— Please, don't get hurt, Zel.

cw // harsh word, hit, bruises, mention of wounds, mention of blood, kissing

Hazel kini sedang menunggu pesanan kopi titipan nala siap untuk ia bawa. Sembari itu, ia merenung, menyesali keputusannya yang terlalu tiba-tiba.

;

Selepas Tere menceritakan segala hal yang terjadi pada siang hari tadi, seketika emosi Hazel memuncak. Otomatis, Hazel langsung bergegas ke kampus dan mencari sang pelaku yang telah membuatnya naik darah—Rendy.

Selama ini, Hazel menahan segala amarah yang mengendap di dalam dirinya hanya karena Nala. Ia menghormati Nala yang selalu berusaha menahannya setengah mati untuk tidak adu fisik dengan kakak tingkat yang paling dibencinya itu.

Karena, bagaimanapun juga, Nala-lah yang berhak memutuskan untuk membalas Rendy atau tidak. Namun, sekarang tidak lagi. Hazel anggap keputusannya adalah keputusan Nala juga. Walaupun ia tau ini salah.

Berbekal info dan dengan ditemani temannya—Jeremy—Hazel pergi mencari Rendy di parkiran belakang kampus yang biasa digunakan mahasiswa lain berkumpul setelah jam kuliah selesai.

Walaupun Rendy bersama banyak teman, hal itu tidak membuat Hazel takut. Hazel menghampiri Rendy dan berdiri tepat di hadapannya.

Ketika Rendy bangun dari duduknya, Hazel langsung menghantam pipi kiri Rendy tanpa didahului sepatah kata pun.

Rendy memegang pipinya sekilas lalu membalas pukulan Hazel. Pukulan tersebut melayang tepat pada bibir sebelah kanan bawah Hazel.

Rendy berseru, “Lu kenapa anjing?!”

“Lu yang kenapa, tolol. Ga usah belaga bego. Gua nahan-nahan biar ga berantemin lu gara-gara Nala, ya. Tapi lu didiemin makin ngelunjak bangsat.”

Rendy menyunggingkan senyumnya sambil menatap remeh Hazel, “Oh, ngadu?”

Hazel tidak menggubris, ia justru membalas pertanyaan Rendy dengan pukulan lagi. Mereka bertengkar di sana, entah seberapa lama. Yang jelas, tubuh Hazel menampilkan beberapa luka lebam yang terlihat jelas.

;

'Harusnya gua ga berantemin sekarang. Gua lupa kalo mau ketemu Nala nanti.' Gumam Hazel.

Hazel tau jika Nala tidak suka dengan seseorang yang dengan mudahnya membatalkan janji. Maka dari itu, Hazel tetap bersikeras ingin menemui Nala—walaupun ia tau, beberapa jam ke depan, pertemuannya akan dihiasi dengan ocehan, omelan, serta nasehat tanpa jeda dari Nala.

;

Ketika Hazel sampai di depan pagar rumah Nala yang terbuka lebar—ia melihat Nala yang sedang duduk manis di teras sembari celingukan memastikan siapa yang lewat di halaman rumahnya.

“Hazel!”

Hazel yang biasa menyibak poninya supaya tidak menutupi dahi—kini membenahi poninya untuk menutupi dahinya yang terluka akibat perkelahian tadi.

“Wangi banget, mau ke mana?” Ledek Hazel begitu Nala memeluknya.

“Aku baru selesai mandi, kan mau ketemu kamu.”

Ketika Nala hendak melepas pelukannya, Hazel menahan pinggang Nala—yang menyebabkan Nala mendongak menatap Hazel.

Nala tersenyum, tangannya ia arahkan untuk memainkan rambut Hazel, seperti biasa.

Hazel lupa, ia terlalu terlena dengan senyuman manis Nala. Sehingga ketika Nala menyibak poninya, Hazel tidak sempat menghindar. Sehingga luka di dahinya terpampang dengan jelas.

“Zel?”

Sadar akan nada bicara Nala yang terdengar khawatir, Hazel menanggapinya dengan kalimat yang (semoga) meyakinkan.

“Ini, aku belum potong kuku, terus pas lagi buru-buru sambil benerin rambut, jadi kecakar.”

Entah alasannya yang bodoh, atau Nala yang pintar.

Tangan Nala langsung menyambar kedua tangan Hazel.

“Kuku kamu pendek, garis kukunya juga ngga keliatan kaya baru dipotong. Aku ngga bego, ya, Zel. Luka kamu juga bukan luka yang sekedar kegores kuku. Robek, Zel, robek.”

Nada bicara Nala mulai tidak teratur, sedikit terengah juga terselip rasa khawatir di sela-selanya.

“Jawab. Kamu kenapa? abis ngapain?”

Sebelum Hazel menjawab, Nala membuka mulutnya dengan ekspresi terkejut, seperti menyadari sesuatu.

“Jangan bilang kamu berantem sana Rendy? — jawab!”

“Sorry,”

Kemudian Nala langsung melepas masker yang Hazel pakai. Betapa terkejutnya Nala karena dugaannya benar—bahwa pipi, juga bibir Hazel penuh dengan luka lebam.

Nala menarik napasnya panjang dan menarik Hazel untuk masuk ke dalam rumahnya. Nala berlari kecil untuk mengambil kotak obatnya yang berada di dekat dapur.

“Nala, sorry...” Ucap Hazel lirih, ketika Nala sibuk mengeluarkan isi kotak obatnya.

“Nala,”

“Kamu diem.”

Nala membersihkan luka lebam tersebut dengan telaten, walaupun tadi di rumah, Hazel sudah membersihkannya.

Sebelum memberinya salep, Nala menekan pelan luka lebam tersebut. Yang membuat Hazel sedikit meringis kesakitan.

“Sakit, kan?” tanya Nala.

“Perih doang dikit.”

“Kamu berantemin dia sendiri? kan temen dia banyak, Zel. Nanti kalo kamu dikeroyok gimana?”

“Aku sama Jeremy, kok. Jeremy juga ga suka kalo Tere digituin, makanya dia mau mau aja nemenin aku. Mendingan kan daripada sendiri?”

“Mendingan dari mananya? kamu berdua aja masih kurang. Ngga liat temennya dia segerombolan?”

Hazel tertawa kecil, “Jadi aku bawa pasukan, nih?”

“Ngga gitu!”

“Aku ga suka kamu digodain dia mulu, Nal. Apalagi tadi dia maksa-maksa kamu, narik-narik kamu. Itu kan udah keterlaluan.”

“Ya tapi jangan berantem gini, Zel. Sekarang aku tanya, kamu kesel ngga kalo aku digodain Rendy?”

“Kesel, ngga suka. Makanya aku berantemin.”

“Sama, aku juga gitu. Aku ngga suka liat kamu berantem, apalagi sampe luka-luka gini.”

“Jadi, kalo berantem jangan sampe luka, gitu, ya?”

“Kamu berantem duluan sini sama aku.”

“Ngga deh, ngga sanggup. Kayanya bakalan langsung kalah telak.”

“Masih aja ya bisa bercanda.”

“Biar kamu tau, kalo aku tuh gapapa.”

Hening pun seketika menyelimuti mereka.

“Di mana letak gapapanya? sini?” Tanya Nala sambil menekan luka Hazel, “Atau sini?” lanjutnya.

“Aw, sakit sakit, masih ngilu, sumpah.”

“Katanya gapapa?”

“Ya emang gapapa. Nih, ya—” Hazel menunjuk luka di sudut bibirnya.

“Kalo ini dicium, aku yakin bakal langsung 'gapapa', langsung sembuh.”

“Tau ah!” Nala mencebik kesal dan mencoba bangun untuk mengembalikan kotak obat.

Namun tangannya buru-buru ditarik Hazel untuk kembali duduk. Lalu Hazel memajukan bibirnya—memberi isyarat.

Sedangkan Nala memutar bola matanya malas.

Diciumnya bibir Hazel sekilas, yang mengundang protes dari sang pemilik.

“Lagi,” pinta

Sekarang, Nala justru tersenyum. Menurutnya, Hazel menjelma menjadi makhluk paling lucu saat meminta ciuman. Apalagi dengan bibirnya yang sengaja cemberut untuk mengundang empati Nala.

Nala menciumnya sekali lagi,

tapi, tangan Hazel menahan tengkuknya sambil melumat bibir Nala dengan lembut.

Tercetak senyuman keduanya pada sesi ciuman mereka.

Setelahnya, Hazel menatap Nala, “Nala, maaf ya.”

“Kalo kamu ngga gini lagi, aku maafin.”

Hazel mengangguk cepat, mengiyakan perkataan Nala—yang padahal dirinya tidak menjamin akan menepatinya atau tidak.

“Please, don't get hurt, Zel. Aku juga sakit liatnya.”

Hazel mengangguk sekali lagi dan meraih rambut Nala untuk ia usap, sambil membubuhinya ciuman.