. Ia langsung menghadap Hazel untuk membelai rahang lelaki di depannya.

“Aku mau. Kamu.. mau ngga?”

“Bukannya kalo kaya gini akunya lebih capek, ya?” timpal Hazel sambil menyunggingkan senyum.

“Can i take it as a 'yes'?”

“Emang ada jawaban lain selain itu?”

[ tbc ]

Seperti yang dikatakan Hazel melalui pesan singkat kemarin malam—hari ini Nala akan menghabiskan sebagian waktunya bersama Hazel.

Mereka membuat janji untuk pergi di malam hari. Namun sayang, hari masih terlalu pagi untuk dinantikan malamnya. Padahal, Nala sudah kepalang bersemangat untuk menemui kekasihnya itu—dan tentu saja, alasannya tak lain adalah karena kepergian Hazel yang memaksa mereka untuk berjarak selama beberapa waktu.

Pagi ini, begitu Nala bangun, ia langsung bergegas untuk mandi. Memang, bukanlah hal yang umum untuk dilakukan Nala sehari-hari. Wajar saja, karena kali ini ia mempunyai maksud dan tujuan tertentu, maka dari itu ia memaksa jiwanya untuk bersiap lebih awal.

Setelah banyak bimbang dilalui di sela-sela lamunan bangun tidurnya—kini Nala sudah siap dengan pakaian olahraganya. Lengkap dengan celana training, jaket, dan juga sepatu.

Hari masih lumayan gelap, bahkan semburat cahaya sang fajar masih terlihat samar—bayangan tuan bulan yang masih terjaga sepanjang malam pun ikut bersanding dengan sang fajar. Meskipun didukung dengan suasana demikian, tekad adalah tekad, Nala tidak berniat sedikitpun untuk mengurangi tekadnya.

Good for you, Nala.

Pagi nan sejuk ini membawa langkah Nala berjalan—terkadang berlari—menjajaki segala tempat. Terkadang langkah kakinya terhenti untuk meminum beberapa teguk air supaya dirinya tetap terhidrasi.

Nala terus menyusuri arah yang sudah ia tentukan—arah itu menuju wilayah apartemen Hazel. Seiring langkah yang ia tempuh, matahari kian naik. Kini sang surya telah menampakkan diri sepenuhnya.

Beruntung, sebelum hari terlalu panas ia sudah mencapai unit apartemen Hazel. Ditekannya pin yang sudah ia hafal di luar kepala—begitu masuk, tampak banyak kekacauan. Seperti perabotan bekas memasak yang belum dicuci, koper yang terbuka dengan isi yang tercecer, juga Mayo dan Ginger yang terus memanggilnya untuk mengisi mangkuk makanannya.

Sedangkan Hazel masih terbaring di tempat tidur. Matanya terpejam dengan rapat, tak ada kerutan dahi khas orang yang tengah terinterupsi akan suara. Dapat dipastikan bahwa Hazel kelelahan setelah perjalanan yang kemarin ia tempuh. Nala pun memutuskan untuk tidak membangunkan Hazel terlebih dahulu.

Sembari menunggu Hazel bangun, Nala membereskan seluruh kekacauan ini dengan perlahan. Bahkan, sebisa mungkin ia lakukan dengan suara yang minim.

Sekitar satu jam kemudian, Nala telah selesai. Kini, jam menunjukkan pukul 10 pagi—tiba-tiba mata Nala merasa berat. Mungkin karena ia bangun terlalu pagi hari ini.

Nala tidak dapat menahannya lebih lama, bahkan untuk berdiri saja rasanya sudah sedikit limbung. Ia pun segera mengambil tempat di samping Hazel untuk membaringkan tubuhnya. Posisi Hazel yang terlentang membuat naluri Nala mengajaknya untuk menenggelamkan diri dalam pelukan Hazel.

Karena Nala tahu Hazel tidak mudah untuk terbangun, maka tanpa ragu Nala pun menyamankan diri di samping kekasihnya. Kepalanya ia letakkan di atas lengan kekar Hazel—dan tak lupa, tangannya ia bawa melingkari pinggang lelakinya. Nala pun dengan mudah ikut menyusul Hazel ke alam mimpi.


“La, bangun. Udah jam 10 lewat, makan, yuk?” ucap Hazel sembari mengusap dahi Nala.

Nala itu kebalikan dari Hazel. Maka dari itu ketika Hazel mendaratkan tangannya pada dahi Nala, Nala pun dengan mudah terbangun.

Begitu Nala membuka matanya perlahan, ia langsung menangkap sosok Hazel yang masih mendekapnya, “pa-gi, Hazel.” tuturnya setengah sadar.

“Pagi, cantik,” bukannya langsung bangkit, Hazel justru semakin mendekap Nala. Sedangkan yang didekap hanya menurut.

“Kamu sejak kapan di sini? kok ngga bangunin aku?”

“Aku tadi abis jogging, terus sekalian ke sini.”

“Kan lumayan jauh, La. Tadi juga masih pagi, masih sepi, emang gapapa?”

“It's fine, aku emang lagi pengen jogging aja. Terus juga kalo nunggu malem kelamaan.”

“Tinggal bilang kangen padahal,” seperti biasa, Hazel dipaksa untuk menahan gemas. Tingkah kekasihnya itu memang sulit ditebak. Padahal beberapa tahun mereka menjalin hubungan, seharusnya bukanlah perkara sulit untuk mengatakan hal semacam itu.

“Kamu mau makan apa?” tanya Nala mengalihkan.

“Ngga tau. Mau masak aja? tapi aku cuma ada bahan buat sandwich sama pasta doang kayanya.”

“Gapapa. Ayo, bangun.” Tubuh Nala yang sudah hampir dalam posisi duduk tiba-tiba kembali ditarik pelan oleh Hazel.

“Tapi sebentar, aku kangen kamu. Mau peluk dulu 5 menit.”

Nala mengiyakan permintaan Hazel. Toh, ia pun samanya. Mereka saling mendekap dalam hening. Hanya ada suara kecupan kecil yang sesekali dilayangkan Hazel. Nala terlihat menyusut setiap kali Hazel merengkuhnya. Tubuh mungilnya itu sangat cocok untuk terus berada dalam pelukan kekasihnya.


“Sayang, kamu beresin semuanya tadi?” tanya Hazel dengan lantang.

“Iya, Zel, berantakan banget. Kamu semalem capek banget, ya?” jawab Nala dari dalam kamar mandi.

“Capeknya biasa aja, kok. Aku emang niatnya pengen beresin hari ini, aku berantakin emang biar pas aku liat ini tuh bawaannya mau langsung aku beresin.” Jelas Hazel sembari membalik roti yang ia panggang di atas teflon.

Nala pun akhirnya keluar dari kamar mandi sembari mengusak rambutnya dengan handuk. “Yah, Zel, udah terlanjur..”

“Kok yah? justru aku yang ngga enak, La. Kamu ke sini pagi-pagi, berangkatnya jalan kaki, pas udah di sini malah beresin apart aku.”

Nala mengalungkan handuk itu di lehernya. Tangannya ia gunakan untuk meraih kucing oranye yang diketahui bernama Ginger itu; untuk duduk di pangkuannya. “Gapapa, Zel. Kamu kaya sama siapa aja, sih.”

“Makasih banyak, ya, cantik.” Hazel mengecup pucuk kepala Nala sekilas, dilanjut dengan menaruh sepiring sandwich dan susu di depan Nala.

“Sama-sama, Ajel.”

“Sekarang kamu cuci tangan dulu, habis itu makan.”

Nala menurunkan Ginger ke lantai dan segera menghampiri wastafel. Setelahnya, ia kembali duduk untuk menyantap sajian yang dibuat oleh Hazel. Awalnya mereka ingin membuatnya bersama, tetapi Hazel bersikeras membujuk Nala supaya tidak membantunya.

Ia mengunyah rotinya perlahan-lahan sembari menonton acara televisi kesukaannya. Dari arah punggungnya, ia dapati suara Hazel yang sepertinya tengah mencari sesuatu. “Hazel, kamu cari apa?” tanya Nala.

“Ngga, kok. Ini, hairdryer, udah ketemu.”

Hazel menghampiri Nala, tangan kanannya membawa hairdryer sedangkan tangan kirinya menggenggam vitamin rambut.

“Bangkunya aku mundurin dikit, ya, La. Aku keringin dulu rambutnya.”

Nala memang tidak suka jika rambutnya lembab—apalagi basah. Dan Hazel tau itu.

“Padahal habis ini mau aku keringin sendiri, hehehe,”

“Udah, kamu makan dulu aja, ya.”

Di sela-sela kegiatan mereka, tiba-tiba memori Nala membawanya pada suatu waktu di bulan September—kejadiannya sama persis seperti saat ini.

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Hazel yang seketika memecah lamunan Nala.

“Hahaha engga,”

Nala teringat saat dirinya usai mandi—saat itu Hazel juga membantunya mengeringkan rambut. Namun setelahnya, terjadilah pergelutan antara dua insan yang terbalut nafsu—di atas ranjang.

Hal itu membuat Nala sedikit salah tingkah, bahkan, sekarang pipinya mungkin sudah sedikit memancarkan rona kemerahan.

“Selesai!” Hazel mematikan pengering rambut itu, dan seketika suara bising pun mereda.

“Hazel, nanti kita ngga usah pergi, ya? kayanya kamu masih capek.”

“Aduh, kebiasaan. Aku ngga suka, ya, kalo kamu ngga enakan gini. Padahal kamu sendiri ngga suka kalo aku ingkar janji.”

“Ih, tapi 'kan ini aku yang mau. Ya?”

“Emang mau ngapain? ngga bosen di sini?”

Nala bangkit dari duduknya. Ia langsung menghadap Hazel untuk membelai rahang lelaki di depannya.

“Aku mau. Kamu.. mau ngga?”

“Bukannya kalo kaya gini akunya lebih capek, ya?” timpal Hazel sambil menyunggingkan senyum.

“Can i take it as a 'yes'?”

“Emang ada jawaban lain selain itu?”

[ tbc ]

cw tw // broken home, family issues, suicidal thought, kissing


lama berteman dengan rama tentu saja membuat farel hafal betul segala hal yang menyangkut rama. tak terkecuali permasalahan keluarga rama—yang sudah mulai retak sejak rama duduk di bangku sekolah menengah pertama.

sejauh yang farel ingat, rama tidak pernah memintanya untuk menjemput, bahkan menginap di rumah-nya.

maka dari itu, farel asumsikan jika kali ini adalah yang paling parah. karena, jika orang tua rama memulai cekcok, rama hanya akan melapor ke farel dan farel pun dengan lapang membantu rama untuk mengalihkan suara suara negatif dalam pikiran rama yang disebabkan oleh teriakan kedua orang tuanya yang saling bersahutan.

namun, kali ini rama nampaknya berada pada puncak kewarasan—yang jika ia tetap berada di sana, rama akan gila dalam beberapa menit saja. maka dari itu ia meminta farel untuk menjemputnya untuk meninggalkan rumah itu, setidaknya sampai esok hari, jika memungkinkan.

setelah saling berkabar, farel langsung melajukan motor kesayangannya—membelah sunyinya malam dengan deruan mesin yang terdengar sedikit kasar.

tak butuh waktu lama bagi farel sang pembalap unggul untuk pada akhirnya sampai di depan warung kopi yang digadang-gadang buka 24 jam itu.

farel dapati rama yang langsung menghampiri dirinya tanpa membisikkan sepatah kata pun. mengerti akan hal itu, farel pun maklum dan memilih untuk memutar balik motornya sebelum malam semakin larut.

demi semesta yang tak pernah tertidur, demi malam yang dingin, dan demi lampu jalanan yang kerap kali berkedip—farel berani bertaruh jika malam itu farel dapati pelukan paling erat yang pernah rama layangkan untuknya.

di samping itu, farel juga sadari bahwa semakin farel melaju, tubuh rama semakin bergetar. getaran itu lama kelamaan berubah menjadi rintihan pilu yang farel harap farel tidak akan pernah mendengarnya.

basah jaket farel yang membentuk lingkaran besar—namun abstrak—membuktikan banyaknya beban pikiran, serta suara suara rama yang tidak pernah tersampaikan.

hasrat farel untuk mendekap rama sudah meluap-luap. maka, farel tambah laju motornya supaya ia dapat memeluk erat rama-nya.

semakin dekat tujuan mereka, semakin halus pula suara isakan rama. bukan tanpa sebab isakan itu berubah menjadi sehalus debu, melainkan rama tak ingin jika ibu dari farel khawatir.

karena, bagaimanapun juga mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. ibu farel pun sudah tau permasalahan rama—bahkan, ibu farel kerap kali menghimbaunya untuk pergi ke rumah farel saja jika sewaktu-waktu per-cekcok-an ini kembali terjadi.

rama ingat betul bagaimana ibu farel membukakan pintu rumahnya dengan lebar seraya merentangkan tangan untuk memberinya peluk kala hati dan pikirannya remuk.

kemudian, sampailah mereka di rumah dua tingkat, dengan halaman yang penuh dengan berbagai macam tanaman.

rumah farel tak sebesar rumah rama, namun jika rama diharuskan memilih di mana ia akan menetap, rama akan selalu memilih rumah farel.

karena, rumah itu selalu hangat, selalu dipenuhi oleh cinta kasih. begitu lah yang rama rasakan ketika berada di sana.

“ibu sama ayah udah tidur, ram. tapi tadi aku udah bilang, kok. kita langsung naik aja, ya?” ucap farel begitu memasukkan motornya di ruang tamu.

“kamu ke atas duluan aja, ram. aku mau ambil minum sama yang lainnya. terus, kalo kamu mau pake kamar mandi, pake aja, ya.”

rama masih mengunci rapat mulutnya dan membiarkan bahasa tubuhnya yang mengambil alih.

begitu naik dan memasuki kamar farel, rama meletakkan tasnya di kursi belajar milik farel, kemudian pergi ke kamar mandi untuk cuci tangan, kaki, dan membasuh wajahnya. setidaknya, hanya itu yang rama rencanakan.

namun, rencana manusia dapat berubah sewaktu-waktu.

rama yang tadinya hanya berniat untuk bersih bersih justru memilih untuk menyalakan kran air, kemudian duduk di kloset duduk sembari memuaskan hasrat untuk kembali melanjutkan tangisnya yang sempat tertunda.

sayang, tampaknya niat rama untuk membuat tangisnya tak terdengar telah terbaca oleh farel.

“rama, sini kalau mau nangis. jangan di dalem, dingin, nanti kamu sakit.”

rama masih enggan untuk keluar.

“rama, aku marah loh, ya, kalau kamu ngga keluar.”

dengan langkah yang tertatih, rama berjalan keluar dan berdiri di depan farel dengan matanya yang merah nan sembab.

farel yang sedari tadi menahan diri pun akhirnya langsung menghamburkan peluknya untuk rama. tangannya ia gunakan untuk mengelus dan menepuk pelan punggung kokoh rama.

kali ini, rama tak banyak bicara seperti biasanya. tak terdengar ocehan protes ataupun suara tawa yang menguar dari mulut rama.

kali ini hanya ada isakan sendu yang farel dengar.

“ada aku, rama. ada aku.”

“yel, bisa ngga sih aku kabur aja dari dunia. aku beneran capek. capek banget.”

“ngga bisa, ram. belum waktunya. karena mungkin menurut tuhan kamu itu masih kuat, kamu itu hebat.”

“tapi nyatanya aku ngga sekuat itu, yel.”

“tapi kamu hebat,”

im not.

“kamu hebat, bisa bertahan sejaaaaauh ini. mungkin, kalo aku jadi kamu aku belum tentu sekuat kamu.”

farel lepas tautan tubuh mereka untuk pandangi wajah rama yang mengkilap karena air mata.

walaupun mata rama masih berlinang air mata, namun indahnya tak berkurang sedikitpun.

farel bawa jemarinya untuk usap pipi rama yang sesekali masih dijatuhi air mata.

bukannya berhenti, tangisan rama justru makin menjadi. entah karena apa, sekarang wajah rama sudah sepenuhnya tenggelam di bahu farel. begitu pun tangannya yang masih mencengkeram erat baju belakang farel.

“cantik, kenapa nangis lagi? hahaha, aku salah ngomong, ya?”

rama menggeleng pelan. surai legamnya sedikit menggelitik leher farel.

“kamu kenapa sebegininya ke aku, yel?”

“karena apalagi? aku sayang sama kamu. aku udah bilang, kan?”

“aku juga sayang sama kamu, yel. tapi aku belum bisa bilang.”

“aku tau. nanti ada waktunya kok.”

“aku takut kamu mikir kalo aku cuma mainin kamu atau manfaatin kamu.”

“hahahahah, ngga akan. karena aku percaya kamu bukan orang yang kaya gitu, ram. kalau kamu ngga sayang sama aku, pasti kamu udah ngehindar, kan?”

“ayel, makasih banyak. makasih banget. aku beruntung punya kamu, ibu, sama ayah.”

“rama, jangan sekalipun kamu mikir buat ninggalin dunia, ya? masih ada aku, ibu sama ayah di sini. kalau ngga ada kamu, kita semua sedih,”

“rama, kamu masih punya aku. aku bakalan di sini terus sama kamu, kamu jangan takut kalau aku bakalan ninggalin kamu. karena, gimana ya... kalau aku ninggalin kamu, yang ada aku yang sedih, aku yang kesiksa. bayanginnya aja aku ngga bisa.”

ayel, i feel the same way.. aku juga ngga bisa bayangin kalo ngga ada kamu. kayanya aku bakalan gila, atau mungkin aku udah ngga ada sekarang.”

“kan aku bilang, itu juga karena kamu hebat. kamu bisa buang jauh jauh pemikiran itu karena diri kamu sendiri, bukan aku.”

“yel, janji sama aku kalau kamu bakalan di sini sama aku terus...”

“aku janji, ram. aku janji.”

“tunggu sebentar lagi ya, yel.”

“lama juga aku tungguin, kok. ngga apa apa, take your time, okay? coba sekarang aku mau liat muka cantiknya, boleh?”

rama pun mengelap air matanya dengan telapak tangannya dan mulai mendongakkan kepalanya perlahan-lahan.

“kamu cantik, cantik banget. pipi sama hidung kamu merah, lucu, aku suka. tapi aku ngga suka kalo sebabnya karena nangis.”

“kalo gitu, sebab yang kamu suka tuh yang kaya gimana?”

“aku suka kalo pipi kamu merah sendiri kalo lagi blushing.”

“kalo lagi blushing, berarti penyebabnya kamu!”

“terus kalau hidung, itu karena aku cubitin terus hidungnya.”

“kamu stop gemesin aku, makanya.”

“justru itu, mana bisa?”

rama tersenyum lebar sekilas dan memalingkan wajahnya yang memerah karena tersipu—mengingat, jika jarak mereka kurang dari satu meter.

farel menarik dagu rama untuk menatapnya kembali.

namun, akhirnya tak hanya terjadi adu tatap.

farel sedikit menunduk dan menarik tengkuk rama untuk menyatukan bilah delima mereka.

keduanya menyesap bibir satu sama lain dengan lembut, tanpa melibatkan pertarungan antar lidah di dalamnya.

cw tw // broken home, family issues, suicidal thought, kissing


lama berteman dengan rama tentu saja membuat farel hafal betul segala hal yang menyangkut rama. tak terkecuali permasalahan keluarga rama—yang sudah mulai retak sejak rama duduk di bangku sekolah menengah pertama.

sejauh yang farel ingat, rama tidak pernah memintanya untuk menjemput, bahkan menginap di rumah-nya.

maka dari itu, farel asumsikan jika kali ini adalah yang paling parah. karena, jika orang tua rama memulai cekcok, rama hanya akan melapor ke farel dan farel pun dengan lapang membantu rama untuk mengalihkan suara suara negatif dalam pikiran rama yang disebabkan oleh teriakan kedua orang tuanya yang saling bersahutan.

namun, kali ini rama nampaknya berada pada puncak kewarasan—yang jika ia tetap berada di sana, rama akan gila dalam beberapa menit saja. maka dari itu ia meminta farel untuk menjemputnya untuk meninggalkan rumah itu, setidaknya sampai esok hari, jika memungkinkan.

setelah saling berkabar, farel langsung melajukan motor kesayangannya—membelah sunyinya malam dengan deruan mesin yang terdengar sedikit kasar.

tak butuh waktu lama bagi farel sang pembalap unggul untuk pada akhirnya sampai di depan warung kopi yang digadang-gadang buka 24 jam itu.

farel dapati rama yang langsung menghampiri dirinya tanpa membisikkan sepatah kata pun. mengerti akan hal itu, farel pun maklum dan memilih untuk memutar balik motornya sebelum malam semakin larut.

demi semesta yang tak pernah tertidur, demi malam yang dingin, dan demi lampu jalanan yang kerap kali berkedip—farel berani bertaruh jika malam itu farel dapati pelukan paling erat yang pernah rama layangkan untuknya.

di samping itu, farel juga sadari bahwa semakin farel melaju, tubuh rama semakin bergetar. getaran itu lama kelamaan berubah menjadi rintihan pilu yang farel harap farel tidak akan pernah mendengarnya.

basah jaket farel yang membentuk lingkaran besar—namun abstrak—membuktikan banyaknya beban pikiran, serta suara suara rama yang tidak pernah tersampaikan.

hasrat farel untuk mendekap rama sudah meluap-luap. maka, farel tambah laju motornya supaya ia dapat memeluk erat rama-nya.

semakin dekat tujuan mereka, semakin halus pula suara isakan rama. bukan tanpa sebab isakan itu berubah menjadi sehalus debu, melainkan rama tak ingin jika ibu dari farel khawatir.

karena, bagaimanapun juga mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. ibu farel pun sudah tau permasalahan rama—bahkan, ibu farel kerap kali menghimbaunya untuk pergi ke rumah farel saja jika sewaktu-waktu per-cekcok-an ini kembali terjadi.

rama ingat betul bagaimana ibu farel membukakan pintu rumahnya dengan lebar seraya merentangkan tangan untuk memberinya peluk kala hati dan pikirannya remuk.

kemudian, sampailah mereka di rumah dua tingkat, dengan halaman yang penuh dengan berbagai macam tanaman.

rumah farel tak sebesar rumah rama, namun jika rama diharuskan memilih di mana ia akan menetap, rama akan selalu memilih rumah farel.

karena, rumah itu selalu hangat, selalu dipenuhi oleh cinta kasih. begitu lah yang rama rasakan ketika berada di sana.

“ibu sama ayah udah tidur, ram. tapi tadi aku udah bilang, kok. kita langsung naik aja, ya?” ucap farel begitu memasukkan motornya di ruang tamu.

“kamu ke atas duluan aja, ram. aku mau ambil minum sama yang lainnya. terus, kalo kamu mau pake kamar mandi, pake aja, ya.”

rama masih mengunci rapat mulutnya dan membiarkan bahasa tubuhnya yang mengambil alih.

begitu naik dan memasuki kamar farel, rama meletakkan tasnya di kursi belajar milik farel, kemudian pergi ke kamar mandi untuk cuci tangan, kaki, dan membasuh wajahnya. setidaknya, hanya itu yang rama rencanakan.

namun, rencana manusia dapat berubah sewaktu-waktu.

rama yang tadinya hanya berniat untuk bersih bersih justru memilih untuk menyalakan kran air, kemudian duduk di kloset duduk sembari memuaskan hasrat untuk kembali melanjutkan tangisnya yang sempat tertunda.

sayang, tampaknya niat rama untuk membuat tangisnya tak terdengar telah terbaca oleh farel.

“rama, sini kalau mau nangis. jangan di dalem, dingin, nanti kamu sakit.”

rama masih enggan untuk keluar.

“rama, aku marah loh, ya, kalau kamu ngga keluar.”

dengan langkah yang tertatih, rama berjalan keluar dan berdiri di depan farel dengan matanya yang merah nan sembab.

farel yang sedari tadi menahan diri pun akhirnya langsung menghamburkan peluknya untuk rama. tangannya ia gunakan untuk mengelus dan menepuk pelan punggung kokoh rama.

kali ini, rama tak banyak bicara seperti biasanya. tak terdengar ocehan protes ataupun suara tawa yang menguar dari mulut rama.

kali ini hanya ada isakan sendu yang farel dengar.

“ada aku, rama. ada aku.”

“yel, bisa ngga sih aku kabur aja dari dunia. aku beneran capek. capek banget.”

“ngga bisa, ram. belum waktunya. karena mungkin menurut tuhan kamu itu masih kuat, kamu itu hebat.”

“tapi nyatanya aku ngga sekuat itu, yel.”

“tapi kamu hebat,”

im not.

“kamu hebat, bisa bertahan sejaaaaauh ini. mungkin, kalo aku jadi kamu aku belum tentu sekuat kamu.”

farel lepas tautan tubuh mereka untuk pandangi wajah rama yang mengkilap karena air mata.

walaupun mata rama masih berlinang air mata, namun indahnya tak berkurang sedikitpun.

farel bawa jemarinya untuk usap pipi rama yang sesekali masih dijatuhi air mata.

bukannya berhenti, tangisan rama justru makin menjadi. entah karena apa, sekarang wajah rama sudah sepenuhnya tenggelam di bahu farel. begitu pun tangannya yang masih mencengkeram erat baju belakang farel.

“cantik, kenapa nangis lagi? hahaha, aku salah ngomong, ya?”

rama menggeleng pelan. surai legamnya sedikit menggelitik leher farel.

“kamu kenapa sebegininya ke aku, yel?”

“karena apalagi? aku sayang sama kamu. aku udah bilang, kan?”

“aku juga sayang sama kamu, yel. tapi aku belum bisa bilang.”

“aku tau. nanti ada waktunya kok.”

“aku takut kamu mikir kalo aku cuma mainin kamu atau manfaatin kamu.”

“hahahahah, ngga akan. karena aku percaya kamu bukan orang yang kaya gitu, ram. kalau kamu ngga sayang sama aku, pasti kamu udah ngehindar, kan?”

“ayel, makasih banyak. makasih banget. aku beruntung punya kamu, ibu, sama ayah.”

“rama, jangan sekalipun kamu mikir buat ninggalin dunia, ya? masih ada aku, ibu sama ayah di sini. kalau ngga ada kamu, kita semua sedih,”

“rama, kamu masih punya aku. aku bakalan di sini terus sama kamu, kamu jangan takut kalau aku bakalan ninggalin kamu. karena, gimana ya... kalau aku ninggalin kamu, yang ada aku yang sedih, aku yang kesiksa. bayanginnya aja aku ngga bisa.”

“_ayel, i feel the same way.. aku juga ngga bisa bayangin kalo ngga ada kamu. kayanya aku bakalan gila, atau mungkin aku udah ngga ada sekarang.”

“kan aku bilang, itu juga karena kamu hebat. kamu bisa buang jauh jauh pemikiran itu karena diri kamu sendiri, bukan aku.”

“yel, janji sama aku kalau kamu bakalan di sini sama aku terus...”

“aku janji, ram. aku janji.”

“tunggu sebentar lagi ya, yel.”

“lama juga aku tungguin, kok. ngga apa apa, take your time, okay? coba sekarang aku mau liat muka cantiknya, boleh?”

rama pun mengelap air matanya dengan telapak tangannya dan mulai mendongakkan kepalanya perlahan-lahan.

“kamu cantik, cantik banget. pipi sama hidung kamu merah, lucu, aku suka. tapi aku ngga suka kalo sebabnya karena nangis.”

“kalo gitu, sebab yang kamu suka tuh yang kaya gimana?”

“aku suka kalo pipi kamu merah sendiri kalo lagi blushing.”

“kalo lagi blushing, berarti penyebabnya kamu!”

“terus kalau hidung, itu karena aku cubitin terus hidungnya.”

“kamu stop gemesin aku, makanya.”

“justru itu, mana bisa?”

rama tersenyum lebar sekilas dan memalingkan wajahnya yang memerah karena tersipu—mengingat, jika jarak mereka kurang dari satu meter.

farel menarik dagu rama untuk menatapnya kembali.

namun, akhirnya tak hanya terjadi adu tatap.

farel sedikit menunduk dan menarik tengkuk rama untuk menyatukan bilah delima mereka.

keduanya menyesap bibir satu sama lain dengan lembut, tanpa melibatkan pertarungan antar lidah di dalamnya.

Suara kerikil yang bergesekan dengan ban mobil di halaman rumahnya pada awalnya tak Nala indahkan sama sekali. Sampai tak lama setelah suara tersebut menghilang, Nala dibuat terkejut dengan suara lain—suara ketukan pintu yang menguar di indra pendengarannya.

Nala tentu tak berpikir macam-macam, ia hanya berpikir bahwa itu mungkin temannya, atau bahkan kedua orang tuanya yang kembali lagi untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Namun, sayangnya Nala tidak berpikiran ke arah Hazel. Karena baginya, memikirkan Hazel sudah cukup membuatnya sakit. Lagipula untuk apa ia mengharapkan Hazel datang? Justru ia mengharapkan yang sebaliknya, gumamnya dalam hati.

Nala dibuat bingung seraya berjalan menuruni tangga untuk membuka pintu. Siapakah gerangan yang ada di baliknya? Karena, jika itu adalah kedua orang tuanya tentulah akan langsung masuk, lagipula mereka punya kunci cadangan.

“Iya, sebentar,” suara kunci pun berputar di telinga si tamu.

“Nala...” Begitu pintu terbuka, Hazel menangkap sosok Nala yang terlihat seperti bukan Nala. Wajah dan bibirnya nampak pucat, ditambah matanya yang sayu dan sembab. Hazel dibuat makin merasa bersalah. Padahal, memang seharusnya begitu.

Nala refleks menutup kembali pintu tersebut tanpa berniat untuk meninggalkan sepatah kata pun.

“Nala, wait, please...”

“Kamu mau apa lagi?”

“Nala aku minta maaf,”

“Emangnya kalo kamu minta maaf bisa sembuhin sakit hati aku? Emangnya kalo kamu minta maaf bisa balikin semuanya? Aku maafin kamu atau ngga, kamu minta maaf atau ngga—itu ngga akan ngubah semuanya sama sekali.”

“Aku tau, Nala, aku tau. But, please, give me a chance, i prom—

“Ada ngga saat dimana aku ngga ngasih kamu kesempatan?”

Hazel tertunduk diam.

“Jawab aku, Zel. Kamu kemana aja? Kamu ngapain aja selama ini? Setiap hari, setiap waktu, sebelum kita putus aku selalu ngasih kamu kesempatan buat balik ke aku, ngabarin aku, tapi apa kamu pernah ambil kesempatan itu?”

Hazel hendak mendekat, namun Nala mencegahnya terlebih dulu, “Stay away!”

Hati Hazel seakan dicubit ketika mendengarnya. Begitu sakit ketika ia mendengar Nala melafalkan kalimat yang bahkan ia pikir tidak akan pernah terucap dari mulut Nala.

Dulu, Nala-nya tak pernah sudi berjauhan dengan dirinya. Namun sekarang sebaiknya, Nala ingin Hazel menjauh sejauh-jauhnya.

Sekarang, persetan dengan harga dirinya. Hazel berlutut di hadapan Nala untuk mengais sisa sisa nurani Nala untuk dapat menerimanya kembali.

Nala yang sesungguhnya masih menyisakan sedikit rasa cintanya untuk Hazel pun ikut sesak ketika melihat Hazel memohon seperti ini. Namun, rasa sakitnya berkata lain.

“Pulang, Zel. Ngga ada lagi yang bisa kamu cari di sini, we are done. Aku ngga mau ketemu kamu lagi.”

“Rumah aku... kamu.” Ucap Hazel terbata-bata.

“Tapi kamu ngga pernah pulang lagi sejak kamu deket sama Sabitha. Dan itu cukup bikin aku tau kalo aku bukan rumah kamu lagi.”

'Kamu ngga pernah pulang lagi...'

'Aku bukan rumah kamu lagi...'

Kalimat tersebut seketika berputar di otak Hazel. Memorinya kembali menyetel saat-saat ketika Hazel sedang berada di titik terendahnya, dan di sana terlihat sosok Nala yang sedang memeluknya dengan penuh kasih—menaunginya dari segala pemikiran negatif yang muncul dalam dirinya.

'Hazel... kamu punya aku, kamu bisa pulang ke aku kapanpun kamu mau.'

'Hazel, kamu gapapa?'

'Hazel, jangan mikir yang ngga-ngga, ya? Aku bakalan di sini terus sama kamu. Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian, aku janji.'

'Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian...'

'Aku janji...'

Hazel menyadari, bahwa Nala tidak pernah meninggalkan janji yang ia buat.

Lamunannya terpecah saat sepatah kalimat tak sengaja keluar dari bilah bibirnya, “Kata kamu, kamu ngga bakalan ninggalin aku...”

“I did. Tapi nyatanya kamu yang ninggalin aku, Zel.”

Benar, diri-nya lah yang meninggalkan Nala. Nala masih sama, Nala menepati janjinya.

“Maaf...”

“Pulang.”

“Nala, please, kamu boleh maki maki aku tapi—”

“Buat apa?”

“—Pulang, Zel. Please, pulang.”

“Nala, kamu sakit, ya? Soalnya, selama semingguan ini kamu ngga ke kampus. Kamu mau makan apa, hm? Mau jajan di belakang kampus, ngga? Tapi janji kamu harus sembuh dulu. Waktu itu kamu pengen banget, kan, jajan di sana? Tapi selalu aku ngga bolehin karena kamu ngga bisa makan sembarangan. Ya?”

Tangis yang Nala tahan selama ini pun akhirnya ia lepas.

“Zel, jangan begini...”

“Kamu mau, kan?”

Nala menggeleng pelan, Enough. Sekarang kamu pulang.”

Nala coba kembali untuk tidak menitikkan air matanya sambil berbalik untuk menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Menyisakan Hazel yang masih duduk berlutut di depan pintunya sambil tertunduk.

Hazel pun bangkit untuk kembali mengetuk pintu tersebut.

“Nala, maafin aku, please...

Banyak sudah kalimat kalimat maaf yang terlambat keluar dari mulut Hazel.

Sekarang, maaf-nya itu tak mengubah apapun. Tak juga mengubah fakta jika hubungannya sekarang telah benar benar kandas.

Suara kerikil yang bergesekan dengan ban mobil di halaman rumahnya pada awalnya tak Nala indahkan sama sekali. Sampai tak lama setelah suara tersebut menghilang, Nala dibuat terkejut dengan suara lain—suara ketukan pintu yang menguar di indra pendengarannya.

Nala tentu tak berpikir macam-macam, ia hanya berpikir bahwa itu mungkin temannya, atau bahkan kedua orang tuanya yang kembali lagi untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Namun, sayangnya Nala tidak berpikiran ke arah Hazel. Karena baginya, memikirkan Hazel sudah cukup membuatnya sakit. Lagipula untuk apa ia mengharapkan Hazel datang? Justru ia mengharapkan yang sebaliknya, gumamnya dalam hati.

Nala dibuat bingung seraya berjalan menuruni tangga untuk membuka pintu. Siapakah gerangan yang ada di baliknya? Karena, jika itu adalah kedua orang tuanya tentulah akan langsung masuk, lagipula mereka punya kunci cadangan.

“Iya, sebentar,” suara kunci pun berputar di telinga si tamu.

“Nala...” Begitu pintu terbuka, Hazel menangkap sosok Nala yang terlihat seperti bukan Nala. Wajah dan bibirnya nampak pucat, ditambah matanya yang sayu dan sembab. Hazel dibuat makin merasa bersalah. Padahal, memang seharusnya begitu.

Nala refleks menutup kembali pintu tersebut tanpa berniat untuk meninggalkan sepatah kata pun.

“Nala, wait, please...”

“Kamu mau apa lagi?”

“Nala aku minta maaf,”

“Emangnya kalo kamu minta maaf bisa sembuhin sakit hati aku? Emangnya kalo kamu minta maaf bisa balikin semuanya? Aku maafin kamu atau ngga, kamu minta maaf atau ngga—itu ngga akan ngubah semuanya sama sekali.”

“Aku tau, Nala, aku tau. But, please, give me a chance, i prom—

“Ada ngga saat dimana aku ngga ngasih kamu kesempatan?”

Hazel tertunduk diam.

“Jawab aku, Zel. Kamu kemana aja? Kamu ngapain aja selama ini? Setiap hari, setiap waktu, sebelum kita putus aku selalu ngasih kamu kesempatan buat balik ke aku, ngabarin aku, tapi apa kamu pernah ambil kesempatan itu?”

Hazel hendak mendekat, namun Nala mencegahnya terlebih dulu, “Stay away!”

Hati Hazel seakan dicubit ketika mendengarnya. Begitu sakit ketika ia mendengar Nala melafalkan kalimat yang bahkan ia pikir tidak akan pernah terucap dari mulut Nala.

Dulu, Nala-nya tak pernah sudi berjauhan dengan dirinya. Namun sekarang sebaiknya, Nala ingin Hazel menjauh sejauh-jauhnya.

Sekarang, persetan dengan harga dirinya. Hazel berlutut di hadapan Nala untuk mengais sisa sisa nurani Nala untuk dapat menerimanya kembali.

Nala yang sesungguhnya masih menyisakan sedikit rasa cintanya untuk Hazel pun ikut sesak ketika melihat Hazel memohon seperti ini. Namun, rasa sakitnya berkata lain.

“Pulang, Zel. Ngga ada lagi yang bisa kamu cari di sini, we are done. Aku ngga mau ketemu kamu lagi.”

“Rumah aku... kamu.” Ucap Hazel terbata-bata.

“Tapi kamu ngga pernah pulang lagi sejak kamu deket sama Sabitha. Dan itu cukup bikin aku tau kalo aku bukan rumah kamu lagi.”

'Kamu ngga pernah pulang lagi...'

'Aku bukan rumah kamu lagi...'

Kalimat tersebut seketika berputar di otak Hazel. Memorinya kembali menyetel saat-saat ketika Hazel sedang berada di titik terendahnya, dan di sana terlihat sosok Nala yang sedang memeluknya dengan penuh kasih—menaunginya dari segala pemikiran negatif yang muncul dalam dirinya.

'Hazel... kamu punya aku, kamu bisa pulang ke aku kapanpun kamu mau.'

'Hazel, kamu gapapa?'

'Hazel, jangan mikir yang ngga-ngga, ya? Aku bakalan di sini terus sama kamu. Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian, aku janji.'

'Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian...'

'Aku janji...'

Hazel menyadari, bahwa Nala tidak pernah meninggalkan janji yang ia buat.

Lamunannya terpecah saat sepatah kalimat tak sengaja keluar dari bilah bibirnya, “Kata kamu, kamu ngga bakalan ninggalin aku...”

“I did. Tapi nyatanya kamu yang ninggalin aku, Zel.”

Benar, diri-nya lah yang meninggalkan Nala. Nala masih sama, Nala menepati janjinya.

“Maaf...”

“Pulang.”

“Nala, please, kamu boleh maki maki aku tapi—”

“Buat apa?”

“—Pulang, Zel. Please, pulang.”

“Nala, kamu sakit, ya? Soalnya, selama semingguan ini kamu ngga ke kampus. Kamu mau makan apa, hm? Mau jajan di belakang kampus, ngga? Tapi janji kamu harus sembuh dulu. Waktu itu kamu pengen banget, kan, jajan di sana? Tapi selalu aku ngga bolehin karena kamu ngga bisa makan sembarangan. Ya?”

Tangis yang Nala tahan selama ini pun akhirnya ia lepas.

“Zel, jangan begini...”

“Kamu mau, kan?”

Nala menggeleng pelan, Enough. Sekarang kamu pulang.”

Nala coba kembali untuk tidak menitikkan air matanya sambil berbalik untuk menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Menyisakan Hazel yang masih duduk berlutut di depan pintunya sambil tertunduk.

Hazel pun bangkit untuk kembali mengetuk pintu tersebut.

“Nala, maafin aku, please...

Banyak sudah kalimat kalimat maaf yang terlambat keluar dari mulut Hazel.

Sekarang, maaf-nya itu tak mengubah apapun. Tak juga mengubah fakta jika hubungannya sekarang telah benar benar kandas.

Suara kerikil yang bergesekan dengan ban mobil di halaman rumahnya pada awalnya tak Nala indahkan sama sekali. Sampai tak lama setelah suara tersebut menghilang, Nala dibuat terkejut dengan suara lain—suara ketukan pintu yang menguar di indra pendengarannya.

Nala tentu tak berpikir macam-macam, ia hanya berpikir bahwa itu mungkin temannya, atau bahkan kedua orang tuanya yang kembali lagi untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Namun, sayangnya Nala tidak berpikiran ke arah Hazel. Karena baginya, memikirkan Hazel sudah cukup membuatnya sakit. Lagipula untuk apa ia mengharapkan Hazel datang? Justru ia mengharapkan yang sebaliknya, gumamnya dalam hati.

Nala dibuat bingung seraya berjalan menuruni tangga untuk membuka pintu. Siapakah gerangan yang ada di baliknya? Karena, jika itu adalah kedua orang tuanya tentulah akan langsung masuk, lagipula mereka punya kunci cadangan.

“Iya, sebentar,” suara kunci pun berputar di telinga si tamu.

“Nala...” Begitu pintu terbuka, Hazel menangkap sosok Nala yang terlihat seperti bukan Nala. Wajah dan bibirnya nampak pucat, ditambah matanya yang sayu dan sembab. Hazel dibuat makin merasa bersalah. Padahal, memang seharusnya begitu.

Nala refleks menutup kembali pintu tersebut tanpa berniat untuk meninggalkan sepatah kata pun.

“Nala, wait, please...”

“Kamu mau apa lagi?”

“Nala aku minta maaf,”

“Emangnya kalo kamu minta maaf bisa sembuhin sakit hati aku? Emangnya kalo kamu minta maaf bisa balikin semuanya? Aku maafin kamu atau ngga, kamu minta maaf atau ngga—itu ngga akan ngubah semuanya sama sekali.”

**“Aku tau, Nala, aku tau. But, please, give me a chance, i prom—” **

“Ada ngga saat dimana aku ngga ngasih kamu kesempatan?”

Hazel tertunduk diam.

“Jawab aku, Zel. Kamu kemana aja? Kamu ngapain aja selama ini? Setiap hari, setiap waktu, sebelum kita putus aku selalu ngasih kamu kesempatan buat balik ke aku, ngabarin aku, tapi apa kamu pernah ambil kesempatan itu?”

Hazel hendak mendekat, namun Nala mencegahnya terlebih dulu, ” Stay away!”

Hati Hazel seakan dicubit ketika mendengarnya. Begitu sakit ketika ia mendengar Nala melafalkan kalimat yang bahkan ia pikir tidak akan pernah terucap dari mulut Nala.

Dulu, Nala-nya tak pernah sudi berjauhan dengan dirinya. Namun sekarang sebaiknya, Nala ingin Hazel menjauh sejauh-jauhnya.

Sekarang, persetan dengan harga dirinya. Hazel berlutut di hadapan Nala untuk mengais sisa sisa nurani Nala untuk dapat menerimanya kembali.

Nala yang sesungguhnya masih menyisakan sedikit rasa cintanya untuk Hazel pun ikut sesak ketika melihat Hazel memohon seperti ini. Namun, rasa sakitnya berkata lain.

“Pulang, Zel. Ngga ada lagi yang bisa kamu cari di sini, we are done. Aku ngga mau ketemu kamu lagi.”

“Rumah aku... kamu.” Ucap Hazel terbata-bata.

“Tapi kamu ngga pernah pulang lagi sejak kamu deket sama Sabitha. Dan itu cukup bikin aku tau kalo aku bukan rumah kamu lagi.”

'Kamu ngga pernah pulang lagi...'

'Aku bukan rumah kamu lagi...'

Kalimat tersebut seketika berputar di otak Hazel. Memorinya kembali menyetel saat-saat ketika Hazel sedang berada di titik terendahnya, dan di sana terlihat sosok Nala yang sedang memeluknya dengan penuh kasih—menaunginya dari segala pemikiran negatif yang muncul dalam dirinya.

'Hazel... kamu punya aku, kamu bisa pulang ke aku kapanpun kamu mau.'

'Hazel, kamu gapapa?'

'Hazel, jangan mikir yang ngga-ngga, ya? Aku bakalan di sini terus sama kamu. Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian, aku janji.'

'Aku ngga akan ninggalin kamu sendirian...'

'Aku janji...'

Hazel menyadari, bahwa Nala tidak pernah meninggalkan janji yang ia buat.

Lamunannya terpecah saat sepatah kalimat tak sengaja keluar dari bilah bibirnya, “Kata kamu, kamu ngga bakalan ninggalin aku...”

“I did. Tapi nyatanya kamu yang ninggalin aku, Zel.”

Benar, diri-nya lah yang meninggalkan Nala. Nala masih sama, Nala menepati janjinya.

“Maaf...”

“Pulang.”

“Nala, please, kamu boleh maki maki aku tapi—”

“Buat apa?”

“—Pulang, Zel. Please, pulang.”

“Nala, kamu sakit, ya? Soalnya, selama semingguan ini kamu ngga ke kampus. Kamu mau makan apa, hm? Mau jajan di belakang kampus, ngga? Tapi janji kamu harus sembuh dulu. Waktu itu kamu pengen banget, kan, jajan di sana? Tapi selalu aku ngga bolehin karena kamu ngga bisa makan sembarangan. Ya?”

Tangis yang Nala tahan selama ini pun akhirnya ia lepas.

“Zel, jangan begini...”

“Kamu mau, kan?”

Nala menggeleng pelan, Enough. Sekarang kamu pulang.”

Nala coba kembali untuk tidak menitikkan air matanya sambil berbalik untuk menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Menyisakan Hazel yang masih duduk berlutut di depan pintunya sambil tertunduk.

Hazel pun bangkit untuk kembali mengetuk pintu tersebut.

“Nala, maafin aku, please...

Banyak sudah kalimat kalimat maaf yang terlambat keluar dari mulut Hazel.

Sekarang, maaf-nya itu tak mengubah apapun. Tak juga mengubah fakta jika hubungannya sekarang telah benar benar kandas.