here with me.
lowercase
2 tahun berlalu, banyak tanda tanya yang muncul dalam benak seungmin—salah satunya tentang bagaimana bisa ia bertahan jika tidak ada minho di sampingnya?
bagi segelintir orang memang terdengar terlalu berlebihan, tak sedikit juga yang mungkin akan melontarkan cercaan jikalau tau bahwa itulah yang terlintas di benak seungmin selama ini. terlebih lagi dua orang temannya.
seribu satu cara sudah ditawarkan, baik oleh jisung maupun jeongin. namun tak satupun yang dapat menghapus ruang untuk minho di hati seungmin. kendati dua orang teman itu mendukung hubungan seungmin, tetapi ada masanya mereka lelah mendengar seungmin menangis. lelah dalam artian iba, tentunya.
jika jisung dan jeongin bersikeras menghapus awan kelabu pada hari-hari seungmin—dengan alasan tidak tega jika melihatnya terus menangis—seungmin pun mempunyai alasan lain untuk menolak bantuan sahabatnya.
seungmin percaya minho akan kembali.
acap kali seungmin mengambil satu langkah untuk mencoba melupakan minho, pada saat itulah bayang-bayang minho muncul di hadapannya dan memaksa untuk menarik mundur langkahnya. pada saat yang sama pula, hatinya langsung meyakini bahwa pria bersurai legam itu akan kembali ke dalam peluknya.
benar saja,
sekarang,
minho—semestanya,
kembali.
dengan hati yang siap, kini seungmin membuka lebar-lebar pintu gerbangnya kala bel rumah miliknya ditekan sebanyak 2 kali oleh seseorang yang tengah ia tunggu.
begitu gerbang sepenuhnya terbuka, temu tatap tak dapat dihindarkan. keduanya mematung sempurna—memproses apa yang tengah mereka lihat dengan netra masing-masing.
angin bertiup dengan lembut—menyapa lonceng angin yang tergantung di teras. alunan suara nan syahdu pun menguar di sela-sela hembusan angin.
suara itu pada akhirnya membangunkan mereka yang terlelap dalam adu tatap yang tak berujung.
mula-mula minho ulas senyum terbaiknya, namun ternyata respon seungmin justru berbanding terbalik.
air mata yang sudah di pelupuk mata itu pun tak dapat seungmin tahan lebih lama. air mata itu terjun bebas membasahi pipinya yang nampak sedikit tirus dari yang terakhir kali minho lihat.
minho pun mengambil langkah cepat untuk memeluk jiwa rapuh di depannya. ia dekap tubuh itu dengan harapan bahwa jiwa di dalamnya perlahan akan memulih. rasa rindu yang saling berbalas itu pada akhirnya akan terobati.
“saya di sini...”
isak tangis itu justru makin menguat begitu mendengar suara minho untuk pertama kalinya—setelah dua tahun.
suara itu masih sama.
suara itu masih terdengar begitu lembut saat menyapa rungu seungmin.
seungmin rindu kata 'saya' yang selalu minho ucapkan kala berbicara dengannya. hal ini mengingatkan seungmin pada kejadian di masa lampau,
kala itu, seungmin melayangkan protes bertubi-tubi pada minho, karena kekasihnya itu lebih memilih menggunakan kata 'saya' dibanding 'aku' untuk berbicara pada seungmin. tentu hal ini bukanlah tabiat dua insan yang sedang menjalin asmara pada umumnya.
“ih, pake aku aja, jangan saya saya, kak!” cebik seungmin dahulu.
“seungmin, kapan kita pertama kali ketemu?”
“ya... waktu itu kamu kan atasan aku.”
“nah, itu alasannya.”
butuh waktu setengah tahun bagi seungmin untuk mencerna maksud dibalik perkataan minho—yang padahal waktu itu seungmin pikir kekasihnya itu tidak memberikan jawaban.
namun pada hari-hari menjelang perpisahan mereka, minho mengatakan—bahwa minho sekedar ingin saja memakai kata saya di sela percakapan mereka sehari-hari.
minho ingin selalu dapat mengingat bagaimana kupu-kupu di perutnya itu kembali beterbangan—membawanya pada masa lalu, saat keduanya bertemu.
sejak mereka bertemu, minho sudah terhanyut dalam apiknya netra seungmin. setiap kali keduanya berpapasan, dan seungmin dengan sengaja melempar senyum... saat itu juga minho langsung salah tingkah. hatinya seketika membentuk taman bunga yang luas nan indah, tak lupa di perutnya juga beterbangan kupu-kupu yang cantik—namun lebih cantik si pujaan hati.
•••
“seungmin, saya kangen kamu—kata orang-orang, rasanya ngga enak. ternyata bener.”
“jangan pergi lagi, aku ngga suka sendiri.”
“iya, lain kali saya titip kucing saya ke kamu. biar kamu ngga sendiri.”
“jangan konyol.”
di tengah isak minho yang tertahan, ia masih lebih mendahulukan senyum seungmin. ia ingin melihat senyum itu kembali terukir pada wajah cantiknya.
satu bulir,
dua bulir,
pada akhirnya bulir demi bulir air mata minho menetes membasahi baju yang seungmin kenakan. seiring rintik air mata yang terjatuh, semakin erat pula dekapannya.
minho juga rindu seungmin. rasanya banyak yang ingin ia ungkapkan kala rindu itu melanda. namun kata-kata nya seakan tercekat di pangkal tenggorokan, yang lama-kelamaan mengendap dalam benaknya.
“ngga apa-apa kalau ngga bisa diungkapin pakai kata-kata. nangis aja, ada aku.” begitulah ucap seungmin.
“maafin saya...”
“iya, aku maafin, walaupun yang ini kebangetan jahat.”
“seungmin, saya ngga mau lagi ke mana-mana sendiri. enakan ada kamu. kalau ngga ada kamu, saya selalu bingung, rasanya kaya hilang arah.”
“ajak aku kalau kamu pergi, kak. nanti aku bantu cari jalan.”
“kalau ngga ada kamu, rasanya... semua jalan yang saya lewatin itu berakhir di kamu.”
“oh... berarti ngga ada opsi buat ninggalin aku. gitu, ya?”
minho tertawa sekilas dan menatap paras seungmin. tangan kirinya mengusap hidung bangir seungmin yang memerah sebab menangis. kemudian, ia tangkup juga pipi kirinya sembari diusap-usap perlahan.
minho mengangguk pelan, menyetujui jawaban yang seungmin tangkap. “boleh, deh. itu jawaban versi kamu, kamu simpen sendiri. nah, jawaban versi saya, juga saya simpen sendiri.”
“kok gitu? berarti itu bukan jawaban yang bener, dong?”
“bener, sayang. tergantung perspektif.”
“ternyata kamu ngga berubah, ya...”
•••
— fin.