– Sorry & sorry
cw // neck kisses not proofread.
Derasnya hujan pada sore hari membuat jalanan ibu kota basah di tiap incinya. Namun tak membuat para warganya enggan untuk tetap beraktivitas. Ya.. walaupun terselip sedikit rasa malas, sebetulnya.
Begitupun Nala.
Kali ini Nala pergi ke kampusnya menggunakan transportasi umum—bis. Sepanjang bis melaju, Nala melihat ratusan orang berlalu lalang tanpa peduli dingin, basah, juga kotor.
'Lagi dikejar deadline atau ada urusan penting, mungkin.' Batin Nala saat itu.
Tidak, sampai saat Nala melihat beberapa pasangan yang berjalan di trotoar ibu kota dengan sebuah payung yang digenggam kuat-kuat supaya tidak diterpa angin dan berujung terbang entah ke mana.
Walaupun terlihat sesak berjalan di bawah sebuah payung—berdua—namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara tidak langsung mereka sedang berbagi kehangatan untuk satu sama lain.
Setelahnya, Nala terkekeh saat melihat sebuah pasangan yang berlarian membelah jalanan penuh genangan tanpa khawatir akan ini dan itu.
'Satu kemungkinan lagi. Mereka ngga peduli dingin, basah, kotor, itu karena selama mereka bareng, mereka ngga perlu khawatirin apapun, kan?' Batinnya sekali lagi.
Jalanan yang sedikit melengang pun menjadi alasan mengapa Nala sampai di kampusnya sedikit lebih cepat. Nala langsung pergi ke toilet sejenak untuk membersihkan sepatunya yang terkena percikan air.
Sekitar 5 menit kemudian, ponsel Nala berdering menunjukkan panggilan masuk dari Tere.
“Halo, Re? kenapa?” “Nalaaaa, lo di mana? udah sampe belum?” “Udah, baru aja nyampe. Lagi di toilet.” “Gue di kantin ya. Ntar lo ke sini aja. Aman kok ga ada si rese,” “Ohh iya iya, bentar lagi gue ke sana.” “Oke dehh byeeee.”
Ia melangkahkan tungkainya dengan santai seraya melihat ponselnya yang kering kerontang karena tidak mendapat notif dari kekasihnya setelah gelembung pesan terakhir yang ia kirim.
Terbesit rasa bersalah di benaknya. Nala tidak dapat berbohong jika terkadang ia merasa responnya kemarin terlalu berlebihan. Namun di sisi lain ia juga sangat tidak menyukai hal tersebut.
Dari kejauhan, Tere melambaikan tangannya, menandakan bahwa Nala harus berjalan sedikit lagi ke arahnya.
“Dari tadi, Re?”
“Baru bangettt, kirain gue lo ngga ngampus hahaha,”
“Gue mahasiswa teladan, for your information.” Nala menyombongkan dirinya diiringi gelak tawa Tere setelahnya.
“Gimana tuh, udah baikan?”
Nala menggelengkan kepalanya yang dengan mudah ditangkap maksudnya oleh Tere.
“Ga tau deh, males gue, Re.”
“Hahahaha tapi kalo kangen, langsung baikan aja. Gue tau banget lo tuh sebenarnya ngga bisa marahan sama Hazel atau cuekin Hazel walaupun cuma sehari.”
Nala cemberut, “Sebenarnya iya, tapi ya gitu deh...”
“Hmm tap— eh, bentar dah, cek grup La, coba.”
Nala buru-buru membuka ponselnya dengan alis tertaut—bingung.
“Anjing,” Umpat Tere.
“Hah, kok???” Nala pun sama kagetnya. Ia masih sibuk menggulir pesan grupnya untuk mencari kemungkinan bahwa kelas akan tetap dilaksanakan.
“Dosennya ngga masuk, astaga, kenapa ga bilang dari tadi si? sumpah mana ujan.”
“Sumpah, Re, ini yang infoin dia beneran lupa atau emang sengaja ga ngasih tau sih? nyebelin amat.”
“Ya kan??? gue takutnya dia nyimpen ini info sendiri terus baru dikasih tau pas udah mepet, bangke.”
Nala menghela nafasnya dalam-dalam guna menahan emosinya, “Jadi, kita balik lagi? ke rumah? anjir males banget.”
“Iya, mau ga mau. Orang hari ini cuma ada kelas ini doang.”
“Oke, ayo balik terus tidur aja ampe. malem.”
Mereka pun berjalan beriringan menyusuri lorong yang nyaris kosong.
“Sepi dah, ini dosennya pada berencana ngga masuk apa gimana, ya? ahahaha,” Celetuk Tere.
“Bilang aja lo takut kalo jalan di lorong sendirian. Ya, kan?”
“Jangan diomongin, ntar dateng beneran aja.”
“Kalo... dateng beneran gue lari!!” Ucap Nala kemudian berlari sekencang-kencangnya.
Tere ikut berlari mengejar Nala, “Nala, jangan rese lo!”
Pada belokan lorong terakhir sebelum mereka menuju parkiran—dengan Nala yang masih setengah berlari—tubuhnya tiba-tiba tersentak dan seketika laju larinya terhenti ketika Nala dengan tidak sengaja menabrak seorang pria di depannya.
Ia jatuh terduduk lalu mendongak,
“Zel?”
“Jangan lari-lari, kebiasaan. Ngga ada hantu, ngga ada.” Ucap Hazel sambil meraih kedua tangan Nala untuk membantunya bangun.
Nala memang suka berlarian di lorong ketika lorong sepi. Dengan alibi 'takut ada hantu', padahal memang dirinya saja yang ingin berlarian. Hazel sudah hafal itu diluar kepala.
“Nalaaaaaa!” terdengar suara Tere yang tertinggal jauh di belakangnya.
Tere menghentikan langkah kakinya tepat di samping Nala yang celingukan.
“Re, ada Davi tuh di depan, ditungguin.”
“Yang bener? aaaa thank you zel. Nala, gue duluan yaaaa, byeee.” Pamit Tere kegirangan saat mengetahui Davi sedang menunggunya.
Kemudian Nala berjalan—hendak membuntuti Tere—namun pergelangan tangannya dicekal oleh Hazel.
“Nala,”
“Aku mau pulang.”
“Yaudah, ayo, aku anterin.”
Nala enggan menanggapi, ia terus berjalan, sedangkan Hazel mengekor dibelakangnya.
“Yah ujan,” Nala menggumam pelan secara spontan.
Hazel melepas jaket levisnya—meletakkan jaket tersebut di kepala. Nala—terakhir, ia rangkul Nala untuk mengajaknya berlari kecil ke mobil.
Di dalam mobil, Nala justru menunjukkan raut khawatir sambil menatap Hazel yang sibuk memasangkan sabuk pengaman untuknya.
“Kenapa ngga nunggu redaan dikit, sih?”
“Hujannya awet.”
“Minjem payung atau apa gitu,”
“Tadi ngga ada orang, Nala, sepi.”
Memang semua yang dikatakan Hazel benar. Nala hanya sedikit khawatir, karena sepanjang ingatan yang ia punya, Hazel mudah sakit.
Nala kira, Hazel akan langsung melajukan mobilnya untuk menerjang hujan—nyatanya, mereka hanya terdiam canggung.
“Nala...”
Nala menoleh, namun kepalanya tertunduk—pandangannya ia lempar ke sembarang sisi.
Tangan dingin Hazel meraih kedua tangan Nala yang juga sama dinginnya. Ia genggam tangan Nala, tak lupa membubuhinya dengan kecupan-kecupan ringan, tak jarang juga Hazel letakkan tangan Nala pada pipinya yang hangat.
“Nala—”
“Aku bakalan ngalah kalo kamu dari awal bilang. Aku ga masalah mau jalan kapanpun, asal apa? kamu tau kan?”
“Asal aku bilang.”
“Itu kamu tau. Aku ga pernah ngerasa saingan sama temen kamu, aku ga pernah mau debat tentang kamu yang dahuluin hal yang lain dari pada aku. Aku ga masalah sama itu semua asalkan kamu bilang. Di sini kamu udah janji, Zel. Pertama kamu bilang agak telat, aku oke-in karena kamu bilang sama aku. Kedua, kamu bilang kalo dateng jam 7, tapi kamu baru bales jam 10. Paham kan?”
“Iya aku tau, aku paham. Aku minta maaf. Aku ga bakalan bela diri aku, karena aku emang salah. Aku bener-bener lupa, sampe pas Jere mention nama kamu, katanya 'Oh iya, Zel, katanya lu mau jalan sama Nala, ngga jadi?' walaupun aku kemarin agak pusing karena minum, aku masih denger apa yang Jere omongin. Makanya aku baru mau chat kamu waktu di jam segitu.”
“Terus kamu pulang jam berapa?”
“Aku pamit saat itu juga. Aku ngechat kamu pas di mobil, siapa tau kamu masih mau. Pas kamu ternyata marah, yaudah aku pulang.”
“Kamu nyetir pas mabok-mabok, gitu?”
“Aku ngga mabok banget, Sayang. Aku masih sadar.”
“Ngerti bahaya ngga?”
“Iya tau, kan aku—”
“Kecuali kamu pergi sama aku, sama Jere atau sama Tere. Jadi ada yang nyetirin kamu, kalo begini kan ngga aman, Zel. Walaupun kamu bilang pusingnya cuma dikit.”
“Iya. maaf maaf,”
Nala mengangguk pelan, “Zel, aku juga minta maaf...”
“Sini, duduk sini.” Hazel menepuk pahanya, mengisyaratkan pada Nala untuk duduk dipangkuannya.
Nala pun dengan susah payah memposisikan dirinya dengan nyaman. Tangannya ia kalungkan—kepalanya ia sandarkan pada pundak Hazel.
“Zel, capek ngga sih ngadepin aku yang banyak mau, ambekan gara-gara hal sepele gini?”
“Ngomong apa si?”
“Serius, jawab aku.”
“Ngga.”
“Ngga doang?”
“Ya iya, lagian juga kamu ngambek ngga setiap hari. Kalo soal banyak maunya, ya bisa diatur. Toh, aku seneng aja nurutin mau kamu.”
“Tapi kesannya aku kaya egois, Zel.”
“Egois gimana? ngga tuh. Aku rasa juga ngga kamu doang yang bakal marah kalo aku ngga nepatin janji. Tapi aku juga, atau bahkan mayoritas orang juga begitu, kan. Jadi, sebab kamu marah itu sebenarnya juga masih 'biasa'. Ngga berlebihan.”
Hazel tiba-tiba mencium leher Nala sekilas. Nala pun mengusap-usap rambut Hazel dengan lembut.
“Zel, aku minta maaf.”
“Maaf kenapa? bukannya aku?”
“Aku nyuekin kamu, terus juga sewot gitu.”
“Gapapa, aku juga paham.”
;
Nala paling senang jika Hazel membubuhi ciuman pada perpotongan lehernya dan beruntungnya, Hazel tau itu.
“Hihii, geli, Zel.”
“Katanya suka?”
Nala mengangguk antusias sebelum wajahnya mendekat untuk menyatukan bibirnya dengan bibir Hazel.
Biarlah keduanya seperti itu sampai hujan sedikit mereda.