rigeleo

— “I love you since day one, Var.”

tags: cigarettes, smoking, overthinking, family issues, mention of screaming, mention of cheating, cheating, broken home, mention of divorce, divorce, despair, trauma, mental issue/mental illness, mention of sex, mention of drunk, harsh words, mention of degradation kink, mention of kiss, kissing, make out, slight of moan, implied sex/reference to sex (?), trust issue, hurt/comfort


Sekarang, waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Berbekal senandung kecil untuk menemani malamnya, Raja melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota. Walaupun konon katanya ibu kota tak pernah beristirahat, tapi malam ini yang Raja rasakan hanyalah kesunyian panjang. Terpaan angin yang merambah masuk lewat celah kaca yang sengaja ia buka itu secara tak karuan mengenai wajahnya, meniup helai demi helai surai hitam milik pria tersebut. Namun hal itu nampaknya bukanlah masalah besar bagi Raja—ia justru menyukainya.

Pria yang tengah mengemudi itu menurunkan laju mobilnya dan mulai menjamah bangku penumpang guna mencari ponsel yang ia letakkan dengan sembarang sebelumnya. Tindakannya itu menyebabkan mobilnya sedikit oleng, yang tak lama memicu sopir truk di belakangnya untuk membunyikan klakson. Sontak saja Raja langsung kembali ke posisi awal dan mulai menepi sejenak.

Jemarinya itu meraih ponsel yang posisinya sudah hampir jatuh dari bangku, kemudian memasukkan pin angka yang diketahui merupakan tanggal ulang tahun temannya; Alvaro. Ia menatap layar ponselnya selama sepersekian detik, dengan layar yang menunjukkan room chatnya dengan Alvaro. Dapat ditebak bahwa Raja tengah ragu, ingin sekali rasanya ia menekan tombol panggilan tersebut.

Namun alih-alih menekan tombol tersebut, Raja justru mengetuk ikon profil milik Alvaro—menampilkan sebuah foto seseorang dengan senyum manis yang akan mengundang siapapun yang melihatnya. Begitu juga Raja. Bak menemukan oasis di padang pasir, ia hanya bisa tersenyum lebar dan mulai bergegas untuk meraihnya, walaupun ia tau ini tidaklah benar.

Untuk mengusir tanya dan ragunya, Raja menyalakan pemantik guna membakar batang tembakau di sela jemarinya itu. Berharap supaya ragunya ikut terhempas bersama asap yang mengepul.

“Var, gua tau hubungan kita selama ini bukan hubungan yang wajar antar teman, dan gua tau ini ngelanggar janji kita. Tapi di sisi lain gua juga tau kalau perasaan gua buat lu kali ini ngga salah. I love you since day one, Var.” Gumam Raja dalam hati. Kemudian ia menginjak pedal gas dan mulai kembali melajukan kuda besi kesayangannya.


Di dalam apartemen yang hangat, di atas ranjang empuknya, Varo merebahkan diri. Dalam usahanya memikirkan tingkah Raja yang tadi tiba-tiba saja berubah menjadi serius, ia biarkan pikirannya berlarian kesana kemari— memutar kembali memori bagaimana awal pertemuan dirinya dengan Raja; hingga membawa ingatan tentang bagaimana hubungan ini bermula.

Lima tahun yang lalu, Varo merupakan sosok yang periang dan hangat. Anak itu bahkan mendapatkan banyak julukan—cenderung pujian; atas kepribadiannya yang baik. Namun, Varo tiga tahun yang lalu tidaklah sama dengan Varo dua tahun yang lalu. Tidak; sampai saat di mana ia dihadapkan dengan suara bentakan dan teriakan yang bersahut-sahutan di lantai bawah—di ruang tamu rumahnya.

Hanya dalam kurun waktu satu tahun, ia melihat keluarganya perlahan-lahan hancur. Dalam kurun waktu satu tahun keadaan itu mengubah sifatnya, senyumnya, bahkan segalanya. Ia dipaksa untuk tau alasan dibalik itu semua.

Sakit.

Sesak.

Semua hal yang Varo kira baik-baik saja, ternyata tidak. Semua permasalahan yang orang tuanya sembunyikan itu bak bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Selama ini, sosok ayah yang selalu ia puja-puja itu ternyata tidak sepatutnya ia puja. Ayahnya berkhianat. Kejadian yang tidak pernah Varo bayangkan akan menikam keluarganya ini pada akhirnya terjadi. Ia kira hanya sampai di sana, ternyata ada fakta lain; ibunya pun sama-sama berkhianat.

Dada Varo seakan dihantam secara berturut-turut kala mengetahuinya. Walaupun pada waktu yang sama, ibunya menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena ayahnya yang lebih dahulu melakukannya, tetapi bagi Varo semuanya terlihat sama. Toh, pada intinya mereka berkhianat, tak peduli siapa yang memulai.

Puncaknya adalah pada saat semua orang sudah pergi menuju lelap mereka setelah menghadapi hiruk pikuk hari itu. Sementara, saat Varo berusaha jemput lelapnya pula, tiba-tiba terdengar suara bentakan itu lagi; masih samar karena memang baru permulaan.

Varo bahkan menyaksikan bagaimana suara yang bersahut-sahutan kian lama kian menggelegar bak petir yang menyambar. Tidaklah Varo hiraukan, karena topiknya setiap hari masih kurang lebih sama. Namun usaha tak acuhnya itu seketika runtuh kala rangkaian kalimat terucap dari bilah bibir ayahnya.

“Besok saya urus surat cerainya, biar kamu ngga berisik.”

Pertahanan Varo seketika hancur. Rasa optimis dan banyaknya harapan yang ia taruh di setiap doa paginya itu runtuh dalam sesaat. Walaupun dalam hatinya, ia sudah memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi Varo masih enggan percaya.

Malam itu juga, di bawah bayang-bayang kekalutan; secara utuh ia berubah.

Siapakah Varo si anak periang dan hangat itu?

Yang ada kini hanyalah Varo yang ketus dan dingin. Varo yang haus akan rasa kuat, Varo yang enggan dianggap hancur, dan Varo-Varo lain yang bukan semestinya.

Dengan jantung yang riang bergemuruh, ia pergi untuk daratkan tapak kakinya di tempat lain; di tempat yang ia harap-harap dapat memutus memori yang ada.

Diparkirkannya mobil dengan cat legam yang mengilap akibat pantulan lampu itu. Dibukanya kaca mobil itu—dihirupnya dalam-dalam udara kebebasan yang perlahan masuk. Kemudian ia salurkan hasratnya untuk menyesap batang nikotin yang selama ini enggan ia sentuh jika tidak dalam situasi 'darurat.'

Dua batang hangus sudah; menjadi abu yang kini terbang bersama sang angin. Varo iri; ia harap dirinya bisa menjadi layaknya abu dan ikut menari bersama tuan angin—atau haruskah ia menjadi abu yang sesungguhnya?

Saat ia biarkan pikirannya lepas, tiba-tiba saja seseorang mengetuk kaca mobil yang ia sisakan separuh itu. Varo pun menurunkan kaca mobilnya; membiarkan tatap mereka bertemu.

Laki-laki yang berada di luar mobil itu tidak bisa dibuat lebih terpukau daripada ini—ketika sepasang mata masing-masing mulai beradu. Rasa kagumnya meledak sempurna. Gairahnya untuk serukan kata “cantik” tak tertahankan. Perpaduan wajah lugu disertai pipi dan hidung yang memerah akibat udara dingin, ditambah lagi mata yang sembab; membuat laki-laki asing itu ingin gaungkan banyak pujian.

Belum sempat ia berseru, Varo mulai menginterupsi tatapannya dengan lambaian tangan. Lamunannya seketika pecah; digantikan dengan sebuah perkataan konyol.

“Oh, glad then. Gua kira, lu abis mabok terus lagi—”

“Apa? Lu kira gua ngewe di parkiran?” Kata Varo tegas. Hal itu mengundang tawa sekilas dari lawan bicaranya.

Laki-laki itupun mengangguk; menyetujui perkataan Varo barusan, “Ya... gitu dah. Soalnya kadang—eh engga, sering! Ada yang begitu. Padahal di dalem juga ada room,” ucapnya sebelum akhirnya menyodorkan tangannya untuk berjabat dengan Varo. Secara natural, milik Varo tergerak untuk raih tangan dingin laki-laki di depannya.

“Gua Rajendra, biasanya dipanggil Raja. Oh iya, berhubung lu di sini, pasti mau minum, kan?—Eh, apa udah minum? Tapi kayanya belum, sih. Ngga kaya orang mabok soalnya,” Laki-laki itu bermonolog; membiarkan Varo terdiam kebingungan karena belum sempat menguraikan jawaban yang sudah di ujung lidah itu, “Mata lu sembab banget, lu lagi sedih, ya? Ada masalah? Gua asumsiin kalo lu ke sini mau mabok, kan? Kalo iya, abis ini masuk aja. Kebetulan lagi shift gua, kali aja lu butuh temen cerita, nanti cari gua aja di dalem—dan... oh iya! Hari ini ada diskon.” Lanjut pria yang barusan. Pria itu kemudian melengang masuk, meninggalkan Varo dengan sejumlah kata yang tercekat di tenggorokan.

Memang, sih, tujuannya datang ke bar malam ini tak lain adalah untuk minum-minum. Dengan harapan, semoga saja setelah ini masalahnya dapat terlupakan sejenak.

Satu batang lagi sebelum ia memutuskan untuk masuk. Di sela asap yang berhembus dari mulutnya, samar-samar ia lihat notifikasi tiada henti di layar ponselnya. Ia pilih untuk abaikan belasan notifikasi yang muncul secara bergantian itu. Alasannya sudah dapat ditebak.

Kendati kedua orang tuanya memohon supaya ia pulang, Varo tetap bulat pada pilihannya. Pikirnya, untuk apa ia pulang, jika isinya saja sudah tak lagi sama? Untuk apa ia kembali, jika yang ia rasakan hanyalah kekosongan belaka?

Di lain sisi, beruntungnya ia terlahir dengan sendok emas di tangan. Ia tak perlu khawatir perihal di mana ia akan tidur malam ini jika ia kabur dari rumah; akan makan apa esok jika ia menjauhi kediamannya?

Di perjalanan menuju bar, semua telah Varo pikirkan matang-matang. Ia berencana untuk bermalam—bahkan pindah; ke apartemen yang merupakan hadiah dari sang ayah di hari ulang tahunnya yang ke-22. Saat itu ia tak berpikir banyak, ia hanya menerimanya tanpa ada niat untuk menghuninya. Toh, ia punya rumah yang hangat, dan semua yang ia perlukan—orang tuanya—ada di sana.

Namun, siapa sangka? Kini ia baru mengerti maksud sang ayah memberikan tempat tinggal baru untuknya.

Singkatnya, itulah awal pertemuan dirinya dengan Rajendra.

Sedangkan, awal yang sesungguhnya ada di sini. Saat keduanya berada di suatu ruangan berpencahayaan minim; ditemani suara denting botol dan gelas kaca yang beradu.

Terhitung sudah satu setengah tahun—sejak pertama kali bertemu—mereka mengenal satu sama lain. Oleh sebab itu, sekarang mereka bisa makan bersama; walaupun hal ini sudah lumrah mereka lakukan sedari lama.

Raja memang sering diminta untuk menemani Varo—dalam artian yang sebetulnya—di apartemennya. Bahkan ketika tidak diminta, ia tetap rutin menyambangi kediaman Varo. Mengingat bahwa ia tau, kalau kondisi mental Varo belum stabil pasca kejadian hari itu.

Oh, dan benar—Raja sudah mengetahui cerita Varo tepat di hari mereka bertemu, setelah Varo memutuskan untuk memijakkan kaki di bar tempat Raja bekerja. Maka dari itu, ia sudah paham betul bagaimana menyikapi Varo dan segala hal yang berkaitan dengannya.

“Gimana, Var, hasilnya? Sorry banget ya, tadi ngga bisa nemenin.” Ucap Raja di sela-sela kegiatan.

Di seberang sana, Varo merasa bingung kenapa laki-laki di depannya itu meminta maaf. Walaupun meminta maaf terdengar wajar, mungkin ini salah satu bagian dari perubahan dalam diri Varo.

“Kenapa minta maaf dah? Kan gua juga ngga minta temenin. Kecuali kalo gua minta temenin, terus lu nya lupa, atau bahkan ngga mau. Baru lu minta maaf.” Jawaban dari Varo masih terdengar membatu seperti biasanya.

Alih-alih menjelaskan maksud perkataan maafnya, Raja memilih untuk mengedikkan bahunya, dan berkata, “Well, just in case.” Sambungnya singkat. Raja memilih bungkam dan menyimpan saja penjelasannya itu, karena mau bagaimanapun ia menjelaskan, Varo akan tetap teguh pada perkataannya.

Padahal, maksud yang ingin Raja sampaikan adalah; ia meminta maaf karena sebagai teman, ia tidak bisa hadir di sana bersama Varo. Tentu saja itu menjadi beban tersendiri bagi Raja, sekalipun Varo bersikeras meminta Raja untuk bersikap biasa saja.

Raja bukan tak sadar jika itu merupakan efek samping dari kejadian yang menimpa keluarga kecil temannya itu; jadi Raja tidak banyak menuntut akan sikap Varo yang seringkali ketus dan dingin.

Bahkan, ia memperlakukan Varo serupa kapas; walaupun sebagian orang menganggap bahwa batu tidak perlu diperlakukan layaknya kapas—karena sejatinya ia sudah kokoh. Padahal nyatanya, menurut Raja; batu yang kokoh sekalipun jika terus menerus diperlakukan kasar, pada akhirnya akan hancur pula.

Namun ada satu malam di mana Raja berpikir keras akan hal itu—akan perlakuannya pada Varo yang bisa saja memantik munculnya rasa-rasa ingin memiliki. Tetapi yang ia maksud bukanlah muncul pada Varo, melainkan pada dirinya sendiri. Ia takut suatu saat nanti, ia tidak bisa menahan perasaannya untuk jatuh cinta.

Maka sekarang, ia coba layangkan tanya ke yang lebih muda, “Var, how do you think about love?” Tanya Raja.

Ada sepersekian detik yang terbuang sia-sia. Hening merayap di antara mereka. Sebenarnya Varo pun bingung, apa jawaban yang paling tepat untuk ini; apa alasan yang paling lazim untuk mempercayai cinta? Pikirnya.

“Ya, gitu deh, intinya gua udah mendingan banget dari yang terakhir kontrol. Jadi ngga usah terlalu dipikirin juga buat lu-nya. Gua gapapa.” Ucapnya.

Sejenak ditatapnya si lawan bicara, Varo terlihat meninjau kembali jawabannya; apakah salah? Sehingga tidak mengundang respon dari yang lebih tua. Ya, walaupun ia tau jelas itu bukanlah jawaban yang diinginkan Raja.

Raja berdiri sambil menenteng botol miras kosong dengan tangan kirinya, sedang tangan yang bebas menyentil dahi Varo. “Gua ngga nanya itu, bego.” Saat Varo sibuk mengaduh, Raja langkahkan tungkainya menuju rak tempat mereka menyimpan persediaan minuman keras itu; mengambilnya satu, kemudian kembali duduk.

Varo kemudian sumringah, tangannya hendak meraih botol berisikan wine favoritnya. “Jawab dulu,” kata Raja, yang kemudian langsung menjauhkan botol itu dari hadap muka si laki-laki dingin.

Varo berdecak kesal, matanya tatap Raja penuh dendam, “Ya, lu mau gua jawab apa, sih?”

“Bego, bego.”

“Katain aja terus,” kata Varo geram. Lumrahnya, orang akan marah jika disebut demikian. Namun Varo hanya menunjukkan raut tak senang, tanpa adanya protes lebih lanjut.

“Degradation kink ceritanya?” Begitu mulut Raja terkatup, tiba-tiba Varo mendorongnya ke belakang; hingga Raja jatuh terduduk di atas sofa. Kendati posisi mereka lumayan canggung, namun Varo belum menyadarinya; hingga Raja tarik-dudukkan Varo dalam pangkuannya, “Gitu doang kesel. Dasar bocah.”

“Ya lagi mulut lu brengsek banget,” decihnya.

Sadar akan atmosfer yang canggung, Varo usap tengkuknya yang merinding; setelahnya ia turunkan sebelah kakinya. Namun belum sempat menapak lantai, kakinya sudah kembali diposisikan ke tempat semula oleh Raja.

Anehnya, tidak keluar satupun kalimat protes dari mulut Varo. Matanya justru tatap Raja polos, seolah menyamarkan maksud tertentu di baliknya.

“Ngga usah jawab yang itu, gapapa. Tapi jawab yang ini, Var.” Varo hanya celingukan sembari tatap penuh ke arah Raja. Perlahan tangan Raja merayap menyentuh bilah bibir Varo yang sedikit membuka. Have you ever kissed someone?

Tatap keduanya bertemu. Debar jantung Varo semakin memburu; bak tau apa yang akan terjadi di antara mereka pada menit selanjutnya. Kemudian dengan cepat ia menggeleng pelan.

“How about we kiss?” Tanya Raja.

Wajah Varo yang sendu nan lugu kala tatap Raja dalam-dalam ini membawa Raja pada memori di mana pertama kali mereka bertukar tatap. Rasanya masih sama berdebarnya; dan payahnya, kali ini Raja tak dapat membendung semua ini kala gelap pada matanya semakin masuk ke dalam tatap si manik kecoklatan di hadapannya.

Meskipun rasanya sudah mustahil ditahan, Raja tetap menunggu jawaban dari Varo. Sayangnya, Varo tidak menjawabnya dengan kalimat persetujuan—melainkan kedua tangannya yang meraih wajah Raja dengan lembut. Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Raja. Deru nafas hangat itu menerpa satu sama lain seiring bibir mereka mendekat.

Gerakan itu kian merapat; bibir yang satu meraup bibir yang lain dengan lembut dan tak terburu-buru. Raja menyesap bilah lembut itu—menikmatinya perlahan; seakan takut habis jika dinikmati dengan tergesa. Rasanya ada sengatan listrik yang menjalar di sekujur tubuh, yang membuat Varo perlahan memejamkan mata.

Ciuman itu kian lama kian menuntut, terlihat dari gerak bibir Varo yang terburu dan tak beraturan. Namun hebatnya, Raja dapat menetralkan ritme permainan itu. Disusupkannya lidah itu perlahan; meskipun Raja sudah berhati-hati, Varo tetap saja kaget dan nampak kesulitan menyeimbangkan gerak Raja.

Tangan Varo yang semula hinggap di tengkuk Raja, kini dialihkan supaya mengalung pada leher yang lebih tua. Peran berganti, kini tangan Raja-lah yang menahan tengkuk Varo. Jari-jarinya sementara bergerak menelusup masuk ke punggung Varo; menyapa kulit dingin yang tidak berbalut apapun selain kaus lengan pendek yang sekarang dikenakan.

Setelah beberapa kali berhenti 'tuk raup oksigen, ciuman itu kian intens. Menyebabkan gerak tubuh Varo tak beraturan; pinggulnya yang maju mundur itu secara tak sadar membangunkan sesuatu di bawah sana. Saat miliknya dan Raja beradu, Varo terperanjat. Ia secara perlahan memutuskan untuk melepas ciuman itu, namun seakan tau maksud Varo; Raja tarik pelan tengkuk itu supaya tidak terlepas. Kali ini temponya sengaja ia percepat, yang menyebabkan lenguhan pertama keluar dari bibir mulut Varo.

“Mmmhh...” Suara itu rasanya memabukkan Raja, telinganya memerah begitu mendengar lenguhan pertama itu disusul dengan lenguhan lain.

Untuk kali ini, Raja-lah yang memutuskan ciuman itu. Membiarkan Varo mengisi stok dalam kantung udaranya yang kian menipis. Selagi menetralkan nafas, Raja tatap wajah Varo yang memerah; mata yang sayup disertai bibir yang membengkak itu nampak apik dipadukan dengan wajah lugu itu.

Tangan Varo merambat dari pundak menuju dada pria di depannya. Merabanya pelan seakan mengisyaratkan sesuatu. Kemudian tangan itu Raja raih pelan; meletakkannya di pipi seraya mengelusnya.

“Ja, lu... mau?”

It's up, sayang.”

“Tapi maaf, Ja. Gua ngga bisa janjiin kalo setelah ini kita bisa punya hubungan layaknya orang pacaran. Lu... paham, kan, kenapa gua belum bisa? Tapi kalo mau sampai sini aja, ngga ap—”

“Ngga masalah, tapi janji sama gua kalo setelah ini kita anggap semuanya kaya biasa. Gua ngga mau jauhan sama lu, Var.” Dengan anggukan sebagai jawaban, dimulailah perjanjian ini; perjanjian yang dibuat Raja pada akhirnya hanya untuk diingkari; perjanjian yang pada akhirnya menjebak dua insan tersebut ke dalam perasaan yang lebih serius.


Sayup terdengar suara pin ditekan, membuat Varo yang semula termenung sedikit kaget. Buru-buru ia posisikan diri layaknya orang yang tengah terlelap, ia tarik selimut tebal itu tutupi setengah wajahnya. Ia lakukan aktingnya itu dengan harapan ia bisa menunda pembicaraan ini, setidaknya sampai esok hari. Namun jantungnya berdegup riang, buat nafasnya sedikit tersengal, ia harap lagi supaya Raja tak menyadarinya.

Begitu masuk, Raja mendapati Varo yang terlelap. Lantas ia melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 2 dini hari. Ia melanjutkan tapak kakinya ke arah dapur; mencuci tangannya, kemudian berdiri di samping ranjang seraya memperhatikan Varo tidur.

Matanya mengamati wajah cantik di hadapnya, dengan saksama ia perhatikan sepasang mata yang terpejam sempurna; juga bibir merah muda yang terkatup erat. Sekilas cahaya rembulan itu membias menerobos masuk lewat permukaan kaca yang tidak tertutup kain itu. Ia tarik gorden berwarna coklat muda itu hingga tertutup sempurna.

Tak lupa, ia betulkan selimut yang tak membalut sempurna tubuh yang selama ini memikul banyak pilu tersebut. Diusapnya surai lembut itu barang sejenak; tangannya menyingkirkan anak rambut yang tutupi dahinya; ia kecup sekali dahi itu dan membiarkan anak rambut itu kembali menutupinya.

Ia dudukkan dirinya pada sofa yang berada persis di kaki ranjang. Nafasnya berhembus kasar; Varo yang sejatinya tidak betul-betul terlelap itu langsung dapat menebak, bahwa Raja tengah dilanda kegelisahan.

Sesekali Raja sesap rokok elektrik di tangannya itu, kemudian ia pijat-pijat pelipisnya. Setelah banyak menimbang, Varo akhirnya mengalah. Ia berpura-pura terbangun dan mengelukan nama pria yang tengah gusar itu.

“Ja?” Mendengar suara itu, lantas Raja bangun dan menghampiri Varo. Ia berjongkok di samping ranjang; menyejajarkan wajahnya dengan wajah Varo.

“Sorry, Var, pasti kebangun gara-gara gua, ya?” Varo menyunggingkan sedikit senyumnya. “Padahal udah gua bilang, gua ngga suka kalo lu minta maaf terus.” Varo angkat tubuhnya untuk duduk, sekilas ia pandangi wajah Raja yang tak nampak seperti biasanya.

“Lu nangis, Ja?”

“Ngaco,” ucapnya sambil mengusap matanya beberapa kali. Terlihat raut kecewa yang dibuat-buat dari wajah Varo, “Yah, kecewa gua. Kirain nangisin gua, gitu...” kata Varo hendak mencairkan suasana. Karena ia benci atmosfer canggung di antara mereka.

Rasa menahan diri itu kian terkikis dengan rasa segera. Jadi Raja putuskan untuk bangkit dari tempatnya dan duduk di depan Varo. Dengan cepat tangannya menyambar tangan kanan Varo; menggenggamnya dengan kedua tangan, seolah tak ingin lepas. Sementara Varo hanya membiarkan Raja berlaku semuanya; ia ingin tau, apa yang berani Raja ungkapkan dari mulutnya.

“Gua emang ngga bisa nepatin janji gua buat anggap semuanya kaya biasa, karena nyatanya perasaan gua ke lu makin lama makin jelas, Var. Tapi ada satu janji yang ngga bakal gua langgar—gua ngga bakalan maksa lu buat nerima gua. Gua cuma butuh jawaban lu sekali aja, Var. Gua sayang sama lu, demi apapun. Bukan karena kita udah pernah main, bukan karena gua gila nafsu, bukan karena gua takut ngga bakalan itu lagi kalo suatu saat kita jauhan. Gua beneran sayang sama lu, Var. Sayang banget; sampai rasanya gua mau gila kalo liat lu sedih karena hal itu, dan gua... gua di situ ngga bisa berlaku banyak. Tolong, Var, gua bakalan terima apapun jawaban lu setelah ini. Juga... terserah kalo setelah ini lu mau pilih buat asing ke satu sama lain. Gua terima.” Jelas Raja; tangannya masih menggenggam erat tangan Varo. Ditempelkannya tangan itu pada dahinya seolah memohon.

Rangkaian kalimat itu sudah Varo perkirakan sebelumnya—sejak Raja mengungkapkan yang 1% itu lewat sebuah pesan. Tak dapat dipungkiri juga, bahwa selama ini Varo pun rasakan yang sama. Kutub es yang bersarang di hatinya kian mencair; tak lain karena ada campur tangan Raja di sana.

Raja terus menyiraminya dengan percikan kehangatan. Es tebal itu pada awalnya tak membuat hatinya bergeming barang sepersen pun. Tetapi hatinya seakan pasrah kala terima banyaknya afeksi yang raja berikan terus menerus. Padahal ia tau, kelamaan afeksi yang ia terima rasanya agak berbeda dari biasanya.

Namun memberontak pun tak sanggup ia lakukan. Jauh di lubuk hatinya, ada rasa-rasa ingin terus dicintai oleh Raja. Maka tidaklah Varo hiraukan ketakutannya itu; ia coba melawan sekuat yang ia bisa.

Sampai pada akhirnya, ia berada di ujung jalan; bergandeng tangan bersama sosok yang tak pernah rela melepas genggam tangannya,

“Ja, lu selalu ada buat sejak hari itu. Gimana bisa lu bilang kalo lu ngga berlaku banyak? Dengan lu nemenin gua aja udah lebih dari cukup. Karena kalo ngga ada lu, entah kapan gua bakalan sembuh, entah sampai kapan gua bakalan mendem semuanya dan entah kapan kesepian itu bakalan hilang,” ucapnya.

Ia usap kedua pipi Raja dengan lembut seraya mendekatkan tubuhnya untuk peluk tubuh kokoh di hadapannya. “Ja, makasih udah bantuin gua buat sembuh. Makasih juga, karena lu gua pelan-pelan bisa percaya lagi; kalau sebenarnya love's still exist. Gua tau kalo trauma gua bukan tanggung jawab lu buat ngejaga, tapi tolong jangan bikin gua mikir kalo lu sama aja kaya ayah gua.”

Raja menggeleng ribut, berusaha untuk membuat Varo paham kalau dirinya tidak akan bertindak demikian. “Ngga, Var, ngga bakalan. Mulai sekarang biarin itu jadi tanggung jawab gua juga, ya?”

Meskipun Raja tak dapat melihat raut wajah Varo, tapi ia dapat rasakan anggukan kecil yang Varo lakukan. “Now, I'm all yours, Ja.”

Di balik sana, Raja sumringah tak karuan. Sangat terasa bahwa pelukannya makin erat mendekap Varo; sesekali ia selipkan kecup pada leher Varo itu. Banyak terima kasih dan pujian ia gemakan di telinga Varo. Terima kasih karena sudah percaya, katanya.

“Alvaro, you're mine, Var! You're mine! I love you. Makasih banyak, Var, makasih banyak.”

— Fin!

With love, R ⟡.·

cw // kiss

Saat pintu kembali dibuka oleh sang pemilik kamar, seketika raut kecewa menghiasi wajah Jisung. “Yah... kok ganti baju?” Ucapnya sambil memperjelas lekukan kerucut pada bibirnya.

“Ngga apa-apa, kalo dipikir-pikir agak over juga. Udah ah jangan nanya terus, ini mau masuk apa ngga?” Jelas Seungmin yang sepersekian detik kemudian membuat Jisung langsung melengang masuk.

Lagi-lagi mulut Jisung enggan terkatup, seakan takjub bahwa kekasihnya mempersiapkan semuanya sedemikian rupa. Kamarnya rapi dan wangi, bahkan rasa-rasanya tak ada jejak debu sedikitpun di seluruh penjuru ruangan. Tak lupa juga benda-benda khas band kesayangan kekasihnya itu turut menghiasi latar—yang Jisung duga akan menjadi background Seungmin saat melakukan fancall nantinya.

“Wah, gila... kamu dekor ini sendiri?”

“Sama siapa lagi emangnya?” Kata Seungmin sembari berkaca.

“Kok ngga minta bantuin aku juga?” Balasnya cepat sebelum melanjutkan room tour nya.

Seungmin betulkan sedikit riasan tipis pada wajahnya—masih enggan menjawab pertanyaan Jisung di seberang sana. Jisung yang tersadar bahwa tak ada jawaban dari Seungmin pun memulai protesnya, “eh jawab aku!”

Seungmin hela napasnya dan melirik ke arah kekasihnya lewat pantulan cermin, kemudian menggeleng sekilas.

“Ya soalnya kamu pasti misuh-misuh, terus ntar ada aja lah nanya, 'kamu lebih sayang aku apa dia? Kamu suka sama dia berapa persen? Kamu sayang aku ngga? Kamu ngga sayang aku ya?' Pasti begitu dah, kaya waktu itu aku nontonin live concert mereka.” Jelas Seungmin, meniru nada Jisung.

Alis Jisung seketika saja terpaut, hendak melihat Seungmin sebagai makhluk paling menyebalkan. Walaupun memang.

Namun, baru saja ia berpaling dari rak di depannya, tiba-tiba saja bola matanya membulat sempurna kala menangkap pantulan wajah Seungmin lewat cermin yang berada 1 meter di depannya.

Sepengetahuan Jisung, Seungmin bukanlah orang yang gemar berias diri sedemikian rupa. Jisung kira, Seungmin dengan rambut rapi tersisir, pakaian yang bersih nan licin dengan wangi semerbak yang menyertainya di setiap langkah merupakan tingkat maksimal Seungmin dalam berias.

Nyatanya itu bukan apa-apa.

Seungmin yang di depannya kini merupakan versi lain yang jarang tertangkap mata. Terakhir Jisung ingat, Seungmin berdandan seperti ini pada saat anniversary pertama mereka.

Di tengah lamunannya, Jisung tersadar oleh jentikan jari Seungmin di depan wajahnya. “Oi, diliatin mulu gua. Cakep, ya?” Ledek Seungmin sambil mengangkat kedua alisnya.

Andai saja tidak mustahil, mesti kedua bola mata Jisung sudah memancarkan kelip merah muda dengan bentuk hati untuk ekspresikan perasaannya.

“Ngga ah, b aja. Lagian lu dandan buat ketemu PACAR lu itu, bukan gua. Jadi tetep jelek.” Nada bicara Jisung seketika ketus. Namun hanya dibalas dengan tawa ringan oleh Seungmin.

Kekasih Seungmin itu tak berkata apapun lagi, melainkan hanya menghamburkan tubuhnya di kasur dan menenggelamkan wajahnya di sebuah bantal.

“Dih jelek banget lu, ngambekan.”

“Pengen banget diambelin kali,” kalimatnya masih terdengar kesal.

Seungmin pun mau tak mau ikut mendudukkan diri di kasurnya. Perlahan ia balik tubuh Jisung dan menoyornya tepat di dahi. “Ngga usah ngambek-ngambek lu, jelek banget, jelek.”

“Emang itu teleponannya ngga bisa diwakilin? Emang ngga bisa dijual aja hasil undiannya?”

“Gila aja lu diwakilin, orang gua yang pengen ketemu. Lagian ge ini hoki bro, ngga bisa kalo dijual tuh ngga bisa, ini hoki ga ada harga yang seimbang!!” Mendengarnya, Jisung kembali tertunduk lesu.

Seungmin acuh, ia pun berdiri dari duduknya. Namun tiba-tiba jisung berucap, “Tapi kalo aku liat juga boleh?” Sambil menatap punggung Seungmin penuh harap.

Seungmin hanya tersenyum kecil. Jawabannya masih tercekat di tenggorokan. Jemarinya meraih sebuah lipstik berwarna merah pekat yang ia beli via online kala itu. Sebenarnya, ini bukanlah kehendaknya untuk membeli lipstik berwarna merah menyala. Toh juga ia tidak akan memakainya.

Waktu itu ia membelinya untuk diberikan kepada Yunjin—temannya—sebagai kado ulang tahun. Sayangnya, warna yang datang tidak sesuai, dan Seungmin paham bahwa lipstik dengan warna menyala sama sekali bukanlah tipe Yunjin. Maka Seungmin putuskan untuk menyimpannya saja.

Namun siapa sangka, akan ada hari di mana Seungmin akan memakainya. Bukan untuk dipakai dalam fancall nya nanti, bukan untuk dipamerkan kepada orang lain pula.

Seungmin memoleskan lipstik yang bahkan ujungnya masih lancip itu ke bibirnya sembari tertawa kecil—sangat kecil hingga Jisung tak dapat mendengarnya.

Kemudian ia berjalan ke arah Jisung dengan cepat, hingga mata Jisung tak mampu menangkap apa yang ada di depannya beberapa detik lalu. Dengan cepat Seungmin tempelkan bibirnya pada dua titik di wajah kekasihnya—bibir dan pipinya.

“Boleh, tapi jangan berisik.” Bisik Seungmin. Lalu ia kembali ke depan cermin dan meraih dua helai tisu untuk menghapus lipstik yang menempel di bibirnya.

Jisung terperangah, matanya melotot kaget. Ia berlari ke samping Seungmin dan melihat dirinya di cermin. Dua buah cap bibir kini menempel sempurna di wajahnya.

Seungmin di sebelahnya masih cekikikan melihat Jisung yang bingung.

Masih dengan usahanya menghapus torehan merah di bibirnya, tiba-tiba Seungmin terperanjat kala Jisung meraih wajahnya dan menempelkan bibirnya dengan milik Seungmin.

I love you. Aku ngga akan mandi dan cuci muka sampe besok, biar ngga ilang!!” Ucapnya semangat.

“Ish jorok lu.” Mendengarnya, Jisung hanya cengar-cengir dan menatap Seungmin dari samping.


“Mulainya kapan sih? Aku ngantuk,” tanyanya singkat sebelum akhirnya menguap, “apa aku bikin kopi aja, ya?”

“Bentar lagi sih, kalo mau bikin ya bikin, tidur ya tidur. Bebas.”

“Ngga! Mau liat aja. Aku mau bikin kopi dulu.” Kata Jisung sambil turun dari kasur dan berlari kecil ke dapur.

Sembari menunggu air mendidih, mata Jisung masih asyik melihat Seungmin dari kejauhan. Riasan tipis itu nampak sangat cocok dipadukan dengan paras Seungmin yang memang sudah rupawan.

Saat pikirannya tengah menyelam, tiba-tiba saja Seungmin berkata—sedikit berteriak, “Ji! Udah mau aku angkat, nih. Kalo mau liat ke sini aja, ya? Tapi jangan berisik.”

Jisung buru-buru mematikan kompor, mengambil gelas, dan lain sebagainya. Ia bahkan lupa untuk menyiapkan segalanya saking ia terlarut pada pemandangan di depannya tadi.

Satu sampai dua menit kemudian Jisung datang sambil membawa kopi dan senyum di wajahnya. Ia meletakkan kopi tak jauh dari tempat Seungmin duduk. Terheran karena melihat Seungmin tak berbicara apapun, Jisung pun bertanya, “Mana orangnya? Kok kamu ngomongnya berenti?”

“Udah selesai, Sayang. Kan cuma 1 sampai 2 menit aja.” Kata Seungmin sembari melihat tangkapan layar yang tadi ia ambil.

“HAAAAHHHHH?!”

Apa yang terpikirkan di benak kalian saat mendengar kalimat 5 tahun? Pasti pikiran kebanyakan orang langsung tertuju pada kata 'lama', bukan?

Sama halnya dengan Seungmin dan Minho. Keduanya telah menjalin hubungan selama 5 tahun, yang mana bukanlah waktu yang singkat bagi keduanya untuk mempertahankan hubungan yang tengah terjalin. Suka dan duka rasa-rasanya sudah menjadi partisipan yang tak pernah absen menyambangi hari-hari mereka. Mulai dari pertengkaran kecil, hingga pertengkaran hebat telah mereka rasakan. Begitupun dengan bahagia—bahagia akan hal yang sederhana, hingga hal yang luar biasa pun telah mereka jumpai.

Namun, 5 tahun bersama bukanlah apa-apa dibandingkan harus seumur hidup bersama. Setidaknya, itulah yang terlintas di pikiran Seungmin sebelum ia merayakan hari-hari penuh rindu. Setidaknya, itulah yang Seungmin rasakan sebelum ia merayakan kehilangan.

Semuanya sia-sia.

Lama hubungan mereka itu tak menjamin bahwa suatu saat—di ujung perjalanan—mereka akan berlabuh pada sebuah pulau indah.

Alih-alih berakhir indah, mereka justru berlabuh pada sebuah pulau tak berpenghuni yang penuh kehampaan.

Semua itu berawal dari Minho yang kian sibuk, hari demi hari. Membiarkan hati Seungmin kian lama kian terbiasa dengan kehampaan.

“Kak, di mana? Katanya lagi otw, kok ngga nyampe-nyampe?”

“Maaf lupa ngabarin, tiba-tiba disuruh lembur.”

Perkara yang umum dijumpai, namun sulit untuk dihindari, bukan?

Begitulah mereka.

Minho dengan segudang egonya, melawan Seungmin yang berbekal sejuta keinginan untuk mempertahankan. Sudah jelas bukan siapa pemenangnya?


September, 2020.

Kala itu hujan turun dengan ramai, membawa beban sang awan untuk kembali ke tempatnya.

Di ujung jalan, di bawah halte bus usang, berdirilah Seungmin dengan payung biru muda yang selalu mendampinginya—menunggu sang pujaan untuk datang menjemput. Namun sayang, sudah satu setengah jam berlalu, hujan tak kunjung usai, dan yang ditunggu tak pernah datang.

Seungmin pulang—tentunya—dengan perasaan tak karuan, dihiasi dengan wajah murung yang nampaknya akan abadi di sana hingga beberapa hari ke depan.

Secercah cahaya ponsel tiba-tiba menerangi sudut kamar Seungmin. Seakan memanggil si pemilik untuk segera menghampiri, dan benar saja, Seungmin terbangun dari duduknya dan dengan segera melihat layar ponselnya.

**“Seungmin maaf, tadi depan kantor banjir gara-gara hujannya lama. Terus jadi macet, dan aku juga kena macetnya.

Bohong.

Seungmin sengaja memilih rute yang sedikit memutar, melewati kantor tempat Minho bekerja. Padahal, di sana jelas terlihat bahwa tidak ada sisa-sisa genangan yang menyebabkan kemacetan. Jika benar, seharusnya ada, bukan?

Ditambah lagi, Seungmin bertanya kepada sang sopir bus, “Pak, tadi di sini banjir, ya?”

“Eh, ngga kok, Mas. Ngga banjir, soalnya waktu itu—sekitar 4 bulan yang lalu—kan salurannya udah dibenerin atau apalah itu saya ngga paham. Jadi, sekarang kalau hujan lama, di sini sudah ngga banjir dan ngga macet.” Mendengarnya, hati Seungmin tiba-tiba saja mencelos.

Sebenarnya ada apa dengan Minho belakangan ini?

Kemudian Seungmin pun memberanikan diri untuk mengirim pesan singkat pada Minho, guna memperjelas semuanya.

“Kamu bohong lagi?

“Bohong gimana, sayang?”

Sial.

Hati Seungmin kembali melunak akibat satu kata sialan itu.

**“Ngga jadi, no. Aku mau tidur dulu, capek. Kamu juga bersih bersih sama makan sana.


Desember, 2020

“Seung, maaf, aku hari ini ternyata ngga bisa. Mau diganti lain hari?”

“Ngga usah kak, lagian ini juga udah ke 3 kalinya kita reschedule. Selesaiin aja urusan kamu, aku belakangan aja.”

**“Seung, maksudku ngga gitu.”

“Aku ngga ngomongin maksud apa-apa, kenapa kamu kayanya defensif banget? Berarti bener, ya? Kita beneran udah ngga bisa, ya?

“Sayang...”

“Gapapa no, jujur aja. Aku malahan bakal marah kalo kamu ngga jujur.

“Sebenarnya akhir-akhir ini aku lost feeling ke kamu. Maaf. Aku ngga mau bilang, karena aku pikir ini cuma bosen sementara, terus nanti makin lama bakalan makin membaik. Tapi beberapa bulan ini ngga ada yang berubah, rasanya aku ke kamu udah hampa, udah kosong, udah ngga ada perasaan yang spesial kaya dulu, Seung.

Dengan ini, Seungmin rasa semuanya telah jelas. Saat itu juga, ia mengakhiri semuanya.

“Kita putus aja ya, kak? Tolong jangan ditunda-tunda lagi. Yang ada kita sama-sama sakit nantinya, jadi, ayo udahan. Makasih banyak udah jujur, setelah ini kita bisa kaya biasa aja, kita bisa temenan kaya sebelumnya. Itupun kalo kamu mau.


Dua tahun telah berlalu berlalu,

keduanya menjalani hidup masing-masing dengan memikul jutaan memori. Memori itu masih terekam sangat jelas, terutama pada ingatan Minho.

Tentang bagaimana lucunya Seungmin yang kerap kali merajuk, tentang bagaimana senyum itu terukir indah pada wajah teduhnya, dan tentang bagaimana usaha-usaha Seungmin yang mati-matian mempertahankan hubungan mereka. Semua itu baru Minho sadari sekarang—saat semuanya telah usai, saat semuanya telah sirna.

Meskipun keduanya memutuskan untuk tetap menjalin hubungan baik sebagai teman, nyatanya hal tersebut tidaklah berjalan mulus.

Menjelang akhir tahun pertama setelah mereka usai, Minho mulai merasakan kehampaan menguasai dirinya. Biasanya, Seungmin yang energinya selalu penuh itu akan selalu memecah kehampaan yang terkadang Minho rasakan. Sekarang tak lagi ada Seungmin si berisik yang akan mengganggu Minho lagi. Seungminnya telah menjauh.


Oktober, 2023.

Minho yang hampir gila akibat pekerjaannya akhir-akhir ini pun memutuskan untuk pergi ke pusat kota untuk sekedar melepas penatnya sejenak. Hari ini cuaca terik dan tidak ada hambatan. Tidak, sampai tiba-tiba matanya menangkap punggung yang familiar di pikirannya.

Itu Seungmin.

Baru saja Minho hendak mendekat, tiba-tiba tangan laki-laki asing hinggap pada pundak Seungmin—merangkulnya.

Ekspresi Seungmin saat itu begitu sumringah. Senyum yang kala itu selalu ditujukan pada Minho, kini tidak lagi. Kini senyum manis itu tak lagi ragu untuk Seungmin berikan pada orang lain—yang Minho rasa—telah menggantikan dirinya.

Dahulu, ketika Seungmin tertawa, kesenangan Minho akan naik berkali-kali lipat. Namun, kini sebaliknya. Saat melihat Seungmin tertawa, rasanya hati Minho berubah menjadi serpihan kaca yang hancur berantakan.

... Seungmin tertawa karena pria lain.

Ketika Minho tengah berada dalam lamunannya, tiba-tiba suara Seungmin memecah fokusnya. Suara itu datang dari arah belakang, suara itu masih terdengar manis nan syahdu—bagi telinga Minho, suara Seungmin adalah nada yang terus mengalun indah, kemudian berputar-putar pada pikirannya.

“Kak Minho!” sapaan itu terdengar ceria, namun nampaknya si pemilik nama tidak berkenan untuk dipanggil demikian. Batin Minho bergulat, seharusnya tidak seperti ini!

Kemudian, dengan terpaksa Minho menoleh pelan sembari susah payah mengukir senyum palsu. Netranya menatap Seungmin dan kekasihnya secara bergantian.

“Kak Minho, kok Whatsapp nya ceklis satu? Kak Minho ganti hp, ya? Terus juga imessku ngga dibales-bales.

“Oh.. iya, Seung, ganti hp. Ganti nomor juga, soalnya banyak nomor nyasar ngga jelas gitu. Maaf, ya, dan... emangnya ada apa?”

Seungmin dengan wajah polosnya hanya mengangguk paham, kemudian tiba-tiba ia menarik tangan kekasihnya untuk menjabat tangan Minho. *“Kak, kenalin, ini Hyunjin. Tunangan aku,” “

Gila. Benar-benar gila.

Rasanya sakit bukan main. Hati Minho rasanya kembali hancur, bahkan lebih parah dari yang barusan.

“Hai, saya Hyunjin. Masnya kalo ngga salah mantannya Seungmin, ya?” ucap Hyunjin sembari menjabat tangan Minho.

Mimho mengangguk ragu, bibirnya tersenyum tipis mendengarnya. “Halo, iya, bener. Gue Minho.”

“Jadi gini, Kak. Aku sebenarnya mau ngabarin kakak, kalo bulan November nanti, aku sama Hyunjin mau menikah. Aku mau antar undangannya, tapi aku ngga tau sekarang kakak tinggal di mana.”

Sial, sial, sial.

Minho bersumpah serapah dalam benaknya, berulang-ulang kali hingga Seungmin kembali menegur dirinya yang melamun, lagi.

“Gimana, kak? Kira-kira bisa dateng ngga, ya? Aku lupa bawa undangannya, tapi ada undangan online nya juga k—”

Omongan Seungmin terputus, digantikan dengan Minho yang secara tiba-tiba menjabat tangan Seungmin sembari tersenyum lebar. “Kalo gitu, undangannya nanti kirim online aja ke ig aku, Seung. Masih anda kok ig-nya, nanti aku login lagi. Makasih banyak ya undangannya. By the way, maaf ngga bisa ngobrol lama-lama, udah ditungguin soalnya,” ucap Minho dengan tempo napas terdengar yang naik dan turun dengan cepat.

Belum sempat mendengar jawaban dari Seungmin, tiba-tiba saja Minho melengang tanpa mau menunggu si lawan bicara mengatakan sepatah kata. Seungmin dan Hyunjin hanya berdiri kebingungan melihat Minho yang kian menjauh.

Walaupun mengatakannya dengan senyuman lebar, ternyata sedari tadi Minho tengah mengumpulkan air mata pada pelupuk matanya. Kini air mata itu sedikit demi sedikit telah jatuh membasahi pipi Minho.


Sesal itu akan selalu ada, setidaknya begitulah yang Minho pelajari belakangan ini.

Seharusnya, hanya Minho yang dapat melihat senyum secerah matahari itu. Seharusnya, Minho-lah yang menggenggam tangan itu.

Jika saja ia mau bertahan sedikit lagi, jika saja tidak ada yang namanya hilang rasa, dapat Minho pastikan bahwa dirinya-lah yang kini berdampingan dengan Seungmin. Bukan orang lain.

— fin.

kini, hanan rengkuh tubuh ringkih di hadapannya. kendati tubuh kekasihnya itu kian melemah, namun hanan yakin, bahwa jiwa kuat itu ada di dalam tubuh kekasihnya—jiwa kuat itu bernama faza. nama yang selalu ia puja-puja setiap kali ia mengingatnya.

“jelek apanya, za? cantik loh ini, masih seratus persen cakep! aku jamin, za.”

meskipun sudah berpuluh-puluh kata hanan bisikkan, faza tetap berlarut dalam tangisnya, dan tubuhnya masih setia berada dalam dekapan hanan sejak beberapa saat lalu.

“hanan, maaf...”

“kenapa minta maaf, za? minta maaf perihal apa?”

“karena—” belum faza lontarkan sepatah kata, namun nampaknya hanan sudah terlebih dulu membaca pikirannya.

“masih cantik, masih sama. aku bakalan terus ngeliat kamu kaya waktu pertama kali kita ketemu, za. masih dengan mata yang ngga mau lepas kalo udah ngeliat kamu, masih dengan mulut yang selalu takjub setiap kali aku ngeliat kamu. aku janji, za, ngga akan ada yang berubah. aku janji.”

drunk, kissing


di luar toilet, suara musik menggema begitu keras. hingga suara seungmin terdengar tak jelas adanya. “ayo pulang, inooo...” rengek seungmin sambil menarik-narik ujung kemeja yang minho kenakan.

bukannya langsung bertindak, minho justru kewalahan mengatur detak jantungnya akibat tingkah seungmin yang demikian.

“cuci muka dulu dikit, biar agak sadar,” minho bawa tangannya untuk meraih tangan seungmin ke arah keran. namun uluran tangan minho segera ditepis oleh seungmin. lantas minho tatap seungmin yang di kelopak matanya tiba-tiba telah berlinang air mata.

benar saja, tiba-tiba seungmin menangis. walaupun minho tau bahwa ini adalah sebagian kecil efek dari alkohol, tetap saja minho rasakan panik menjalar ke seluruh tubuhnya.

“jahat! lo... lo ngga liat, hah?!” seungmin menyeka air matanya sekilas, “gue udah dandan—ino, liat gue!” kedua tangan seungmin menangkup pipi minho untuk terus berpaku pada parasnya.

“kok ngga bilang apa-apa?” seungmin kembali menangis, kali ini ia hanya sesegukan. “jelek, ya? kalo lo ngga jawab, berarti gue jelek. ya, kan?” baru saja minho rasa tangisan itu sedikit mereda, tiba-tiba seungmin kencangkan lagi tangisnya setelah kalimat terakhirnya diucapkan.

kemudian minho angkat tubuh seungmin untuk didudukkan di wastafel. setelahnya, minho buru-buru peluk seungmin sembari mengusap punggungnya.

“ngga jelek, seungmin. lu paling cantik di sini. tapi, emang kalo boleh tau kenapa lu dandan? kayanya itu ada maksud tertentu, ya? hahaha...”

i hate you, ino. tapi anehnya gue ngga tau... gue ngga tau kenapa gue mau repot repot dandan, dengan pikiran bakalan ketemu sama lo. makanya harus bagus, harus cakep, harus cantik, harus semua-semuanya.”

minho sedikit terkejut dengan pengakuan tiba-tiba seungmin. karena minho kira, hanya dirinya lah yang tengah memperjuangkan kembali mereka. minho pikir, seungmin membencinya karena memberi ide untuk putus secara baik-baik 2 tahun lalu. minho pikir, seungmin telah berpaling jauh darinya.

do you still love me?

silly,

hahaha.. that's fine. maaf, gua kira—”

stupid! of course... of course i still love you. kita ini belum selesai! gue... gue sebenarnya ngga mau kita selesai...”

seungmin tertunduk lesu setelah mengucapkan kalimat tersebut. seakan menyesal, tetapi di lain sisi seungmin pun merasa lega. setidaknya minho tau perasaannya, bukan?

can i kiss you? satu kalimat tiba-tiba saja dilantunkan minho tanpa pikir panjang.

seungmin mengangguk pelan, ia mulai mengikis jarak antara wajahnya dengan wajah minho. perlahan tapi pasti, bibir mereka pun bertautan. melumat milik satu sama lain secara bergantian, dengan lembut dan tanpa tergesa.

jemari seungmin tertaut di leher minho, membuat tangannya seperti aksesori yang mengalung indah di leher si pemilik. sedang minho letakkan tangannya pada pinggang seungmin, menariknya perlahan, membuat batas antar keduanya benar-benar sirna.

mereka bercumbu dengan khidmat, mereka tau bahwa tak ada siapapun yang dapat menginterupsi mereka. maka dari itu mereka jadikan ini seperti dunia milik berdua. benar-benar berdua. hanya minho dan seungmin yang ada di dalamnya.

saat mereka melepas cumbuan, minho berucap, umm.. do.. do you want to... start over with me?

there's no reason to say 'no' right?


jengkel? sudah pasti. ibaratnya, sudah ribuan cemburu seungmin rasakan, namun yang ini rasanya berkali-kali lipat lebih berbekas. pasalnya, ini bukan lagi berkaitan tentang siapa yang menaruh perasaan dan siapa yang tak bisa membalas perasaan tersebut. tetapi, ini tentang dua orang yang pernah berbagi perasaan yang sama, walaupun akhirnya kandas, namun... siapa yang tau?

kendati demikian, seungmin percayakan seluruhnya pada han jisung—kekasihnya. ia percaya, bahwa selalu ada alasan dibalik suatu tindakan. walaupun terkadang tidak masuk akal—apapun tentang jisung—ia akan coba percaya.

gemuruh suara motor milik jisung menjalar ke dalam rungu seungmin—buat dirinya bersiap diri untuk menyambut sang kekasih dengan ratusan pertanyaan yang siap menghujam.

suara hembusan angin yang keluar masuk jendela kamar seungmin ikut mengiringi deru nafas dan langkah jisung yang kian jelas.

ketukan yang jisung layangkan sebanyak 3 kali itu menggema di seluruh ruangan. kemudian, begitu pintu dibuka, jisung rasakan hawa yang membuat bulu kuduknya naik. rasa-rasanya, ia seperti memasuki ruang penyiksaan.

“stop, berhenti di situ. jangan deket-deket sebelum jawab pertanyaan aku!” perintah seungmin begitu jisung maju selangkah melewati ambang pintu.

tangan jisung dikepalkan bertautan, jarinya bergerak gelisah, dan matanya menjelajah ke sembarang arah.

“duduk aja kalo capek,”

begitu jisung hendak melangkah ke sofa, tindakannya segera diinterupsi oleh suara seungmin. “siapa bilang boleh duduk di sofa? duduk di situ aja.” tanpa menjawab, jisung pun langsung duduk bersimpuh, dan kepalanya tertunduk lesu.

“you'd better not lie, ji.”

demi apapun, jika momen mereka dapat dirangkum, baru kali inilah mulut jisung dapat tertutup rapat saat bersama seungmin.

“coba cerita, cerita mantan kamu boleh, cerita tadi di tempat makrab juga boleh. go ahead!

jisung menarik napasnya panjang, kemudian menghembuskannya—dengan harapan, semoga sisa-sisa kebodohannya akan ikut terhembus secara bersamaan.

“okay, jadi... aku pacaran sama dia tuh waktu kelas 10 sampe kelas 11 awal kalo ngga salah. kita putusnya ngga baik, entah karena waktu itu aku yang baru pertama kali pacaran, makanya masih bingung harus ngapain, akhirnya berantem terus. atau emang seharusnya pacaran ngga kaya gitu. aku ngga bisa ngomong banyak tentang dia, selain karena aku ngga mau, aku udah ngga minat lagi buat bahas dia. sumpah, ini ngga bohong.”

seungmin yang duduk di pinggir kasur hanya menatap ke arah jisung, sembari mengangguk paham. kemudian, ia mengisyaratkan jisung untuk melanjutkannya.

“kalo tadi, aduh... sumpah sayang, aku ngga lirik-lirik ke dia, ngga salaman juga ke dia, pokoknya ngga ada kontak apa-apa sama dia. aku pure cuma nyampur sama sunwoo, jeno, hyunjae, yoshi, karin, giselle, sama echan doang. ya pokoknya sirkelanku aja, kalo ngga percaya tanya aja karin, dia ngga pernah bohong anaknya. sumpah.”

“terus kenapa bohong? kenapa ngga bilang kalo ada mantan kamu?”

“ya karena... aku pikir kan selagi aku udah ngga punya ikatan atau kontakan apapun sama dia, ngga ada masalah kalopun ngga bilang ke kamu. aku udah mau cerita ini dari lama, cuma kalo dipikir kayak... ngga penting juga, sayang. maksudnya bukan kamu yang ngga penting, tapi ya emang aku sama dia tuh kayak udah aja gitu loh, paham 'kan?”

seungmin kembali memijat pelipisnya yang sedari tadi berdenyut nyeri. “gimana bisa sih, ji, kamu bilang itu ngga penting?”

“iya... maaf, maaf. kamu boleh marah kok, kalo mau...”

“yaudah, bangun gih, bersih-bersih sana. terus tidur. aku mau tidur duluan.” seungmin pun berbalik dan menutupi dirinya dengan selimut tebal.

jisung pun tersenyum, menampakkan cengiran terbaiknya. yaa... walaupun kini seungmin tengah berpaling. kemudian ia berlari kecil, dan seperti biasa, ia menyingkap selimut tersebut, kemudian dengan sengaja menindih seungmin dengan tubuhnya.

“ji... ahhh beraaaaat!”

“aku minta maaf, ayo maafin aku dulu. janji ngga bakal gini lagi, janji bakalan bilang apapun ke kamu, even itu hal kecil,” ucap jisung sembari menggelitik leher dan pinggang seungmin.

“ah! hahahaha stop, jangan curang! kamu ngga bisa pake cara ini—aaaa jisung, geli! tolooong tolooong, ada orgil!”

“bilang dulu,”

“iya iya dimaafin, plis stop gelitikin aku, aku capek ketawa!” akhirnya jisung pun berhenti. kini, ia membalik tubuh seungmin untuk tatap dirinya sejenak sebelum akhirnya kembali berpelukan. jisung posisikan wajahnya pada perpotongan leher jenjang kekasihnya—menghirupnya dalam-dalam, kemudian tak lupa ia meninggalkan beberapa kecupan di sana.

“i hate you, ji. i really do.”

“hate me all you want, babe. but i know you love me the most.”


hari ini merupakan hari yang cukup panjang untuk dilalui keduanya. pulang dari sekolah sebelum malam menjelang adalah dambaan mereka hari ini, dan beruntungnya hal itu dapat terwujud.

... dan di sinilah mereka berada, duduk bersama beralaskan karpet bulu sembari menyalakan televisi—yang sesungguhnya tak mendapat atensi.

aww... pelan-pelan plis, jangan digesek. di-tap tap aja, seung.” suara protes yang bersahutan dengan erangan yang keluar dari mulut hyunjin ini tak berhenti sejak tadi. tepatnya, sejak seungmin mulai mengoleskan obat merah pada luka di tubuh hyunjin akibat kejadian tadi.

seungmin membalasnya dengan decakan kesal sambil sesekali melempari hyunjin dengan tatapan sinis. “bisa diem aja ngga? tadi kayanya pas lagi pukul-pukulan ngga ada tuh ngomong aduh aw aw, giliran diobatin gini aja ngeluh terus,” kata seungmin sembari menekan kapas itu lebih keras.

“aaa.. pelan! sshh perih. terus atuh itumah beda, kan tadi mah ngga berasa. kalo udah kena air, terus kena betadine tuh rasanya nyawa udah di ubun-ubun, tau ngga?” balas hyunjin dengan argumen yang menurut seungmin sangat tidak rasional.

“ya mikir aja, emang kalo berantem kaya tadi nyawa lo tuh ngga di ubun-ubun juga?”

“itu cuma majas hiperbola!”

“giliran dibilangin aja, bisaan aja ngelesnya, segala majas majas dibawa.”

“siap, salah!”

kira-kira begitulah percakapan antar keduanya berlangsung. tak usah berharap banyak, karena isinya hanyalah argumen yang asalnya dari kepala yang secara harfiah berbeda 180 derajat.

dirasa cukup, keduanya beralih untuk makan. karena rasa-rasanya, khusus hari ini energi mereka lebih terkuras dibanding biasanya.

selesai mengonsumsi makanan masing-masing, mereka pun memilih untuk bersantai sejenak. seungmin menyandarkan kepalanya di pundak hyunjin, matanya ia pejamkan dengan nyaman, dan tangan mereka tertaut mesra. hyunjin tatap wajah seungmin dari pantulan kaca televisi yang sudah dimatikan sejak 10 menit yang lalu.

“seung,” panggil hyunjin pelan.

“um?”

“maaf, karena tadi ngga mikir dulu.”

seungmin mengangguk pelan, “walaupun gue ngga suka sama tindakan lo tadi, seengganya gue tau... gue ini siapa sih buat lo. eh! tapi maksud gue, ya... gue ngga minta pembuktian dengan cara ini. tapi berhubung ini semua terjadi di luar kendali, seengganya gue bisa ambil sesuatu dari sana. jadi, gue yang harusnya bilang maaf dan makasih. so... makasih banyak, ya, hyunjin!

“i love you, seung. just so you know, i love you... that much.”

tags: blowjob, handjob, deep throat, praising, praise kink, begging, teasing, finger-sucking, cum on face, kissing, cuddle, pecks, mention of naked


sekarang waktu menunjukkan pukul delapan malam—pagi masih terlalu lama untuk dinantikan kedatangannya. dua insan berselimut nafsu ini tanpa ragu menyalurkan hasrat bercinta dalam satu atap yang sama.

lenguhan bersahut-sahutan, melayang-layang memenuhi atmosfer ruangan—yang seharusnya diiringi dengan suara ketukan papan tik.

sirna sudah tujuan awal mereka bertemu.

menguap sudah kewarasan keduanya.

jemari seungmin kini sibuk menari-nari di atas kejantanan kekasihnya, mulutnya pun ia buat tak kalah giat. genggaman tangan yang hinggap—naik turun—pada kejantanan jisung silih berganti dengan kuluman bertempo sedang yang seungmin ciptakan.

dari atas sana jisung tatap lamat-lamat wajah kekasihnya. sudut bibirnya mengalir saliva yang bercampur dengan pre-cum miliknya. matanya sayu, namun tetap elok untuk dipandang. pipinya menggembung lucu, buat jisung tak kuasa untuk menyelipkan beberapa belaian di sana.

sedang di bawah sana, seungmin menikmatinya. ia menyukai sensasi kala perasaan senangnya membuncah akibat pujian pujian yang keluar dari mulut kekasihnya. seiring pujian itu dilantunkan, semakin keras pula miliknya di bawah sana.

shh... sayang—deeper, please?

dengan senang hati seungmin lesakkan penis kekasihnya itu kian dalam. rongga mulut hingga tenggorokannya penuh. walaupun sebetulnya, milik jisung itu belum sepenuhnya masuk. namun apa daya, dirinya sudah dibuat gelagapan akan ukuran yang tak wajar itu.

“pinter... ahh.. sayangku pinter, anak baik,” tutur jisung sembari mengusap surai legam kekasihnya. seungmin yang pada dasarnya memang penurut pun langsung mengulangi pola permainannya. seungmin hisap penis itu sebelum ia mendorongnya kembali hingga ke pangkal tenggorokannya.

“ahh!” jisung tersentak kala penisnya itu dengan sempurna menabrak tenggorokan kekasihnya. ia rasakan sedikit getaran akibat seungmin yang—dengan sengaja—mencoba untuk berbicara.

seungmin lirikkan matanya ke atas guna menggoda jisung yang tengah bertempur dengan hawa nafsunya. kemudian ia tarik penisnya keluar, menyebabkan raut seungmin menunjukkan kekecewaan. jemari panjang miliknya digunakan untuk menyugar rambut seungmin yang di ujungnya basah akan keringat akibat permainan panas yang mereka lakukan.

“mau lagi...” rengek seungmin dengan mata yang membentuk artian penuh harap. meskipun senang, jisung merupakan tipe yang senang bermain-main.

ibu jarinya ia usapkan pada bibir bawah kekasihnya—buat si empunya dengan sengaja menjulurkan lidah. seungmin menggenggam jemari itu dan melumatnya bak eskrim.

“can i get it now?”

“beg.”

“please.. please.. pretty please. i want it so bad, please lemme— dengan tiba-tiba jisung lesakkan kembali kejantanannya ke dalam mulut seungmin. meskipun terkejut, seungmin dengan senang hati menerimanya.

“diajarin siapa, sayang? enak banget— sshh... pinter, sayangku pinter,” desis jisung sembari melontarkan kalimat pujian. karena ia tau, seungmin teramat menyukai hal itu. sedang seungmin tidak menjawab, ia hanya menyeringai senang—bangga akan hasil kerjanya.

makin lama tempo yang seungmin ciptakan semakin cepat, kocokan dan lumatan itu berganti-gantian hanya dalam beberapa detik. buat jisung makin mendesah tak karuan.

precum miliknya kembali mengalir, kejantanannya kian menegang. seungmin yang tau bahwa kekasihnya akan segera mencapai putihnya pun makin bermain dengan intens di bawah sana. namun di sela-selanya tiba-tiba seungmin tersedak akibat ulahnya sendiri.

ahh... pelan sayang, pelan..” ucap jisung. seungmin hanya menatap mata jisung sekilas dan kembali melanjutkan permainannya.

“babe.. i'm close—sshh.. w-wait,”

seungmin justru makin mempercepat lumatannya pada penis jisung. hingga akhirnya sesaat sebelum ketika putih itu tiba, seungmin buru-buru mengeluarkan penis itu sambil mengocoknya kuat.

“seungmin.. ahh.. aku mau keluar,”

jisung mengeluarkan putihnya di atas wajah seungmin—yang tentunya itu kehendak kekasihnya sendiri.

“cantik, sayangku cantik. anak pinter.” finalnya sembari mengusap pipi seungmin, yang kemudian disusul dengan ciuman.


“capek, ya?” tanya jisung sembari mengusap punggung seungmin.

seungmin yang kini duduk di atas pangkuan jisung—sembari menyadarkan kepalanya pada pundak telanjang kekasihnya—pun hanya mengangguk pelan sambil menetralkan nafasnya. “udah lama ngga main lama. soalnya dari kemarin ada aja yang rese, hahahaha...” balas seungmin.

“bener! by the way, makasih banyak ya, cantik. you are amazing, tonight. tutur jisung sambil mengecupi leher hingga pundak seungmin yang sama telanjangnya.


bertemu kembali dengan orang asing yang baru saja raffa temui sekali dalam seumur hidupnya bukanlah hal yang mudah. biasanya, banyak hal yang harus ia tinjau untuk bertemu kembali. namun, entah mengapa hati dan pikirannya tidak bisa berkata 'tidak' untuk seorang laki-laki bernama arkana gibran.

jangankan untuk bertemu kembali, raffa bahkan tidak berekspektasi banyak pada pertemuan pertama mereka yang tidak disengaja itu. memang benar adanya bahwa diri raffa tertarik dengan gibran pada awalnya. tetapi, ia tidak pernah menyangka bahwa setelah itu—bahkan kurang dari satu hari—otaknya terus menerus mengulang cuplikan yang ia alami kala itu. di sana tercetak jelas sosok gibran. hanya gibran seorang.

raffa bahkan melupakan sosok pria menjengkelkan yang dengan cerobohnya berlarian di koridor sambil membawa kopi dan menabrak dirinya hingga terjatuh.

aneh memang, namun raffa secara penuh menyadarinya.

di sinilah ia duduk, dengan perasaan gusar, ia kendalikan hatinya supaya tidak terlalu bising.

sewaktu dirinya melamun, tepukan tangan yang hinggap pada pundaknya itu menyadarkan lamunannya. seketika ia pun menoleh.

“maaf lama ya, raf. lu jadi repot nungguin jadinya.”

apa yang netranya tangkap pertama kali merupakan senyuman yang tempo hari ia lihat. bahkan jika saat ini mereka tidak bertemu, di ingatan raffa masih tercetak jelas bagaimana untuk pertama kalinya gibran tersenyum padanya.

“raf, kenapa?” tanya gibran kebingungan saat melihat raffa yang melamun sembari menatap penuh ke arahnya.

raffa menggeleng ribut, “oh, ngga, kok! sini duduk, mas gib.”

kemudian gibran yang masih setia dengan cengirannya itu pun duduk di depan raffa. kepalanya celingukan ke sana kemari untuk mencari tau, ke mana arah yang mata raffa tuju.

“raffa,” panggil gibran pelan. namun entah mengapa raffa langsung tersentak begitu mendengarnya. lalu dengan spontan raffa menjawab, “iya, mas! ada apa?”

“engga, lu... dari tadi ngelamun terus. kenapa? ngga nyaman, ya?”

raffa menaikkan alisnya, kaget. sekali lagi ia menggeleng ribut, “engga, mas. saya agak asing aja sama suasananya. jadi sedikit nervous.

gibran pun terkekeh mendengarnya, pikirannya tertuju pada perkataannya di direct message beberapa jam yang lalu.

“eh, mikirin omongan gua yang soal anak teknik sensian itu kah? hahaha... maaf ya, bercanda kok, di sini justru pada santai orangnya. gapapa, raf. ngga bakalan dipukul juga kok kalo main ke ft.”

laki-laki di depan gibran itu mencebikkan bibirnya sambil menatap jengkel ke arahnya. ” lagian, mas! stigma anak teknik tuh galak galak, terus juga sorry, agak senioritas gitu. ya tapi balik lagi sih, mas. itu kan baru katanya aja.”

gibran mengaduk minumannya, dengan tatapan yang masih melekat pada raffa. “senioritas mah pasti ada, raf. selama ngga sampai ke arah kekerasan atau apa, kita ngga bakal kenapa kenapa, kok!” jelas gibran.

si mahasiswa baru hanya mengangguk paham, kemudian ia menanggapi dengan pertanyaan lanjutan. “kalo mas gibran sendiri, gimana? sejauh ini ngga apa-apa, kan?”

yang ditanya pun mengangguk mantap, “mhm! gapapa, kok. yang bikin kenapa kenapa itu justru lapraknya, raf. bukan seniornya, hahahaha....” ucap gibran sambil tertawa.

“oh iya, mas! saya mau nanya ini. aduh, pokoknya penasaran banget. di belakang gedung fisip itu kan ada semacam gudang? bengkel? atau apapun itu namanya. yang ada pesawatnya itu lho, mas. nah, itu pesawatnya kalo diterbangin, lewat mana terbangnya?” gibran pun langsung tertawa girang saat mendengar pertanyaan polos dari si mahasiwa baru itu. sedangkan raffa hanya celingukan ke kanan dan ke kiri sambil memandangi gibran penuh keheranan.

“maaf, raf. lucu banget, hahahaha... itu pesawat kan ngga sebesar pesawat pada umumnya, jadi itu cuma buat kebutuhan praktek aja, raf. jadi ngga bisa dikemana-manain juga.” jelas gibran.

sekali lagi raffa hanya menyinggungkan cengirannya. bibirnya membentuk o sempurna begitu mendengar penjelasan gibran.

“raf, yang kemarin itu lu bukan, sih?” tanya gibran tanpa konteks yang jelas. kemudian raffa kembali bertanya, “kemarin kapan, mas?”

gibran membuka bibirnya ragu-ragu, kemudian ia berkata, “eh, ngga tau sih. di hari yang sama pas kota ketemu, pokoknya pas gua lagi praktek tuh kaya ngeliat lu lewat belakang. tapi ngga terlalu engeh juga sih, bisa jadi salah orang.”

“bener, kok! itu saya. saya ngga lewat depan karena di koridor tuh penuh banget, jadinya gitu deh. terus habis itu saya mampir ke kantin sembari nunggu parkiran agak sepi.”

“gua juga liat lu di kantin,” kata gibran.

raffa menatap gibran kebingungan, lantas ia langsung menghujani si kakak tingkat dengan pertanyaan. “loh? kok bisa? mas gibran ke fisip ngapain? dan waktu itu pas kita ketemu di lift juga... mas gibran mau ke mana?”

setelah meneguk minumannya, gibran menjawab, *“waktu di lift itu kan gua turun di lantai perpustakaan, itu disuruh dosen buat bantuin dia bawa sesuatu. terus pas di kantin pun sama, gua ngembaliin barangnya ke perpus dan pulangnya kan laper, yaudah mampir aja sekalian ke kantin fisip.””


setelah mereka berbincang banyak hal, akhirnya keduanya pun memutuskan untuk menyudahi perbincangan mereka. perbincangan itu ditutup dengan kalimat-kalimat yang terlihat seperti....

“makasih banyak ya, raf. udah mau repot-repot nganterin ke sini.”

“ngga, mas gib. justru saya yang makasih banyak ke mas gib, karena udah bantuin saya waktu itu. soal omongan mas gib tentang dosen yang perfeksionis, itu ternyata bener! dan banyak juga ternyata kating yang bilang.”

gibran menggaruk tengkuknya malu-malu. kemudian sembari mereka berjalan, gibran berkata, raffa, i'm sorry but... you look insanely gorgeous today. even the first time we met, keliatan sama. sama-sama cantik.”

gibran mengucapkan itu dengan mudah, sedangkan raffa yang berada di sampingnya justru gelagapan harus membalas dengan kalimat apa. akibatnya, sepanjang jalan pipi raffa terlihat memerah, sedangkan jantungnya kembali bising—seperti di awal waktu tadi.


karena celo tak kunjung membalas pesannya, pasca memutuskan untuk beranjak dari duduknya dan pergi untuk mencari celo, walaupun ia tak tau pasti di mana keberadaannya, siapa tau di pertengahan jalan nanti, hati celo tergerak untuk membalas pesan yang pasca kirim.

“bun, pasca pamit mau keluar sebentar, ya!” seru pasca di ambang pintu.

sang ibunda pun langsung menoleh dan menjawab, “adek mau pergi ke mana?”

“nyusulin acel, bun.”

“helmnya dibawa, dek!”

pasca pun mengeluarkan motornya dari garasi, meraih helm kesayangannya. kemudian ia pun beranjak dari sana.

belum jauh ia berkendara, tiba-tiba netranya menangkap sosok celo yang tengah dibonceng laki-laki berpostur familiar.

pasca pun memutar balik arah kendaraannya. tak jauh dari titik putar baliknya, celo pun turun di depan ruko yang dekat dengan perumahan tempat mereka tinggal. pasca asumsikan bahwa celo sudah mengetahui perihal segalanya.

setelah motor milik kakak kelasnya itu melaju menjauhi tempat celo berdiri, pasca langsung menghampiri celo yang tengah berjalan dengan langkah pelan, seperti tak bertenaga.

“acel!”

yang dipanggil pun menoleh, wajahnya seketika sumringah melihat siapa yang ada di hadapan. lantas celo pun langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan pasca.

“aca... dia udah punya pacar,” ucap celo, suaranya seperti menahan tangis. kemudian pasca pun mengangkat tangannya untuk usap rambut celo sembari menepuk punggungnya pelan.

“dibilangin, mending jalan sama gue.”

“jelek! katanya ngga bisa,”

pasca makin mengeratkan pelukannya sambil terus berbisik maaf tepat di telinga celo.

“aca, gue ngga mau sama yang lain,” pasca mengangguk pelan, berusaha menyusun kata-kata kala mendengar celo yang dengan spontan mengatakan hal demikian.

“gua juga maunya sama lu, cel. maaf kalo selama ini gua ngga berani ambil langkah.”

kemudian pasca pandangi wajah celo yang juga menatapnya dengan tatapan yang berkaca-kaca.

“sekarang gimana? masih berlaku ngga pergi sama gue nya?” tanya pasca, yang tentunya akan dijawab celo dengan anggukan antusias.

mereka pun pergi ke sembarang arah, menelurusi tiap inci bagian dari ibu kota. sekali lagi pasca kelewat paham, bahwa celo butuh waktu sejenak sebelum akhirnya menuangkan cerita yang dipendamnya selama ini. hal yang sederhana, namun membuat celo enggan berpaling.

beberapa kali masing-masing dari mereka tertangkap sedang mencuri pandang ke arah spion, saat tatap mata mereka bertemu, keduanya hanya tertawa canggung.

selain itu, hal lain yang paling pasca sukai adalah saat ia dan celo membelah jalanan ibu kota sembari bercerita ke sana kemari. entah itu cerita yang bermakna, maupun bualan semata, mereka berdua sama-sama menyukainya. seakan-akan hal itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan mereka sejak mereka memasuki bangku sekolah menengah atas.

awalnya, tak terbesit di dada seorang pasca dan celo yang kala itu duduk di bangku smp, bahwa nanti keduanya akan kesulitan menghadapi perasaan satu sama lain. namun saat ini, pada detik ini juga, keduanya paham, bahwa tidak perlu ada yang ditakutkan.

mereka... hanya perlu berani.

“celo, gua boleh jadi pacar lu ngga?”

“boleh! kalo gue, gimana? gue boleh jadi cowok lu juga ngga?”

keduanya terkekeh, pasca pun menjawab, “emangnya ada yang bisa nolak seorang marcello?”

dengan itu, mereka resmi berada pada suatu hubungan. dan saat itu juga, celo mengeratkan pelukannya pada pinggang pasca, seolah mengisyaratkan bahwa dirinya siap untuk perjalanan mereka kedepannya.

— fin.