rigeleo

cw // kissing, making out


berbekal kunci cadangan dan kerjasama pemilik kost, kini seungmin bisa memasuki kamar jisung dengan mulus. seiring ia melangkah, makin kuat pula rapalan maaf yang menggema dalam batinnya. maniknya tatap seluruh penjuru ruangan, kemudian rasa rindu itu tiba-tiba datang dan menyabet hatinya.

kendati baru seminggu seungmin tak mengunjugi ruangan ini, pikirannya sudah berkelana ke sana kemari, membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya ia bayangkan. namun sejujurnya, seungmin tidak pernah sanggup untuk membayangkan bagaimana rasanya jika harus asing dengan ruangan tempatnya berbagi segala hal dengan jisung.

gelembung lamunannya pun pecah, seungmin mengusap wajahnya dan menghela napas panjang. kedua tangannya bergerak untuk mengeluarkan kue yang sudah ia pesan jauh-jauh hari. seungmin kemudian menatap kue itu dengan bangga, sebab, mendapatkan kue ini bukanlah hal yang mudah. ia harus bersaing dengan puluhan—bahkan ratusan—orang lainnya untuk mendapat slot kue pada hari yang ia mau—hari ulang tahun jisung.

ketika kue tersebut telah ia masukkan ke dalam kulkas—yang sengaja jisung beli untuk menyimpan berbagai camilan untuk seungmin—tak lama, suara motor jisung pun terdengar nyaring dari radius beberapa meter. seungmin bergegas masuk ke dalam selimut yang berada di atas ranjang kesayangan kekasihnya itu, dan menjajarkan diri dengan tumpukan bantal, juga guling.

langkah sepatu yang seungmin percayai adalah milik jisung itu pun berhenti tepat di depan daun pintu. beruntungnya, seungmin tak lupa mencabut kunci yang semula menggantung di lubang kunci. akibatnya, kini jisung dapat masuk ke kamarnya tanpa menaruh curiga sedikitpun.

jisung suka gelap. maka dari itu ia memilih untuk menyalakan lampu berwarna kuning hangat untuk menerangi ruangannya, lalu tak lupa juga ia nyalakan pendingin ruangan. pria itu kemudian mendudukkan diri di sofa berukuran sedang miliknya.

di bawah sana, seungmin mati-matian menahan pasokan udara yang terbatas untuk paru-parunya. selagi menggerutu, seungmin dengar jisung bergumam pelan, “seungmin ke mana coba? kok ngga ngabarin?”

saat itu, jika boleh jujur, seungmin merasa tak kuasa mendengarnya. jisung memang banyak bercandanya, namun seungmin tau—perasaan jisung padanya bukanlah sebuah bercandaan belaka.

“halo, je. seungmin gimana? masih sama lu dan yang lain atau udah pulang? soalnya tadi gua ke kamarnya tuh lampunya mati.” ketika namanya disebut, manik bulatnya pun melebar.

“udah tidur kali, ji, anaknya.” kata jeongin di seberang sana.

setelah telepon dimatikan, jisung berdiri dan melangkah ke sana kemari dengan gelisah. jisung berdecak sekilas, kemudian kembali berkata, “udah tidur gimana? orang seungmin aja ngga bisa tidur dalam keadaan gelap. mana mungkin dia matiin lampu?”

pria bersurai kecoklatan itu pun melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi—seungmin duga jisung akan pergi mandi, maka dari itu ia pun dengan segera menyingkap selimut itu dan mengambil tarikan napas sedalam mungkin guna dipasok ke dalam paru-parunya yang kian sesak.

sekitar 15 menit kekasih seungmin itu menghabiskan waktu di kamar mandi, akhirnya ia pun keluar sembari mengusak rambutnya dengan handuk. seungmin yang sudah membenarkan posisi tubuhnya pun kini dapat mengintip keberadaan jisung yang tengah berdiri di depan kulkas, membaca catatan yang seungmin tulis di secarik kertas.

“selamat menua, ya, sayangku! di dalam ada kue. enjoy your day!”

mengingat kata-kata yang ia tulis, seungmin merasa bodoh. bagaimana bisa jisung merasa senang ketika dirinya tidak berada di samping pria yang tengah berulang tahun itu.

jemari jisung kini meraih gagang pintu kulkas, dan membukanya. terlihat jelas kue ulang tahun dengan warna krim dominan biru dengan tulisan ucapan selamat ulang tahun pada umumnya. dapat seungmin lihat sekilas bahwa jisung tersenyum melihatnya.

tak banyak aksi, jisung pun berjalan mendekat ke arah kasurnya—tentu, untuk beristirahat. saat jisung menarik laci nakasnya untuk mengambil baju tak berlengan yang biasa ia pakai untuk tidur, tiba-tiba saja seungmin menyingkap selimutnya dan berseru, “surprise, i'm here!” senyum canggung pun terlukis di wajahnya.

bohong jika jisung tidak terkejut, karena nyatanya dirinya nyaris terjerembab ke belakang akibat ulah seungmin.

ia perhatikan napas seungmin yang sedikit terengah dan sedikit keringat yang membasahi dahinya. jisung simpulkan, penyebabnya tak lain adalah berdiam diri terlalu lama di bawah selimut.

“kamu...” sebelum jisung menyelesaikan kata-katanya, seungmin buru-buru meraih tubuh jisung untuk ia peluk. sungguh, pada saat itu ia ketakutan. bukan takut jika jisung akan membalasnya dengan hal jahat, bukan. tetapi seungmin terlalu takut untuk sekedar tatap mata kekasihnya itu, ia tau betul bahwa jisung tidak pernah bisa benar-benar marah padanya—namun, justru hal itulah yang seungmin takutkan. ia takut kesabaran jisung habis dan...

“kamu sejak kapan di sini?” tutur jisung lembut sambil usap kepala seungmin yang disandarkan pada perutnya.

just in case kalian bingung, jadi posisi jisung itu masih berdiri, sedangkan seungmin duduk. jadi seungmin meluk pinggang jisung, terus kepalanya ada di perutnya jisung, gitu.

seungmin enggan menjawab pertanyaan yang jisung layangkan, ia justru membuat rangkaian kalimat lain untuk diucapkan.

“selamat ulang tahun, ji. kamu cowok aku paling keren, kamu sekarang udah tambah dewasa, otomatis kamu bakalan jalanin hidup yang lebih berat nantinya. tapi aku harap jalan kamu selalu dipermudah sama tuhan, ya. buat beberapa hari ini... aku minta maaf, aku beneran minta maaf banget ke kamu. just so you know, aku tadi ngga beneran pergi, kok. ini cuma bagian dari rencanaku, maaf kalau kebangetan. aku gapapa kalo kamu bilang “this is the worst birthday i’ve ever had”, aku paham. i'm sorry, i ruined everything. kamu boleh marah,” jelas seungmin panjang lebar. tangan jisung masih setia mengusap kepala seungmin, karena jisung tau, seungmin bisa sedikit lebih tenang dengan ini.

tanpa bisa seungmin lihat, jisung tersenyum sekilas ke arahnya. memandang pria yang masih memeluk erat dirinya itu dengan penuh cinta, perasaan jisung membaik setelah ia melihat seungmin bersamanya saat ini.

“how could this be the worst birthday when you're in it?” ucapan jisung itu sukses membuat mata seungmin membulat penuh harap. sekarang, ia pun mulai mendapat keberanian untuk menatap jisung kembali.

seungmin perlahan melepas pelukan itu, kemudian jisung menggeser tubuh seungmin supaya dirinya dapat duduk di tepi kasur—di depan seungmin.

walau ruangan ini hanya berbekal lampu dengan pencahayaan remang, dapat jisung lihat manik seungmin yang masih menatapnya penuh harap. jisung tatap obsidian legam itu semakin dalam, lama kelamaan jarak yang mereka buat pun makin menipis.

mustahil rasanya jika jisung tidak dapat mendengar degupan jantung seungmin dengan jarak sedekat ini. jisung makin mendekatkan wajahnya ke telinga seungmin, kemudian ia berbisik, “thank you.” sebelum akhirnya ia selipkan tangannya pada tengkuk seungmin dan mulai menyatukan bibir mereka.

gerakan lembut yang jisung buat sukses membuat seungmin refleks membalas ciuman pria bersurai kecoklatan itu.

bibir keduanya bergerak perlahan, namun terasa pasti. sekilas dapat seungmin rasakan tangan jisung yang satu lagi mulai hinggap pada pinggangnya, kemudian menarik dirinya untuk mendekat.

mengetahui hal itu, seungmin hanya bisa tersenyum di sela-selanya. tangannya pun dibawa untuk mengalung indah pada leher jisung.

intensitas ciuman mereka makin memanas saat jisung sengaja selipkan hangat tangannya untuk meraba pinggang seungmin, lenguhan itu tertahan, menyisakan seungmin yang tanpa sadar membuka mulutnya untuk mempermudah benda lunak tak bertulang itu beradu.

lidah mereka bertemu, menghasilkan suara khas yang—tentunya—hanya mereka yang dengar. yang lebih tua memimpin ciuman itu, sedang seungmin dibuat kewalahan olehnya. jisung menciumnya rakus, dan entah mengapa, meskipun lelah mengimbangi tempo yang jisung buat, rasa senang dalam hatinya pun membuncah.

lidah mereka melesak ke masing-masing sisi, membelit satu sama lain. bibir seungmin dilumat bergantian, ciptakan suasana yang kian memanas. entah mengapa, peluh kian tercipta antar keduanya, padahal seingat jisung, ia sudah mengatur suhu pendingin ruangan itu lebih dingin dari biasanya.

lama kelamaan, seungmin merasa dirinya kian terdorong ke belakang. bahkan, dirinya nyaris dalam posisi tiduran. ulah siapa lagi?

ciuman mereka pun terlepas, jisung seakan mempersilahkan seungmin untuk mengisi kembali pasokan udara yang barusan ia raup habis.

posisi mereka kini berubah total, posisi seungmin sengaja jisung rebahkan di bawah kungkungannya. tentu saja, seungmin menyadarinya sepersekian detik kemudian.

persetan dengan protes yang seungmin suarakan, jisung sibuk mengecupi setiap inci dari wajah kekasihnya itu. kemudian, ia kembali mencium seungmin. tangan kirinya sibuk mengusap perut hingga pinggang seungmin, yang menciptakan reaksi seperti tersengat sesuatu. belum lama dari sana, mata seungmin seketika terbuka lebar saat jisung mulai meremat pinggangnya. ingin rasanya seungmin suarakan nikmatnya, namun sayang, mulutnya tengah dibungkam.

tangan seungmin perlahan merambat ke rambut jisung, menariknya pelan seiring jisung memperdalam ciuman dan melesakkan lidahnya tak sabaran.

setelah beberapa saat, akhirnya ciuman mereka pun disudahi. jisung menjatuhkan badannya di samping seungmin yang masih terlihat malu-malu akibat rona merah yang menjalar di seluruh wajahnya. jisung hanya tersenyum hangat melihatnya.

mata seungmin yang tak sengaja menjelajah pun menyadari, bahwa sedari tadi jisung tidak mengenakan baju atasan sama sekali.

“ji, baju kamu... ke mana...”

“mau sekalian?” ledek jisung sambil tersenyum jahil.

“besok aku masuk pagi!” ucap seungmin sambil menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. rasa-rasanya, ia merasakan kembali rasa hangat yang tertahan di pipinya.


akhirnya, waktunya pun tiba. seungmin turun ke bawah sewaktu masih soundcheck, jadi seungmin masih punya beberapa waktu buat netralin nafasnya—sebelum akhirnya, pacarnya itu bikin dia sesak nafas.

petikan gitar listrik yang menggema pun sebagai pertanda bahwa lagunya akan segera dimainkan, dan seungmin pun kelewat hafal, kalau suara petikan senar gitar tersebut asalnya dari si pacar. jadi, seungmin buru-buru tarik panjang nafasnya.

sekarang, seungmin sudah siap. kali ini, ia cuma sendirian, karena semua temannya mencar. beberapa kali seungmin dengar kanan, kiri, depan, dan belakangnya terus terusan bicara tentang jisung.

kakak yang tadi ganteng banget, ya?

yang main gitar listrik namanya siapa, sih?

eh, itu kating fakultas mana? astaga cakep banget!

yang main gitar itu bukan anak bem, ya? kalau anak bem, gue udah. minta bantuan sama kakak gue!

lama kelamaan seungmin bete. otaknya seketika panas, rasa-rasanya dia mau teriak kalau cowok yang megang gitar listrik di atas panggung itu pacarnya!

begitu musik mulai dimainkan, dan seungmin coba fokuskan seluruh atensinya ke jisung, perlahan-lahan dia pun mulai tenang. seungmin lebih pilih buat tutup telinga, dan pura-pura ngga tau aja. setelahnya, seungmin membatin, “awas aja, abis ini gue suruh jisung buat post gue. biar yang ngestalkin tau!” kurang lebih kaya gitu.


2 lagu pun dimainkan. sebelum lanjut ke lagu ketiga, mereka basa-basi dulu, dan hal itu bikin seungmin makin sebel. karena jisung justru ngegoda semua orang yang lagi nontonin dia pake kata-kata yang kebangetan manis.

ketika jisung masih bicara dan seungmin natap sinis ke arah jisung, tiba-tiba netra mereka beradu. jisung yang lihat seungmin dan wajahnya yang nahan kesel itu justru ketawa.

terakhir, sebelum lagu ketiga dimainkan, jisung bilang, “oke teman-teman, lagu ketiga yang berjudul jatuh suka, milik penyanyi favorit kita semua, yaitu tulus. aku persembahkan buat pacar aku, yang berdiri sendirian di ujung sana, deket pohon—karena dia ngga suka panas,” seungmin langsung melotot kaget. bibirnya membentuk huruf O besar. ucapan jisung yang satu itu di luar ekspektasi seungmin. apalagi, dirinya ditunjuk secara terang-terangan, yang mana seketika ratusan pasang mata jadi noleh ke arahnya.

ngga lama, suara tepuk tangan dan sorakan penonton terdengar jelas di telinga seungmin. ngga sedikit juga orang di sekitarnya yang puji dia. dia terharu, ngga tau harus apa.

seungmin salting! tapi lebih ke... malu malu. cuma dia dan Tuhan yang tau semerah apa pipinya sekarang.

setelah pacarnya itu senyum puas, seungmin tiba-tiba jongkok. karena demi apapun, kakinya langsung lemas bukan main.


Suara ketukan berulang yang Arki layangkan tak kunjung membuahkan hasil. Entah sang pemilik sedang melakukan apa, yang jelas, setelah berdiri 10 menit sembari menimbang harus masuk atau tidak—akhirnya Arki mulai menekan satu demi satu nomor pin yang ia hafal di luar kepala itu.

Pemandangan pertama kali yang Arki lihat adalah koper yang masih tertata rapi dekat pintu. Arki berasumsi bahwa isi koper tersebut belum berubah sedikit pun sejak pertama kali sang pemilik menatanya ketika hendak pulang ke kotanya.

Netra Arki mengamati sekeliling ruangan yang pemandangannya masih tak jauh berbeda dengan saat terakhir kali ia menginjakkan kakinya di sini—saat keduanya memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang susah payah mereka pertahankan.

Kemudian ia beranjak untuk melangkah lebih jauh sambil menyerukan nama si pemilik, namun hasilnya masih sama. Akhirnya, ia pun pergi mengetuk pintu kamar Elang yang ada di sisi kiri ruang tengah.

Arki berdiri memandangi pintu tersebut, kemudian menarik nafas panjang. “El? Lu di dalem ngga, sih?” serunya.

Tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya tangannya pun menekan kenop pintu, lalu mendorongnya. Dilihatnya Elang yang tengah tertidur pulas. Namun, ia dibuat salah fokus dengan obat-obatan yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Tangannya meraih salah satu bungkus obat-obatan tersebut yang kebanyakan bertuliskan keluhan yang mungkin saja tengah Elang rasakan.

Saat tangannya meletakkan kembali bungkus obat, tiba-tiba jemari dingin menyentuh pergelangan tangannya, mengakibatkan Arki sedikit terlonjak kaget.

“M... maaf, El. Tadi gue manggilin lu, tapi—” kalimat Arki terpaksa harus terputus kala anak mereka tiba-tiba berlari dari ruang tengah, kemudian naik ke atas tubuh Elang yang masih terbungkus selimut.

“Kiel, sayangku!” seru elang sambil menyibak selimutnya untuk menggendong Kiel.

Elang memandangi Arki dengan senyum terpatri di wajahnya, “Makasih ya, Arki! Maaf dari kemarin gua susah dihubungin.”

Arki membereskan nakas Elang yang berantakan, tak lupa juga meja kerja yang diatasnya banyak ditumpuk berkas berkas.

“Arki,” seru Elang sekali lagi.

“Kan udah gue bilang, El. Kalo ada apa-apa tuh bilang, even lu sakit pun sebenarnya gapapa kalo lu bilang ke gue, El.”

Elang mengubah posisi duduknya menghadap ke arah Arki yang dengan sengaja membuang wajahnya ke sembarang arah.

“Maaf, Ki. Gua ngga mau ngerepotin lu terus-terusan, you're not even mine, Ki. Gua takut lu merasa terbebani dengan perilaku gua yang masih bergantung sama lu, seakan-akan lu masih punya gua.”

Arki menarik panjang nafasnya, kemudian ia duduk tepat di samping Elang. Tanpa berniat menjawab, Arki justru mengarahkan punggung tangannya untuk mengecek suhu pada leher dan dahi Elang. Sedangkan Elang hanya terdiam menandangi Arki yang masih terlihat cemas kala melihat pemandangan dirinya yang tidaklah apik.

Just so you know, Ki. Semuanya masih tentang lu,” ucap Elang sembari menyingkirkan poni Arki yang menutupi sebagian binar pada matanya.

Arki masih enggan berucap sepatah kata pun, ia justru keluar dari unit apartemen tersebut dan berjalan entah ke mana.


Selama setengah jam Arki meninggalkan Elang dalam kondisi yang abu-abu, kini Arki kembali.

Saat mendengar nomor pin unitnya ditekan, Elang sudah menerka bahwa seseorang tersebut tak lain adalah Arki.

Arki meletakkan bungkusan plastik yang Elang duga merupakan makanan. Arki mengeluarkan kotak demi kotak ke atas meja makan.

“Arki?”

“El, mulai sekarang jangan kaya gitu lagi. Lu gapapa banget kalo mau ngerepotin gue, El. Sumpah, gue bakalan terima aja, kok. Walaupun konsekuensinya harus balik ke lu, dan jadi pacar lu lagi. Gapapa, El. Jadi, mulai sekarang tolong repotin gue lagi, ya?”

Elang yang awalnya menaruh seluruh atensinya untuk menatap laki-laki di depannya, saat mendengar rentetan kalimat akhir yang Arki ucapkan, ia mendadak terperangah. Otaknya sulit bekerja untuk menangkap maksud kalimat Arki. Belum lagi otaknya harus dipaksa untuk menerima pertanyaan bertubi mengenai mengapa Arki sangat indah? Mengapa Arki begitu cantik saat ini?. Demi Tuhan, yang satu ini amat berat.

“Gimana, Ki?”

“Mau. Since you asked me ... waktu itu. Inget ngga?”

Ain't no way. Lu bercanda, Ki?”

Arki mengedikkan bahunya, “Ya ... kalo mau dianggap demikian gapapa, kok.”

Elang tiba-tiba menabrak tubuh Arki dan memeluknya erat. Kepalanya ia gelengkan sekuat mungkin, hingga leher Arki merasa tergelitik oleh rambut Elang. “Ngga, ngga mau bercanda. Gua ... gua juga mau balikan sama lu, Arki. Maaf, Ki. Maaf buat yang sebelumnya, dan makasih! Makasih banyak karena udah kasih gua kesempatan lagi,” kata Elang sambil menahan kepala Arki untuk terus bersandar pada dadanya.

“I love you, Elang.”

Yang namanya disebut pun langsung mencuri kecupan pada dahi Arki, kemudian berkata, “I love you too, I love you even more, Arki. I love you!”

Sesaat kemudian, dengan posisi sama, tiba-tiba tangan kecil menyentuh pinggang Elang.

Oh, itu Kiel yang barusan naik ke atas meja.

Elang tersenyum lebar, wajahnya berseri kala memandangi Arki dan Kiel secara bergantian. Kemudian ia pun menggendong Kiel dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih melingkar sempurna pada pinggang Arki.

“And of course, I love you too, Kiel!” tuturnya.

Narasi ini mengandung unsur yang bisa saja memicu trauma akibat pengalaman buruk. Berisi kata-kata kasar, senioritas, bentakan, teriakan, bullying, mention of bullying, gaslighting, panic attack, perkelahian, luka, darah, kepanikan


Seungmin kini dituntun untuk pergi ke bangunan panjang yang letaknya berada di depan gedung tempat pelaksanaan LDK. Gedung itu sudah tua, dan konon katanya dalam beberapa bulan ke depan akan dilakukan penggusuran.

Selama ia bawa tungkainya berjalan, ia memikirkan segala skenario buruk yang kemarin sempat menyambangi pikirannya. Pikirannya makin dibuat tak karuan kala langkahnya berhenti di depan ruang musik. Bukan karena hantu atau semacamnya, karena yang Seungmin tau, ruang musik ini memiliki tembok yang kedap suara.

Ketukan pun ia layangkan sebanyak 3 kali, hingga akhirnya pintu pun terbuka. Kehadiran Seungmin disambut dengan senyum oleh salah satu seniornya dahulu. Namanya Juyeon. Orang yang pada awalnya Seungmin kira berbeda dari kebanyakan senior yang masih menjunjung tinggi tradisi senioritas; namun pada akhirnya, Seungmin menyadari bahwa ia tidaklah jauh berbeda dengan yang lain.

Seungmin menelan ludahnya kasar, ia memilah dengan cepat bahasa apa yang harus ia gunakan supaya dirinya berada dalam posisi aman. “Permisi, Kak ... tadi kata Eric, Kak Juy manggil saya?”

“Iya, sini masuk.” Juyeon mempersilahkan Seungmin untuk masuk terlebih dahulu, kemudian ia menutup pintu.

Di dalam, Seungmin temui dua orang senior yang ia ketahui salah satunya dari ekskul pramuka. Seungmin membungkuk sekilas, dan ia pu berdiri di hadapan tiga senior yang masing-masing menatapnya dengan tatapan berbeda. Ada yang melayangkan tatapan bingung, seperti diminta untuk ikut-ikutan, ada juga yang menatapnya datar, sedangkan Juyeon dapat dipastikan melayangkan tatapan penuh intimidasi ke arahnya.

Juyeon menjentikkan jarinya, “Eh, santai aja. Gua ngga bakalan mukulin lu, kok. Ngga usah gemeteran gitu,” ucapnya dengan tawa yang mengiringi.

Suasana seketika hening untuk beberapa saat, sampai di sepersekian menit kemudian, suara Juyeon mengudara. “Eh iya, Seung. Tadi lu ngga ngeliat kah kalo gua dateng? Lu masih tau, kan aturan di paskib tuh gimana kalo sama kakel atau alumni?”

p.s. jadi ada aturan ngga tertulis antara anggota paskib, pramuka, dan beberapa ekskul lainnya. yaitu kalau ketemu kakel atau alumni tuh harus nyamperin dan nyapa mereka. selama di lingkungan sekolah, ini udah kayak jadi peraturan wajib. tapi, pas di angkatan seungmin dan angkatan atasnya seungmin persis, udah ngga ada hal kayak gini. jadi cuma ada di angkatan juy dan atasnya lagi. btw, gap seungmin dan juy itu 1 tahun. jadi seungmin kelas 10, juy kelas 12.

“Maaf Kak, tapi tadi saya beneran ngga ngeliat kalo Kakak dateng. Pun pas saya ke ruang tunggu alumni buat nyapa, saya ngg liat di sana ada Kak Juy.”

“Alesan doang kali, bilang aja lu ngehindarin gua gara-gara DM waktu itu, kan?”

Seungmin menggeleng pelan, “Ngga sama sekali, Kak. Biar yang di DM itu jadi urusan personal saya aja, Kak. Saya ngga mau nyampurin masalah personal sama hal ini.” Seungmin berucap secara mantap, walaupun jauh dalam hatinya ia gemetar setengah mati.

Juyeon yang semula duduk di meja, kini turun menghampiri Seungmin yang berdiri sambil tertunduk di depannya. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengangkat dagu Seungmin supaya dapat ia lihat wajah rupawan itu.

Dagu Seungmin terangkat, namun tatap matanya ia lempar ke sembarang arah. Karena Seungmin tau, Juyeon tengah mengamati setiap inci dari wajahnya.

“Masih cantik, masih sama kaya dulu. Coba aja kalo lu ngga nolak gua, atau bahkan ngga ngomong hal kaya kemarin di DM. Lu sama gua bakalan aman aja, Seung.”

“Saya cuma mau memperjelas, Kak. Kita di sini sebatas senior dan junior aja, jadi tolong diudahin aja, Kak.”

“Loh, apanya yang diudahin? Mulai aja belum ... kenapa? Takut? Coba dong, ngomong lagi apa yang lu bilang ke gua di DM kemarin. Temen-temen gua mau tau, nih.”

“Kak ...” Seungmin menatap Juyeon dengan tatapan memelas, berharap semoga apa yang didengarnya barusan merupakan sebuah kekeliruan.

Juyeon mengangkat sebelah alisnya sambil menyematkan seringai licik di sudut bibirnya. “Kenapa, sayang? Chatnya udah lu hapus? Gapapa, ngga usah dibikin ribet,” ucap Juyeon yang sesaat setelahnya melempar ponsel miliknya ke kaki Seungmin, “pake handphone gua tuh. Sambil duduk juga ngga masalah, kasian, kaki princess lu nanti sakit kalo kelamaan gua suruh berdiri. Toh, gua masing suka sama lu, kok. Jadi gua ngga bakalan keterlaluan sama lu,” lanjutnya sambil berbalik untuk menghampiri meja tempat ia duduk tadi. Sedangkan temannya yang satu lagi pergi untuk mengunci pintu.

Seungmin mengambil ponsel tersebut dengan tangan yang gemetar, kemudian ia duduk bersimpuh.

“Buruan bacain. Jangan berhenti kalo belum gua suruh,”

Pada akhirnya, mau tidak mau Seungmin menyebutkan rangkaian kalimat yang kemarin ia kirim melalui DM ke akun seniornya tersebut. Ia tak habis pikir, padahal ia sudah menjelaskan hal ini beberapa kali dengan kalimat yang netral dan tidak memaki. Lalu, apa salahnya?

Ia pun terpaksa menuruti kemauan seniornya tersebut, karena ingin melarikan diripun tidak bisa. Pintu tersebut telah dikunci, ditambah gedung tempatnya berada berseberangan lumayan jauh dengan aula, belum lagi ruangan ini kedap suara. Membantah pun rasanya tak ada guna, mengingat ia di sini seorang diri, sedangkan seniornya berjumlah 3 orang.

Selagi Seungmin membacakan itu semua... teriakan dan bentakan tak berhenti menguar dari mulut seniornya itu. Seungmin yang semula berusaha menahan pun lama kelamaan menyerah. Air matanya yang semula hanya bertengger di pelupuk, kini terjun bebas membasahi pipinya. Tangannya pun gemetar bukan main.


Hyunjin rasakan degup jantungnya yang kian mengencang kala pintu demi pintu yang ia buka tidaklah menunjukkan kehadiran sosok yang ia cari. Berlarian ke sana kemari sudah ia lakukan, sejumlah tanya pun sudah ia ajukan kepada siapapun yang ditemuinya. Tetapi hasilnya masih nihil.

Hingga akhirnya langkahnya pun tiba di lorong gedung yang terpisah dari gedung tempat mereka melaksanakan LDK. Di sepanjang lorong terdapat banyak pintu yang masih harus ia telusuri satu persatu. Ia pun berhenti sejenak untuk menetralkan nafasnya sambil memandangi lorong tersebut.

Kakinya seperti mati rasa setelah berlarian naik dan turun tangga. Namun, setelah menghembuskan nafas berat, Hyunjin tanpa pikir panjang menelusuri lorong tersebut. Kemudian, tibalah langkahnya di penghujung lorong, tepatnya di ruang musik. Di dalamnya seperti ada aktivitas, karena telinga Hyunjin samar-samar mendengar ada suara yang menggema dari dalam.

Dalam hitungan ketiga, Hyunjin akhirnya mengetuk pintu tersebut sebanyak yang ia bisa. Persetan dengan siapapun yang berada di dalamnya.

Tak lama, sosok laki-laki yang tingginya sama dengan Hyunjin membuka pintu tersebut. Berbekal kecepatan kilatnya untuk mengintip ke arah dalam, akhirnya Hyunjin dapati sosok yang sedari tadi ia cari.

Dapat Hyunjin lihat, Seungmin menatapnya nanar sambil terus membaca teks di ponsel yang ia genggam. Mengetahui hal itu, emosi Hyunjin seketika tersulut. Matanya terlihat dipenuhi amarah, dan seketika tangannya beralih untuk mencengkeram kerah baju seniornya—yang sejujurnya tak begitu ia kenal.

“Lu ngapain dia, anjing?”

“Loh, cowoknya gak sih?” ucap Juyeon yang setelahnya justru tertawa.

Hyunjin menatap Juyeon geram sebelum akhirnya ia lepaskan cengkeramannya dan mendorong Juyeon hingga tersungkur ke belakang. Ia bawa dirinya untuk berbalik guna menghampiri Seungmin dan menuntunnya keluar. Sebelum membawa Seungmin pergi, ia lemparkan ponsel yang semula Seungmin genggam, ke arah Juyeon yang terduduk di lantai.

“Sampah!”

Mereka pun berjalan di lorong dengan kondisi saling bungkam—Seungmin masih sibuk dengan tangisnya, yang jujur... sangat mengiris hati Hyunjin pada saat itu.

Di tengah lorong, kemudian Chris muncul dan segera menghampiri mereka berdua. Kondisi Seungmin sangat kacau, wajahnya memerah dan amat sembab.

“Tolong bawa, Chris. Biarin istirahat dulu dianya, kalo bisa juga jangan di tempat rame.”Hyunjin melepas rangkulannya dari bahu Seungmin dan mulai berlari ke arah sebaliknya—depan ruang musik.

“Hyunjin, mau ke mana lu! Woy, Hyunjin!” seru Chris.

Raut Seungmin pun berubah, ia merasa panik tak karuan. Lalu ia menepuk pundak Chris sambil berucap, “Chris, susul Hyunjin, Chris! Tolong ....”

Chris pun mengangguk mantap, lalu berlari. Sedangkan Seungmin mngikuti dengan langkah lemas, sembari menelepon Changbin.

Chris menangkap pemandangan ekstrim di depannya. Keduanya sama-sama disulut amarah. Kepalan tangan melayang secara bergantian—kadang sukses mengenai sasaran, kadang pula meleset. Namun sejauh yang Chris amati, keduanya sama-sama terkena pukulan yang diayunkan satu sama lain. Darah yang bercucuran di beberapa tempat pun menjadi tak terelakkan. Sudut bibir Hyunjin kemungkinan robek, sedang sekitar mata Juyeon membiru—bengkak.

“Wah ... pawangnya lumayan juga,” ucap Juyeon pada dua temannya yang berada tak jauh, sambil menyeka darah di bibirnya.

“Lu kalo ditolak, harusnya lu mikir! Pecundang ya lu semua, beraninya ngumpet-ngumpet. Nyali lu mana? Kalo lu ngga terima dia nolak lu, ngomong sini sama gua, mau lu apa?”

“Gausah belagu lu, yang duluan deket sama dia tuh gua, anjing. Dia sama lu cuma main-main doang.”

“Gua ngga peduli dia mau main-main atau ngga, tapi yang jelas sekarang dia punya gua, bangsat!” kata Hyunjin tegas, “Dia. Punya. Gua. Paham ngga sampe sini?” ulangnya.

Berulang kali Chris memisahkan mereka, namun tenaga keduanya sama-sama kuat. Sedangkan dua senior lainnya terlihat santai dan tak menunjukkan tanda tanda akan membantu. Selagi Chris memutar otak, akhirnya Changbin dan Seungmin pun menyusul mereka.

Hingga akhirnya keduanya pun dapat pisahkan, dengan kondisi yang sama parahnya, akhirnya mereka pun menyudahi kegiatan baku hantam mereka. Ya... walaupun hasrat keduanya untuk saling menyerang masih membara.

Seungmin terlonjak kala Hyunjin membalik badan dan menatapnya dengan ekspresi datar yang dihiasi dengan mata sayu, juga nafas yang memburu. Seungmin pun langsung menyibak rambut Hyunjin dan membelai wajahnya pelan. Dapat dengan jelas Seungmin lihat bahwa hidung Hyunjin bercucuran darah—yang sepertinya sudah berulang kali diseka.

“Bangsat itu orang. Sampah! Fuck senioritas, kalo lu salah bakalan tetep gua lawan, anjing! Ngga takut gua,” seru Hyunjin dengan lantang ke arah Juyeon yang tengah sibuk dibantu temannya untuk berdiri.

Juyeon berjalan mendekat bersama dua orang temannya. Sedangkan Changbin dan Chris mengambil tindakan ancang-ancang untuk menghalangi keduanya.

Saat keduanya mulai mengambil posisi maju, Seungmin langsung tarik Hyunjin menjauh. Tangannya memeluk lengan Hyunjin dengan erat, berharap supaya inginnya dapat tersampaikan. Kemudian Hyunjin pun mengikuti langkah Seungmin yang menariknya menuju sebuah ruangan. Meninggalkan Changbin dam Chris yang mengisyaratkan mereka untuk pergi terlebih dulu.

Begitu masuk, pintu pun ditutup. Mereka menatap satu sama lain hingga akhirnya, mereka bertanya secara bersamaan.

“Lu ... gapapa?”

“Mana yang sakit?”

“Hati gua yang sakit ngeliat lu digituin sama mereka,” jawab Hyunjin.

Tangan Seungmin pun mengayun untuk genggam tangan laki-laki di hadapannya. “Lo tau dari mana soal itu?” tutur Seungmin, setengah berbisik.

“Ngga perlu tau, yang penting sekarang dia ngga bakalan gangguin lu lagi,” sahutnya.

Seungmin tak ambil pusing dari mana Hyunjin mendapatkan info tersebut, ia hanya mencoba menghargai keputusan Hyunjin untuk tidak menjawab pertanyaan yang barusan ia layangkan.

“Kalo gitu, yang sakit yang mana aja? Banyak ngga yang nyeri? Dijawab yang bener.”

Hyunjin terdian sejenak, ia justru membopong tubuh Seungmin untuk duduk di atas meja, sedangkan ia berdiri di hadapannya. “Banyak yang sakit, tapi besok juga sembuh. Ngga usah dipikirin, ya! Gapapa ... gapapa, ada gua, Seung. Gua selalu di belakang lu, kok.” Hyunjin kemudian menarik kepala Seungmin untuk bersandar pada dadanya. Tak lupa ia memberikan sedikit kecup pada pucuk kepala kekasihnya.

Tersisa kurang lebih 3 menit untuk Seungmin berlari dari depan sekolah menuju gerbang. Maka, begitu motor terhenti, Seungmin langsung turun dan menyerahkan helm yang semula ia kenakan. Tak lupa juga ia ucapkan terima kasih.

Seungmin berlari secepat yang ia bisa. Hanya tersisa sedikit celah sebelum gerbang tersebut akhirnya tertutup, namun Seungmin masih dapat menerobosnya.

Begitu kakinya memasuki gerbang sekolah, langkahnya terhenti. Ia membungkuk, kemudian tangannya ia letakkan di lutut. Seungmin berusaha menetralkan nafasnya yang memburu. Saat pandangannya ia lontarkan ke bawah, tiba-tiba sepatu yang biasa Hyunjin kenakan muncul di depannya. Lantas Seungmin langsung mendongak untuk memastikan.

Benar saja, dilihatnya wajah Hyunjin yang—entah mengapa—terlihat sumringah. Tangan Hyunjin tiba-tiba meraih botol minum milik Seungmin yang terletak di samping tas.

“Minum nih,” ucapnya sambil menyodorkan botol minum, yang kemudian diterima dengan baik oleh Seungmin.

“Lo beneran nungguin?”

“Kalo bohong mah gua ngga di sini dong.”

Seungmin hanya mengangguk malas, kemudian tangan Hyunjin meraih tangannya yang masih lunglai akibat berlarian tadi.

Ternyata, langkah Hyunjin membawanya ke arah kantin. Alih-alih protes, Seungmin hanya mengikuti langkah Hyunjin. Karena ia merasa, memprotes Hyunjin hanya akan membuat tenaganya habis.

hyunsung au, by r.


Saat kejadian,

Suara lantang nan menggelegar tiba-tiba menggema di seluruh penjuru lapangan. Membuat siapapun yang ada di sana menoleh, bahkan menghampiri sumber suara tersebut.

”... Apaan, sih? Jelas-jelas anak badminton doang duluan yang sampe sini! Pun kalau kita sampe sini belakangan, yang boleh make ya anak badminton, karena kita punya izin!” seru Hyunjin.

“Lah, lu pikir gua ke sini mau ngerusuh dan ngerebut lapangan ini? Ngga, ya! Gua sama anak voli ke sini juga karena udah dapet izin. Lu ngga usah ngaku-ngaku, lagian juga gua sama anak voli udah ngebooking lapangan ini setelah anak basket.”

“Bahasa lu bookang booking, kaya bayar aja! Yang penting izinnya. Coba mana buktinya kalau anak voli udah izin?”

Saat Jisung hendak menjawab, tiba-tiba kegiatan mereka harus dilerai oleh kedua belah pihak. Akhirnya mereka pun mengalah, dan memilih untuk mundur ke tepi lapangan sampai ada bukti kuat yang menunjukkan siapa yang berhak memakai lapangan indoor tersebut.

Kendati sudah dipisahkan dan diberi jarak, keduanya; Hyunjin dan Jisung masih melempar tatapan sinis pada satu sama lain.

Selesai.

Setelah membaca pesan dari grup, sontak semua anggota ekskul badminton bergerak menuju ke lapangan yang letaknya di dalam gedung yang berseberangan dengan aula.

Sesampainya mereka di sana, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat lapangan yang sudah ramai dari kedua pihak—yaitu anggota badminton dan voli.

Felix menghampiri Seungmin yang berdiri berdampingan dengan Minho. “Seung, kenapa? Kok rame-rame gini?”

“Duh, tadi si Hyunjin adu bacot sama Jisung. Tapi untungnya udah dipisahin,” ucap Seungmin terputus, dan digantikan pertanyaan lain dari Felix yang terlampau panik. “Loh? Gara-gara di kantin tadi kah?”

Seungmin menggeleng ribut, kemudian suara Minho dengan cepat mendahului tarikan nafas Seungmin yang hendak berbicara. “Bukan, Lix. Gara-gara rebutan lapangan. Si Hyunjin bilang, kalo dia udah dapet izin dari pak Arif, nah sedangkan si Jisung juga udah dapet izin dari pak Jamal.”

Dahi Felix pun mengerut keheranan, “Tapi 'kan yang megang izin lapangan emang pak Arif, terus sisanya baru deh kita minta kunci ke pak Slamet.”

“Nah, itu ... pak Jamal juga udah dapet izin dari pak Arif katanya,” tambah Seungmin.

Lantas, Minho menoleh. “Bentar, pak Jamal nih bilangnya kapan, ya? Soalnya tau sendiri kalo pak Arif tuh gampang lupa.”

“Ya ngga tau! Kan kamu anaknya,” kata Seungmin pada Minho.

Tak lama kemudian, pak Jamal datang bersamaan dengan pak Slamet—penjaga sekolah. Keduanya pun menghampiri dua kubu yang tengah dilanda kebingungan.

“Hayo ... jangan ribut-ribut. Sini semuanya,” ucap pak Jamal yang menghimbau supaya mereka mendekat ke sumber suara.

“Anak-anak ... khususnya anaknya pak Arif, nih. Bapak minta maaf ya, karena sepertinya ada misscom antara saya dengan pak Arif mengenai izin menggunakan lapangan indoor. Ternyata kata pak Slamet, pak Arif sudah bilang duluan. Jadi hari ini dan dua hari ke depan, yang bisa pakai lapangan ini sepulang sekolah itu cuma anak badminton, ya.”

Mendengarnya, semua anggota klub badminton itu pun bersorak kegirangan bak memenangkan pertandingan.

Kemudian Hyunjin melirik ke arah Jisung yang sepertinya tengah menahan rasa kesalnya—terlihat dari raut wajahnya. Setelah dipastikan ia telah membuat kontak mata dengan Jisung, Hyunjin dengan percaya diri menjulurkan lidahnya guna memancing amarah Jisung. Namun, alih-alih menghampiri Hyunjin, Jisung akhirnya mengalah dan hanya mengacungkan jari tengah sebagai gantinya.


Suara nyaring motor Jisung dari radius beberapa meter terdengar oleh Seungmin. Ia yang semula bersantai sambil menonton film pun memutuskan untuk bersiap mengambil posisi tidur. Jangan heran, itu kebiasaannya tiap kali Jisung datang.

Sedangkan Jisung yang sudah kelewat hafal tingkah kekasihnya itu, begitu masuk, ia langsung berlari kecil ke arah Seungmin dan menjatuhkan badannya di atas tubuh kekasihnya. Biasanya, Seungmin langsung bangun dan melayangkan beribu pukulan pada tubuh Jisung sebagai bentuk protes.

Namun, kali ini tidak.

Maka dari itu, Jisung beralih untuk menggelitik pinggang serta leher Seungmin. Benar saja, Seungmin pun langsung tertawa geli. Senyum lebar disertai suara tawa yang memenuhi ruangan milik kekasihnya itu merupakan salah satu hal yang paling Jisung puja. Bagi Jisung, senyum itu tampak cocok bersanding dengan wajah rupawan lelakinya.

”... Ahahaha ampun, ampun! udah, Ji, geli ... udah!” ucap Seungmin sambil menggeliat ke sana kemari untuk menghindari serangan Jisung.

Jisung pun akhirnya menyudahi aksinya. “Oke, satu kosong, ya. Hahaha!”

“Kamu curang,” protes Seungmin sambil membenarkan rambut, serta bajunya yang sudah tak terlihat elok. ”... dan aku masih marah sama kamu!”

“Loh, marah kenapa? Kan aku bawa es krim.”

Seungmin hanya melirik Jisung sinis, bibirnya mencebik kesal. Terdengar juga suara gerutuan yang keluar dari bibirnya.

Jisung pun perlahan mendekat. “Oh! Hahaha ... iya, kamu cantik, ganteng, cah ganteng, cah ayu, bagus, apik, cakep paripurna sedunia,” kata Jisung sambil mengusakkan hidungnya pada hidung Seungmin. Ia tahu, bahwa Seungmin menyukai itu.

“Masa harus dikasih tau!”

Jisung hanya mengedikkan bahunya sambil berdiri, kemudian ia berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci kakinya.

Selagi Jisung di kamar mandi, ponsel Jisung tak berhenti menunjukkan notifikasi pesan masuk dengan nama 'je' yang tertera di sana. Seungmin yang sibuk mengamati pun tiba-tiba menyadari, bahwa wallpaper layar kunci milik Jisung bukan lagi foto dirinya yang kemarin. Melainkan foto yang ia kirim tadi.

Tentu saja Seungmin tersipu, hatinya mendadak berubah menjadi taman bunga, perutnya pun dipenuhi ribuan kupu-kupu.

Seungmin memutuskan untuk beranjak dari kasurnya dan menunggu Jisung keluar. Saat pintu terbuka, dan Jisung sedang mengusap wajahnya dengan tisu—Seungmin tiba-tiba menabrak tubuh Jisung dan memeluknya erat.

“Dih, kamu kenapa?”

Seungmin melepaskan pelukannya sejenak. Tangannya yang semula memeluk Jisung, kini mengalung indah di leher pemuda itu. Sedangkan tangan Jisung tanpa sadar sudah hinggap pada pinggang Seungmin.

“Hehehe ... makasih banyak! Aku sayang kamuuuuu,” ucapnya yang kemudian membungkam bibir Jisung dengan ciuman. Kekasih Seungmin itu dengan susah payah menahan rasa gemasnya.

Bibir mereka beradu dengan lembut tanpa terburu-buru. Sesekali mereka tersenyum di sela-sela ciuman itu, dan entah mengapa... bagi mereka, euphoria tiap kali mereka bercumbu rasanya masih sama seperti pertama kali.

Rasa bahagia dan antusias itu masih tiba-tiba membuncah tiap kali bibir mereka bertemu, jantung mereka pun masih menunjukkan irama detak yang tergesa, perut mereka juga masih dipenuhi rasa menggelitik.

Kemudian, dirasa pasokan udara mereka menipis, mereka sepakat untuk menyudahi sesi bercumbu mereka dan beralih untuk menatap wajah satu sama lain.


Lagi-lagi pesan dari seorang Felix-lah yang membuat Jisung tergerak. Terkadang ia pun sadar bahwa kontrol diri itu perlu, namun, Jisung merasa masih terlampau sulit untuk melakukannya.

Jisung pun akhirnya keluar pintu kamarnya dan pergi sejenak ke arah dapur. Suara langkahnya saat menuruni tangga ternyata disadari oleh si pemilik kost.

Begitu ia sampai dapur, suara halus menyapa rungunya. “Mas Jisung, balik kapan? Kok Ibu ngga liat, ya?”

Jisung sedikit tersentak kaget. “Eh ... Ibu, kirain siapa. Saya pulang subuh tadi, Bu.”

“Oalah, si Bapak ya yang bukain?”

Ia mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bu. Ada bapak lagi nyapu depan, tadi pagi pas saya pulang,” jelasnya.

Sang pemilik kost itu hanya mengangguk, seraya berkata, “Mas Jisung, bisa ngobrol sebentar sama saya?”

“Bisa, Bu.”

Kemudian Jisung mengekori Ibu pemilik kost tersebut untuk menuju ke ruang tamu kost.

Sembari berjalan, Jisung menimbang beberapa asumsinya mengenai topik apa yang akan dibahas oleh si pemilik.

“Jadi gini, Mas. Mas Jisung lagi berantem sama Mas Seungmin, ya?” tanya si pemilik kost dengan nada sehalus mungkin.

Melihat gerak-gerik Jisung yang enggan untuk menjawab, sang Ibu kost pun melanjutkan kalimatnya, “Kalau ngga bisa dijawab, ngga apa-apa, Mas. Soalnya kemarin pas banget setelah Mas Jisung keluar, Mas Seungmin tuh ngeliatin dari atas. Nah, ngga lama, Ibu kan kalau ada anak Ibu yang keluar tuh kamarnya Ibu cek dulu, takutnya teh kelupaan dikunci atau apa. Nah, di situ ada Mas Seungmin, duduk di depan pintu kamarnya Mas Jisung. Mungkin nungguin Mas Jisung pulang, terus mungkin Mas Seungmin tau kali, ya, kalo Mas Jisung ngga pulang. Jadinya dia balik ke kamarnya,” jelasnya panjang lebar.

Mendengarnya, Jisung hanya mengusap wajahnya kasar. Rasa bersalah kian menggerogoti dirinya. Kendati demikian, ia masih ingin menggali informasi lebih lanjut.

“Dia duduk di depan kamar saya lama, Bu?”

“Lumayan, kan Mas Jisung pergi jam 9 lewat, nah itu Mas Seungmin duduk di situ sampai jam 11 lewat. Saya mau tanya, tapi takutnya ini masalah personal. Terus juga kata si Bapak, tadi subuh teh Mas Seungmin balik ke depan kamar Mas Jisung, ketuk-ketuk gitu. Tapi pas dia denger suara motor Mas Jisung, dia langsung naik ke kamarnya.”


Kini, Jisung menatap kosong ke arah pintu kamar Seungmin. Ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

Beberapa ketukan ia layangkan, namun tak kunjung mendapat respons dari si penyewa kamar.

Dirinya hendak melihat masuk ke arah jendela, namun ternyata Seungmin menutup gordennya—padahal, biasanya ia hanya mengenakan gorden semi transparan. Akhirnya, Jisung pun berinisiatif menarik bangku yang ada di depan kamar Seungmin untuk melihat ke dalam lewat jaring-jaring ventilasi yang biasa ada di atas pintu.

Terlihat samar, tetapi Jisung dapat melihat Seungmin yang tengah tertidur meringkuk di atas tempat tidurnya. Sisinya berantakan, seperti tidak ditata selama beberapa hari terakhir. Lagi-lagi Jisung teramat tau, bahwa kekasihnya itu paling tidak tahan dengan kamar yang berantakan.

Jisung kembali amati sekitar Seungmin, di sana terdapat beberapa obat dan plester penurun panas.

Ia pun turun dan mengetuk pintu tersebut sedikit lebih keras—berusaha membangunkan Seungmin. Saat Jisung sedikit frustasi, tangannya dengan reflek hinggap pada kenop pintu. Tak disangka, ternyata pintu tersebut tidak dikunci dari dalam.

Kemudian tanpa ragu, Jisung berjalan pelan ke dalam. Menghampiri Seungmin yang terbaring di ranjangnya.

“Seung, bangun ...” ucapnya pelan, sembari menepuk pelan pipi Seungmin. Tetapi, Jisung terlonjak kaget kala ia dapati pipi Seungmin yang menghangat, kemudian untuk memastikan, ia letakkan juga tangannya pada dahi Seungmin— yang ternyata sedikit lebih panas.

“Seungmin, bangun sayang, badan kamu panas banget. Ke dokter, yuk?”

Masih tak bangun juga.

Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya Seungmin terbangun. Matanya terbuka perlahan-lahan, walaupun nampaknya sangat berat.

Netra Seungmin pun menelisik, siapakah gerangan sosok yang berada di hadapannya saat ini. Pandangannya sedikit buram, kepalanya pusing bukan main.

“Seung, ini aku.”

Mendengar suara yang familiar, Seungmin berusaha untuk bangun. Jisung pun membantunya perlahan.

Seungmin masih terdiam, ia tertunduk sambil memijat pelan dahinya. Jisung sangat khawatir melihat kondisi Seungmin yang pucat bukan main. Tangannya tergerak untuk menyibak rambut Seungmin ke belakang sembari sesekali memastikan suhu tubuh kekasihnya.

“Kenapa bisa begini?” tanya Jisung. Padahal ia tahu jelas, bahwa ini akibat pertengkaran mereka tempo hari. Jisung kelewat paham tentang bagaimana Seungmin yang mudah jatuh sakit bukan hanya ketika sibuk saja, tetapi juga ketika berselisih paham. Ketika itu terjadi, kekasihnya itu cenderung memikirkannya terus menerus hingga berdampak pada kondisi kesehatannya.

Seungmin hanya menggeleng lemah, entah karena ia takut untuk sekedar berbicara—karena yang ia tahu, Jisung masih enggan berbicara padanya—atau memang karena ia tidak bertenaga saja.

“Kita ke dokter, ya?”

Untuk yang kedua kali, Seungmin hanya menggelengkan kepalanya.

“Kenapa ngga mau ngomong sama aku? Gapapa, ngomong aja. Aku udah ngga marah,” ujar Jisung.

Manik legam Seungmin tatap Jisung takut-takut. Tanpa sadar, lama kelamaan air matanya turun. Perlahan pula suara isakannya mulai terdengar.

“Sayang, kenapa nangis? Ada yang sakit?”

“Kamu ... kamu yang sakit gara-gara aku kemarin, kan?” ucap Seungmin. Suaranya bergetar.

Jisung pun akhirnya memeluk Seungmin tanpa ragu, kemudian menepuk punggungnya pelan.

“Ji, aku minta maaf. Maafin aku.” Seungmin mengucap kalimat tersebut berulang kali karena Jisung tak kunjung memberi respon berupa kalimat.

Jisung mengingat kembali pesan yang kemarin Seungmin kirim. Ia sudah di tahap pasrah dengan semua keputusan Jisung, bahkan jika akhirnya harus berpisah, Seungmin akan terima. Begitulah yang Jisung baca tadi. Jisung pun berpikir, wajar saja Seungmin menjadi seperti ini, pastilah pikiran-pikiran buruk tentang hubungan mereka benar-benar menghantui Seungmin.

“Aku udah ngga marah, aku udah cukup marahnya. Jangan nangis lagi, ya?”

“Maafin aku, Ji ....”

“Aku maafin, sayang. Udah, ya, udah. Jangan mikir gimana-gimana lagi.”

“Ji, aku ngga masalah kalo kamu mau pu—” kalimat Seungmin tiba-tiba terputus, digantikan oleh suara berat Jisung yang terdengar begitu serius. “Ngga. Kita ngga bakalan putus, dan aku ngga mau putus.”

Sekali lagi, Jisung menarik nafas panjang dan berkata, “Maafin aku juga, ya. Maaf karena marahnya terlalu lama, maaf juga gara-gara aku kamu jadi sakit.”

Seungmin menggeleng ribut, “Aku yang minta maaf ke kamu, Ji. Padahal semuanya udah jelas, tapi aku masih aja bikin kamu sakit ... and i think, i deserve this

Deserve apa? Sakitnya? Ngga. Ngga sama sekali.”

Seungmin kembali memeluk Jisung erat-erat seraya berucap, “Aku ngga mau berantem lagi sama kamu. Aku minta maaf, Ji ...”

Jisung pun membalas pelukan Seungmin, sembari tangannya mengusap rambut Seungmin dengan lembut, juga mengecup pucuk kepala itu sesekali.

“Aku juga minta maaf, aku janji ngga bakalan marah sampai sebegininya lagi. Jangan sakit lagi, ya.”


Mendengar kabar bahwa sang kekasih tidak berada di lokasi awal, membuat Jisung kalang kabut.

Walaupun amarah tengah melahap setengah dirinya, Jisung masih memiliki secuil kewarasan untuk mengesampingkan jauh-jauh egonya untuk kemudian mencari Seungmin.

Hari kian larut. Kendaraan yang biasanya ramai melintas pun bahkan merasa enggan untuk melanjutkan aktivitasnya. Kini hanya tersisa beberapa orang setengah sadar yang berlalu lalang, berusaha mencari jalan pulang.

Sedangkan Jisung masih tak kunjung menemukan kekasihnya. Namun, ia merasa yakin bahwa keberadaan sang kekasih tak jauh dari bangunan bertingkat tiga—tempat mereka tinggal.

Jisung kembali menyusuri jalanan dengan lampu remang-remang tersebut, berharap ada sesuatu yang terlewat.

Jarak dua halte dari kost tempat mereka tinggal—dari kejauhan, netra Jisung menangkap sosok pemuda yang tengah duduk tertunduk sembari mengusap wajahnya sesekali. Karena minimnya pencahayaan di halte tempat pemuda itu menepi, akhirnya Jisung menghampirinya untuk memastikan.

Benar saja, sosok itu tak lain adalah Seungmin. Ia menatap kosong bumi yang dipijaknya, masih dalam keadaan menangis. Nafasnya pun ikut tersengal, dan dapat dipastikan wajahnya menjadi sembab bukan main.

Jisung memberhentikan motor hitam legam kesayangannya itu tepat di dekat Seungmin. Karena merasa terinterupsi, Seungmin pun mendongak untuk melihat siapa yang ada di depannya.

“Kenapa ngga pulang?” tanya Jisung begitu tatapannya beradu dengan netra Seungmin.

Bukannya menjawab, Seungmin justru makin mengeraskan tangisnya. Jisung pun demikian, ia enggan mengulang pertanyaannya.

“Gua yang diginiin kok lu yang nangis?” Wajahnya terlihat serius dengan ekspresi datar. Kendati demikian, masih ada kepedulian dalam diri Jisung. Selanjutnya, ia justru memakaikan jaket yang semula ia pakai ke tubuh Seungmin.

“Maaf, Ji ... aku ngga berani pulang. Aku takut kamu makin marah ....”

Lagi-lagi Jisung menutup rapat mulutnya. Ia kemudian memakai helmnya dan menarik pelan tangan Seungmin untuk duduk di motornya. Seungmin sedikit menahan gerak tubuhnya supaya tidak tertarik oleh Jisung, namun, kekasihnya itu segera menoleh dan berkata, “Naik. Kita pulang.”

Mendengar nada bicara yang tak biasa ia dengar, Seungmin pun menjadi segan dan memilih untuk patuh.

Dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh, mereka pun akhirnya sampai. Begitu turun dari motor, Jisung kembali memegangi pergelangan kekasihnya sembari berjalan ke lantai 3, alias ke kamar milik Seungmin.

Sesampainya di depan pintu, Jisung merogoh kantung celananya untuk mengeluarkan kunci kamar Seungmin yang biasanya dititip padanya.

Pintu pun terbuka, dan Jisung mendorong pelan tubuh Seungmin untuk masuk. Begitu dirinya membalik badan, ganti tangan Seungmin yang kini mencekal tangannya. Seungmin tak berucap sepatah kata pun, ia hanya menatap Jisung dengan tatapan yang tersirat berlembar-lembar kalimat yang siap untuk dilontarkan.

Namun, Jisung terlebih dahulu membuka suaranya. “Masuk. Gua ngga mau ngobrol sekarang,” ucapnya yang kemudian melepas tautan yang Seungmin ciptakan.

Jisung pergi ke kamarnya setelah ia menutup pintu. Menyisakan Seungmin sendirian yang kini dirundung rasa bersalah.

Seungmin paham letak kesalahannya, ia pun tau bahwa yang Jisung rasakan tidaklah jauh berbeda dengan yang ia rasakan kemarin—kala Jisung bercengkerama dengan orang yang tidak ia sukai. Atau mungkin... lebih sakit?

Menerima balasan pesan dari Jisung membuat suasana hati Seungmin sedikit membaik. Jisung terbilang tidak pernah gagal dalam menghiburnya, walaupun di sebagian orang mungkin terlihat menyebalkan—karena beberapa orang berpendapat, ada waktu untuk serius dan ada waktu untuk bercanda, ya ... memang. Namun, selagi Jisung bisa mengemas keduanya dalam satu waktu, hal itu bukanlah masalah besar bagi Seungmin.

Gelembung pesan terakhir sudah terbalaskan, Seungmin pun langsung berlari dari arah pintu—untuk membuka kunci pintu—kemudian kembali ke kasurnya.

Begitu pintu dibuka, Jisung dengan seringainya yang menyebalkan langsung menyapa Seungmin. “Gua tau ya, lu abis buka kunci langsung lari,” ucapnya sambil menaruh panci berisikan bungkusan mi ramen dan beberapa bahan pendukung.

Seungmin hanya terdiam, matanya masih mengawasi Jisung yang berjalan ke arahnya. “Biasa aja kali ngeliatinnya,” protes Jisung.

Yang diajak bicara hanya mencebik kesal, ia pun berkata, “Lu nyebelin!”

Mendengar ocehan kekasihnya, Jisung hanya tertawa kecil. Dirinya sudah terbiasa mendapatkan banyak protes dan omelan dari kekasihnya itu, namun, bukannya balik marah atau merasa takut, Jisung justru makin menambah niatnya untuk terus menggoda Seungmin.

Jisung, sini dong, mau peluk. Bilang gitu kan enak.”

“Males,” sanggahnya.

Meskipun demikian, saat Jisung berdiri di depannya dan mulai mengusak rambutnya, Seungmin perlahan melunak. “Kenapa, sih, kok bisa sampe bt banget gini?” tanya Jisung sambil memainkan surai hitam Seungmin.

Seungmin yang hatinya sudah mulai melunak pun meraih pinggang Jisung untuk dipeluk. Ia menyembunyikan wajahnya pada perut Jisung dan mulai meracau pelan. Entah apa yang diucapkannya, Jisung pun tak dapat menangkapnya dengan jelas.

“Gapapa, sayang, kan ujungnya lu bisa kan jawabnya? Itu udah keren kok. Jangan terlalu mikirin hasilnya, dosennya pasti paham kok kalo lu bisa jawab pertanyaannya walaupun agak ngadat ngadat jawabnya.”

“Ngga usah ngeledek ah,”

“Hahaha ... kaga ngeledek itu, sumpah. Lu udah ngerjain semaksimal mungkin, jadi, pasti hasilnya bakalan ngikutin. Lu inget ga sih pas semester kemarin lu juga begini. Dibantai abis-abisan sama pertanyaan dari dosen, lu bilang jawaban lu kaga maksimal, tapi ternyata dapet A. Nah, berlaku juga buat ini. Gua yakin lah nilai lu kaga bakal dapet B apalagi C,” jelas Jisung, mencoba menghibur Seungmin.

Jisung paham, bahwa pacarnya itu kelewat ambis. Jadi, jika menurutnya ada yang kurang maksimal, maka akan selalu dibawa pikiran.

Setelah Jisung mengucapkan hal itu, gerak Seungmin jadi makin gusar. Kelamaan, Jisung merasakan hangat pada baju bagian perutnya.

Seungminnya menangis.

Jisung pun menarik pelan kepala Seungmin untuk mendongak. Dilihatnya mata yang sembab dan berlinang air mata, hidung yang sedikit memerah, dan air mata yang perlahan mengalir menuruni pipi Seungmin. Jisung usap pipi itu dan kembali memeluknya. Seungmin tidak banyak bicara, mengucap sepatah kata kala menangis saja ... sudah syukur.

Bagi Jisung, Seungmin yang ini dengan Seungmin yang biasanya, merupakan dua orang yang berbeda. Maka dari itu sebisa mungkin Jisung membedakan perlakuannya ketika menghadapi Seungmin yang ini— Seungmin yang menunjukkan sisi lemah lembutnya jika ia mau, dan hanya padanya.