That should be me, right?
Apa yang terpikirkan di benak kalian saat mendengar kalimat 5 tahun? Pasti pikiran kebanyakan orang langsung tertuju pada kata 'lama', bukan?
Sama halnya dengan Seungmin dan Minho. Keduanya telah menjalin hubungan selama 5 tahun, yang mana bukanlah waktu yang singkat bagi keduanya untuk mempertahankan hubungan yang tengah terjalin. Suka dan duka rasa-rasanya sudah menjadi partisipan yang tak pernah absen menyambangi hari-hari mereka. Mulai dari pertengkaran kecil, hingga pertengkaran hebat telah mereka rasakan. Begitupun dengan bahagia—bahagia akan hal yang sederhana, hingga hal yang luar biasa pun telah mereka jumpai.
Namun, 5 tahun bersama bukanlah apa-apa dibandingkan harus seumur hidup bersama. Setidaknya, itulah yang terlintas di pikiran Seungmin sebelum ia merayakan hari-hari penuh rindu. Setidaknya, itulah yang Seungmin rasakan sebelum ia merayakan kehilangan.
Semuanya sia-sia.
Lama hubungan mereka itu tak menjamin bahwa suatu saat—di ujung perjalanan—mereka akan berlabuh pada sebuah pulau indah.
Alih-alih berakhir indah, mereka justru berlabuh pada sebuah pulau tak berpenghuni yang penuh kehampaan.
Semua itu berawal dari Minho yang kian sibuk, hari demi hari. Membiarkan hati Seungmin kian lama kian terbiasa dengan kehampaan.
“Kak, di mana? Katanya lagi otw, kok ngga nyampe-nyampe?”
“Maaf lupa ngabarin, tiba-tiba disuruh lembur.”
Perkara yang umum dijumpai, namun sulit untuk dihindari, bukan?
Begitulah mereka.
Minho dengan segudang egonya, melawan Seungmin yang berbekal sejuta keinginan untuk mempertahankan. Sudah jelas bukan siapa pemenangnya?
September, 2020.
Kala itu hujan turun dengan ramai, membawa beban sang awan untuk kembali ke tempatnya.
Di ujung jalan, di bawah halte bus usang, berdirilah Seungmin dengan payung biru muda yang selalu mendampinginya—menunggu sang pujaan untuk datang menjemput. Namun sayang, sudah satu setengah jam berlalu, hujan tak kunjung usai, dan yang ditunggu tak pernah datang.
Seungmin pulang—tentunya—dengan perasaan tak karuan, dihiasi dengan wajah murung yang nampaknya akan abadi di sana hingga beberapa hari ke depan.
Secercah cahaya ponsel tiba-tiba menerangi sudut kamar Seungmin. Seakan memanggil si pemilik untuk segera menghampiri, dan benar saja, Seungmin terbangun dari duduknya dan dengan segera melihat layar ponselnya.
**“Seungmin maaf, tadi depan kantor banjir gara-gara hujannya lama. Terus jadi macet, dan aku juga kena macetnya.
Bohong.
Seungmin sengaja memilih rute yang sedikit memutar, melewati kantor tempat Minho bekerja. Padahal, di sana jelas terlihat bahwa tidak ada sisa-sisa genangan yang menyebabkan kemacetan. Jika benar, seharusnya ada, bukan?
Ditambah lagi, Seungmin bertanya kepada sang sopir bus, “Pak, tadi di sini banjir, ya?”
“Eh, ngga kok, Mas. Ngga banjir, soalnya waktu itu—sekitar 4 bulan yang lalu—kan salurannya udah dibenerin atau apalah itu saya ngga paham. Jadi, sekarang kalau hujan lama, di sini sudah ngga banjir dan ngga macet.” Mendengarnya, hati Seungmin tiba-tiba saja mencelos.
Sebenarnya ada apa dengan Minho belakangan ini?
Kemudian Seungmin pun memberanikan diri untuk mengirim pesan singkat pada Minho, guna memperjelas semuanya.
“Kamu bohong lagi?“
“Bohong gimana, sayang?”
Sial.
Hati Seungmin kembali melunak akibat satu kata sialan itu.
**“Ngga jadi, no. Aku mau tidur dulu, capek. Kamu juga bersih bersih sama makan sana.
Desember, 2020
“Seung, maaf, aku hari ini ternyata ngga bisa. Mau diganti lain hari?”
“Ngga usah kak, lagian ini juga udah ke 3 kalinya kita reschedule. Selesaiin aja urusan kamu, aku belakangan aja.”
**“Seung, maksudku ngga gitu.”
“Aku ngga ngomongin maksud apa-apa, kenapa kamu kayanya defensif banget? Berarti bener, ya? Kita beneran udah ngga bisa, ya?
“Sayang...”
“Gapapa no, jujur aja. Aku malahan bakal marah kalo kamu ngga jujur.
“Sebenarnya akhir-akhir ini aku lost feeling ke kamu. Maaf. Aku ngga mau bilang, karena aku pikir ini cuma bosen sementara, terus nanti makin lama bakalan makin membaik. Tapi beberapa bulan ini ngga ada yang berubah, rasanya aku ke kamu udah hampa, udah kosong, udah ngga ada perasaan yang spesial kaya dulu, Seung.
Dengan ini, Seungmin rasa semuanya telah jelas. Saat itu juga, ia mengakhiri semuanya.
“Kita putus aja ya, kak? Tolong jangan ditunda-tunda lagi. Yang ada kita sama-sama sakit nantinya, jadi, ayo udahan. Makasih banyak udah jujur, setelah ini kita bisa kaya biasa aja, kita bisa temenan kaya sebelumnya. Itupun kalo kamu mau.
Dua tahun telah berlalu berlalu,
keduanya menjalani hidup masing-masing dengan memikul jutaan memori. Memori itu masih terekam sangat jelas, terutama pada ingatan Minho.
Tentang bagaimana lucunya Seungmin yang kerap kali merajuk, tentang bagaimana senyum itu terukir indah pada wajah teduhnya, dan tentang bagaimana usaha-usaha Seungmin yang mati-matian mempertahankan hubungan mereka. Semua itu baru Minho sadari sekarang—saat semuanya telah usai, saat semuanya telah sirna.
Meskipun keduanya memutuskan untuk tetap menjalin hubungan baik sebagai teman, nyatanya hal tersebut tidaklah berjalan mulus.
Menjelang akhir tahun pertama setelah mereka usai, Minho mulai merasakan kehampaan menguasai dirinya. Biasanya, Seungmin yang energinya selalu penuh itu akan selalu memecah kehampaan yang terkadang Minho rasakan. Sekarang tak lagi ada Seungmin si berisik yang akan mengganggu Minho lagi. Seungminnya telah menjauh.
Oktober, 2023.
Minho yang hampir gila akibat pekerjaannya akhir-akhir ini pun memutuskan untuk pergi ke pusat kota untuk sekedar melepas penatnya sejenak. Hari ini cuaca terik dan tidak ada hambatan. Tidak, sampai tiba-tiba matanya menangkap punggung yang familiar di pikirannya.
Itu Seungmin.
Baru saja Minho hendak mendekat, tiba-tiba tangan laki-laki asing hinggap pada pundak Seungmin—merangkulnya.
Ekspresi Seungmin saat itu begitu sumringah. Senyum yang kala itu selalu ditujukan pada Minho, kini tidak lagi. Kini senyum manis itu tak lagi ragu untuk Seungmin berikan pada orang lain—yang Minho rasa—telah menggantikan dirinya.
Dahulu, ketika Seungmin tertawa, kesenangan Minho akan naik berkali-kali lipat. Namun, kini sebaliknya. Saat melihat Seungmin tertawa, rasanya hati Minho berubah menjadi serpihan kaca yang hancur berantakan.
... Seungmin tertawa karena pria lain.
Ketika Minho tengah berada dalam lamunannya, tiba-tiba suara Seungmin memecah fokusnya. Suara itu datang dari arah belakang, suara itu masih terdengar manis nan syahdu—bagi telinga Minho, suara Seungmin adalah nada yang terus mengalun indah, kemudian berputar-putar pada pikirannya.
“Kak Minho!” sapaan itu terdengar ceria, namun nampaknya si pemilik nama tidak berkenan untuk dipanggil demikian. Batin Minho bergulat, seharusnya tidak seperti ini!
Kemudian, dengan terpaksa Minho menoleh pelan sembari susah payah mengukir senyum palsu. Netranya menatap Seungmin dan kekasihnya secara bergantian.
“Kak Minho, kok Whatsapp nya ceklis satu? Kak Minho ganti hp, ya? Terus juga imessku ngga dibales-bales.
“Oh.. iya, Seung, ganti hp. Ganti nomor juga, soalnya banyak nomor nyasar ngga jelas gitu. Maaf, ya, dan... emangnya ada apa?”
Seungmin dengan wajah polosnya hanya mengangguk paham, kemudian tiba-tiba ia menarik tangan kekasihnya untuk menjabat tangan Minho. *“Kak, kenalin, ini Hyunjin. Tunangan aku,” “
Gila. Benar-benar gila.
Rasanya sakit bukan main. Hati Minho rasanya kembali hancur, bahkan lebih parah dari yang barusan.
“Hai, saya Hyunjin. Masnya kalo ngga salah mantannya Seungmin, ya?” ucap Hyunjin sembari menjabat tangan Minho.
Mimho mengangguk ragu, bibirnya tersenyum tipis mendengarnya. “Halo, iya, bener. Gue Minho.”
“Jadi gini, Kak. Aku sebenarnya mau ngabarin kakak, kalo bulan November nanti, aku sama Hyunjin mau menikah. Aku mau antar undangannya, tapi aku ngga tau sekarang kakak tinggal di mana.”
Sial, sial, sial.
Minho bersumpah serapah dalam benaknya, berulang-ulang kali hingga Seungmin kembali menegur dirinya yang melamun, lagi.
“Gimana, kak? Kira-kira bisa dateng ngga, ya? Aku lupa bawa undangannya, tapi ada undangan online nya juga k—”
Omongan Seungmin terputus, digantikan dengan Minho yang secara tiba-tiba menjabat tangan Seungmin sembari tersenyum lebar. “Kalo gitu, undangannya nanti kirim online aja ke ig aku, Seung. Masih anda kok ig-nya, nanti aku login lagi. Makasih banyak ya undangannya. By the way, maaf ngga bisa ngobrol lama-lama, udah ditungguin soalnya,” ucap Minho dengan tempo napas terdengar yang naik dan turun dengan cepat.
Belum sempat mendengar jawaban dari Seungmin, tiba-tiba saja Minho melengang tanpa mau menunggu si lawan bicara mengatakan sepatah kata. Seungmin dan Hyunjin hanya berdiri kebingungan melihat Minho yang kian menjauh.
Walaupun mengatakannya dengan senyuman lebar, ternyata sedari tadi Minho tengah mengumpulkan air mata pada pelupuk matanya. Kini air mata itu sedikit demi sedikit telah jatuh membasahi pipi Minho.
Sesal itu akan selalu ada, setidaknya begitulah yang Minho pelajari belakangan ini.
Seharusnya, hanya Minho yang dapat melihat senyum secerah matahari itu. Seharusnya, Minho-lah yang menggenggam tangan itu.
Jika saja ia mau bertahan sedikit lagi, jika saja tidak ada yang namanya hilang rasa, dapat Minho pastikan bahwa dirinya-lah yang kini berdampingan dengan Seungmin. Bukan orang lain.
— fin.