⭐
Suara ketukan berulang yang Arki layangkan tak kunjung membuahkan hasil. Entah sang pemilik sedang melakukan apa, yang jelas, setelah berdiri 10 menit sembari menimbang harus masuk atau tidak—akhirnya Arki mulai menekan satu demi satu nomor pin yang ia hafal di luar kepala itu.
Pemandangan pertama kali yang Arki lihat adalah koper yang masih tertata rapi dekat pintu. Arki berasumsi bahwa isi koper tersebut belum berubah sedikit pun sejak pertama kali sang pemilik menatanya ketika hendak pulang ke kotanya.
Netra Arki mengamati sekeliling ruangan yang pemandangannya masih tak jauh berbeda dengan saat terakhir kali ia menginjakkan kakinya di sini—saat keduanya memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang susah payah mereka pertahankan.
Kemudian ia beranjak untuk melangkah lebih jauh sambil menyerukan nama si pemilik, namun hasilnya masih sama. Akhirnya, ia pun pergi mengetuk pintu kamar Elang yang ada di sisi kiri ruang tengah.
Arki berdiri memandangi pintu tersebut, kemudian menarik nafas panjang. “El? Lu di dalem ngga, sih?” serunya.
Tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya tangannya pun menekan kenop pintu, lalu mendorongnya. Dilihatnya Elang yang tengah tertidur pulas. Namun, ia dibuat salah fokus dengan obat-obatan yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Tangannya meraih salah satu bungkus obat-obatan tersebut yang kebanyakan bertuliskan keluhan yang mungkin saja tengah Elang rasakan.
Saat tangannya meletakkan kembali bungkus obat, tiba-tiba jemari dingin menyentuh pergelangan tangannya, mengakibatkan Arki sedikit terlonjak kaget.
“M... maaf, El. Tadi gue manggilin lu, tapi—” kalimat Arki terpaksa harus terputus kala anak mereka tiba-tiba berlari dari ruang tengah, kemudian naik ke atas tubuh Elang yang masih terbungkus selimut.
“Kiel, sayangku!” seru elang sambil menyibak selimutnya untuk menggendong Kiel.
Elang memandangi Arki dengan senyum terpatri di wajahnya, “Makasih ya, Arki! Maaf dari kemarin gua susah dihubungin.”
Arki membereskan nakas Elang yang berantakan, tak lupa juga meja kerja yang diatasnya banyak ditumpuk berkas berkas.
“Arki,” seru Elang sekali lagi.
“Kan udah gue bilang, El. Kalo ada apa-apa tuh bilang, even lu sakit pun sebenarnya gapapa kalo lu bilang ke gue, El.”
Elang mengubah posisi duduknya menghadap ke arah Arki yang dengan sengaja membuang wajahnya ke sembarang arah.
“Maaf, Ki. Gua ngga mau ngerepotin lu terus-terusan, you're not even mine, Ki. Gua takut lu merasa terbebani dengan perilaku gua yang masih bergantung sama lu, seakan-akan lu masih punya gua.”
Arki menarik panjang nafasnya, kemudian ia duduk tepat di samping Elang. Tanpa berniat menjawab, Arki justru mengarahkan punggung tangannya untuk mengecek suhu pada leher dan dahi Elang. Sedangkan Elang hanya terdiam menandangi Arki yang masih terlihat cemas kala melihat pemandangan dirinya yang tidaklah apik.
“Just so you know, Ki. Semuanya masih tentang lu,” ucap Elang sembari menyingkirkan poni Arki yang menutupi sebagian binar pada matanya.
Arki masih enggan berucap sepatah kata pun, ia justru keluar dari unit apartemen tersebut dan berjalan entah ke mana.
Selama setengah jam Arki meninggalkan Elang dalam kondisi yang abu-abu, kini Arki kembali.
Saat mendengar nomor pin unitnya ditekan, Elang sudah menerka bahwa seseorang tersebut tak lain adalah Arki.
Arki meletakkan bungkusan plastik yang Elang duga merupakan makanan. Arki mengeluarkan kotak demi kotak ke atas meja makan.
“Arki?”
“El, mulai sekarang jangan kaya gitu lagi. Lu gapapa banget kalo mau ngerepotin gue, El. Sumpah, gue bakalan terima aja, kok. Walaupun konsekuensinya harus balik ke lu, dan jadi pacar lu lagi. Gapapa, El. Jadi, mulai sekarang tolong repotin gue lagi, ya?”
Elang yang awalnya menaruh seluruh atensinya untuk menatap laki-laki di depannya, saat mendengar rentetan kalimat akhir yang Arki ucapkan, ia mendadak terperangah. Otaknya sulit bekerja untuk menangkap maksud kalimat Arki. Belum lagi otaknya harus dipaksa untuk menerima pertanyaan bertubi mengenai mengapa Arki sangat indah? Mengapa Arki begitu cantik saat ini?. Demi Tuhan, yang satu ini amat berat.
“Gimana, Ki?”
“Mau. Since you asked me ... waktu itu. Inget ngga?”
“Ain't no way. Lu bercanda, Ki?”
Arki mengedikkan bahunya, “Ya ... kalo mau dianggap demikian gapapa, kok.”
Elang tiba-tiba menabrak tubuh Arki dan memeluknya erat. Kepalanya ia gelengkan sekuat mungkin, hingga leher Arki merasa tergelitik oleh rambut Elang. “Ngga, ngga mau bercanda. Gua ... gua juga mau balikan sama lu, Arki. Maaf, Ki. Maaf buat yang sebelumnya, dan makasih! Makasih banyak karena udah kasih gua kesempatan lagi,” kata Elang sambil menahan kepala Arki untuk terus bersandar pada dadanya.
“I love you, Elang.”
Yang namanya disebut pun langsung mencuri kecupan pada dahi Arki, kemudian berkata, “I love you too, I love you even more, Arki. I love you!”
Sesaat kemudian, dengan posisi sama, tiba-tiba tangan kecil menyentuh pinggang Elang.
Oh, itu Kiel yang barusan naik ke atas meja.
Elang tersenyum lebar, wajahnya berseri kala memandangi Arki dan Kiel secara bergantian. Kemudian ia pun menggendong Kiel dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih melingkar sempurna pada pinggang Arki.
“And of course, I love you too, Kiel!” tuturnya.