; Second Chance
// hurt-comfort (?) , angst, bad past, happy ending.
ngga proofread, jadi, mohon maaf kalo ada typo ataupun ada bagian yang agak ngga nyambung :D
kalo tagsnya kurang, tolong kasih tau aku 🙏🏻
Suhu malam ini cukup dingin, namun, hal itu tidak mengurungkan niat Seungmin untuk pergi keluar— untuk sekedar berjalan-jalan sebentar.
Satu kebiasaan Seungmin yang hanya diketahui oleh Jeongin— Yaitu, jika Seungmin merasa sedih dan butuh waktu untuk sendiri, ia akan pergi berjalan-jalan di malam hari dan memutuskan untuk duduk sejenak di ayunan taman bermain yang menjadi langganan kunjungan para anak-anak di sekitar kota pada saat siang hari.
Malam.
Apa yang dipikirkan kebanyakan orang tentang malam?
Pasti keheningan, gelap, sepi, dan sebagainya. Begitu pula gambaran saat ini. Seungmin tetap melanjutkan perjalanannya tanpa takut akan hal-hal yang kebanyakan orang takutkan.
Sembari memikirkan sesuatu yang baru saja dirasakannnya.
Iya,
kembalinya Jeongin ke dalam hidupnya.
Entah itu untuk sekedar meminta maaf atau lainnya. Tetapi bagi Seungmin itu bukanlah hal yang mudah, mengingat sebab perpisahan mereka dua tahun lalu yang sangat konyol dan menyakitkan menurut Seungmin.
-:-
“Seung, aku mau ngomong sesuatu..”
“Hm? kenapa? gimana harinya? tadi kamu pemotretannya lancar kan?”
“Seungmin.”
“Je, kamu ngga serius, kan?”
“Maaf seung... kamu tau, kan? ini impian aku, ini cita-cita aku. Dan agensi punya peraturan.”
Seungmin tahu, Jeongin tidak pandai berbohong.
Seungmin tersenyum getir, “okay, let's break up.”
“Seung, aku minta maaf...”
Ahh... memori sialan itu terus saja berputar. Pikir Seungmin.
Seungmin menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk mengembalikan kesadarannya supaya tidak larut dalam kenangan masa lalunya tersebut.
Aneh memang. Ia enggan mengingat apapun tentang Jeongin. Namun, ia malah sering datang ke tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama sang mantan kekasih.
-:-
Benar, taman bermain itu menjadi saksi segala tentang mereka.
Tawa mereka ketika bertukar cerita saat pulang sekolah,
Perasaan takut mereka yang bertemu diam-diam di sana, karena ayah Seungmin yang overprotective.
Tangis mereka saat mereka lolos perguruan tinggi negeri,
Tangis bahagia mereka saat mereka dinyatakan lolos dari perguruan tinggi,
dan masih banyak lagi tentunya.
Jujur, jika ditanya apakah Seungmin masih menginginkan Jeongin— jawaban satu-satunya adalah mungkin.
Hatinya tidak menarik kartu bertuliskan kata “iya” karena memang dirinya masih ragu.
Ia rindu Jeongin, rindu kenangan di dalamnya.
Tapi, di sisi lain ia membenci sosok laki-laki tersebut.
Seungmin masih berpikir bahwa ini tidak adil. Bagaimana bisa dirinya yang selalu ada untuk Jeongin, tiba-tiba putus dengan alasan yang Seungmin pikir— ia menjadi penghalang kesuksesan Jeongin.
Bukan tanpa alasan Seungmin berpikiran seperti itu. Kata-kata Jeongin sendiri-lah yang bermaksud ke sana.
Lalu dengan itu, Seungmin putuskan untuk melepas Jeongin. Jika Jeongin sudah berpikiran demikian, apalagi yang harus dipertahankan?
Seungmin dudukkan dirinya di ayunan yang biasa ia gunakan untuk duduk sembari bergantian menatap langit dan jalanan kosong.
Bohong jika Seungmin tidak merasa rindu Jeongin jika ia duduk di sini.
Seakan-akan di sini-lah pusat mesin waktu yang terus menerus memutar memori siapapun yang berada di sana.
Seungmin ingin Jeonginnya kembali, namun rasa takut itu terus bermunculan.
“Bagaimana jika jeongin pergi lagi?”
Ia benci dicampakkan.
Sekarang yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan semuanya hanyalah tertunduk sambil menangis.
Di sela-sela tangisannya, Seungmin menyadari sesuatu.
Telinga Seungmin masih berfungsi dengan baik. Ia mendengar suara langkah kaki berjalan ke arahnya.
Seungmin memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
Jika orang jahat, biarlah. Jika hantu, biarlah.
Pikirannya terlalu dipenuhi oleh Jeongin, sehingga rasa takut itu tidak ada apa-apanya.
Ia lanjut menangis tersedu-sedu— masih dengan posisi tertunduk.
Kemudian ia lihat sepatu berwarna cream berada tepat di depan kakinya. Lantas Seungmin langsung mendongak untuk memastikan.
Tidak,
tidak sekarang, Jeongin.
“Seungmin...”
Seungmin menyeka air matanya dan membuang wajahnya ke sembarang arah, asalkan tidak menatap Jeongin.
“What are u doing here?”
“Habis nangis?”
“None of ur business. Please go away.”
Jeongin tanpa ragu bersimpuh di hadapan Seungmin dengan penuh harap, semoga Seungmin tidak menolak permintaan maafnya kali ini.
“Je, please, jangan begini. Kita cuma masa lalu. Biarin gue hidup tenang tanpa lo, Je.”
“Seung, aku minta maaf...”
“Gue udah bilang, kan? gue maafin. So, go fucking away.”
“Seung, sebegitu bencinya kamu ke aku, ya?”
“Iya.”
Jeongin tertunduk menyesal.
Ia belum menyerah, ia bawa tangan Seungmin bertaut dengan tangannya.
“Seung, semuanya sia-sia karena ga ada kamu.”
“Sia-sia apanya? bukannya lo udah dapet semua yang lo mau? lo jadi model terkenal sekarang, lo punya banyak uang, lo punya koneksi di mana-mana.”
“But, it's nothing.”
“— Lo bahkan bisa dapetin pasangan yang setara sama lo, sama karir lo, sama pencapaian lo. Bohong besar, Je, kalo lo mau gue. Dari awal kita putus pun gue tau—” Seungmin berhenti sejenak untuk menarik dalam-dalam napasnya.
“— Gue tau kalo lo ngerasa gue adalah penghalang. Gue tau kalo lo sebetulnya nyari yang setara sama lo. Gue tau semua maksud yang tersirat dari kata-kata lo dua tahun lalu, Je.”
“No, ngga gitu, Seung.”
“Terus maksud lo balik ke gue apa? di awal lo bilang mau minta maaf aja, kan? oke gue maafin. Terus sekarang mau lo apalagi, Je? gue cape.”
Tanpa sadar Seungmin bersuara lantang dengan air mata mengalir di pipinya.
Jeongin mendekatkan tangan yang ia genggam ke dahinya.
“Maaf...” lirih Jeongin.
“Semua yang kamu omongin tentang apa yang aku punya itu emang bener, Seung. Aku punya apapun, aku bisa dapetin apa yang aku mau. Tapi demi Tuhan, semua itu ga ada apa-apanya. Di awal aku merasa oke aja tanpa kamu. Lama kelamaan aku sadar kalo selama ini aku denial. Aku mau kamu, hidup aku beneran kosong, Seung.”
“— Ini mungkin kedengeran konyol dan ga tau diri. Tapi, kalau kamu izinin, apa aku bisa dapet kesempatan ke dua? Aku janji aku ga akan ngulang kebodohan aku lagi. Aku ga akan ngelepas kamu demi ego aku lagi.”
“Je, lo itu cuma kesepian. Bukan beneran cinta sama gue.”
“Aku harus bilang kaya gimana lagi Seung biar kamu percaya?”
Seungmin tidak menanggapi dan memilih untuk bungkam dengan tangisnya.
Hati dan pikirannya seakan terbelah menjadi dua sisi berlawanan. Di satu sisi ia senang Jeongin memintanya kembali, dan berpikir untuk menerima Jeongin, lagi. Dan di sisi lain ketakutannya masih mengakar di sana.
Seungmin lepas genggamannya dari Jeongin. Kedua tangannya ia gunakan untuk menyeka air matanya. Namun, segera ditarik dan digantikan oleh tangan Jeongin.
Jeongin mengusap pipi Seungmin lembut, sembari menyeka air mata Seungmin yang terus menerus mengalir.
Jeongin bersumpah, ini akan menjadi yang terakhir. Jika Seungmin menolaknya lagi, maka ia akan benar-benar menyerah atas Seungmin dan melepas Seungmin dengan apa yang membuatnya bahagia.
“Maaf.. maaf..” Ia tak henti hentinya merapalkan kata maaf. Bedanya, kali ini ia beranikan diri lagi untuk membawa Seungmin ke dalam dekapannya.
“Maafin aku...”
“Lo jahat je,”
“Iya...”
“Jeongin brengsek,”
“— Lo gatau seberapa susahnya gue buat lupain lo selama ini. Bahkan saat lo beneran hilang dari kehidupan gue, itu ga cukup buat gue lupain lo, Je.”
“— Gue benci sama diri gue sendiri yang ngga bisa benci sama lo.”
“— Gue benci banget buat ngaku kalo gue ternyata bener-bener jatuh cinta sama lo sebegitu dalamnya.
Kenapa, Je? kenapa lo balik lagi? lo seneng? lo tau kelemahan gue yang selalu ngga bisa nolak lo? Je, jangan bikin gue bingung tentang apa mau lo, apa maksud lo, apa tujuan lo dateng lagi ke gue.
Jangan mainin perasaan gue, Je... tolong...”
Seungmin makin larut dalam tangisnya, dadanya sesak, tangisnya kian mengeras.
“Aku ga maksud, Seung... aku janji, ini terakhir kalinya aku minta kamu buat balik ke aku. Buat mulai semuanya dari awal.”
“Jahat... gue benci sama lo.” Ucap Seungmin pelan.
Pelukan Jeongin terbalaskan— tangan Seungmin perlahan-lahan melingkar pada pinggang Jeongin. Kepalanya ia sandarkan pada dada bidang lelaki di depannya.
Berharap Jeongin tahu maksudnya,
bahwa masih ada kesempatan kedua untuknya.
Tidak lebih.
Jeongin berbisik, “Aku janji...” kemudian melepas pelukan mereka.
Tangannya beralih untuk menangkup wajah Seungmin.
Menatap dalam-dalam wajah sosok di depannya.
Mata yang membengkak,
Hidung yang memerah,
Dan pipi yang masih basah akan air mata.
Masih cantik, pikir Jeongin.
-:-
Setelah puas menatap wajah Seungmin— Jeongin menahan tengkuk Seungmin.
Membawanya ke dalam ciuman yang lembut dan tidak terburu oleh nafsu.
Seungmin kaitkan tangannya pada leher Jeongin sembari perlahan-lahan membalas ciuman Jeongin.
Seungmin dapat merasakan bahwa Jeongin tengah tersenyum di sela-sela ciumannya.
Jeongin lepas sejenak tautan bibirnya, dan bertanya untuk memastikan, “So, yes?”
Seungmin mengangguk malu-malu, ia memilih cara tersendiri untuk menjawab pertanyaan Jeongin.
Dengan kembali melumat bibir Jeongin-nya.
Seungmin rindu ciuman ini. Ciuman yang dahulu selalu Jeongin berikan di sela-sela waktunya.
Candu.
Memabukkan. Bahkan alkohol pun kalah.
“I miss u, Je. Tolong jangan pergi lagi.”
“I will never.“
— fin.