— angkasa pukul tiga pagi

tags! lowercase, kissing, selfless, mention of suicide

pukul satu lewat dua puluh lima menit— bintang tengah melajukan kendaraan roda empat kesayangannya menuju langitnya.

memang... terlalu berisiko untuk melajukan kendaraan pada dini hari. tapi, apalah arti risiko jika rasa sedih yang tengah langitnya rasakan lebih besar daripada risiko itu sendiri.

bintang.

orang bernama bintang itu selalu saja ingin hadir di samping langitnya.

'kenapa?'

“entah” — pasti bintang akan berkata demikian. karena, bintang pun tidak butuh alasan mendetail untuk selalu berada di samping langitnya.

bintang hanya ingin. katanya.

iya.

ingin menjadi sandaran ketika langitnya mendung, ingin langitnya tidak merasa bahwa ia sendirian, ingin selalu melihat langitnya, dalam keadaan apapun. dan masih banyak ingin-ingin yang lainnya— yang bintang rasa tidak perlu dijelaskan. karena, apa guna penjelasan kalau tidak disertai pembuktian? — ah! benar, untuk kalimat penenang, tentu saja.

“untuk apa kalimat penenang, jika suatu saat kalimat penenang itu justru akan menjadi sumber keraguan orang yang diberi kalimat penenang. itu sama saja kau kerja dua kali.” kira kira begitu kata bintang jika ia mendengarnya.

itulah prinsip bintang. hmm.. yang ini juga masih katanya. tapi, mari kita coba untuk percaya bahwa ini memang benar prinsipnya. semoga.

kurang lebih 20 menit perjalanan sudah bintang tempuh. kini, ia berada di halaman rumah yang dituju, ia keluar dari mobil untuk menyambut langitnya dengan pelukan.

“hei love, u okay? ahhhh u are not. i know it.” kata bintang sambil memeluk langitnya.

“ish! kebiasaan, suka nyimpulin sendiri.”

“no denial, langit.”

“okay okay, i admit it. so.. can we just.. go? please?”

“hahaha iya ayo.”

sepanjang perjalanan, bintang melihat kegelisahan langitnya. dapat dilihat dari kakinya yang tidak bisa diam, nafas yang ditarik dalam dalam, dan jari yang digigit.

ya, itu kebiasaan langit saat gelisah. bintang selalu tau hal apapun mengenai langitnya. sebut saja sudah di luar kepala.

tentu, tangan kirinya tak tinggal diam— hanya butuh waktu kurang dari satu menit untuk menggenggam erat tangan langit. tentu disertai dengan kalimat tanya untuk memastikan.

“sky..”

jangan tanya kenapa bintang memanggil langit dengan nama yang berbeda-beda seperti langit, love, dan sky. nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil nama yang telah bintang lontarkan ke langitnya. karena sesungguhnya bintang mempunyai sejuta nama panggilan untuk membuat langitnya merasa senang.

“sky... kamu kenapa? kenapa keliatan gelisah? ada sesuatu? mind to tell me? hm?”

“it's nothing, babe. aku cuna kepikiran mimpi buruk aku belakangan ini.”

“love, coba tebak, kalau aku punya kesempatan untuk dikasih superpowers, aku bakal pilih apa?” tanya bintang seperti mengalihkan.

“terbang! waktu itu kamu bilang kalau kamu mau jelajahin angkasa sama aku. katanya kamu mau bawa aku liat bintang.”

“betul! tapi, sekarang udah ganti..”

“yahhhh kenapa? kamu udah ga mau ke angkasa sama aku, ya?” ucap langit memelas.

“untuk sekarang aku lebih mau ngerasain apa yang kamu rasain, a-atau seengganya aku mau baca pikiran kamu. aku ngga mau kamu timbun semuanya sendiri. soalnya kamu orangnya susah kalau disuruh cerita, nyebelin kamu tuh.” sahut bintang sambil mengecup ringan bibir langit.

ditatapnya mata langit, dilanjut dengan kecupan kedua yang kelamaan menjadi lumatan ringan.

tenang, itu tidak berlangsung lama, mengingat posisi bintang yang sedang berkendara.

“tiba-tiba banget?” tanya langit.

“itu mantra, biar nanti bibir kamu mau terbuka untuk cerita ke aku.”

“bisa aja, bilang aja kalau kamu kangen.”

“ya itu juga sih..”

mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit— dengan percakapan ringan yang bintang buat untuk mengalihkan kegelisahan langitnya.


“yeay sampai!!” ucap langit bersemangat.

tiba-tiba bintang mengambil posisi seperti mengikat tali sepatu dengan lutut sebelah kanan sebagai tumpuan.

“naik sini, aku gendong sampai atas.”

“ngga mau ah, kamunya kasian, capek. ayo jalan aja.”

bukan bintang namanya kalau tidak memaksa. bintang ambil paksa tangan langit supaya berpegangan pada pundaknya. bukan, bukan gendong ala ala tas anak sekolahan yang berada dipunggung. melainkan gendongan koala yang saling bertatapan.

“hahaha tuh kan! udah aku tebak pasti kamu maksa— oke karena aku udah terlanjur naik, jadi, tolong ya pak bintang, kalau udah capek gendong langit, langitnya diturunin aja.” kata langit sambil tertawa kecil.

“siap, pak langit! laksanakan!”

keduanya menuju atas bukit dengan gelak tawa— yang lagi lagi bintang buat.

alasannya? ahh kau pasti sudah tau.

“udah, yuk turun.”

“terimakasih pak bintang!” seru langit sambil membungkuk.

“sama-sama, sayang.”

“nih, minum dulu— aku berat ya? hahaha.” ucap langit sambil menyodorkan botol minum.

bintang mengambil botol berisi air yang disodorkan langit, “lebih berat kemarin ngga ketemu kamu seminggu, sih.. sejujurnya.”

“gombalnya lancar ya sayang..”

mereka menggelar kain untuk duduk, juga untuk merebahkan diri dibawah gemerlap bintang-bintang, tak lupa angin malam yang menyegarkan juga ikut ambil bagian dalam 'perjalanan' yang akan ditempuh keduanya. setidaknya untuk beberapa jam kedepan.

“kepala kamu taruh paha aku, kamu tiduran aja, kalau ngantuk tidur, gapapa. aku bawa selimut.”

“kaya mau nginep aja kamu.”

“aku soalnya bawa bayi”

“bintang!”

cup

“ini bibirnya udah mau cerita belum?”

“belum, kayanya kalau dicium lagi bakal—”

bibir bintang mendarat tepat diatas bibir langit— memotong kalimat yang ingin langit ucapkan walau sudah tertebak.

bintang tahan tengkuk yang lebih muda untuk memperdalam ciumannya. ciuman dengan tempo perlahan yang sengaja dibuat tanpa nafsu untuk menyalurkan rasa sayang keduanya.

langit memutus ciuman itu terlebih dulu karena ketersediaan oksigennya menipis.

“aku sayang kamu.” ungkap langit.

“i love u more.”


setelah perbincangan ringan antara keduanya, atau sebut saja basa basi untuk membuka perbincangan utama— akhirnya langit pun bersuara.

“bintang, am i deserved to be loved this much?”

“oh c'mon babe, why are you asking that? of course you are deserve to be loved. that much. you really deserve it.”

“then why do they keep saying that i don't deserve you?”

“who's that?”

“minggu lalu aku ke kantor kamu, kamu inget 'kan? terus sebelum aku pulang, aku ke toilet sebentar. aku denger seseorang— entah itu atasan kamu, bawahan kamu, temen kamu, aku ngga kenal— tapi yang jelas mereka bilang kenapa kamu mau sama aku, padahal banyak cewe atau cowo yang ofc lebih baik dari aku. then, masalah kerjaan. akhir akhir ini banyak tekanan di kantor, itu yang bikin aku mikir jauh belakangan ini. tolong jangan marah, aku minta maaf.” jelas langit dengan air mata yang perlahan turun ke pipinya.

“love, no u don't even need to say sorry. aku ngerti, ngerti banget kalau hal itu bikin kepikiran, dan itu wajar. karena kalaupun aku di posisi kamu, aku bakalan pikirin hal yang sama. aku ngga tau spesifik gimana pemikiran kamu tentang itu sejauh apa, tapi apa kamu sampai mikir kalau kamu mau putus sama aku? kalau iya, aku minta maaf atas nama rekan kerjaku, aku minta maaf kalau aku belum bisa kasih yang terbaik buat kamu, aku minta maaf kalau aku terkesan maksa, aku minta maaf kalau aku belum cukup meyakinkan kamu. aku minta maaf untuk apapun itu, tapi tolong buang jauh-jauh kalau ada pemikiran tentang putus sama aku. a-aku gatau, langit. sebut aja aku berlebihan, lebay, atau apapun itu. tapi aku beneran ngga bisa bayangin kalau aku jauh dari kamu, apalagi ngga ada kamu.”

langit merubah posisinya dari yang semula rebahan menjadi duduk— perlahan ia dekatkan tubuhnya, ia bawa bintang kedalam pelukannya.

“bintang, maaf, maafin aku. aku ngga maksud untuk bikin kamu merasa kaya gitu. jujur, memang sebelumnya aku ada pemikiran kaya gitu, tapi aku ngga mikir sejauh itu untuk merealisasikan pemikiran bodoh aku. akupun sama takutnya sama kamu. aku ngga ninggalin kamu karena aku percaya sama kamu. maaf kalau aku bikin kamu merasa ngga dipercaya, tapi, demi apapun aku taruh 100% kepercayaan sama kamu. tapi entah kenapa belakangan ini aku terlalu takut untuk cerita ke kamu, bintang. bukan takut ngga didengar, tapi aku takut nyakitin kamu.”

“aku bakalan lebih sakit kalau aku tau kamu simpen semuanya sendiri, langit.” bintang menghela nafasnya sembari menepuk pelan kepala langitnya.

“aku ngga tau harus kaya gimana lagi. akhir akhir ini aku ngerasa kalau apapun yang aku lakuin selalu salah, aku takut memperburuk sekitar, aku ngga bisa apa-apa, aku lupa caranya percaya diri lagi, bintang.”

“mulai dari awal. mulai pelan-pelan. believe in yourself disetiap langkah yang bakalan kamu ambil, just do it, disukain atau ngga belakangan. asal kamu udah ngelakuin itu dengan baik, aku yakin kedepannya banyak hal baik juga yang bakalan kamu terima.”

“aku juga takut, bintang. rasa takutku rasanya kaya berkembang, bahkan ke hal yang ngga relate sama pemikiranku sebelumnya.”

“dilawan juga secara perlahan, ngga semua hal bisa diatasi dengan buru-buru. beberapa hal emang perlu pakai langkah hati-hati. be gentle of yourself, ya, langit? aku bakal terus bantu kamu.”

“aku takut kamu ninggalin aku..”

“w-what?! i mean... kenapa kamu mikir begitu?”

“aku selalu nyusahin kamu, bahkan untuk menghandle diri aku sendiri aja aku ngga bisa. aku terlalu bergantung sama kamu, a-aku..” ucapan langit menggantung, tergantikan dengan suara isak tangis yang begitu saja keluar dari dirinya.

kembali, bintang peluk erat tubuh itu, berharap jiwa yang tengah bersusah payah berdamai dengan dirinya sendiri itu melihat betapa seriusnya perkataan bintang kala itu. “itu gunanya aku, aku disamping kamu untuk temenin kamu, bukan untuk ngebiarin kamu sendirian hadapin semuanya. langit, its okay to feel sad, its okay kalau kamu butuh seseorang sama kamu, itu wajar.”

“tapi, bintang... aku bukan tanggung jawab kamu. bukan tanggung jawab kamu untuk selalu pastiin bahagiaku.”

“memang bukan, seengganya untuk sekarang. nanti pun kamu bakalan jadi tanggung jawab aku, lagipula aku udah janji. aku janji sama diri aku sendiri sejak hari itu untuk selalu ada buat kamu meskipun kamu ngga minta.”

“s-sejak itu? when?”

“kamu inget? when i felt bad for myself, when i want to give up, when i want to end it all. di jembatan itu, waktu aku capek sama semuanya aku mutusin buat bunuh diri, tapi tiba-tiba kamu dateng dengan sejuta kata-kata yang bikin aku mau bertahan, yang bikin aku nyoba buat survive. kamu balikin semua rasa yang padahal waktu itu semuanya udah hilang. percaya diri, semangat, merasa dicintai, merasa berharga, merasa pantas untuk hidup— rasa yang seperti itu udah hilang, tapi kamu berhasil bawa kembali semuanya ke aku.”

“— dan.. aku cuma mau ngelakuin hal yang sama ke kamu. jangan pikir kalau aku ngelakuin ini hanya untuk balas budi. aku akui, awalnya memang iya kalau aku ngelakuin ini untuk balas budi, tapi ngga berlangsung lama. nyatanya aku malah berakhir jatuh cinta sama kamu, sejak itu aku ngelakuin semuanya tulus buat kamu, aku ngga nyesel jatuh cinta sama kamu saat itu. aku cuma nyesel kenapa aku ngga bisa buat kamu ngerasain hal yang sama—yang kamu buat untuk aku.”

“b-bintang...”

“m-maaf, maafin aku.”

“bintang, aku minta maaf, aku minta maaf kalau aku terkesan ngga hargain kamu, aku minta maaf karena aku, kamu jadi ngerasain itu semua, aku minta maaf, bintang. aku sayang sama kamu, tolong jangan berpikiran kaya gitu, tolong juga jangan nyerah sama aku, kamu bisa cerita ke aku kapanpun kamu butuh. aku juga mau jadi tempat kamu pulang, tempat kamu bersandar.”

“aku ga akan pernah nyerah sama kamu. dari awal kamu udah jadi tempatku pulang. kamu jangan khawatirin itu, aku janji sama kamu, sama diri aku sendiri.”

perbincangan berat itu pun berakhir pada pukul empat.

semua penyebab langitnya sedih, sudah bintang ketahui. semua hal yang langitnya takutkan sudah bintang dengar. untuk selanjutnya, bintang sudah tau apa yang harus ia lakukan nanti, kalau hal yang dirasakan langitnya kembali muncul.

karena sejatinya kunci dari itu semua hanya saling percaya dan tetap menjaga arus komunikasi satu sama lain.

disaat langit tengah terlelap— bintang tetap terjaga.

“pikiran kamu akhir akhir ini ternyata seberat itu, ya? harusnya kamu bagi beratnya ke aku dari awal. dengan itu 'pundak' kamu ngga akan kesakitan nanggung semuanya sendirian. langit, aku mau kamu tau, kalau kamu, aku, dan siapapun itu berhak untuk ngerasain yang namanya bahagia. juga, tolong lebih cintai diri kamu sendiri, karena— mau berjuta juta rasa cinta yang aku kasih ke kamu— kalau kamu ngga cinta sama diri kamu sendiri, semua ngga ada artinya. dan terimakasih juga karena udah bertahan sejauh ini sama aku. “ bisik bintang ditengah lelapnya langit— sambil menatap wajahnya dalam-dalam.

— fin. ©rigeleo