— ada aku
cw tw // broken home, family issues, suicidal thought, kissing
lama berteman dengan rama tentu saja membuat farel hafal betul segala hal yang menyangkut rama. tak terkecuali permasalahan keluarga rama—yang sudah mulai retak sejak rama duduk di bangku sekolah menengah pertama.
sejauh yang farel ingat, rama tidak pernah memintanya untuk menjemput, bahkan menginap di rumah-nya.
maka dari itu, farel asumsikan jika kali ini adalah yang paling parah. karena, jika orang tua rama memulai cekcok, rama hanya akan melapor ke farel dan farel pun dengan lapang membantu rama untuk mengalihkan suara suara negatif dalam pikiran rama yang disebabkan oleh teriakan kedua orang tuanya yang saling bersahutan.
namun, kali ini rama nampaknya berada pada puncak kewarasan—yang jika ia tetap berada di sana, rama akan gila dalam beberapa menit saja. maka dari itu ia meminta farel untuk menjemputnya untuk meninggalkan rumah itu, setidaknya sampai esok hari, jika memungkinkan.
setelah saling berkabar, farel langsung melajukan motor kesayangannya—membelah sunyinya malam dengan deruan mesin yang terdengar sedikit kasar.
tak butuh waktu lama bagi farel sang pembalap unggul untuk pada akhirnya sampai di depan warung kopi yang digadang-gadang buka 24 jam itu.
farel dapati rama yang langsung menghampiri dirinya tanpa membisikkan sepatah kata pun. mengerti akan hal itu, farel pun maklum dan memilih untuk memutar balik motornya sebelum malam semakin larut.
demi semesta yang tak pernah tertidur, demi malam yang dingin, dan demi lampu jalanan yang kerap kali berkedip—farel berani bertaruh jika malam itu farel dapati pelukan paling erat yang pernah rama layangkan untuknya.
di samping itu, farel juga sadari bahwa semakin farel melaju, tubuh rama semakin bergetar. getaran itu lama kelamaan berubah menjadi rintihan pilu yang farel harap farel tidak akan pernah mendengarnya.
basah jaket farel yang membentuk lingkaran besar—namun abstrak—membuktikan banyaknya beban pikiran, serta suara suara rama yang tidak pernah tersampaikan.
hasrat farel untuk mendekap rama sudah meluap-luap. maka, farel tambah laju motornya supaya ia dapat memeluk erat rama-nya.
semakin dekat tujuan mereka, semakin halus pula suara isakan rama. bukan tanpa sebab isakan itu berubah menjadi sehalus debu, melainkan rama tak ingin jika ibu dari farel khawatir.
karena, bagaimanapun juga mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. ibu farel pun sudah tau permasalahan rama—bahkan, ibu farel kerap kali menghimbaunya untuk pergi ke rumah farel saja jika sewaktu-waktu per-cekcok-an ini kembali terjadi.
rama ingat betul bagaimana ibu farel membukakan pintu rumahnya dengan lebar seraya merentangkan tangan untuk memberinya peluk kala hati dan pikirannya remuk.
kemudian, sampailah mereka di rumah dua tingkat, dengan halaman yang penuh dengan berbagai macam tanaman.
rumah farel tak sebesar rumah rama, namun jika rama diharuskan memilih di mana ia akan menetap, rama akan selalu memilih rumah farel.
karena, rumah itu selalu hangat, selalu dipenuhi oleh cinta kasih. begitu lah yang rama rasakan ketika berada di sana.
“ibu sama ayah udah tidur, ram. tapi tadi aku udah bilang, kok. kita langsung naik aja, ya?” ucap farel begitu memasukkan motornya di ruang tamu.
“kamu ke atas duluan aja, ram. aku mau ambil minum sama yang lainnya. terus, kalo kamu mau pake kamar mandi, pake aja, ya.”
rama masih mengunci rapat mulutnya dan membiarkan bahasa tubuhnya yang mengambil alih.
begitu naik dan memasuki kamar farel, rama meletakkan tasnya di kursi belajar milik farel, kemudian pergi ke kamar mandi untuk cuci tangan, kaki, dan membasuh wajahnya. setidaknya, hanya itu yang rama rencanakan.
namun, rencana manusia dapat berubah sewaktu-waktu.
rama yang tadinya hanya berniat untuk bersih bersih justru memilih untuk menyalakan kran air, kemudian duduk di kloset duduk sembari memuaskan hasrat untuk kembali melanjutkan tangisnya yang sempat tertunda.
sayang, tampaknya niat rama untuk membuat tangisnya tak terdengar telah terbaca oleh farel.
“rama, sini kalau mau nangis. jangan di dalem, dingin, nanti kamu sakit.”
rama masih enggan untuk keluar.
“rama, aku marah loh, ya, kalau kamu ngga keluar.”
dengan langkah yang tertatih, rama berjalan keluar dan berdiri di depan farel dengan matanya yang merah nan sembab.
farel yang sedari tadi menahan diri pun akhirnya langsung menghamburkan peluknya untuk rama. tangannya ia gunakan untuk mengelus dan menepuk pelan punggung kokoh rama.
kali ini, rama tak banyak bicara seperti biasanya. tak terdengar ocehan protes ataupun suara tawa yang menguar dari mulut rama.
kali ini hanya ada isakan sendu yang farel dengar.
“ada aku, rama. ada aku.”
“yel, bisa ngga sih aku kabur aja dari dunia. aku beneran capek. capek banget.”
“ngga bisa, ram. belum waktunya. karena mungkin menurut tuhan kamu itu masih kuat, kamu itu hebat.”
“tapi nyatanya aku ngga sekuat itu, yel.”
“tapi kamu hebat,”
“im not.“
“kamu hebat, bisa bertahan sejaaaaauh ini. mungkin, kalo aku jadi kamu aku belum tentu sekuat kamu.”
farel lepas tautan tubuh mereka untuk pandangi wajah rama yang mengkilap karena air mata.
walaupun mata rama masih berlinang air mata, namun indahnya tak berkurang sedikitpun.
farel bawa jemarinya untuk usap pipi rama yang sesekali masih dijatuhi air mata.
bukannya berhenti, tangisan rama justru makin menjadi. entah karena apa, sekarang wajah rama sudah sepenuhnya tenggelam di bahu farel. begitu pun tangannya yang masih mencengkeram erat baju belakang farel.
“cantik, kenapa nangis lagi? hahaha, aku salah ngomong, ya?”
rama menggeleng pelan. surai legamnya sedikit menggelitik leher farel.
“kamu kenapa sebegininya ke aku, yel?”
“karena apalagi? aku sayang sama kamu. aku udah bilang, kan?”
“aku juga sayang sama kamu, yel. tapi aku belum bisa bilang.”
“aku tau. nanti ada waktunya kok.”
“aku takut kamu mikir kalo aku cuma mainin kamu atau manfaatin kamu.”
“hahahahah, ngga akan. karena aku percaya kamu bukan orang yang kaya gitu, ram. kalau kamu ngga sayang sama aku, pasti kamu udah ngehindar, kan?”
“ayel, makasih banyak. makasih banget. aku beruntung punya kamu, ibu, sama ayah.”
“rama, jangan sekalipun kamu mikir buat ninggalin dunia, ya? masih ada aku, ibu sama ayah di sini. kalau ngga ada kamu, kita semua sedih,”
“rama, kamu masih punya aku. aku bakalan di sini terus sama kamu, kamu jangan takut kalau aku bakalan ninggalin kamu. karena, gimana ya... kalau aku ninggalin kamu, yang ada aku yang sedih, aku yang kesiksa. bayanginnya aja aku ngga bisa.”
“ayel, i feel the same way.. aku juga ngga bisa bayangin kalo ngga ada kamu. kayanya aku bakalan gila, atau mungkin aku udah ngga ada sekarang.”
“kan aku bilang, itu juga karena kamu hebat. kamu bisa buang jauh jauh pemikiran itu karena diri kamu sendiri, bukan aku.”
“yel, janji sama aku kalau kamu bakalan di sini sama aku terus...”
“aku janji, ram. aku janji.”
“tunggu sebentar lagi ya, yel.”
“lama juga aku tungguin, kok. ngga apa apa, take your time, okay? coba sekarang aku mau liat muka cantiknya, boleh?”
rama pun mengelap air matanya dengan telapak tangannya dan mulai mendongakkan kepalanya perlahan-lahan.
“kamu cantik, cantik banget. pipi sama hidung kamu merah, lucu, aku suka. tapi aku ngga suka kalo sebabnya karena nangis.”
“kalo gitu, sebab yang kamu suka tuh yang kaya gimana?”
“aku suka kalo pipi kamu merah sendiri kalo lagi blushing.”
“kalo lagi blushing, berarti penyebabnya kamu!”
“terus kalau hidung, itu karena aku cubitin terus hidungnya.”
“kamu stop gemesin aku, makanya.”
“justru itu, mana bisa?”
rama tersenyum lebar sekilas dan memalingkan wajahnya yang memerah karena tersipu—mengingat, jika jarak mereka kurang dari satu meter.
farel menarik dagu rama untuk menatapnya kembali.
namun, akhirnya tak hanya terjadi adu tatap.
farel sedikit menunduk dan menarik tengkuk rama untuk menyatukan bilah delima mereka.
keduanya menyesap bibir satu sama lain dengan lembut, tanpa melibatkan pertarungan antar lidah di dalamnya.