to acel.


karena celo tak kunjung membalas pesannya, pasca memutuskan untuk beranjak dari duduknya dan pergi untuk mencari celo, walaupun ia tak tau pasti di mana keberadaannya, siapa tau di pertengahan jalan nanti, hati celo tergerak untuk membalas pesan yang pasca kirim.

“bun, pasca pamit mau keluar sebentar, ya!” seru pasca di ambang pintu.

sang ibunda pun langsung menoleh dan menjawab, “adek mau pergi ke mana?”

“nyusulin acel, bun.”

“helmnya dibawa, dek!”

pasca pun mengeluarkan motornya dari garasi, meraih helm kesayangannya. kemudian ia pun beranjak dari sana.

belum jauh ia berkendara, tiba-tiba netranya menangkap sosok celo yang tengah dibonceng laki-laki berpostur familiar.

pasca pun memutar balik arah kendaraannya. tak jauh dari titik putar baliknya, celo pun turun di depan ruko yang dekat dengan perumahan tempat mereka tinggal. pasca asumsikan bahwa celo sudah mengetahui perihal segalanya.

setelah motor milik kakak kelasnya itu melaju menjauhi tempat celo berdiri, pasca langsung menghampiri celo yang tengah berjalan dengan langkah pelan, seperti tak bertenaga.

“acel!”

yang dipanggil pun menoleh, wajahnya seketika sumringah melihat siapa yang ada di hadapan. lantas celo pun langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan pasca.

“aca... dia udah punya pacar,” ucap celo, suaranya seperti menahan tangis. kemudian pasca pun mengangkat tangannya untuk usap rambut celo sembari menepuk punggungnya pelan.

“dibilangin, mending jalan sama gue.”

“jelek! katanya ngga bisa,”

pasca makin mengeratkan pelukannya sambil terus berbisik maaf tepat di telinga celo.

“aca, gue ngga mau sama yang lain,” pasca mengangguk pelan, berusaha menyusun kata-kata kala mendengar celo yang dengan spontan mengatakan hal demikian.

“gua juga maunya sama lu, cel. maaf kalo selama ini gua ngga berani ambil langkah.”

kemudian pasca pandangi wajah celo yang juga menatapnya dengan tatapan yang berkaca-kaca.

“sekarang gimana? masih berlaku ngga pergi sama gue nya?” tanya pasca, yang tentunya akan dijawab celo dengan anggukan antusias.

mereka pun pergi ke sembarang arah, menelurusi tiap inci bagian dari ibu kota. sekali lagi pasca kelewat paham, bahwa celo butuh waktu sejenak sebelum akhirnya menuangkan cerita yang dipendamnya selama ini. hal yang sederhana, namun membuat celo enggan berpaling.

beberapa kali masing-masing dari mereka tertangkap sedang mencuri pandang ke arah spion, saat tatap mata mereka bertemu, keduanya hanya tertawa canggung.

selain itu, hal lain yang paling pasca sukai adalah saat ia dan celo membelah jalanan ibu kota sembari bercerita ke sana kemari. entah itu cerita yang bermakna, maupun bualan semata, mereka berdua sama-sama menyukainya. seakan-akan hal itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan mereka sejak mereka memasuki bangku sekolah menengah atas.

awalnya, tak terbesit di dada seorang pasca dan celo yang kala itu duduk di bangku smp, bahwa nanti keduanya akan kesulitan menghadapi perasaan satu sama lain. namun saat ini, pada detik ini juga, keduanya paham, bahwa tidak perlu ada yang ditakutkan.

mereka... hanya perlu berani.

“celo, gua boleh jadi pacar lu ngga?”

“boleh! kalo gue, gimana? gue boleh jadi cowok lu juga ngga?”

keduanya terkekeh, pasca pun menjawab, “emangnya ada yang bisa nolak seorang marcello?”

dengan itu, mereka resmi berada pada suatu hubungan. dan saat itu juga, celo mengeratkan pelukannya pada pinggang pasca, seolah mengisyaratkan bahwa dirinya siap untuk perjalanan mereka kedepannya.

— fin.