Seperti yang dikatakan Hazel melalui pesan singkat kemarin malam—hari ini Nala akan menghabiskan sebagian waktunya bersama Hazel.

Mereka membuat janji untuk pergi di malam hari. Namun sayang, hari masih terlalu pagi untuk dinantikan malamnya. Padahal, Nala sudah kepalang bersemangat untuk menemui kekasihnya itu—dan tentu saja, alasannya tak lain adalah karena kepergian Hazel yang memaksa mereka untuk berjarak selama beberapa waktu.

Pagi ini, begitu Nala bangun, ia langsung bergegas untuk mandi. Memang, bukanlah hal yang umum untuk dilakukan Nala sehari-hari. Wajar saja, karena kali ini ia mempunyai maksud dan tujuan tertentu, maka dari itu ia memaksa jiwanya untuk bersiap lebih awal.

Setelah banyak bimbang dilalui di sela-sela lamunan bangun tidurnya—kini Nala sudah siap dengan pakaian olahraganya. Lengkap dengan celana training, jaket, dan juga sepatu.

Hari masih lumayan gelap, bahkan semburat cahaya sang fajar masih terlihat samar—bayangan tuan bulan yang masih terjaga sepanjang malam pun ikut bersanding dengan sang fajar. Meskipun didukung dengan suasana demikian, tekad adalah tekad, Nala tidak berniat sedikitpun untuk mengurangi tekadnya.

Good for you, Nala.

Pagi nan sejuk ini membawa langkah Nala berjalan—terkadang berlari—menjajaki segala tempat. Terkadang langkah kakinya terhenti untuk meminum beberapa teguk air supaya dirinya tetap terhidrasi.

Nala terus menyusuri arah yang sudah ia tentukan—arah itu menuju wilayah apartemen Hazel. Seiring langkah yang ia tempuh, matahari kian naik. Kini sang surya telah menampakkan diri sepenuhnya.

Beruntung, sebelum hari terlalu panas ia sudah mencapai unit apartemen Hazel. Ditekannya pin yang sudah ia hafal di luar kepala—begitu masuk, tampak banyak kekacauan. Seperti perabotan bekas memasak yang belum dicuci, koper yang terbuka dengan isi yang tercecer, juga Mayo dan Ginger yang terus memanggilnya untuk mengisi mangkuk makanannya.

Sedangkan Hazel masih terbaring di tempat tidur. Matanya terpejam dengan rapat, tak ada kerutan dahi khas orang yang tengah terinterupsi akan suara. Dapat dipastikan bahwa Hazel kelelahan setelah perjalanan yang kemarin ia tempuh. Nala pun memutuskan untuk tidak membangunkan Hazel terlebih dahulu.

Sembari menunggu Hazel bangun, Nala membereskan seluruh kekacauan ini dengan perlahan. Bahkan, sebisa mungkin ia lakukan dengan suara yang minim.

Sekitar satu jam kemudian, Nala telah selesai. Kini, jam menunjukkan pukul 10 pagi—tiba-tiba mata Nala merasa berat. Mungkin karena ia bangun terlalu pagi hari ini.

Nala tidak dapat menahannya lebih lama, bahkan untuk berdiri saja rasanya sudah sedikit limbung. Ia pun segera mengambil tempat di samping Hazel untuk membaringkan tubuhnya. Posisi Hazel yang terlentang membuat naluri Nala mengajaknya untuk menenggelamkan diri dalam pelukan Hazel.

Karena Nala tahu Hazel tidak mudah untuk terbangun, maka tanpa ragu Nala pun menyamankan diri di samping kekasihnya. Kepalanya ia letakkan di atas lengan kekar Hazel—dan tak lupa, tangannya ia bawa melingkari pinggang lelakinya. Nala pun dengan mudah ikut menyusul Hazel ke alam mimpi.


“La, bangun. Udah jam 10 lewat, makan, yuk?” ucap Hazel sembari mengusap dahi Nala.

Nala itu kebalikan dari Hazel. Maka dari itu ketika Hazel mendaratkan tangannya pada dahi Nala, Nala pun dengan mudah terbangun.

Begitu Nala membuka matanya perlahan, ia langsung menangkap sosok Hazel yang masih mendekapnya, “pa-gi, Hazel.” tuturnya setengah sadar.

“Pagi, cantik,” bukannya langsung bangkit, Hazel justru semakin mendekap Nala. Sedangkan yang didekap hanya menurut.

“Kamu sejak kapan di sini? kok ngga bangunin aku?”

“Aku tadi abis jogging, terus sekalian ke sini.”

“Kan lumayan jauh, La. Tadi juga masih pagi, masih sepi, emang gapapa?”

“It's fine, aku emang lagi pengen jogging aja. Terus juga kalo nunggu malem kelamaan.”

“Tinggal bilang kangen padahal,” seperti biasa, Hazel dipaksa untuk menahan gemas. Tingkah kekasihnya itu memang sulit ditebak. Padahal beberapa tahun mereka menjalin hubungan, seharusnya bukanlah perkara sulit untuk mengatakan hal semacam itu.

“Kamu mau makan apa?” tanya Nala mengalihkan.

“Ngga tau. Mau masak aja? tapi aku cuma ada bahan buat sandwich sama pasta doang kayanya.”

“Gapapa. Ayo, bangun.” Tubuh Nala yang sudah hampir dalam posisi duduk tiba-tiba kembali ditarik pelan oleh Hazel.

“Tapi sebentar, aku kangen kamu. Mau peluk dulu 5 menit.”

Nala mengiyakan permintaan Hazel. Toh, ia pun samanya. Mereka saling mendekap dalam hening. Hanya ada suara kecupan kecil yang sesekali dilayangkan Hazel. Nala terlihat menyusut setiap kali Hazel merengkuhnya. Tubuh mungilnya itu sangat cocok untuk terus berada dalam pelukan kekasihnya.


“Sayang, kamu beresin semuanya tadi?” tanya Hazel dengan lantang.

“Iya, Zel, berantakan banget. Kamu semalem capek banget, ya?” jawab Nala dari dalam kamar mandi.

“Capeknya biasa aja, kok. Aku emang niatnya pengen beresin hari ini, aku berantakin emang biar pas aku liat ini tuh bawaannya mau langsung aku beresin.” Jelas Hazel sembari membalik roti yang ia panggang di atas teflon.

Nala pun akhirnya keluar dari kamar mandi sembari mengusak rambutnya dengan handuk. “Yah, Zel, udah terlanjur..”

“Kok yah? justru aku yang ngga enak, La. Kamu ke sini pagi-pagi, berangkatnya jalan kaki, pas udah di sini malah beresin apart aku.”

Nala mengalungkan handuk itu di lehernya. Tangannya ia gunakan untuk meraih kucing oranye yang diketahui bernama Ginger itu; untuk duduk di pangkuannya. “Gapapa, Zel. Kamu kaya sama siapa aja, sih.”

“Makasih banyak, ya, cantik.” Hazel mengecup pucuk kepala Nala sekilas, dilanjut dengan menaruh sepiring sandwich dan susu di depan Nala.

“Sama-sama, Ajel.”

“Sekarang kamu cuci tangan dulu, habis itu makan.”

Nala menurunkan Ginger ke lantai dan segera menghampiri wastafel. Setelahnya, ia kembali duduk untuk menyantap sajian yang dibuat oleh Hazel. Awalnya mereka ingin membuatnya bersama, tetapi Hazel bersikeras membujuk Nala supaya tidak membantunya.

Ia mengunyah rotinya perlahan-lahan sembari menonton acara televisi kesukaannya. Dari arah punggungnya, ia dapati suara Hazel yang sepertinya tengah mencari sesuatu. “Hazel, kamu cari apa?” tanya Nala.

“Ngga, kok. Ini, hairdryer, udah ketemu.”

Hazel menghampiri Nala, tangan kanannya membawa hairdryer sedangkan tangan kirinya menggenggam vitamin rambut.

“Bangkunya aku mundurin dikit, ya, La. Aku keringin dulu rambutnya.”

Nala memang tidak suka jika rambutnya lembab—apalagi basah. Dan Hazel tau itu.

“Padahal habis ini mau aku keringin sendiri, hehehe,”

“Udah, kamu makan dulu aja, ya.”

Di sela-sela kegiatan mereka, tiba-tiba memori Nala membawanya pada suatu waktu di bulan September—kejadiannya sama persis seperti saat ini.

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Hazel yang seketika memecah lamunan Nala.

“Hahaha engga,”

Nala teringat saat dirinya usai mandi—saat itu Hazel juga membantunya mengeringkan rambut. Namun setelahnya, terjadilah pergelutan antara dua insan yang terbalut nafsu—di atas ranjang.

Hal itu membuat Nala sedikit salah tingkah, bahkan, sekarang pipinya mungkin sudah sedikit memancarkan rona kemerahan.

“Selesai!” Hazel mematikan pengering rambut itu, dan seketika suara bising pun mereda.

“Hazel, nanti kita ngga usah pergi, ya? kayanya kamu masih capek.”

“Aduh, kebiasaan. Aku ngga suka, ya, kalo kamu ngga enakan gini. Padahal kamu sendiri ngga suka kalo aku ingkar janji.”

“Ih, tapi 'kan ini aku yang mau. Ya?”

“Emang mau ngapain? ngga bosen di sini?”

Nala bangkit dari duduknya. Ia langsung menghadap Hazel untuk membelai rahang lelaki di depannya.

“Aku mau. Kamu.. mau ngga?”

“Bukannya kalo kaya gini akunya lebih capek, ya?” timpal Hazel sambil menyunggingkan senyum.

“Can i take it as a 'yes'?”

“Emang ada jawaban lain selain itu?”

[ tbc ]