— “I love you since day one, Var.”
tags: cigarettes, smoking, overthinking, family issues, mention of screaming, mention of cheating, cheating, broken home, mention of divorce, divorce, despair, trauma, mental issue/mental illness, mention of sex, mention of drunk, harsh words, mention of degradation kink, mention of kiss, kissing, make out, slight of moan, implied sex/reference to sex (?), trust issue, hurt/comfort
Sekarang, waktu menunjukkan pukul 1 dini hari. Berbekal senandung kecil untuk menemani malamnya, Raja melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota. Walaupun konon katanya ibu kota tak pernah beristirahat, tapi malam ini yang Raja rasakan hanyalah kesunyian panjang. Terpaan angin yang merambah masuk lewat celah kaca yang sengaja ia buka itu secara tak karuan mengenai wajahnya, meniup helai demi helai surai hitam milik pria tersebut. Namun hal itu nampaknya bukanlah masalah besar bagi Raja—ia justru menyukainya.
Pria yang tengah mengemudi itu menurunkan laju mobilnya dan mulai menjamah bangku penumpang guna mencari ponsel yang ia letakkan dengan sembarang sebelumnya. Tindakannya itu menyebabkan mobilnya sedikit oleng, yang tak lama memicu sopir truk di belakangnya untuk membunyikan klakson. Sontak saja Raja langsung kembali ke posisi awal dan mulai menepi sejenak.
Jemarinya itu meraih ponsel yang posisinya sudah hampir jatuh dari bangku, kemudian memasukkan pin angka yang diketahui merupakan tanggal ulang tahun temannya; Alvaro. Ia menatap layar ponselnya selama sepersekian detik, dengan layar yang menunjukkan room chatnya dengan Alvaro. Dapat ditebak bahwa Raja tengah ragu, ingin sekali rasanya ia menekan tombol panggilan tersebut.
Namun alih-alih menekan tombol tersebut, Raja justru mengetuk ikon profil milik Alvaro—menampilkan sebuah foto seseorang dengan senyum manis yang akan mengundang siapapun yang melihatnya. Begitu juga Raja. Bak menemukan oasis di padang pasir, ia hanya bisa tersenyum lebar dan mulai bergegas untuk meraihnya, walaupun ia tau ini tidaklah benar.
Untuk mengusir tanya dan ragunya, Raja menyalakan pemantik guna membakar batang tembakau di sela jemarinya itu. Berharap supaya ragunya ikut terhempas bersama asap yang mengepul.
“Var, gua tau hubungan kita selama ini bukan hubungan yang wajar antar teman, dan gua tau ini ngelanggar janji kita. Tapi di sisi lain gua juga tau kalau perasaan gua buat lu kali ini ngga salah. I love you since day one, Var.” Gumam Raja dalam hati. Kemudian ia menginjak pedal gas dan mulai kembali melajukan kuda besi kesayangannya.
Di dalam apartemen yang hangat, di atas ranjang empuknya, Varo merebahkan diri. Dalam usahanya memikirkan tingkah Raja yang tadi tiba-tiba saja berubah menjadi serius, ia biarkan pikirannya berlarian kesana kemari— memutar kembali memori bagaimana awal pertemuan dirinya dengan Raja; hingga membawa ingatan tentang bagaimana hubungan ini bermula.
Lima tahun yang lalu, Varo merupakan sosok yang periang dan hangat. Anak itu bahkan mendapatkan banyak julukan—cenderung pujian; atas kepribadiannya yang baik. Namun, Varo tiga tahun yang lalu tidaklah sama dengan Varo dua tahun yang lalu. Tidak; sampai saat di mana ia dihadapkan dengan suara bentakan dan teriakan yang bersahut-sahutan di lantai bawah—di ruang tamu rumahnya.
Hanya dalam kurun waktu satu tahun, ia melihat keluarganya perlahan-lahan hancur. Dalam kurun waktu satu tahun keadaan itu mengubah sifatnya, senyumnya, bahkan segalanya. Ia dipaksa untuk tau alasan dibalik itu semua.
Sakit.
Sesak.
Semua hal yang Varo kira baik-baik saja, ternyata tidak. Semua permasalahan yang orang tuanya sembunyikan itu bak bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Selama ini, sosok ayah yang selalu ia puja-puja itu ternyata tidak sepatutnya ia puja. Ayahnya berkhianat. Kejadian yang tidak pernah Varo bayangkan akan menikam keluarganya ini pada akhirnya terjadi. Ia kira hanya sampai di sana, ternyata ada fakta lain; ibunya pun sama-sama berkhianat.
Dada Varo seakan dihantam secara berturut-turut kala mengetahuinya. Walaupun pada waktu yang sama, ibunya menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena ayahnya yang lebih dahulu melakukannya, tetapi bagi Varo semuanya terlihat sama. Toh, pada intinya mereka berkhianat, tak peduli siapa yang memulai.
Puncaknya adalah pada saat semua orang sudah pergi menuju lelap mereka setelah menghadapi hiruk pikuk hari itu. Sementara, saat Varo berusaha jemput lelapnya pula, tiba-tiba terdengar suara bentakan itu lagi; masih samar karena memang baru permulaan.
Varo bahkan menyaksikan bagaimana suara yang bersahut-sahutan kian lama kian menggelegar bak petir yang menyambar. Tidaklah Varo hiraukan, karena topiknya setiap hari masih kurang lebih sama. Namun usaha tak acuhnya itu seketika runtuh kala rangkaian kalimat terucap dari bilah bibir ayahnya.
“Besok saya urus surat cerainya, biar kamu ngga berisik.”
Pertahanan Varo seketika hancur. Rasa optimis dan banyaknya harapan yang ia taruh di setiap doa paginya itu runtuh dalam sesaat. Walaupun dalam hatinya, ia sudah memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi Varo masih enggan percaya.
Malam itu juga, di bawah bayang-bayang kekalutan; secara utuh ia berubah.
Siapakah Varo si anak periang dan hangat itu?
Yang ada kini hanyalah Varo yang ketus dan dingin. Varo yang haus akan rasa kuat, Varo yang enggan dianggap hancur, dan Varo-Varo lain yang bukan semestinya.
Dengan jantung yang riang bergemuruh, ia pergi untuk daratkan tapak kakinya di tempat lain; di tempat yang ia harap-harap dapat memutus memori yang ada.
Diparkirkannya mobil dengan cat legam yang mengilap akibat pantulan lampu itu. Dibukanya kaca mobil itu—dihirupnya dalam-dalam udara kebebasan yang perlahan masuk. Kemudian ia salurkan hasratnya untuk menyesap batang nikotin yang selama ini enggan ia sentuh jika tidak dalam situasi 'darurat.'
Dua batang hangus sudah; menjadi abu yang kini terbang bersama sang angin. Varo iri; ia harap dirinya bisa menjadi layaknya abu dan ikut menari bersama tuan angin—atau haruskah ia menjadi abu yang sesungguhnya?
Saat ia biarkan pikirannya lepas, tiba-tiba saja seseorang mengetuk kaca mobil yang ia sisakan separuh itu. Varo pun menurunkan kaca mobilnya; membiarkan tatap mereka bertemu.
Laki-laki yang berada di luar mobil itu tidak bisa dibuat lebih terpukau daripada ini—ketika sepasang mata masing-masing mulai beradu. Rasa kagumnya meledak sempurna. Gairahnya untuk serukan kata “cantik” tak tertahankan. Perpaduan wajah lugu disertai pipi dan hidung yang memerah akibat udara dingin, ditambah lagi mata yang sembab; membuat laki-laki asing itu ingin gaungkan banyak pujian.
Belum sempat ia berseru, Varo mulai menginterupsi tatapannya dengan lambaian tangan. Lamunannya seketika pecah; digantikan dengan sebuah perkataan konyol.
“Oh, glad then. Gua kira, lu abis mabok terus lagi—”
“Apa? Lu kira gua ngewe di parkiran?” Kata Varo tegas. Hal itu mengundang tawa sekilas dari lawan bicaranya.
Laki-laki itupun mengangguk; menyetujui perkataan Varo barusan, “Ya... gitu dah. Soalnya kadang—eh engga, sering! Ada yang begitu. Padahal di dalem juga ada room,” ucapnya sebelum akhirnya menyodorkan tangannya untuk berjabat dengan Varo. Secara natural, milik Varo tergerak untuk raih tangan dingin laki-laki di depannya.
“Gua Rajendra, biasanya dipanggil Raja. Oh iya, berhubung lu di sini, pasti mau minum, kan?—Eh, apa udah minum? Tapi kayanya belum, sih. Ngga kaya orang mabok soalnya,” Laki-laki itu bermonolog; membiarkan Varo terdiam kebingungan karena belum sempat menguraikan jawaban yang sudah di ujung lidah itu, “Mata lu sembab banget, lu lagi sedih, ya? Ada masalah? Gua asumsiin kalo lu ke sini mau mabok, kan? Kalo iya, abis ini masuk aja. Kebetulan lagi shift gua, kali aja lu butuh temen cerita, nanti cari gua aja di dalem—dan... oh iya! Hari ini ada diskon.” Lanjut pria yang barusan. Pria itu kemudian melengang masuk, meninggalkan Varo dengan sejumlah kata yang tercekat di tenggorokan.
Memang, sih, tujuannya datang ke bar malam ini tak lain adalah untuk minum-minum. Dengan harapan, semoga saja setelah ini masalahnya dapat terlupakan sejenak.
Satu batang lagi sebelum ia memutuskan untuk masuk. Di sela asap yang berhembus dari mulutnya, samar-samar ia lihat notifikasi tiada henti di layar ponselnya. Ia pilih untuk abaikan belasan notifikasi yang muncul secara bergantian itu. Alasannya sudah dapat ditebak.
Kendati kedua orang tuanya memohon supaya ia pulang, Varo tetap bulat pada pilihannya. Pikirnya, untuk apa ia pulang, jika isinya saja sudah tak lagi sama? Untuk apa ia kembali, jika yang ia rasakan hanyalah kekosongan belaka?
Di lain sisi, beruntungnya ia terlahir dengan sendok emas di tangan. Ia tak perlu khawatir perihal di mana ia akan tidur malam ini jika ia kabur dari rumah; akan makan apa esok jika ia menjauhi kediamannya?
Di perjalanan menuju bar, semua telah Varo pikirkan matang-matang. Ia berencana untuk bermalam—bahkan pindah; ke apartemen yang merupakan hadiah dari sang ayah di hari ulang tahunnya yang ke-22. Saat itu ia tak berpikir banyak, ia hanya menerimanya tanpa ada niat untuk menghuninya. Toh, ia punya rumah yang hangat, dan semua yang ia perlukan—orang tuanya—ada di sana.
Namun, siapa sangka? Kini ia baru mengerti maksud sang ayah memberikan tempat tinggal baru untuknya.
Singkatnya, itulah awal pertemuan dirinya dengan Rajendra.
Sedangkan, awal yang sesungguhnya ada di sini. Saat keduanya berada di suatu ruangan berpencahayaan minim; ditemani suara denting botol dan gelas kaca yang beradu.
Terhitung sudah satu setengah tahun—sejak pertama kali bertemu—mereka mengenal satu sama lain. Oleh sebab itu, sekarang mereka bisa makan bersama; walaupun hal ini sudah lumrah mereka lakukan sedari lama.
Raja memang sering diminta untuk menemani Varo—dalam artian yang sebetulnya—di apartemennya. Bahkan ketika tidak diminta, ia tetap rutin menyambangi kediaman Varo. Mengingat bahwa ia tau, kalau kondisi mental Varo belum stabil pasca kejadian hari itu.
Oh, dan benar—Raja sudah mengetahui cerita Varo tepat di hari mereka bertemu, setelah Varo memutuskan untuk memijakkan kaki di bar tempat Raja bekerja. Maka dari itu, ia sudah paham betul bagaimana menyikapi Varo dan segala hal yang berkaitan dengannya.
“Gimana, Var, hasilnya? Sorry banget ya, tadi ngga bisa nemenin.” Ucap Raja di sela-sela kegiatan.
Di seberang sana, Varo merasa bingung kenapa laki-laki di depannya itu meminta maaf. Walaupun meminta maaf terdengar wajar, mungkin ini salah satu bagian dari perubahan dalam diri Varo.
“Kenapa minta maaf dah? Kan gua juga ngga minta temenin. Kecuali kalo gua minta temenin, terus lu nya lupa, atau bahkan ngga mau. Baru lu minta maaf.” Jawaban dari Varo masih terdengar membatu seperti biasanya.
Alih-alih menjelaskan maksud perkataan maafnya, Raja memilih untuk mengedikkan bahunya, dan berkata, “Well, just in case.” Sambungnya singkat. Raja memilih bungkam dan menyimpan saja penjelasannya itu, karena mau bagaimanapun ia menjelaskan, Varo akan tetap teguh pada perkataannya.
Padahal, maksud yang ingin Raja sampaikan adalah; ia meminta maaf karena sebagai teman, ia tidak bisa hadir di sana bersama Varo. Tentu saja itu menjadi beban tersendiri bagi Raja, sekalipun Varo bersikeras meminta Raja untuk bersikap biasa saja.
Raja bukan tak sadar jika itu merupakan efek samping dari kejadian yang menimpa keluarga kecil temannya itu; jadi Raja tidak banyak menuntut akan sikap Varo yang seringkali ketus dan dingin.
Bahkan, ia memperlakukan Varo serupa kapas; walaupun sebagian orang menganggap bahwa batu tidak perlu diperlakukan layaknya kapas—karena sejatinya ia sudah kokoh. Padahal nyatanya, menurut Raja; batu yang kokoh sekalipun jika terus menerus diperlakukan kasar, pada akhirnya akan hancur pula.
Namun ada satu malam di mana Raja berpikir keras akan hal itu—akan perlakuannya pada Varo yang bisa saja memantik munculnya rasa-rasa ingin memiliki. Tetapi yang ia maksud bukanlah muncul pada Varo, melainkan pada dirinya sendiri. Ia takut suatu saat nanti, ia tidak bisa menahan perasaannya untuk jatuh cinta.
Maka sekarang, ia coba layangkan tanya ke yang lebih muda, “Var, how do you think about love?” Tanya Raja.
Ada sepersekian detik yang terbuang sia-sia. Hening merayap di antara mereka. Sebenarnya Varo pun bingung, apa jawaban yang paling tepat untuk ini; apa alasan yang paling lazim untuk mempercayai cinta? Pikirnya.
“Ya, gitu deh, intinya gua udah mendingan banget dari yang terakhir kontrol. Jadi ngga usah terlalu dipikirin juga buat lu-nya. Gua gapapa.” Ucapnya.
Sejenak ditatapnya si lawan bicara, Varo terlihat meninjau kembali jawabannya; apakah salah? Sehingga tidak mengundang respon dari yang lebih tua. Ya, walaupun ia tau jelas itu bukanlah jawaban yang diinginkan Raja.
Raja berdiri sambil menenteng botol miras kosong dengan tangan kirinya, sedang tangan yang bebas menyentil dahi Varo. “Gua ngga nanya itu, bego.” Saat Varo sibuk mengaduh, Raja langkahkan tungkainya menuju rak tempat mereka menyimpan persediaan minuman keras itu; mengambilnya satu, kemudian kembali duduk.
Varo kemudian sumringah, tangannya hendak meraih botol berisikan wine favoritnya. “Jawab dulu,” kata Raja, yang kemudian langsung menjauhkan botol itu dari hadap muka si laki-laki dingin.
Varo berdecak kesal, matanya tatap Raja penuh dendam, “Ya, lu mau gua jawab apa, sih?”
“Bego, bego.”
“Katain aja terus,” kata Varo geram. Lumrahnya, orang akan marah jika disebut demikian. Namun Varo hanya menunjukkan raut tak senang, tanpa adanya protes lebih lanjut.
“Degradation kink ceritanya?” Begitu mulut Raja terkatup, tiba-tiba Varo mendorongnya ke belakang; hingga Raja jatuh terduduk di atas sofa. Kendati posisi mereka lumayan canggung, namun Varo belum menyadarinya; hingga Raja tarik-dudukkan Varo dalam pangkuannya, “Gitu doang kesel. Dasar bocah.”
“Ya lagi mulut lu brengsek banget,” decihnya.
Sadar akan atmosfer yang canggung, Varo usap tengkuknya yang merinding; setelahnya ia turunkan sebelah kakinya. Namun belum sempat menapak lantai, kakinya sudah kembali diposisikan ke tempat semula oleh Raja.
Anehnya, tidak keluar satupun kalimat protes dari mulut Varo. Matanya justru tatap Raja polos, seolah menyamarkan maksud tertentu di baliknya.
“Ngga usah jawab yang itu, gapapa. Tapi jawab yang ini, Var.” Varo hanya celingukan sembari tatap penuh ke arah Raja. Perlahan tangan Raja merayap menyentuh bilah bibir Varo yang sedikit membuka. “Have you ever kissed someone?“
Tatap keduanya bertemu. Debar jantung Varo semakin memburu; bak tau apa yang akan terjadi di antara mereka pada menit selanjutnya. Kemudian dengan cepat ia menggeleng pelan.
“How about we kiss?” Tanya Raja.
Wajah Varo yang sendu nan lugu kala tatap Raja dalam-dalam ini membawa Raja pada memori di mana pertama kali mereka bertukar tatap. Rasanya masih sama berdebarnya; dan payahnya, kali ini Raja tak dapat membendung semua ini kala gelap pada matanya semakin masuk ke dalam tatap si manik kecoklatan di hadapannya.
Meskipun rasanya sudah mustahil ditahan, Raja tetap menunggu jawaban dari Varo. Sayangnya, Varo tidak menjawabnya dengan kalimat persetujuan—melainkan kedua tangannya yang meraih wajah Raja dengan lembut. Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Raja. Deru nafas hangat itu menerpa satu sama lain seiring bibir mereka mendekat.
Gerakan itu kian merapat; bibir yang satu meraup bibir yang lain dengan lembut dan tak terburu-buru. Raja menyesap bilah lembut itu—menikmatinya perlahan; seakan takut habis jika dinikmati dengan tergesa. Rasanya ada sengatan listrik yang menjalar di sekujur tubuh, yang membuat Varo perlahan memejamkan mata.
Ciuman itu kian lama kian menuntut, terlihat dari gerak bibir Varo yang terburu dan tak beraturan. Namun hebatnya, Raja dapat menetralkan ritme permainan itu. Disusupkannya lidah itu perlahan; meskipun Raja sudah berhati-hati, Varo tetap saja kaget dan nampak kesulitan menyeimbangkan gerak Raja.
Tangan Varo yang semula hinggap di tengkuk Raja, kini dialihkan supaya mengalung pada leher yang lebih tua. Peran berganti, kini tangan Raja-lah yang menahan tengkuk Varo. Jari-jarinya sementara bergerak menelusup masuk ke punggung Varo; menyapa kulit dingin yang tidak berbalut apapun selain kaus lengan pendek yang sekarang dikenakan.
Setelah beberapa kali berhenti 'tuk raup oksigen, ciuman itu kian intens. Menyebabkan gerak tubuh Varo tak beraturan; pinggulnya yang maju mundur itu secara tak sadar membangunkan sesuatu di bawah sana. Saat miliknya dan Raja beradu, Varo terperanjat. Ia secara perlahan memutuskan untuk melepas ciuman itu, namun seakan tau maksud Varo; Raja tarik pelan tengkuk itu supaya tidak terlepas. Kali ini temponya sengaja ia percepat, yang menyebabkan lenguhan pertama keluar dari bibir mulut Varo.
“Mmmhh...” Suara itu rasanya memabukkan Raja, telinganya memerah begitu mendengar lenguhan pertama itu disusul dengan lenguhan lain.
Untuk kali ini, Raja-lah yang memutuskan ciuman itu. Membiarkan Varo mengisi stok dalam kantung udaranya yang kian menipis. Selagi menetralkan nafas, Raja tatap wajah Varo yang memerah; mata yang sayup disertai bibir yang membengkak itu nampak apik dipadukan dengan wajah lugu itu.
Tangan Varo merambat dari pundak menuju dada pria di depannya. Merabanya pelan seakan mengisyaratkan sesuatu. Kemudian tangan itu Raja raih pelan; meletakkannya di pipi seraya mengelusnya.
“Ja, lu... mau?”
“It's up, sayang.”
“Tapi maaf, Ja. Gua ngga bisa janjiin kalo setelah ini kita bisa punya hubungan layaknya orang pacaran. Lu... paham, kan, kenapa gua belum bisa? Tapi kalo mau sampai sini aja, ngga ap—”
“Ngga masalah, tapi janji sama gua kalo setelah ini kita anggap semuanya kaya biasa. Gua ngga mau jauhan sama lu, Var.” Dengan anggukan sebagai jawaban, dimulailah perjanjian ini; perjanjian yang dibuat Raja pada akhirnya hanya untuk diingkari; perjanjian yang pada akhirnya menjebak dua insan tersebut ke dalam perasaan yang lebih serius.
Sayup terdengar suara pin ditekan, membuat Varo yang semula termenung sedikit kaget. Buru-buru ia posisikan diri layaknya orang yang tengah terlelap, ia tarik selimut tebal itu tutupi setengah wajahnya. Ia lakukan aktingnya itu dengan harapan ia bisa menunda pembicaraan ini, setidaknya sampai esok hari. Namun jantungnya berdegup riang, buat nafasnya sedikit tersengal, ia harap lagi supaya Raja tak menyadarinya.
Begitu masuk, Raja mendapati Varo yang terlelap. Lantas ia melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 2 dini hari. Ia melanjutkan tapak kakinya ke arah dapur; mencuci tangannya, kemudian berdiri di samping ranjang seraya memperhatikan Varo tidur.
Matanya mengamati wajah cantik di hadapnya, dengan saksama ia perhatikan sepasang mata yang terpejam sempurna; juga bibir merah muda yang terkatup erat. Sekilas cahaya rembulan itu membias menerobos masuk lewat permukaan kaca yang tidak tertutup kain itu. Ia tarik gorden berwarna coklat muda itu hingga tertutup sempurna.
Tak lupa, ia betulkan selimut yang tak membalut sempurna tubuh yang selama ini memikul banyak pilu tersebut. Diusapnya surai lembut itu barang sejenak; tangannya menyingkirkan anak rambut yang tutupi dahinya; ia kecup sekali dahi itu dan membiarkan anak rambut itu kembali menutupinya.
Ia dudukkan dirinya pada sofa yang berada persis di kaki ranjang. Nafasnya berhembus kasar; Varo yang sejatinya tidak betul-betul terlelap itu langsung dapat menebak, bahwa Raja tengah dilanda kegelisahan.
Sesekali Raja sesap rokok elektrik di tangannya itu, kemudian ia pijat-pijat pelipisnya. Setelah banyak menimbang, Varo akhirnya mengalah. Ia berpura-pura terbangun dan mengelukan nama pria yang tengah gusar itu.
“Ja?” Mendengar suara itu, lantas Raja bangun dan menghampiri Varo. Ia berjongkok di samping ranjang; menyejajarkan wajahnya dengan wajah Varo.
“Sorry, Var, pasti kebangun gara-gara gua, ya?” Varo menyunggingkan sedikit senyumnya. “Padahal udah gua bilang, gua ngga suka kalo lu minta maaf terus.” Varo angkat tubuhnya untuk duduk, sekilas ia pandangi wajah Raja yang tak nampak seperti biasanya.
“Lu nangis, Ja?”
“Ngaco,” ucapnya sambil mengusap matanya beberapa kali. Terlihat raut kecewa yang dibuat-buat dari wajah Varo, “Yah, kecewa gua. Kirain nangisin gua, gitu...” kata Varo hendak mencairkan suasana. Karena ia benci atmosfer canggung di antara mereka.
Rasa menahan diri itu kian terkikis dengan rasa segera. Jadi Raja putuskan untuk bangkit dari tempatnya dan duduk di depan Varo. Dengan cepat tangannya menyambar tangan kanan Varo; menggenggamnya dengan kedua tangan, seolah tak ingin lepas. Sementara Varo hanya membiarkan Raja berlaku semuanya; ia ingin tau, apa yang berani Raja ungkapkan dari mulutnya.
“Gua emang ngga bisa nepatin janji gua buat anggap semuanya kaya biasa, karena nyatanya perasaan gua ke lu makin lama makin jelas, Var. Tapi ada satu janji yang ngga bakal gua langgar—gua ngga bakalan maksa lu buat nerima gua. Gua cuma butuh jawaban lu sekali aja, Var. Gua sayang sama lu, demi apapun. Bukan karena kita udah pernah main, bukan karena gua gila nafsu, bukan karena gua takut ngga bakalan itu lagi kalo suatu saat kita jauhan. Gua beneran sayang sama lu, Var. Sayang banget; sampai rasanya gua mau gila kalo liat lu sedih karena hal itu, dan gua... gua di situ ngga bisa berlaku banyak. Tolong, Var, gua bakalan terima apapun jawaban lu setelah ini. Juga... terserah kalo setelah ini lu mau pilih buat asing ke satu sama lain. Gua terima.” Jelas Raja; tangannya masih menggenggam erat tangan Varo. Ditempelkannya tangan itu pada dahinya seolah memohon.
Rangkaian kalimat itu sudah Varo perkirakan sebelumnya—sejak Raja mengungkapkan yang 1% itu lewat sebuah pesan. Tak dapat dipungkiri juga, bahwa selama ini Varo pun rasakan yang sama. Kutub es yang bersarang di hatinya kian mencair; tak lain karena ada campur tangan Raja di sana.
Raja terus menyiraminya dengan percikan kehangatan. Es tebal itu pada awalnya tak membuat hatinya bergeming barang sepersen pun. Tetapi hatinya seakan pasrah kala terima banyaknya afeksi yang raja berikan terus menerus. Padahal ia tau, kelamaan afeksi yang ia terima rasanya agak berbeda dari biasanya.
Namun memberontak pun tak sanggup ia lakukan. Jauh di lubuk hatinya, ada rasa-rasa ingin terus dicintai oleh Raja. Maka tidaklah Varo hiraukan ketakutannya itu; ia coba melawan sekuat yang ia bisa.
Sampai pada akhirnya, ia berada di ujung jalan; bergandeng tangan bersama sosok yang tak pernah rela melepas genggam tangannya,
“Ja, lu selalu ada buat sejak hari itu. Gimana bisa lu bilang kalo lu ngga berlaku banyak? Dengan lu nemenin gua aja udah lebih dari cukup. Karena kalo ngga ada lu, entah kapan gua bakalan sembuh, entah sampai kapan gua bakalan mendem semuanya dan entah kapan kesepian itu bakalan hilang,” ucapnya.
Ia usap kedua pipi Raja dengan lembut seraya mendekatkan tubuhnya untuk peluk tubuh kokoh di hadapannya. “Ja, makasih udah bantuin gua buat sembuh. Makasih juga, karena lu gua pelan-pelan bisa percaya lagi; kalau sebenarnya love's still exist. Gua tau kalo trauma gua bukan tanggung jawab lu buat ngejaga, tapi tolong jangan bikin gua mikir kalo lu sama aja kaya ayah gua.”
Raja menggeleng ribut, berusaha untuk membuat Varo paham kalau dirinya tidak akan bertindak demikian. “Ngga, Var, ngga bakalan. Mulai sekarang biarin itu jadi tanggung jawab gua juga, ya?”
Meskipun Raja tak dapat melihat raut wajah Varo, tapi ia dapat rasakan anggukan kecil yang Varo lakukan. “Now, I'm all yours, Ja.”
Di balik sana, Raja sumringah tak karuan. Sangat terasa bahwa pelukannya makin erat mendekap Varo; sesekali ia selipkan kecup pada leher Varo itu. Banyak terima kasih dan pujian ia gemakan di telinga Varo. Terima kasih karena sudah percaya, katanya.
“Alvaro, you're mine, Var! You're mine! I love you. Makasih banyak, Var, makasih banyak.”
— Fin!
With love, R ⟡.·