— date?

Sejak pagi menjelang, hal pertama yang mengendap pada pikiran Keenan ialah maksud dari perkataan Naren.

Besok...

“Apaan, sih? Aneh.” Gumam Keenan begitu kata itu kembali melintas di otaknya.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Keenan tidaklah menyangkal bahwa tingkah lakunya yang seolah tidak menginginkan Naren itu justru terlihat bodoh sekarang.

Karena, jika dipikir-pikir, kemarin ia selalu mendorong Naren begitu jauh. Masa iya sekarang kalau Naren nembak, gue terima? Kan malu!

Tapi di bagian hatinya yang lain, ia sudah menantikan hal ini terjadi dalam hidupnya–di mana Naren mengungkapkan perasaannya, kemudian meminta Keenan untuk menjalin hubungan dengannya.

Ah... sekedar memikirkannya saja sudah sukses membuat pipi Keenan merona sempurna, bagaimana jika nanti benar-benar terjadi?


Sedari pagi, Keenan tidak melihat keberadaan Naren maupun Aldo. Sepasang sahabat itu seakan lenyap ditelan bumi, bahkan Aldi—saudara kembar Aldo pun menanyakan hal yang sama.

Hingga saat pulang sekolah, tepatnya di lapangan menuju gerbang—tiba-tiba Naren muncul dengan senyum sumringahnya, sambil berjalan ke arah Keenan.

“Len?”

“Yah, Nan... Gua kira lu bakalan nyariin gua.” Nada bicara kecewa dan raut sedih yang sengaja dibuat-buat pun terlukis pada paras Naren.

“Kenapa emangnya? Lagian juga lu dari tadi ke mana? Tumben.”

“Ada kok, di kelas. Soalnya dari tadi gua degdegan, takut ketemu lu... Hahaha..”

“Aneh.”

“Pulang bareng, yuk?” Tiba-tiba saja lengan panjang Naren menyergap pundak Keenan. Walaupun Keenan memiliki bahu lebar, namun ternyata tangan Naren dapat mudah menjangkaunya. Sontak, Keenan pun terbelalak kaget.

Seakan paham, Naren pun berkata, “Masih ada hutang dare, nan.” ucapnya sembari menunjukkan cengiran yang tak dapat ditolak oleh seorang pun, termasuk Keenan.

Belum sempat Keenan berkata sepatah kata pun— kini tangan kanan Naren sudah menggenggam pergelangan Keenan untuk dilingkarkan pada pinggang Naren.

(+) Jadi tuh kayak... tangan kiri Alen ngerangkul pundak Keenan. Terus tangan kanan Keenan ngerangkul pinggang Alen dari belakang gitu. t_t semoga paham yahhh

Walaupun posisi mereka kini sudah berada di depan gerbang, kini warga sekolah yang tengah menuju parkiran siswa pun menujukan netra mereka pada keduanya.

“Len, lepas gak?! Ntar gue ketemu antek antek lu gimana?”

Mendengarnya, tawa Naren meledak.

“Oh, jadi selama ini lu nolak gua gara-gara takut?”

“Nih, ya. Pertama, mereka itu sangar sangar. Kayak... Alen is mine! Terus juga, yang kedua, gue ngga pernah nolak lu, ya!”

“Hahaha oke??? Jadinya gua diterima, dong?”

“Alen, bisa ngga jangan ngomong di sini? Diliatin, tuh!” Kemudian Keenan buru buru melepas rangkulan Naren dengan menggigit punggung tangannya. Kemudian ia segera berlari mencari motor Naren.

“Aw! Eh, jangan lari!” Walaupun sedikit nyeri, Naren masih bisa tertawa sekilas karena melihat tingkah Keenan yang menggemaskan. Naren paham betul bahwa pipi Keenan kini tengah menunjukkan rona merah muda.

Dalam hatinya, Naren melayangkan harapan—semoga suatu saat ia dapat melihat senyum manis, serta rona cantik itu menguar dari wajah Keenan secara jelas. Pasti akan terlihat sangat cantik, pikir Naren.