— Kalau

cw tw // break up


Sesampainya di parkiran jujur saja Nala takut dan setengah gugup ketika mendapati Rendi yang tertunduk di bawah pohon dekat parkiran.

Nala pun menghampiri Rendi. Sedangkan kedua temannya menunggu tak jauh dari sana. Walaupun terlampau dekat, tetap saja, bagaimanapun juga mereka harus menghargai privasi Nala dan memberinya ruang untuk bicara berdua saja. Meskipun begitu, hal tersebut tidak mengurangi upaya Jere dan Tere untuk terus menantau Nala.

“Hai, La...” sapa Rendi kagok dan mempersilahkan Nala untuk duduk.

“Halo, kak.”

“Sebelumnya, pasti lu udah dikasih tau sama Tere, ya, tentang maksud gua ketemu sama lu?”

“Iya, kak, udah.”

“Langsung aja, ya—Nala, gua minta maaf banget atas semua perbuatan gua yang ngga sopan dan ngga menghargai Hazel sebagai pacar lu. Kalau boleh jujur, gua suka sama lu, Nala. Mungkin ini bukan rahasia umum, tapi seengganya gua mau lu tau alasan gua begini—Pertama, pasti karena gua suka sama lu. Kedua, gua tau hubungan lu sama Hazel udah lama, bahkan sebelum kuliah, tapi jujur waktu itu gua yang udah kebawa perasaan sama tingkah baik lu, tiba-tiba jadi ngga suka kalo lu sama Hazel. Gua yang salah artiin maksud baik lu, sapaan lu, senyum lu ke gua waktu itu. Makanya pas gua liat lu sama Hazel, gua jadi gencar buat misahin lu berdua dengan cara yang ngga pantes. Walaupun emang—yang namanya misahin hubungan orang selalu dengan cara yang ngga pantes.”

Nala menunduk, kepalanya mengangguk paham. Ia menyimak perkataan Rendi dengan saksama sampai sang empunya suara menyelesaikan kalimatnya.

“Lama kelamaan gua nyadar, La. Kalo ini semua itu salah. Mau gimanapun juga usaha gua, hati lu ttp buat Hazel. Dan... ya, gua males berantem lagi sama Hazel. Nih, liat, di pipi, bibir, hidung. Semuanya ada bekas pukulan Hazel. Sakit juga, ya, ternyata, hahahaha.”

Perlahan-lahan Rendi memulai candaan supaya Nala yang sedang kikuk itu menampakkan sedikit tawanya.

“Yaelah, kak, belum seberapa itu tonjokannya, hahahaha. Lain kali lo harus nyoba gimana tonjokan dia pas lagi cemburu tingkat akhir!!”

“Emang lu pernah liat Hazel begitu?”

“Nggak sih, dia baik kok sebenarnya. Dia juga tipe yang males berantem. Dan seumur-umur dia juga cuma berantem sama lo aja, tau.”

Nala perlahan-lahan mulai melupakan bagian buruk tentang Rendi. Nala bukanlah seorang penyimpan dendam. Maka dari itu, ia dengan mudah menerima maaf dari Rendi yang nampaknya memang betul-betul tulus.

Hazel yang memang hendak ke parkiran untuk mengambil mobilnya, tiba-tiba melihat Nala dan Rendi tengah berdua—entah membicarakan apa.

“Nala!!” dari kejauhan nampak Hazel yang sedang berjalan cepat menuju ke arah Nala.

“Lu mau apa sama Nala, anjing!” Satu pukulan melayang tepat di pipi Rendi—yang padahal lukanya sudah hampir memudar.

“Hazel, Hazel, stop!”

“Gua ingetin, ya, jangan pernah lu nyamperin Nala lagi. Awas lu—ayo, La, kamu ikut aku.” Hazel pun menyeret Nala masuk ke dalam mobilnya.

Nala menepis tangan Hazel tanpa sedikitpun berniat untuk menimpali perkataan Hazel. Nala justru membantu Rendi yang tersungkur—untuk bangun.

“Kak, gapapa? maaf, ya, kak. Maaf.”

“Gapapa, La. Gua paham, kok.”

Hazel kebingungan setengah mati. Sejak kapan Nala berani untuk dekat dekat dengan Rendi? pikirnya.

“La, kamu apa apaan si?”

“Kamu yang apaan, Zel! Kamu dateng tiba-tiba dan langsung mukul orang? yang bener aja kamu. Ngga semuanya bisa kamu selesai-in dengan kaya gini, Zel.”

“Kenapa kamu belain dia? hah?”

“Karena di sini kamu yang salah.”

Jere dan Tere sedang ramai berbincang dengan temannya, mereka nyaris tidak sadar jika ada keributan di tempat yang HARUSNYA mereka awasi. Tak lama, setelah diberitahu salah seorang teman, Jere dan Tere pun menghampiri Nala dan yang lainnya.

“Ikut aku. Kamu ikut aku. Cepet.” Hazel tarik Nala untuk menjauh.

Sedangkan, belum sempat Jere dan Tere sampai, Hazel sudah melajukan mobilnya.


“Turunin aku, aku ngga mau pulang sama kamu.”

Hazel pun menepikan mobilnya di jalanan sepi.

“Coba jelasin maksud kamu apa tadi? salah aku di mana? aku cuma ngga mau kamu deket deket sama Rendi. Kamu juga tau, kan, kalo dia gimana sebelumnya?”

“Apa bedanya Rendi sama Sabitha? mereka sama sama mau ngerusak. Tapi kamu jatuhnya berat sebelah. Kamu bisa tegas ke Rendi, tapi nggak dengan Sabitha.”

“Sabitha lagi Sabitha lagi. Harus berapa kali aku jelasin kalo aku sama dia—”

“Apa? cuma zoom bareng? iya? terus apalagi, Zel? cuma ngobrol di kelas sama Sabitha padahal jam kuliah kamu udah selesai? Gitu katanya kamu ngga sempet ngabarin karena ngerjain laprak, tapi di sisi lain kamu bisa spare waktu kamu buat Sabitha. Pacar kamu tuh siapa, sih, sebenarnya?”

“Serius kamu nanya ini, La? jawabannya udah jelas. Kamu. Kamu pacar aku.”

“Aku serius nanya ini. Karena emang belakangan kamu aneh, kamu beda, kamu berubah. Aku yakin bukan karena laprak doang, Zel. Aku ngga tau pasti apa yang bikin tingkah kamu jadi beda ke aku. Tapi yang pasti tingkah kamu itu bikin aku ngerasa kalo kamu udah bosen sama aku.”

“Aku ngga pernah bosen sama kamu.”

“Terus apa? coba bilang ke aku.”

Hazel bungkam. Pikirannya berenang-renang di kepala.

See? kamu ngga bisa jawab. And i'll take it as a YES. Ketauan kok, Zel, gimana kamu curi curi kesempatan buat deket sama Sabitha. Entah itu buat ngelampiasin rasa bosen kamu, atau kamu emang beneran niat buat deketin Sabitha.”

“Ngga, Nala, ngga sama sekali. Aku ngga ada niat—”

“Aku pasti maklum, Zel, kalo kamu bosen. Pun, kalo kamu mau putus karena kamu bosen, silahkan. Putusin aku aja. Tapi yang bikin aku ngga nyangka itu kamu ngelampiasin itu semua ke Sabitha yang notabenenya perusak. Dulu kamu selalu pasang badan biar Sabitha ngga bisa reach out aku. Tapi sekarang dengan gampangnya kamu mulai deket sama orang yang pernah bikin aku sakit. Jujur, sekarang rasanya berkali-kali lipat lebih sakit, dibanding waktu itu, Zel.”

“Nala, aku ngga deket sama Sabitha. Aku baru mulai ngobrol sama dia juga belum lama.”

“Terus ini apa, Zel?”

Nala menunjukkan sebuah video yang direkam oleh entah siapa. Di sana terdapat Hazel yang sedang bergurau dan tertawa bersama Sabitha.

“Aku tau persis video ini diambil pas kamu baru mau mulai praktikum. Dari sini aja udah jelas, Zel, kalo kamu mulai deket sama Sabitha udah lumayan lama. Apa lagi alibi kamu? Makanya, sejak kamu mulai praktikum aku mulai was was karena takut ini semua kejadian. Aku berusaha buat tetep komunikasi sama kamu walaupun kamu selalu matiin topik, aku selalu usaha buat reach out kamu buat sekedar nanya hal-hal sederhana biar kamu inget sama aku. Tapi kayanya semuanya sia-sia, ya, Zel? kamu bahkan ngga berusaha buat reach out aku balik. Dan ujungnya semua yang aku takutin beneran kejadian. — Zel, sumpah, aku capek. Aku capek kalo harus disuruh nebak terus apa mau kamu belakangan ini.”

“Nala, aku minta maaf. Please, maaf, sayang, maaf...” Hazel raih tangan Nala yang basah karena tetesan air mata-nya yang jatuh perlahan-lahan ketika ia berbicara.

“Zel, ayo putus.”

“Ngga, aku ngga mau, aku sayang kamu. Sumpah, aku ngga bisa, aku ngga mau, Nala. Ngga boleh. Please, jangan.”

“Zel, aku capek. Semuanya punya batas masing-masing. Dan batas kesanggupan aku buat pertahanin 'kita' udah cukup sampai sini.”

“Kalo gitu biarin aku yang pertahanin ini, ya, Nala, sayang...”

“Ngga, Zel. Ngga bisa. Hasilnya ngga akan pernah bisa maksimal. Sama kaya aku yang susah payah bikin kamu inget sama aku, tapi kamu sendiri ngga pernah ada niatan buat inget kalo kamu punya aku. Kalo ngga diniatin dari dua sisi, bakalan percuma.”

“Nala, please... I swear—

“Ngga perlu sumpah sumpah gitu kalo sekedar omongan aja belum bisa kamu tepatin. Omongan sama kelakuan kamu berbanding terbalik, Zel—”

“Hazel... thanks for everything, aku seneng banget bisa jadi bagian dari kamu selama bertahun-tahun. Aku sedih karena kita pisah dengan jalan yang kaya gini. Aku ngga pernah nyesel ketemu dan jatuh cinta sama kamu. Karena gimanapun juga, kamu pernah jadi yang paling baik dan yang paling indah buat aku. Hazel, aku pamit, ya.”

Dengan sisa suara yang ia punya, dengan sedikit kesanggupan yang tersisa, dengan kepingan kepingan memori indah yang masih melekat—Akhirnya, dengan berat hati Nala menyuarakan ketidaksanggupannya untuk melanjutkan hubungannya dengan Hazel—lelaki yang amat ia kasihi.

Nala keluar dari kuda besi tersebut dengan langkah berat. Meskipun begitu, ia usahakan untuk tidak menoleh ke belakang. Karena jika iya, pertahanannya seketika akan runtuh.

Kini dunia Hazel hilang sudah. Dunianya kiamat, dunianya hancur lebur. Tidak ada lagi sapaan diselipi senyuman hangat yang akan ia dapatkan di tiap harinya. Tidak ada lagi suara umpatan Nala yang memenuhi apartemennya kala kamar Hazel berantakan bak kapal pecah. Tidak ada lagi ciuman manis dari bilah bibir sang kasih. Tidak ada lagi Nala yang selalu memeluknya mesra kala dunia tak berpihak padanya.

Kini, yang tersisa hanyalah Hazel dengan segala penyesalan yang menyertainya. Biarlah begitu, biarlah. Semoga dengan ini, Hazel bisa merasakan bagaimana hari-harinya tanpa Nala. Bahkan, kata kelabu saja tidak mampu mendeskripsikan itu semua.