“Selamat ulang tahun, cil.”


Usai Seungmin melihat Minho melajukan motornya dengan mantap—Seungmin mencoba membuang jauh jauh pikiran tentang Minho, yang pergi entah ke mana dan bersama siapa.

Waktu terus berjalan, namun pikiran Seungmin terus berputar pada Minho. Ia bahkan lupa, bahwa dalam 1 jam lagi, ulang tahunnya yang ke 17 tahun akan segera tiba.

Karena pikiran tentang Minho yang tak kunjung mereda, Seungmin memilih untuk memejamkan matanya.

Tak butuh waktu lama, ia pun tertidur.


Kini, waktu menunjukkan hampir pukul 12 malam. Dalam hitungan menit, hari akan berganti. Dan pada malam pergantian hari pula, Minho akan menjalankan rencananya.

Setelah memastikan semuanya sudah siap—seperti, kue ulang tahun, lilin, dan beberapa tas berisi kado—Minho mulai mengendap-endap memasuki rumah Seungmin.

Kunci cadangan yang Minho peroleh—yang tak lain dari Mama Seungmin, amat memudahkan dirinya untuk menyelinap masuk.

Ia melangkahkan kakinya dengan langkah yang sangat berhati-hati. Bahkan, detak jantungnya terasa lebih nyaring daripada langkah kakinya sendiri.

Baru saja Minho membuka pintu utama, rungunya sudah menangkap suara bising dari televisi. Kemudian, sebelum ia benar-benar masuk untuk menghampiri Seungmin, ia letakkan sejenak barang bawaannya di ruang tamu, dengan maksud untuk melihat situasi di depannya.

Dilihatnya Seungmin yang tengah terlelap—matanya pun terpejam dengan sempurna. Namun, dapat Minho lihat juga raut wajah Seungmin yang nampak gelisah. Dahinya mengerut dan napasnya terbilang cukup berat. Minho juga dapati tv yang menyala, disertai dengan volume keras.

Minho tahu betul apa yang sedang ia saksikan—ia tahu, bahwa ini adalah salah satu kebiasaan Seungmin saat ia sedang merasa gelisah dan tak nyaman. Juga, ketika ada sesuatu yang menggangu pikirannya. Jadi, supaya Seungmin dapat melupakan hal itu, ia biasanya akan terlelap dengan volume keras yang mengiringi tidurnya—entah itu berasal dari televisi yang menyala, atau dari musik yang sengaja ia setel menggunakan speaker.

Lalu, tanpa ragu, ia hampiri si surai coklat. Lagi-lagi dengan sangat hati-hati, supaya tidak menginterupsi tidur si manis di hadapannya.

Minho duduk bersimpuh tepat di depan Seungmin yang terlelap. Tangan kanannya mulai bergerak untuk mengusap surai yang lebih muda dengan lembut, tak lupa juga ia mengusap pipi yang kadang kala menunjukkan rona kemerahan itu.

Tangan Minho yang dingin akibat terkena udara malam saat ia mengendarai motor, membuat Seungmin terbangun perlahan. Netra coklatnya berusaha menangkap sosok di depannya yang masih terlihat samar.

“Kok mau ulang tahun malah tidur?” Tutur Minho dengan lembut.

Seungmin yang masih terheran pun bangkit dari tidurnya, kemudian duduk sambil mengusap matanya, “kakak?” Ucapnya pelan.

Minho tidak menjawab dengan sepatah katapun. Ia berdiri dan kembali menuju ruang tengah. Tak butuh waktu lama, ia pun kembali dengan kue ulang tahun yang bertancapkan lilin, dengan angka yang menunjukkan umur Seungmin sekarang.

Apa yang Minho lakukan, sukses membuat mata Seungmin membulat sempurna—binar di matanya juga bersinar di ruangan yang gelap.

“Kakak inget?” Tanya Seungmin polos. Kemudian Minho tertawa kecil kala mendengar pertanyaan yang ia rasa konyol.

“Astaga, dari kecil juga kita rayain bareng-bareng. Mana mungkin lupa, cil?”

“Gue kira... Gue kira lo lupa,”

“Kenapa mikirnya begitu?”

“Gue kira, lo udah lupain gue gara-gara lo bilang kalau lo udah punya crush, degem, apalah itu.”

Mendengar pernyataan konyol Seungmin, tawa Minho pecah seketika. Minho tidak menyangka, bahwa pikiran Seungmin atas perkataan yang Minho lontarkan kemarin akan berdampak lumayan serius. Bersamaan dengan tawa yang kian memudar, terbesit rasa bersalah di benak Minho.

“Tiup dulu, cil.” Pinta Minho.

Seungmin pun meniup lilin berangka 71 tersebut. Iya, 71. Minho sengaja menaruhnya seperti itu.

“Kenapa 71, sih?” Protes Seungmin sebelum meniup lilin tersebut.

“Oh, salah, ya?” Ledek Minho dengan sengaja.

Bibir Seungmin mengerucut gemas, “tau, ah!” Finalnya.

Minho pun menaruh kue ulang tahun tersebut di meja yang tak jauh dari sofa—kemudian ia duduk tepat di samping Seungmin.

“Maaf ya,” ucap Minho tiba-tiba, yang membuat wajah Seungmin membentuk tanda tanya.

“Gua bohong soal itu, sumpah. Gua cuma mau surprise-in lu aja, kok! Awalnya gua kira, ya... Lu bakalan anggap itu bercandaan, atau seenggaknya lu biasa aja gitu. Taunya lu marah begini,”

Tak terima dengan kalimat akhir yang Minho ucapkan, Seungmin pun menyanggah, “Ngga marah, ya! Kata siapa coba?”

“Tuh, tuh! Kalau ngga marah harusnya biasa aja, kan?”

“Ya, gue ngga terima, lagian dibilang marah,”

“Terus apa dong? Kesel? Jengkel? Ngga suka?”

“Ngga! Biasa aja.”

“Apa? Orang kemarin aja di chat sewot banget.”

Seungmin pun teringat apa yang ia ketik kemarin, dan seketika terdiam.

“Kalau ngga mau jawab, gapapa. Gua tau, kok.”

“Dih, jangan langsung nyimpulin, dong!”

“Mau bilang tapi malu, kan?”

“Bilang apaan? Aneh.”

“Bilang kalau lu sebenarnya suka sama g—” Kalimat Minho terhenti akibat ulah Seungmin yang dengan sengaja membungkam mulut Minho dengan telapak tangannya.

Selanjutnya, mereka lewati malam menuju pagi itu dengan sukacita—canda, tawa, dan.. sedikit tangisan, mungkin?

Dan pada akhirnya, masing-masing dari mereka tidaklah perlu menjelaskan tentang bagaimana isi hati satu sama lain. Hal itu sudah terlewat mudah untuk keduanya tebak.