He. Is. Mine

Narasi ini mengandung unsur yang bisa saja memicu trauma akibat pengalaman buruk. Berisi kata-kata kasar, senioritas, bentakan, teriakan, bullying, mention of bullying, gaslighting, panic attack, perkelahian, luka, darah, kepanikan


Seungmin kini dituntun untuk pergi ke bangunan panjang yang letaknya berada di depan gedung tempat pelaksanaan LDK. Gedung itu sudah tua, dan konon katanya dalam beberapa bulan ke depan akan dilakukan penggusuran.

Selama ia bawa tungkainya berjalan, ia memikirkan segala skenario buruk yang kemarin sempat menyambangi pikirannya. Pikirannya makin dibuat tak karuan kala langkahnya berhenti di depan ruang musik. Bukan karena hantu atau semacamnya, karena yang Seungmin tau, ruang musik ini memiliki tembok yang kedap suara.

Ketukan pun ia layangkan sebanyak 3 kali, hingga akhirnya pintu pun terbuka. Kehadiran Seungmin disambut dengan senyum oleh salah satu seniornya dahulu. Namanya Juyeon. Orang yang pada awalnya Seungmin kira berbeda dari kebanyakan senior yang masih menjunjung tinggi tradisi senioritas; namun pada akhirnya, Seungmin menyadari bahwa ia tidaklah jauh berbeda dengan yang lain.

Seungmin menelan ludahnya kasar, ia memilah dengan cepat bahasa apa yang harus ia gunakan supaya dirinya berada dalam posisi aman. “Permisi, Kak ... tadi kata Eric, Kak Juy manggil saya?”

“Iya, sini masuk.” Juyeon mempersilahkan Seungmin untuk masuk terlebih dahulu, kemudian ia menutup pintu.

Di dalam, Seungmin temui dua orang senior yang ia ketahui salah satunya dari ekskul pramuka. Seungmin membungkuk sekilas, dan ia pu berdiri di hadapan tiga senior yang masing-masing menatapnya dengan tatapan berbeda. Ada yang melayangkan tatapan bingung, seperti diminta untuk ikut-ikutan, ada juga yang menatapnya datar, sedangkan Juyeon dapat dipastikan melayangkan tatapan penuh intimidasi ke arahnya.

Juyeon menjentikkan jarinya, “Eh, santai aja. Gua ngga bakalan mukulin lu, kok. Ngga usah gemeteran gitu,” ucapnya dengan tawa yang mengiringi.

Suasana seketika hening untuk beberapa saat, sampai di sepersekian menit kemudian, suara Juyeon mengudara. “Eh iya, Seung. Tadi lu ngga ngeliat kah kalo gua dateng? Lu masih tau, kan aturan di paskib tuh gimana kalo sama kakel atau alumni?”

p.s. jadi ada aturan ngga tertulis antara anggota paskib, pramuka, dan beberapa ekskul lainnya. yaitu kalau ketemu kakel atau alumni tuh harus nyamperin dan nyapa mereka. selama di lingkungan sekolah, ini udah kayak jadi peraturan wajib. tapi, pas di angkatan seungmin dan angkatan atasnya seungmin persis, udah ngga ada hal kayak gini. jadi cuma ada di angkatan juy dan atasnya lagi. btw, gap seungmin dan juy itu 1 tahun. jadi seungmin kelas 10, juy kelas 12.

“Maaf Kak, tapi tadi saya beneran ngga ngeliat kalo Kakak dateng. Pun pas saya ke ruang tunggu alumni buat nyapa, saya ngg liat di sana ada Kak Juy.”

“Alesan doang kali, bilang aja lu ngehindarin gua gara-gara DM waktu itu, kan?”

Seungmin menggeleng pelan, “Ngga sama sekali, Kak. Biar yang di DM itu jadi urusan personal saya aja, Kak. Saya ngga mau nyampurin masalah personal sama hal ini.” Seungmin berucap secara mantap, walaupun jauh dalam hatinya ia gemetar setengah mati.

Juyeon yang semula duduk di meja, kini turun menghampiri Seungmin yang berdiri sambil tertunduk di depannya. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengangkat dagu Seungmin supaya dapat ia lihat wajah rupawan itu.

Dagu Seungmin terangkat, namun tatap matanya ia lempar ke sembarang arah. Karena Seungmin tau, Juyeon tengah mengamati setiap inci dari wajahnya.

“Masih cantik, masih sama kaya dulu. Coba aja kalo lu ngga nolak gua, atau bahkan ngga ngomong hal kaya kemarin di DM. Lu sama gua bakalan aman aja, Seung.”

“Saya cuma mau memperjelas, Kak. Kita di sini sebatas senior dan junior aja, jadi tolong diudahin aja, Kak.”

“Loh, apanya yang diudahin? Mulai aja belum ... kenapa? Takut? Coba dong, ngomong lagi apa yang lu bilang ke gua di DM kemarin. Temen-temen gua mau tau, nih.”

“Kak ...” Seungmin menatap Juyeon dengan tatapan memelas, berharap semoga apa yang didengarnya barusan merupakan sebuah kekeliruan.

Juyeon mengangkat sebelah alisnya sambil menyematkan seringai licik di sudut bibirnya. “Kenapa, sayang? Chatnya udah lu hapus? Gapapa, ngga usah dibikin ribet,” ucap Juyeon yang sesaat setelahnya melempar ponsel miliknya ke kaki Seungmin, “pake handphone gua tuh. Sambil duduk juga ngga masalah, kasian, kaki princess lu nanti sakit kalo kelamaan gua suruh berdiri. Toh, gua masing suka sama lu, kok. Jadi gua ngga bakalan keterlaluan sama lu,” lanjutnya sambil berbalik untuk menghampiri meja tempat ia duduk tadi. Sedangkan temannya yang satu lagi pergi untuk mengunci pintu.

Seungmin mengambil ponsel tersebut dengan tangan yang gemetar, kemudian ia duduk bersimpuh.

“Buruan bacain. Jangan berhenti kalo belum gua suruh,”

Pada akhirnya, mau tidak mau Seungmin menyebutkan rangkaian kalimat yang kemarin ia kirim melalui DM ke akun seniornya tersebut. Ia tak habis pikir, padahal ia sudah menjelaskan hal ini beberapa kali dengan kalimat yang netral dan tidak memaki. Lalu, apa salahnya?

Ia pun terpaksa menuruti kemauan seniornya tersebut, karena ingin melarikan diripun tidak bisa. Pintu tersebut telah dikunci, ditambah gedung tempatnya berada berseberangan lumayan jauh dengan aula, belum lagi ruangan ini kedap suara. Membantah pun rasanya tak ada guna, mengingat ia di sini seorang diri, sedangkan seniornya berjumlah 3 orang.

Selagi Seungmin membacakan itu semua... teriakan dan bentakan tak berhenti menguar dari mulut seniornya itu. Seungmin yang semula berusaha menahan pun lama kelamaan menyerah. Air matanya yang semula hanya bertengger di pelupuk, kini terjun bebas membasahi pipinya. Tangannya pun gemetar bukan main.


Hyunjin rasakan degup jantungnya yang kian mengencang kala pintu demi pintu yang ia buka tidaklah menunjukkan kehadiran sosok yang ia cari. Berlarian ke sana kemari sudah ia lakukan, sejumlah tanya pun sudah ia ajukan kepada siapapun yang ditemuinya. Tetapi hasilnya masih nihil.

Hingga akhirnya langkahnya pun tiba di lorong gedung yang terpisah dari gedung tempat mereka melaksanakan LDK. Di sepanjang lorong terdapat banyak pintu yang masih harus ia telusuri satu persatu. Ia pun berhenti sejenak untuk menetralkan nafasnya sambil memandangi lorong tersebut.

Kakinya seperti mati rasa setelah berlarian naik dan turun tangga. Namun, setelah menghembuskan nafas berat, Hyunjin tanpa pikir panjang menelusuri lorong tersebut. Kemudian, tibalah langkahnya di penghujung lorong, tepatnya di ruang musik. Di dalamnya seperti ada aktivitas, karena telinga Hyunjin samar-samar mendengar ada suara yang menggema dari dalam.

Dalam hitungan ketiga, Hyunjin akhirnya mengetuk pintu tersebut sebanyak yang ia bisa. Persetan dengan siapapun yang berada di dalamnya.

Tak lama, sosok laki-laki yang tingginya sama dengan Hyunjin membuka pintu tersebut. Berbekal kecepatan kilatnya untuk mengintip ke arah dalam, akhirnya Hyunjin dapati sosok yang sedari tadi ia cari.

Dapat Hyunjin lihat, Seungmin menatapnya nanar sambil terus membaca teks di ponsel yang ia genggam. Mengetahui hal itu, emosi Hyunjin seketika tersulut. Matanya terlihat dipenuhi amarah, dan seketika tangannya beralih untuk mencengkeram kerah baju seniornya—yang sejujurnya tak begitu ia kenal.

“Lu ngapain dia, anjing?”

“Loh, cowoknya gak sih?” ucap Juyeon yang setelahnya justru tertawa.

Hyunjin menatap Juyeon geram sebelum akhirnya ia lepaskan cengkeramannya dan mendorong Juyeon hingga tersungkur ke belakang. Ia bawa dirinya untuk berbalik guna menghampiri Seungmin dan menuntunnya keluar. Sebelum membawa Seungmin pergi, ia lemparkan ponsel yang semula Seungmin genggam, ke arah Juyeon yang terduduk di lantai.

“Sampah!”

Mereka pun berjalan di lorong dengan kondisi saling bungkam—Seungmin masih sibuk dengan tangisnya, yang jujur... sangat mengiris hati Hyunjin pada saat itu.

Di tengah lorong, kemudian Chris muncul dan segera menghampiri mereka berdua. Kondisi Seungmin sangat kacau, wajahnya memerah dan amat sembab.

“Tolong bawa, Chris. Biarin istirahat dulu dianya, kalo bisa juga jangan di tempat rame.”Hyunjin melepas rangkulannya dari bahu Seungmin dan mulai berlari ke arah sebaliknya—depan ruang musik.

“Hyunjin, mau ke mana lu! Woy, Hyunjin!” seru Chris.

Raut Seungmin pun berubah, ia merasa panik tak karuan. Lalu ia menepuk pundak Chris sambil berucap, “Chris, susul Hyunjin, Chris! Tolong ....”

Chris pun mengangguk mantap, lalu berlari. Sedangkan Seungmin mngikuti dengan langkah lemas, sembari menelepon Changbin.

Chris menangkap pemandangan ekstrim di depannya. Keduanya sama-sama disulut amarah. Kepalan tangan melayang secara bergantian—kadang sukses mengenai sasaran, kadang pula meleset. Namun sejauh yang Chris amati, keduanya sama-sama terkena pukulan yang diayunkan satu sama lain. Darah yang bercucuran di beberapa tempat pun menjadi tak terelakkan. Sudut bibir Hyunjin kemungkinan robek, sedang sekitar mata Juyeon membiru—bengkak.

“Wah ... pawangnya lumayan juga,” ucap Juyeon pada dua temannya yang berada tak jauh, sambil menyeka darah di bibirnya.

“Lu kalo ditolak, harusnya lu mikir! Pecundang ya lu semua, beraninya ngumpet-ngumpet. Nyali lu mana? Kalo lu ngga terima dia nolak lu, ngomong sini sama gua, mau lu apa?”

“Gausah belagu lu, yang duluan deket sama dia tuh gua, anjing. Dia sama lu cuma main-main doang.”

“Gua ngga peduli dia mau main-main atau ngga, tapi yang jelas sekarang dia punya gua, bangsat!” kata Hyunjin tegas, “Dia. Punya. Gua. Paham ngga sampe sini?” ulangnya.

Berulang kali Chris memisahkan mereka, namun tenaga keduanya sama-sama kuat. Sedangkan dua senior lainnya terlihat santai dan tak menunjukkan tanda tanda akan membantu. Selagi Chris memutar otak, akhirnya Changbin dan Seungmin pun menyusul mereka.

Hingga akhirnya keduanya pun dapat pisahkan, dengan kondisi yang sama parahnya, akhirnya mereka pun menyudahi kegiatan baku hantam mereka. Ya... walaupun hasrat keduanya untuk saling menyerang masih membara.

Seungmin terlonjak kala Hyunjin membalik badan dan menatapnya dengan ekspresi datar yang dihiasi dengan mata sayu, juga nafas yang memburu. Seungmin pun langsung menyibak rambut Hyunjin dan membelai wajahnya pelan. Dapat dengan jelas Seungmin lihat bahwa hidung Hyunjin bercucuran darah—yang sepertinya sudah berulang kali diseka.

“Bangsat itu orang. Sampah! Fuck senioritas, kalo lu salah bakalan tetep gua lawan, anjing! Ngga takut gua,” seru Hyunjin dengan lantang ke arah Juyeon yang tengah sibuk dibantu temannya untuk berdiri.

Juyeon berjalan mendekat bersama dua orang temannya. Sedangkan Changbin dan Chris mengambil tindakan ancang-ancang untuk menghalangi keduanya.

Saat keduanya mulai mengambil posisi maju, Seungmin langsung tarik Hyunjin menjauh. Tangannya memeluk lengan Hyunjin dengan erat, berharap supaya inginnya dapat tersampaikan. Kemudian Hyunjin pun mengikuti langkah Seungmin yang menariknya menuju sebuah ruangan. Meninggalkan Changbin dam Chris yang mengisyaratkan mereka untuk pergi terlebih dulu.

Begitu masuk, pintu pun ditutup. Mereka menatap satu sama lain hingga akhirnya, mereka bertanya secara bersamaan.

“Lu ... gapapa?”

“Mana yang sakit?”

“Hati gua yang sakit ngeliat lu digituin sama mereka,” jawab Hyunjin.

Tangan Seungmin pun mengayun untuk genggam tangan laki-laki di hadapannya. “Lo tau dari mana soal itu?” tutur Seungmin, setengah berbisik.

“Ngga perlu tau, yang penting sekarang dia ngga bakalan gangguin lu lagi,” sahutnya.

Seungmin tak ambil pusing dari mana Hyunjin mendapatkan info tersebut, ia hanya mencoba menghargai keputusan Hyunjin untuk tidak menjawab pertanyaan yang barusan ia layangkan.

“Kalo gitu, yang sakit yang mana aja? Banyak ngga yang nyeri? Dijawab yang bener.”

Hyunjin terdian sejenak, ia justru membopong tubuh Seungmin untuk duduk di atas meja, sedangkan ia berdiri di hadapannya. “Banyak yang sakit, tapi besok juga sembuh. Ngga usah dipikirin, ya! Gapapa ... gapapa, ada gua, Seung. Gua selalu di belakang lu, kok.” Hyunjin kemudian menarik kepala Seungmin untuk bersandar pada dadanya. Tak lupa ia memberikan sedikit kecup pada pucuk kepala kekasihnya.