; Those Pretty Eyes


“Udah? Yuk.”

“Udah, sebentar. Rambutku berantakan ngga?” Tanya Sastra sambil mendongak menatap Nara. Kemudian Nara membenahi rambut Sastra yang sebetulnya tidak terlalu berantakan.

“Nah, udah,” Lalu ia genggam tangan Sastra sembari melangkahkan tungkainya keluar café

Mereka berada di café selama kurang lebih setengah jam, selepasnya mereka memutuskan untuk late night drive sebelum kembali ke apartemen Nara.

Ngomong-ngomong tentang apartemen, kali ini Sastra memutuskan untuk menginap di apartemen Nara. Mengingat bahwa orang tuanya sedang melakukan perjalanan luar kota, jadi, Sastra enggan untuk berdiam di rumah sendirian. Padahal, bisa saja ia yang mengajak Nara ke rumahnya. Namun, ia berpikir masih ada lain waktu.

Mereka pun menyusuri jalanan ibu kota yang sudah mulai nampak sepi. Dengan suara musik yang menyeruak memenuhi pendengaran, jendela mobil yang dibuka sehingga angin dapat masuk dan menerpa wajah mereka, juga tangan yang saling bertaut. Tidak ada momen sederhana yang lebih sempurna daripada itu.

Perjalanan malam yang barusan itu memiliki efek luar biasa bagi keduanya. Pikiran mereka jadi lebih tenang. Disamping itu, selama perjalanan mereka tidak ragu untuk bercerita satu sama lain. Waktu kian berlalu, membuat keduanya terpaksa untuk mengakhiri sesi perjalanan malam mereka kali ini. Keduanya pun melaju menuju apartemen untuk beristirahat.

Sastra merasa ia butuh mandi setelah ini. Maka setelah Nara memarkirkan mobilnya dengan sempurna, ia lari meninggalkan Nara.

“Ka, aku lari, ya! Aku mau mandi duluan!”

Di belakang, Nara hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah gemas kekasihnya itu. Padahal, tidak apa juga jika Sastra ingin mandi duluan. Pasti Nara akan mengizinkannya, toh, Nara juga terbiasa untuk merebahkan dirinya terlebih dahulu, barulah ia akan pergi mandi.

Nara memasuki lift dengan harapan kekasihnya itu sudah sampai di depan unitnya, tapi setelah pintu lift terbuka di lantai 8, ia agak kaget melihat Sastra yang menunggunya di depan lift seperti anak anjing yang polos.

“Loh? Kenapa nunggu aku? Tadi katanya mau mandi duluan.”

“Ih! Kan aku ngga tau passwordnya, Ka.”

“Oh, hahaha makanya jangan sotau,”

Sastra berjalan mundur dengan posisi dirinya yang menghadap Nara. Mereka berjalan di koridor dengan mulut Sastra yang tidak berhenti berceloteh, sedangkan Nara hanya memperhatikan tingkah Sastra sambil sesekali merespon dengan tertawa kecil.

Nara menekan tombol angka pada pintunya sambil menyuruh Sastra untuk memperhatikan passwordnya. Pintu pun terbuka, secepat kilat Sastra langsung masuk kamar mandi. Lagi-lagi Nara hanya tersenyum.

“Ka, aku pinjem bajunya!” Serunya dari dalam kamar mandi.

“Iya, nanti aku ambilin. Pake bathrobe aja dulu, di situ ada dua, kan?”

“Iya,”

Selang 10 menit, Sastra pun keluar kamar mandi.

Wangi pun menyebar di penjuru ruangan, “Aku jadi wangi kamuuuu,” Ucap Sastra yang sedang sibuk dengan tali bathrobe nya. Tau jika Sastra kesulitan, Nara hampiri Sastra untuk membantunya mengikat tali bathrobe tersebut.

“Nanti kamu ke kamar aja, pilih baju sendiri, sambil dicoba mana yang pas, ya?”

“Okay! Tapi aku pengen ngemil, ada roti ngga?”

“Ada deh kayanya, di meja, aku baru beli kemarin. Dimakan aja.”

“Aku bikin roti panggang, ya? Kamu mau?”

“Boleh, satu aja.”

“Yaudah, mandi sana.”

Selesai memanggang roti, Sastra memilih untuk mencuci teflon terlebih dahulu, baru ia akan makan rotinya dengan Nara.

Dikarenakan suara air yang mengalir, Sastra tidak tau menau bahwa Nara sudah selesai mandi, dan sekarang tangan Nara sudah melingkar sempurna di pinggangnya, dengan dagu yang disandarkan pada bahunya sambil sesekali mencuri-curi ciuman pada pipi juga leher Sastra secara bergantian.

“Geli, Ka!”

Nara tidak berniat untuk mengungkung Sastra, namun karena perilaku Sastra yang tiba-tiba membalik badannya, jadilah demikian.

Akhirnya jarak antara mereka hanya bersisa beberapa senti saja. Sastra yang sadar pun ingin mencoba keluar dari situasi canggung tersebut.

Tapi, gerak gerik Sastra sepertinya terbaca, sehingga Nara buru-buru menarik pinggang Nara untuk lebih mendekat dengan tangan kiri yang masih digunakan untuk menahan tubuhnya.

Nara tatap lekat-lekat kedua manik hazel milik Sastra, “Cantik, mata kamu beneran secantik itu.”

Sastra merasakan pipinya yang menghangat sesaat setelah Nara melontarkan kalimat pujian tersebut. Beruntung, lampu dapur tidak menyala seluruhnya, hanya menyisakan lampu lampu kecil berwarna kuning yang cahaya nya tidak seterang lampu-lampu pada umunya.

Karena, bisa-bisa Sastra makin malu jikalau Nara tau bahwa pipinya sedang memerah sekarang.

“Aku boleh confess lagi ngga, sih?”

Sastra menampakkan cengirannya sambil memainkan rambut Nara, “Boleh, coba aku mau denger.”

“Waktu pertama kali aku liat kamu, kamu itu pake masker, jadi yang pertama kali aku liat itu mata kamu. At that time, I thought your eyes had magic. Buktinya aku langsung cinta sama kamu.”

Ughh cheesy,” ledek Sastra.

Tidak peduli akan ejekan Sastra, Nara melanjutkan kalimatnya, “Padahal waktu itu aku liatnya dari jauh, loh. Gimana dari deket? – tapi, aku udah ngga penasaran gimana rasanya natap mata kamu dari deket. Karena sekarang aku ngerasain itu.”

Ah, really? Rasanya gimana?”

Unbelievable – melebihi ekspektasi aku.”

Sastra menyembunyikan wajahnya dalam dekapan Nara, karena ucapan Nara sukses membuatnya benar-benar tersipu sekarang. Tidak terima jika wajah yang ditatapnya hilang dari tatapannya, maka, Nara bawa lagi wajah Sastra untuk mendongak menatapnya.

“Sejak itu, aku ngga bisa liat kamu dengan cara yang biasa aja – dengan cara orang-orang pada umumnya. Aku bersyukur banget bisa liat mata kamu dengan jarak sedeket ini, setiap harinya. You’re gonna live forever in me, sas.

“Kayanya kamu berlebihan, Ka, I don’t really deserve that.

“Ngga, ngga berlebihan sama sekali. Justru kamu lebih dari itu, Sas.”

Nara tidak dapat menahan lebih lama lagi untuk mencumbu kekasihnya itu. Ia menaikkan Sastra untuk duduk di pinggir wastafel, kemudian menarik dagunya untuk mendekat. Bibir keduanya pun bertemu, secara reflek mereka menyapu bibir satu sama lain.

Ternyata, selain mata, bagian favorit dari Sastra yang Nara kagumi adalah bibirnya. Terasa seperti permen kenyal dan tak jarang juga ketika Nara melumatnya terdapat rasa manis strawberry.

Hal itu dikarenakan kebiasaan Sastra yang tidak pernah absen untuk mengaplikasikan lip balm rasa strawberry kesukaannya.

Sesapan demi sesapan mereka berikan untuk satu sama lain, sebelum Nara gigit pelan bibir Sastra yang menyebabkan Sastra melenguh dan membuka bibirnya untuk mengizinkan lidah Nara ikut serta dalam ciuman panas mereka.

Mmhh,” lenguhan Sastra tertahan. Dirinya mulai mengalungkan kedua tangannya pada leher Nara.

Ciuman Nara pun lama kelamaan turun ke perpotongan leher Sastra. Sastra mencoba sekuat tenaga untuk menahan lenguhannya, namun usahanya seketika gagal ketika Nara mulai menyesap sambil sesekali menggigit pelan lehernya.

Ahhh, Ka–”

Usai meninggalkan jejak keunguan di sana, ciumannya mulai berpindah lagi. Nara sedikit menyibak bathrob yang Sastra gunakan untuk menampakkan bagian atas Sastra.

Ah, itu.. lain kali tolong ingatkan Sastra untuk segera memakai pakaiannya.

Nara mengusap collarbone milik Sastra yang terpampang jelas di hadapannya,

Prettiest,” Bisik Nara sebelum akhirnya melayangkan kecupan kecupan kecil di sana.

Dirasa cukup, Nara mencium kembali bibir Sastra. Sekarang tangan Nara mulai menjelajah di punggung Sastra. Usapannya perlahan, tidak terburu-buru, namun cukup membuat tubuh Sastra menegang.

Sesekali Nara remas bokong Sastra dengan jahil, tujuannya untuk mengundang erangan Sastra yang tertahan. Benar saja,

Mmmhh,

Sastra mengunci tubuh Nara menggunakan kedua kakinya yang saling terkait di pinggang Nara. Otomatis jarak keduanya sudah sepenuhnya lenyap, yang menghasilkan gesekan-gesekan pada bagian privasi mereka.

Nara lepas ciuman mereka, kedua tangannya ia taruh kembali pada bokong Sastra, kemudian mengangkatnya untuk menahan tubuh Sastra yang hendak ia bawa ke kamarnya.

Sebelum itu, Nara bertanya pada Sastra untuk memastikan, “I will stop, sas, kalo kamu ngga mau lanjut.”

Go ahead.” pintanya.

Are you sure? Aku beneran ngga mau maksa kamu..” tanya Nara sekali lagi yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Sastra.

Selanjutnya tanpa pikir panjang Nara membawa Sastra ke kamarnya dengan cara menggendongnya seperti koala.

Nara menyenderkan tubuhnya pada headboard nya, “Come, sit on my lap.” suara Nara memberat.

Sastra menurut, ia langsung duduk di pangkuan Nara. Kali ini Sastra-lah yang memagut bibir Nara terlebih dulu.

Sedang tangan Nara tidak tinggal diam – tangannya perlahan mulai melepas ikatan tali pada bathrob yang dipakai Nara.

Tak mau kalah, Sastra juga melepas kaos putih yang dipakai Nara. Jemarinya menyusuri tiap jengkal dada bidang milik Nara dan berhenti pada tengkuk yang lebih tua.

Keduanya kini saling beradu tatap,

“Cantik, Sastra cantik,” bisiknya sambil menyingkirkan rambut yang menutupi dahi Sastra.

Sastra hanya tersenyum, tatapannya pada Nara jadi tidak konsisten karena pujian yang diberikan Nara, entah untuk yang ke berapa kali.

Kulit tubuh Sastra begitu halus, Nara tidak dapat menahan hasratnya untuk menjamah apa yang ada di depan matanya. Sasaran pertamanya adalah nipple milik Sastra.

Diusapnya bagian tersebut menggunakan ibu jarinya sambil sesekali meremasnya pelan. Sentuhan yang Nara berikan sungguh nikmat, padahal ini baru permulaan.

Mata Sastra memejam sambil mendesis keenakan.

Ahhh, Ka…

“Aku ngga bohong kalo aku bilang kamu beneran seindah itu, Sas, cantik banget.” Entah mengapa pujian ini membakar libidonya. Membuat bagian privasi milik Sastra makin mengeras bersamaan dengan gesekan yang otomatis terjadi karena pergerakan dari keduanya.

Nara julurkan lidahnya lalu menghisap lembut dua buah noktah kecoklatan di depannya secara bergantian. Tangan Sastra pun memegang kepala Nara untuk memberikan rangsangan lebih.

Uhhh–

Sementara bibir Nara masih sibuk di sana, tangan Sastra justru terburu-buru melepaskan celana yang dikenakan Nara.

Isapan Nara pada nipple nya makin menguat, membuat Sastra mendesah lebih panjang,

Hhhng… Taka– Mmmhh..” respon Sastra justru membuat Nara makin liar.

Ia meremat pinggang Sastra, hasratnya tidak dapat ditahan lebih lama lagi. Sastra pun begitu, ia mulai menggoda Nara dengan menekan pinggul dan menggesekkan bokongnya pada penis yang lebih tua. Hal itu menyebabkan Nara sesekali menggeram.

Tanpa aba-aba, Sastra turun dari pangkuan Nara dan tangannya meraba milik Nara yang mulai mengeras.

Ahh… Sas–

Sastra tersenyum jahil, “Mau.. boleh?”

Mmhh– take it, sayang…

Setelah mendapat persetujuan, Sastra menggenggam kejantanan Nara yang tampak kebesaran di tangannya. Ia mulai mengulum sambil sesekali memompanya secara berulang kali.

Tangan Nara mengusap kepala Sastra, sesekali juga ia meremas bokong Sastra yang membuat empunya sedikit terlonjak kaget.

It feels– Ahhh..” Kalimat Nara terpotong ketika penisnya menyentuh tenggorokan Sastra.

Di sisi lain Sastra nampak menggairahkan dengan mulut yang penuh akan kejantanan Nara. Matanya pun terlihat sedikit berlinang air mata karena tindakannya sendiri.

Tangannya lanjut mengurut batang milik yang lebih dua dengan gerakan naik dan turun.

Sastra menyadari bahwa penis Nara semakin tegang dan berkedut, tak lama,

Mmhhh.. Ahhh– Sas, I’m close–

“Gapapa keluarin aja,” kata Sastra sambil terus mengulum penis Nara dengan tempo yang lebih cepat daripada sebelumnya.

Yang lebih muda mengarahkan penis sang dominan tepat di wajahnya,

“Ahh… sastra, sayang– Hngghh” nafasnya terengah-engah setelah pelepasan pertamanya.

Tak ingin mengulur waktu, Nara kembali menautkan bibirnya. Ia sesekali menggoda Sastra dengan menusuk lubang Sastra dengan jari tengahnya. Mulut Nara kembali menyambar kedua noktah coklat milik Sastra yang menyebabkan tubuh Sastra lagi-lagi meremang dengan hebat, seperti ada aliran listrik di dalamnya.

“Gantian sini, aku–”

“M-mau langsung aja…” Pinta Sastra.

“Prep dulu, ya?”

Nara mengambil lube pada laci meja samping kasurnya. Kemudian menuangkannya pada tangannya juga sedikit pada lubang Sastra.

Mereka akhirnya bertukar posisi, dengan Sastra yang berada dibawah Nara sambil membuka lebar-lebar kakinya.

Nara membuat gerakan memutar pada permukaan lubang Sastra. Jarinya sesekali masuk kemudian keluar lagi. Nara ingin melihat Sastra yang tampak putus asa di depannya.

“Ka, please, please...

“Hahaha, iya, sabar.”

Akhirnya Nara mengarahkan jari tengahnya keluar masuk lubang Sastra yang sudah berkedut sedari tadi. Lelaki dibawahnya itu mendesis tak karuan sambil memejamkan matanya.

“Ketat banget, Sas..” Nara menambah satu jari lagi untuk masuk, “Aku tambah, ya, biar cepet.”

Ahhhh… Ka, Shhh– more please,

“Mmm, apanya?”

“Cepetin lagi sedikit,”

Nara menuruti permintaan kekasihnya itu. Selagi ia sibuk di bawah sana, tak sengaja jarinya menekan sweetspot yang membuat Sastra terbelalak kaget,

Mmhhh, right there– Ka.. – AHHH” Jari Nara dengan sengaja menekan lagi titik nikmat sang submisif, yang menyebabkan Sastra mendesah sedikit lebih keras.

Lalu Nara mulai memeluk Sastra sambil berbisik, “Pretty pretty Sastra. You look super cute,” kemudian mencium belakang telinga Sastra yang lumayan sensitif.

Shhh.. stophh teasing me!” Penis Sastra semakin menegang, siap untuk pelepasan.

“Dikeluarin aja dulu, Sas.” Himbau Nara. Benar saja , Sastra menembakkan cairan putihnya setelahnya.

Nara membuat gerakan menggunting sebagai akhiran, lalu berpesan, “Aku masuk, tahan sebentar, ya, sayang.”

Ia memasukkan penisnya perlahan-lahan. Baru setengah, tapi lubang Sastra terasa sesak karena penis Nara yang berukuran besar itu. Gurat wajah Sastra seperti menggambarkan rasa sakit, Nara sadar akan hal itu, “Sorry, sakit, ya?” Sastra mengangguk lemah sebagai jawaban.

Nara langsung mencium Sastra sebagai distraksi sambil mendorong penisnya masuk. Saat penisnya masuk dengan sempurna, ciuman mereka terputus.

Shhhh– Aw.. Mmhhh.. Taka–” “Tell me when youre ready, okay..

Selagi Sastra biarkan lubangnya beradaptasi sejenak, ia menarik tengkuk Nara untuk menciumnya lagi. Lidahnya berhasil melesak untuk mengabsen deretan gigi sang dominan.

M-move… please..

Mendapat aba-aba, Nara langsung memompa kejantanannya keluar masuk lubang Sastra,

Ahhh– sempit banget, Sas.. Mmmhh..” racau Nara saat penisnya dijepit kuat oleh lubang sang submisif.

Nara memaju mundurkan kejantanannya sambil terus mengurut milik Sastra yang mulai menegang kembali. Tangannya yang lain ia gunakan untuk mengusap peluh di dahi Sastra– kemudian meraih tangan Sastra untuk mengunci jemari mereka bersamaan.

Lidah yang lebih tua kembali menyapu leher jenjang milik Sastra yang sudah terdapat beberapa bercak keunguan akibat ulahnya tadi.

Ia lepas kuncian jemari mereka dan beranjak untuk memilin nipple Sastra.

Ahh… ahhh, Narantaka.. Mmmhhh– faster please..

Mendengar namanya disebut di sela desahan, libido Nara semakin melonjak. Ia percepat tempo hantaman di lubang Sastra.

Lenguhan keduanya tak tertahankan, saling bersahut-sahutan dengan nyaring di dalam ruangan. Bibirnya kembali menyesap nipple Sastra. Sastra merasa dimanjakan dari segala sisi, kepalanya mendongak ke atas, matanya mengerjap berulang kali. Jiwanya seperti diterbangkan ke langit ke tujuh.

Batang milik Nara berhasil menekan prostat Sastra. Sontak, tubuh Sastra mengejang, tangannya meremat bahu yang lebih tua, berusaha mati-matian menahan terjangan luar biasa yang didapatnya.

Ngghh, enak banget, Sas… AHHHH

Mmhhh… Ka, bentar lagi¬– aku keluar..

Lantas Nara mempercepat tempo tusukannya sembari ikut memompa milik Sastra supaya dapat keluar bersamaan.

“Aku keluar di dalem, ya?”

Sastra mengangguk ribut. Setelah beberapa kali tusukan telak pada prostatnya, akhirnya Sastra menumpahkan putihnya yang mengenai perut serta dadanya.

Taka– Ahhhh..

Tak lama, Nara pun menyusul putihnya. Ia keluarkan semuanya di dalam lubang Sastra. Putihnya memenuhi lubang lelakinya, ketika kejantanannya dicabut, spermanya membanjiri paha Sastra.

Napas keduanya terengah-engah setelah pergulatan hebat mereka. Nara jatuhkan badannya di samping yang lebih muda dan mengisyaratkan Sastra untuk mendekat padanya.

Ia mengusap-usap wajah Sastra yang berpeluh sambil sesekali mengecup bibirnya. Dilihatnya kondisi Sastra yang super duper berantakan, dengan mata sayu dan tubuh dipenuhi kissmark.

Ia layangkan kecupan di dahi Sastra dengan penuh cinta, “Masih cantik. Malah tambah cantik hahaha,” Sastra tidak menjawab, ia hanya menyunggingkan senyum sambil menetralkan napasnya.

“Sebentar, ya?” Nara keluar kamar sejenak, lalu kembali dengan membawa handuk kering. Ia mulai mengusap wajah Sastra dengan lembut dan perlahan-lahan. Lalu lanjut ke sekujur tubuh Sastra, terutama paha bagian dalam.

“Mau mandi?” tawar Nara.

“Nanti dulu, capek..”

Setelah dirasa cukup, Nara kembali naik ke kasur untuk mendekap Sastra. Sastra pun menerimanya dengan senang hati.

“Makasih banyak, sayang,” Sejujurnya Sastra masih agak malu, karena sudah lama ia tidak berhubungan badan dengan Nara sejak terakhir kali mereka melakukannya di asrama.

Jadi, Sastra hanya merespon dengan mengusakkan wajahnya pada dada Nara. Nara menyadari tingkah Sastra dan hanya membalasnya dengan usapan usapan lembut pada kepala Sastra.

“Kamu ngga boleh pergi,”

“Kamu juga, jangan jauh-jauh, ya?”

Mereka pun makin mengeratkan pelukannya dan tertidur sejenak.