— Pulang.
Taksi yang Minho tumpangi melaju tanpa ragu—membelah jalanan ibu kota yang nyaris tidak menunjukkan adanya tanda-tanda aktivitas.
Minho terus menerus menekan tombol di ponselnya, berharap secercah keajaiban datang. Namun, kali ini keajaiban memang sedang tidak berpihak padanya. Jadi, mau tidak mau ia hanya berpasrah diri dan memandangi lampu kota dari dalam kaca mobil.
Jam tengah malam di ibu kota membuat Minho dengan cepat sampai ke laman apartemennya. Setelah membayar, dan tak lupa berucap terima kasih, Minho berlari kecil untuk sampai ke lift.
Tombol yang menunjukkan lantai 5 pun ia tekan. Beruntungnya, kali ini lift hanya berisikan dirinya dan sepasang kekasih.
Begitu pintu lift terbuka, Minho. melihat sosok yang tak asing di matanya. Walaupun penglihatan Minho terkadang patut dipertanyakan, tetapi dalam jarak pandangnya kali ini, ia dapat melihat Seungmin yang tengah terduduk di depan pintu apartemen mereka. Merunduk—menggeser layar handphonenya ke segala arah.
“Seungmin,” panggilnya.
Lantas, Seungmin menoleh dengan cepat, kemudian buru-buru berdiri dengan mata yang berkaca-kaca.
Minho lari menghampiri Seungmin dengan penuh tanda tanya.
“Kamu kenapa di luar, sayang?”
Seungmin pun sesegera mungkin menekan tombol di hp-nya, yang tak lain adalah tombol akhiri panggilan. Mau tak mau, mata Minho ikut tertuju pada layar handphone Seungmin. Di atasnya, tertera nama kesayangannya—Kino.
Menyadari itu, Minho pun bertanya, “kamu kenapa telepon aku? Ada yang aneh di dalem? Atau gimana? Maaf tadi aku ngga bisa dihubungin, baterai aku low, aku baru sadar tadi pas mau pulang.”
“Kak, kalau kamu ngga pulang kayaknya aku tidur di luar, deh,” ucapnya dengan nada sendu.
“Soalnya kunci aku ngga tau ke mana, ngga tau jatuh, atau ketinggalan di mobil Felix, atau gimana—pokoknya ngga tau. Tadi aku udah telepon Felix, tapi dia juga off handphonenya.”
Raut wajah Minho seketika berubah, tergambar raut bersalah di wajahnya.
“Astaga, sayang.. Maaf banget, maaf aku ngga bisa dihubungin tadi. Duh, kamu udah lama nunggunya? Masuk dulu deh, yuk.”
Tipe apartemen Minho bukanlah yang menggunakan kartu, password, atau semacamnya. Jadi, itulah sebabnya Seungmin tidak bisa masuk, karena akses satu-satunya hanyalah kunci yang dipegang oleh masing-masing dari mereka.
Setelah berhasil masuk, Minho buru-buru mengambil sebuah gelas dan menuangkan air hangat untuk Seungmin minum. Karena saat Minho genggam tangan Seungmin, tangan itu terasa membeku. Mungkin disebabkan karena Seungmin sudah lumayan lama berada di luar.
Minho duduk di samping Seungmin sambil meyodorkan segelas air hangat. Dengan cekatan, tangan kiri Seungmin pun ia bawa ke genggamannya sambil sesekali ia gosok-gosok, guna menciptakan hangat.
“Kamu udah lama di luar nya?”
“Idk, kayaknya baru setengah jam, kurang lebih.”
“Astaga... Kok bisa, sih. Kenapa ngga ke security aja? Kan di situ dingin.”
“Iya, tadinya kalau 10 menit lagi ngga ada balesan dari kamu, aku mau ke security. Soalnya kan biasanya kamu ceklis tuh sebentaran, atau ngga ceklis di awal karena sinyal, terus nanti jadi ceklis dua sendiri. Tapi tadi aku tungguin, statusnya ngga berubah berubah. Sumpah, rasanya aku mau nangis aja tadi.” Jelas Seungmin panjang lebar.
Minho ikut tersedu mendengarnya. Ia pun mengusak kepala Seungmin, kemudian memeluknya untuk beberapa saat. Selama itu, mereka terdiam, entah kenapa.
“Oh iya, tadi aku juga telepon Kak Chris, tapi ngga nyambung. Kayanya di-silent, ya?”
“Kayaknya iya, dia juga tadi lagi charger hp, tapi ditaruh di meja makan. Soalnya colokan yang di deket tv tuh buat colokin charger laptop, sayang. Jadi kita ngga tau ada telepon masuk.” Seungmin pun mengangguk paham.
Keduanya pun merasa jauh lebih tenang setelah berpelukan—napas keduanya tidak lagi memburu, degup jantung mereka pun jauh lebih tenang dibandingkan dengan beberapa saat sebelumnya.
“Kakak sendiri, gimana? Kok bisa pulang? Kenapa ngga jadi nginep?” Tanya Seungmin keheranan.
“Mmm.. Ngga gimana-gimana. Pengen aja. Kangen kamu dah kayaknya.”
Seungmin tertawa sekilas, “apa sih, baru juga seharian.” Sanggahnya.
“Seharian itu lama, tau!”
“Hahaha, kamunya aja tuh, kangenan banget jadi orang. Gimana kalau aku ngga di sini?”
“Dih, emang mau ke mana?”
“Ya kali aja nanti pas libur bisa pulang ke rumah mama, who knows?“
“Kalau gitu, aku ikut. Gampang, kan.”
“Ngikut mulu kaya anak bebek—Yaudah ah, udah, entar lagi ngobrolnya. Aku mau mandi. Bawa kuman banyak banget nih aku kayanya.”
“Aku juga bawa banyak kuman kayanya,”
“Yaudah, nanti mandinya gantian, abis aku.”
“Mandi bareng aja, boleh?” Begitu mendengar perkataan Minho, Seungmin langsung loncat dari sofa dan menyambar handuk yang ada di dekat balkon, kemudian lari ke kamar mandi.
“Huuu dasar, pelit!” Seru Minho begitu Seungmin menutup pintu.
“Bodo! Kalau mandi sama kamu, mandinya jadi lama, aku ngantuk!”
Mendengarnya, Minho hanya cekikikan di sofa.