love at first sight?


bertemu kembali dengan orang asing yang baru saja raffa temui sekali dalam seumur hidupnya bukanlah hal yang mudah. biasanya, banyak hal yang harus ia tinjau untuk bertemu kembali. namun, entah mengapa hati dan pikirannya tidak bisa berkata 'tidak' untuk seorang laki-laki bernama arkana gibran.

jangankan untuk bertemu kembali, raffa bahkan tidak berekspektasi banyak pada pertemuan pertama mereka yang tidak disengaja itu. memang benar adanya bahwa diri raffa tertarik dengan gibran pada awalnya. tetapi, ia tidak pernah menyangka bahwa setelah itu—bahkan kurang dari satu hari—otaknya terus menerus mengulang cuplikan yang ia alami kala itu. di sana tercetak jelas sosok gibran. hanya gibran seorang.

raffa bahkan melupakan sosok pria menjengkelkan yang dengan cerobohnya berlarian di koridor sambil membawa kopi dan menabrak dirinya hingga terjatuh.

aneh memang, namun raffa secara penuh menyadarinya.

di sinilah ia duduk, dengan perasaan gusar, ia kendalikan hatinya supaya tidak terlalu bising.

sewaktu dirinya melamun, tepukan tangan yang hinggap pada pundaknya itu menyadarkan lamunannya. seketika ia pun menoleh.

“maaf lama ya, raf. lu jadi repot nungguin jadinya.”

apa yang netranya tangkap pertama kali merupakan senyuman yang tempo hari ia lihat. bahkan jika saat ini mereka tidak bertemu, di ingatan raffa masih tercetak jelas bagaimana untuk pertama kalinya gibran tersenyum padanya.

“raf, kenapa?” tanya gibran kebingungan saat melihat raffa yang melamun sembari menatap penuh ke arahnya.

raffa menggeleng ribut, “oh, ngga, kok! sini duduk, mas gib.”

kemudian gibran yang masih setia dengan cengirannya itu pun duduk di depan raffa. kepalanya celingukan ke sana kemari untuk mencari tau, ke mana arah yang mata raffa tuju.

“raffa,” panggil gibran pelan. namun entah mengapa raffa langsung tersentak begitu mendengarnya. lalu dengan spontan raffa menjawab, “iya, mas! ada apa?”

“engga, lu... dari tadi ngelamun terus. kenapa? ngga nyaman, ya?”

raffa menaikkan alisnya, kaget. sekali lagi ia menggeleng ribut, “engga, mas. saya agak asing aja sama suasananya. jadi sedikit nervous.

gibran pun terkekeh mendengarnya, pikirannya tertuju pada perkataannya di direct message beberapa jam yang lalu.

“eh, mikirin omongan gua yang soal anak teknik sensian itu kah? hahaha... maaf ya, bercanda kok, di sini justru pada santai orangnya. gapapa, raf. ngga bakalan dipukul juga kok kalo main ke ft.”

laki-laki di depan gibran itu mencebikkan bibirnya sambil menatap jengkel ke arahnya. ” lagian, mas! stigma anak teknik tuh galak galak, terus juga sorry, agak senioritas gitu. ya tapi balik lagi sih, mas. itu kan baru katanya aja.”

gibran mengaduk minumannya, dengan tatapan yang masih melekat pada raffa. “senioritas mah pasti ada, raf. selama ngga sampai ke arah kekerasan atau apa, kita ngga bakal kenapa kenapa, kok!” jelas gibran.

si mahasiswa baru hanya mengangguk paham, kemudian ia menanggapi dengan pertanyaan lanjutan. “kalo mas gibran sendiri, gimana? sejauh ini ngga apa-apa, kan?”

yang ditanya pun mengangguk mantap, “mhm! gapapa, kok. yang bikin kenapa kenapa itu justru lapraknya, raf. bukan seniornya, hahahaha....” ucap gibran sambil tertawa.

“oh iya, mas! saya mau nanya ini. aduh, pokoknya penasaran banget. di belakang gedung fisip itu kan ada semacam gudang? bengkel? atau apapun itu namanya. yang ada pesawatnya itu lho, mas. nah, itu pesawatnya kalo diterbangin, lewat mana terbangnya?” gibran pun langsung tertawa girang saat mendengar pertanyaan polos dari si mahasiwa baru itu. sedangkan raffa hanya celingukan ke kanan dan ke kiri sambil memandangi gibran penuh keheranan.

“maaf, raf. lucu banget, hahahaha... itu pesawat kan ngga sebesar pesawat pada umumnya, jadi itu cuma buat kebutuhan praktek aja, raf. jadi ngga bisa dikemana-manain juga.” jelas gibran.

sekali lagi raffa hanya menyinggungkan cengirannya. bibirnya membentuk o sempurna begitu mendengar penjelasan gibran.

“raf, yang kemarin itu lu bukan, sih?” tanya gibran tanpa konteks yang jelas. kemudian raffa kembali bertanya, “kemarin kapan, mas?”

gibran membuka bibirnya ragu-ragu, kemudian ia berkata, “eh, ngga tau sih. di hari yang sama pas kota ketemu, pokoknya pas gua lagi praktek tuh kaya ngeliat lu lewat belakang. tapi ngga terlalu engeh juga sih, bisa jadi salah orang.”

“bener, kok! itu saya. saya ngga lewat depan karena di koridor tuh penuh banget, jadinya gitu deh. terus habis itu saya mampir ke kantin sembari nunggu parkiran agak sepi.”

“gua juga liat lu di kantin,” kata gibran.

raffa menatap gibran kebingungan, lantas ia langsung menghujani si kakak tingkat dengan pertanyaan. “loh? kok bisa? mas gibran ke fisip ngapain? dan waktu itu pas kita ketemu di lift juga... mas gibran mau ke mana?”

setelah meneguk minumannya, gibran menjawab, *“waktu di lift itu kan gua turun di lantai perpustakaan, itu disuruh dosen buat bantuin dia bawa sesuatu. terus pas di kantin pun sama, gua ngembaliin barangnya ke perpus dan pulangnya kan laper, yaudah mampir aja sekalian ke kantin fisip.””


setelah mereka berbincang banyak hal, akhirnya keduanya pun memutuskan untuk menyudahi perbincangan mereka. perbincangan itu ditutup dengan kalimat-kalimat yang terlihat seperti....

“makasih banyak ya, raf. udah mau repot-repot nganterin ke sini.”

“ngga, mas gib. justru saya yang makasih banyak ke mas gib, karena udah bantuin saya waktu itu. soal omongan mas gib tentang dosen yang perfeksionis, itu ternyata bener! dan banyak juga ternyata kating yang bilang.”

gibran menggaruk tengkuknya malu-malu. kemudian sembari mereka berjalan, gibran berkata, raffa, i'm sorry but... you look insanely gorgeous today. even the first time we met, keliatan sama. sama-sama cantik.”

gibran mengucapkan itu dengan mudah, sedangkan raffa yang berada di sampingnya justru gelagapan harus membalas dengan kalimat apa. akibatnya, sepanjang jalan pipi raffa terlihat memerah, sedangkan jantungnya kembali bising—seperti di awal waktu tadi.