rigeleo

• Ephemeral ; narasi satu

tags!

tw cw // harsh word , cigarettes , rokok , mention of bullying


Setelah menerima rekomendasi tempat dari sahabatnya, jisung. Seungmin pun bergegas pergi mencari rooftop yang— padahal ia tidak tau dimana letaknya berada.

'Rooftop kan diatas... hngg iya seung lo tau kalo rooftop diatas, tapi tangga masuknya ada dimana anjir.'

Seungmin berbicara pelan pada dirinya sendiri sambil menyusuri koridor ditambah dengan membawa sekotak dimsum di tangannya.

Sampailah ia didepan anak tangga yang bertuliskan 'Rooftop' disetiap lantainya.

Setelah dirasa yakin bahwa itu adalah jalan menuju tempat yang ia cari, ia segera menaiki anak tangga tersebut. Dan benar saja— sampailah ia di sana.

Seungmin tidak berekspektasi terlalu tinggi mengenai keadaan rooftop di sekolah barunya itu, apalagi sampai membayangkannya seperti pada film ataupun drakor yang ia tonton selama ini.

Tapi setidaknya disana cukup bersih walaupun agak berantakan dikarenakan bangku dan meja sekolah yang sebagian sudah tidak tersusun.

'Nah nyampe juga, tapi view nya lumayan dari sini. Bagus, bisa sambil liat gedung sama kendaraan.. itung itung biar ngga bosen bosen amat lah ya.'

'Tapi kok bau rokok ya? tapi sepi, setan? ga mungkin lah gila masih pagi juga. Apa ada orang buang rokok tapi belum dimatiin? ah bodo lah gue laper mau makan.' Lagi lagi seungmin berbicara dengan dirinya sendiri.

Lalu Seungmin mengambil salah satu bangku yang letaknya agak tinggi— oh ya dan jangan lupakan kalau bangku tersebut terbuat dari kayu yang agak berat.

'Setan mana sih yang ngerokok? baunya makin kecium gini.. e-eh berat banget anjing— yah.. aduhh'

  • brugg *

“Ahh anjing, siapa si? sakit tau”

“ASTAGA”

Seungmin terkejut mendapati sesosok laki-laki seusianya yang memakai headphone dengan rokok di sela jarinya.

“Aduh aduh maaf banget maaf gue ngga tau kalo ada lo disitu.” Kata seungmin sambil menggeser bangku yang terjatuh akibat ulahnya barusan.

“sshhh arghh sakit bangsat.”

“Ahh gimana ya? ayo ke uks aja mau ngga? gue bantu jalan sini.”

“Gausah.” Ucap Hyunjin dengan ketus

Kemudian Hyunjin berdiri sambil memegang pundaknya yang sakit— atau mungkin sudah memar lalu berjalan ke pinggir rooftop dan menghiraukan seungmin.

Dihisapnya rokok tersebut beberapa kali sebelum akhirnya ia menjatuhkannya lalu menginjaknya dengan sepatu.

Hyunjin tau bahwa pria yang tidak ia kenal itu masih setia berdiri dibelakangnya sambil menundukkan kepalanya.

“Terus lu ngapain masih disini?” Tanya Hyunjin.

Seungmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mengatakan “G-gue gaenak sama lo, pasti sakit ya? gue minta maaf sekali lagi, gue harus apa?”

“Ya sakitlah, pake nanya lagi. Gausah ngapa-ngapain, pergi aja sana ke kelas lo.”

Walaupun Hyunjin terbilang susah diatur, nakal, tukang ribut, dan sebagainya...— Ia tidak pernah memanfaatkan situasi seperti ini untuk memeras atau bahkan membully seseorang.

Seungmin tidak menjawab dan tiba-tiba

ting! suara notif dari handphone Seungmin.

Jisung

Seung, lu masih di rooftop kah? aduhh sorry gue ga bisa kesana, tapi kalo lu mau gue anterin ke kelas turun aja sini ke kantin.

'Huftt untung jisung ngechat' Batin Seungmin.

“Oke gue pergi, umm ini buat lo, anggep aja tanda maaf gue ya. Dan kalau lo butuh sesuatu ke kelas gue aja, gue di kelas 12 ipa 3. Tolong kalau ga mau dimakan, jangan dibuang ya, sayang-sayang. Kasih temen lo aja.” Kata Seungmin sambil meletakkan sekotak dimsum yang tadi ia beli dan kemudian berlari meninggalkan Hyunjin yang belum mengatakan sepatah kata pun.

Hyunjin menatap bingung pada pintu yang setengah terbuka karena ulah Seungmin.

“Gua kira dia adek kelas. Terus... 12? ipa? 3? sekelas sama gua dong? tapi gua ga pernah liat dia. Apa jangan jangan itu temennya jisung yang dibilang kemaren?”

Hyunjin mengedikkan bahunya lalu duduk untuk memakan dimsum yang Seungmin berikan.

• Ephemeral ; narasi satu

tags!

tw cw // harsh word , cigarettes , rokok , mention of bullying


Setelah menerima rekomendasi tempat dari sahabatnya, jisung. Seungmin pun bergegas pergi mencari rooftop yang— padahal ia tidak tau dimana letaknya berada.

'Rooftop kan diatas... hngg iya seung lo tau kalo rooftop diatas, tapi tangga masuknya ada dimana anjir.' Seungmin berbicara pelan pada dirinya sendiri sambil menyusuri koridor ditambah dengan membawa sekotak dimsum di tangannya.

Sampailah ia didepan anak tangga yang bertuliskan 'Rooftop' disetiap lantainya.

Setelah dirasa yakin bahwa itu adalah jalan menuju tempat yang ia cari, ia segera menaiki anak tangga tersebut. Dan benar saja— sampailah ia di sana.

Seungmin tidak berekspektasi terlalu tinggi mengenai keadaan rooftop di sekolah barunya itu, apalagi sampai membayangkannya seperti pada film ataupun drakor yang ia tonton selama ini.

Tapi setidaknya disana cukup bersih walaupun agak berantakan dikarenakan bangku dan meja sekolah yang sebagian sudah tidak tersusun.

'Nah nyampe juga, tapi view nya lumayan dari sini. Bagus, bisa sambil liat gedung sama kendaraan.. itung itung biar ngga bosen bosen amat lah ya.'

'Tapi kok bau rokok ya? tapi sepi, setan? ga mungkin lah gila masih pagi juga. Apa ada orang buang rokok tapi belum dimatiin? ah bodo lah gue laper mau makan.' Lagi lagi seungmin berbicara dengan dirinya sendiri.

Lalu Seungmin mengambil salah satu bangku yang letaknya agak tinggi— oh ya dan jangan lupakan kalau bangku tersebut terbuat dari kayu yang agak berat.

'Setan mana sih yang ngerokok? baunya makin kecium gini.. e-eh berat banget anjing— yah.. aduhh'

  • brugg *

“Ahh anjing, siapa si? sakit tau”

“ASTAGA”

Seungmin terkejut mendapati sesosok laki-laki seusianya yang memakai headphone dengan rokok di sela jarinya.

“Aduh aduh maaf banget maaf gue ngga tau kalo ada lo disitu.” Kata seungmin sambil menggeser bangku yang terjatuh akibat ulahnya barusan.

“sshhh arghh sakit bangsat.”

“Ahh gimana ya? ayo ke uks aja mau ngga? gue bantu jalan sini.”

“Gausah.” Ucap Hyunjin dengan ketus

Kemudian Hyunjin berdiri sambil memegang pundaknya yang sakit— atau mungkin sudah memar lalu berjalan ke pinggir rooftop dan menghiraukan seungmin.

Dihisapnya rokok tersebut beberapa kali sebelum akhirnya ia menjatuhkannya lalu menginjaknya dengan sepatu.

Hyunjin tau bahwa pria yang tidak ia kenal itu masih setia berdiri dibelakangnya sambil menundukkan kepalanya.

“Terus lu ngapain masih disini?” Tanya Hyunjin.

Seungmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mengatakan “G-gue gaenak sama lo, pasti sakit ya? gue minta maaf sekali lagi, gue harus apa?”

“Ya sakitlah, pake nanya lagi. Gausah ngapa-ngapain, pergi aja sana ke kelas lo.”

Walaupun Hyunjin terbilang susah diatur, nakal, tukang ribut, dan sebagainya...— Ia tidak pernah memanfaatkan situasi seperti ini untuk memeras atau bahkan membully seseorang.

Seungmin tidak menjawab dan tiba-tiba

ting! suara notif dari handphone Seungmin.

Jisung

Seung, lu masih di rooftop kah? aduhh sorry gue ga bisa kesana, tapi kalo lu mau gue anterin ke kelas turun aja sini ke kantin.

'Huftt untung jisung ngechat' Batin Seungmin.

“Oke gue pergi, umm ini buat lo, anggep aja tanda maaf gue ya. Dan kalau lo butuh sesuatu ke kelas gue aja, gue di kelas 12 ipa 3. Tolong kalau ga mau dimakan, jangan dibuang ya, sayang-sayang. Kasih temen lo aja.” Kata Seungmin sambil meletakkan sekotak dimsum yang tadi ia beli dan kemudian berlari meninggalkan Hyunjin yang belum mengatakan sepatah kata pun.

Hyunjin menatap bingung pada pintu yang setengah terbuka karena ulah Seungmin.

“Gua kira dia adek kelas. Terus... 12? ipa? 3? sekelas sama gua dong? tapi gua ga pernah liat dia. Apa jangan jangan itu temennya jisung yang dibilang kemaren?”

Hyunjin mengedikkan bahunya lalu duduk untuk memakan dimsum yang Seungmin berikan.

• Ephemeral ; narasi satu

tags!

tw cw // harsh word , cigarettes , rokok , mention of bullying


Setelah menerima rekomendasi tempat dari sahabatnya, jisung. Seungmin pun bergegas pergi mencari rooftop yang— padahal ia tidak tau dimana letaknya berada.

'Rooftop kan diatas... hngg iya seung lo tau kalo rooftop diatas, tapi tangga masuknya ada dimana anjir.' Seungmin berbicara pelan pada dirinya sendiri sambil menyusuri koridor ditambah dengan membawa sekotak dimsum di tangannya.

Sampailah ia didepan anak tangga yang bertuliskan 'Rooftop' disetiap lantainya.

Setelah dirasa yakin bahwa itu adalah jalan menuju tempat yang ia cari, ia segera menaiki anak tangga tersebut. Dan benar saja— sampailah ia di sana.

Seungmin tidak berekspektasi terlalu tinggi mengenai keadaan rooftop di sekolah barunya itu, apalagi sampai membayangkannya seperti pada film ataupun drakor yang ia tonton selama ini.

Tapi setidaknya disana cukup bersih walaupun agak berantakan dikarenakan bangku dan meja sekolah yang sebagian sudah tidak tersusun.

'Nah nyampe juga, tapi view nya lumayan dari sini. Bagus, bisa sambil liat gedung sama kendaraan.. itung itung biar ngga bosen bosen amat lah ya.'

_'Tapi kok bau rokok ya? tapi sepi, setan? ga mungkin lah gila masih pagi juga. Apa ada orang buang rokok tapi belum dimatiin? ah bodo lah gue laper mau makan.' Lagi lagi seungmin berbicara dengan dirinya sendiri.

Lalu Seungmin mengambil salah satu bangku yang letaknya agak tinggi— oh ya dan jangan lupakan kalau bangku tersebut terbuat dari kayu yang agak berat.

'Setan mana sih yang ngerokok? baunya makin kecium gini.. e-eh berat banget anjing— yah.. aduhh'

  • brugg *

“Ahh anjing, siapa si? sakit tau”

“ASTAGA”

Seungmin terkejut mendapati sesosok laki-laki seusianya yang memakai headphone dengan rokok di sela jarinya.

“Aduh aduh maaf banget maaf gue ngga tau kalo ada lo disitu.” Kata seungmin sambil menggeser bangku yang terjatuh akibat ulahnya barusan.

“sshhh arghh sakit bangsat.”

“Ahh gimana ya? ayo ke uks aja mau ngga? gue bantu jalan sini.”

“Gausah.” Ucap Hyunjin dengan ketus

Kemudian Hyunjin berdiri sambil memegang pundaknya yang sakit— atau mungkin sudah memar lalu berjalan ke pinggir rooftop dan menghiraukan seungmin.

Dihisapnya rokok tersebut beberapa kali sebelum akhirnya ia menjatuhkannya lalu menginjaknya dengan sepatu.

Hyunjin tau bahwa pria yang tidak ia kenal itu masih setia berdiri dibelakangnya sambil menundukkan kepalanya.

“Terus lu ngapain masih disini?” Tanya Hyunjin.

Seungmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mengatakan “G-gue gaenak sama lo, pasti sakit ya? gue minta maaf sekali lagi, gue harus apa?”

“Ya sakitlah, pake nanya lagi. Gausah ngapa-ngapain, pergi aja sana ke kelas lo.”

Walaupun Hyunjin terbilang susah diatur, nakal, tukang ribut, dan sebagainya...— Ia tidak pernah memanfaatkan situasi seperti ini untuk memeras atau bahkan membully seseorang.

Seungmin tidak menjawab dan tiba-tiba

ting! suara notif dari handphone Seungmin.

Jisung

Seung, lu masih di rooftop kah? aduhh sorry gue ga bisa kesana, tapi kalo lu mau gue anterin ke kelas turun aja sini ke kantin.

'Huftt untung jisung ngechat' Batin Seungmin.

“Oke gue pergi, umm ini buat lo, anggep aja tanda maaf gue ya. Dan kalau lo butuh sesuatu ke kelas gue aja, gue di kelas 12 ipa 3. Tolong kalau ga mau dimakan, jangan dibuang ya, sayang-sayang. Kasih temen lo aja.” Kata Seungmin sambil meletakkan sekotak dimsum yang tadi ia beli dan kemudian berlari meninggalkan Hyunjin yang belum mengatakan sepatah kata pun.

Hyunjin menatap bingung pada pintu yang setengah terbuka karena ulah Seungmin.

“Gua kira dia adek kelas. Terus... 12? ipa? 3? sekelas sama gua dong? tapi gua ga pernah liat dia. Apa jangan jangan itu temennya jisung yang dibilang kemaren?”

Hyunjin mengedikkan bahunya lalu duduk untuk memakan dimsum yang Seungmin berikan.

• Ephemeral ; narasi satu • 280721

tags!

tw cw // harsh word , cigarettes , rokok , mention of bullying


Setelah menerima rekomendasi tempat dari sahabatnya, jisung. Seungmin pun bergegas pergi mencari rooftop yang— padahal ia tidak tau dimana letaknya berada.

'Rooftop kan diatas... hngg iya seung lo tau kalo rooftop diatas, tapi tangga masuknya ada dimana anjir.' Seungmin berbicara pelan pada dirinya sendiri sambil menyusuri koridor ditambah dengan membawa sekotak dimsum di tangannya.

Sampailah ia didepan anak tangga yang bertuliskan 'Rooftop' disetiap lantainya.

Setelah dirasa yakin bahwa itu adalah jalan menuju tempat yang ia cari, ia segera menaiki anak tangga tersebut. Dan benar saja— sampailah ia di sana.

Seungmin tidak berekspektasi terlalu tinggi mengenai keadaan rooftop di sekolah barunya itu, apalagi sampai membayangkannya seperti pada film ataupun drakor yang ia tonton selama ini.

Tapi setidaknya disana cukup bersih walaupun agak berantakan dikarenakan bangku dan meja sekolah yang sebagian sudah tidak tersusun.

'Nah nyampe juga, tapi view nya lumayan dari sini. Bagus, bisa sambil liat gedung sama kendaraan.. itung itung biar ngga bosen bosen amat lah ya.'

_'Tapi kok bau rokok ya? tapi sepi, setan? ga mungkin lah gila masih pagi juga. Apa ada orang buang rokok tapi belum dimatiin? ah bodo lah gue laper mau makan.' Lagi lagi seungmin berbicara dengan dirinya sendiri.

Lalu Seungmin mengambil salah satu bangku yang letaknya agak tinggi— oh ya dan jangan lupakan kalau bangku tersebut terbuat dari kayu yang agak berat.

'Setan mana sih yang ngerokok? baunya makin kecium gini.. e-eh berat banget anjing— yah.. aduhh'

  • brugg *

“Ahh anjing, siapa si? sakit tau”

“ASTAGA”

Seungmin terkejut mendapati sesosok laki-laki seusianya yang memakai headphone dengan rokok di sela jarinya.

“Aduh aduh maaf banget maaf gue ngga tau kalo ada lo disitu.” Kata seungmin sambil menggeser bangku yang terjatuh akibat ulahnya barusan.

“sshhh arghh sakit bangsat.”

“Ahh gimana ya? ayo ke uks aja mau ngga? gue bantu jalan sini.”

“Gausah.” Ucap Hyunjin dengan ketus

Kemudian Hyunjin berdiri sambil memegang pundaknya yang sakit— atau mungkin sudah memar lalu berjalan ke pinggir rooftop dan menghiraukan seungmin.

Dihisapnya rokok tersebut beberapa kali sebelum akhirnya ia menjatuhkannya lalu menginjaknya dengan sepatu.

Hyunjin tau bahwa pria yang tidak ia kenal itu masih setia berdiri dibelakangnya sambil menundukkan kepalanya.

“Terus lu ngapain masih disini?” Tanya Hyunjin.

Seungmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mengatakan “G-gue gaenak sama lo, pasti sakit ya? gue minta maaf sekali lagi, gue harus apa?”

“Ya sakitlah, pake nanya lagi. Gausah ngapa-ngapain, pergi aja sana ke kelas lo.”

Walaupun Hyunjin terbilang susah diatur, nakal, tukang ribut, dan sebagainya...— Ia tidak pernah memanfaatkan situasi seperti ini untuk memeras atau bahkan membully seseorang.

Seungmin tidak menjawab dan tiba-tiba

ting! suara notif dari handphone Seungmin.

Jisung

Seung, lu masih di rooftop kah? aduhh sorry gue ga bisa kesana, tapi kalo lu mau gue anterin ke kelas turun aja sini ke kantin.

'Huftt untung jisung ngechat' Batin Seungmin.

“Oke gue pergi, umm ini buat lo, anggep aja tanda maaf gue ya. Dan kalau lo butuh sesuatu ke kelas gue aja, gue di kelas 12 ipa 3. Tolong kalau ga mau dimakan, jangan dibuang ya, sayang-sayang. Kasih temen lo aja.” Kata Seungmin sambil meletakkan sekotak dimsum yang tadi ia beli dan kemudian berlari meninggalkan Hyunjin yang belum mengatakan sepatah kata pun.

Hyunjin menatap bingung pada pintu yang setengah terbuka karena ulah Seungmin.

“Gua kira dia adek kelas. Terus... 12? ipa? 3? sekelas sama gua dong? tapi gua ga pernah liat dia. Apa jangan jangan itu temennya jisung yang dibilang kemaren?”

Hyunjin mengedikkan bahunya lalu duduk untuk memakan dimsum yang Seungmin berikan.

Ephemeral ; narasi satu 280721

tags!

tw cw // harsh word , cigarettes , rokok , mention of bullying


Setelah menerima rekomendasi tempat dari sahabatnya, jisung. Seungmin pun bergegas pergi mencari rooftop yang— padahal ia tidak tau dimana letaknya berada.

'Rooftop kan diatas... hngg iya seung lo tau kalo rooftop diatas, tapi tangga masuknya ada dimana anjir.' Seungmin berbicara pelan pada dirinya sendiri sambil menyusuri koridor ditambah dengan membawa sekotak dimsum di tangannya.

Sampailah ia didepan anak tangga yang bertuliskan 'Rooftop' disetiap lantainya.

Setelah dirasa yakin bahwa itu adalah jalan menuju tempat yang ia cari, ia segera menaiki anak tangga tersebut. Dan benar saja— sampailah ia di sana.

Seungmin tidak berekspektasi terlalu tinggi mengenai keadaan rooftop di sekolah barunya itu, apalagi sampai membayangkannya seperti pada film ataupun drakor yang ia tonton selama ini.

Tapi setidaknya disana cukup bersih walaupun agak berantakan dikarenakan bangku dan meja sekolah yang sebagian sudah tidak tersusun.

'Nah nyampe juga, tapi view nya lumayan dari sini. Bagus, bisa sambil liat gedung sama kendaraan.. itung itung biar ngga bosen bosen amat lah ya.'

_'Tapi kok bau rokok ya? tapi sepi, setan? ga mungkin lah gila masih pagi juga. Apa ada orang buang rokok tapi belum dimatiin? ah bodo lah gue laper mau makan.' Lagi lagi seungmin berbicara dengan dirinya sendiri.

Lalu Seungmin mengambil salah satu bangku yang letaknya agak tinggi— oh ya dan jangan lupakan kalau bangku tersebut terbuat dari kayu yang agak berat.

'Setan mana sih yang ngerokok? baunya makin kecium gini.. e-eh berat banget anjing— yah.. aduhh'

  • brugg *

“Ahh anjing, siapa si? sakit tau”

“ASTAGA”

Seungmin terkejut mendapati sesosok laki-laki seusianya yang memakai headphone dengan rokok di sela jarinya.

“Aduh aduh maaf banget maaf gue ngga tau kalo ada lo disitu.” Kata seungmin sambil menggeser bangku yang terjatuh akibat ulahnya barusan.

“sshhh arghh sakit bangsat.”

“Ahh gimana ya? ayo ke uks aja mau ngga? gue bantu jalan sini.”

“Gausah.” Ucap Hyunjin dengan ketus

Kemudian Hyunjin berdiri sambil memegang pundaknya yang sakit— atau mungkin sudah memar lalu berjalan ke pinggir rooftop dan menghiraukan seungmin.

Dihisapnya rokok tersebut beberapa kali sebelum akhirnya ia menjatuhkannya lalu menginjaknya dengan sepatu.

Hyunjin tau bahwa pria yang tidak ia kenal itu masih setia berdiri dibelakangnya sambil menundukkan kepalanya.

“Terus lu ngapain masih disini?” Tanya Hyunjin.

Seungmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan mengatakan “G-gue gaenak sama lo, pasti sakit ya? gue minta maaf sekali lagi, gue harus apa?”

“Ya sakitlah, pake nanya lagi. Gausah ngapa-ngapain, pergi aja sana ke kelas lo.”

Walaupun Hyunjin terbilang susah diatur, nakal, tukang ribut, dan sebagainya...— Ia tidak pernah memanfaatkan situasi seperti ini untuk memeras atau bahkan membully seseorang.

Seungmin tidak menjawab dan tiba-tiba

ting! suara notif dari handphone Seungmin.

Jisung

Seung, lu masih di rooftop kah? aduhh sorry gue ga bisa kesana, tapi kalo lu mau gue anterin ke kelas turun aja sini ke kantin.

'Huftt untung jisung ngechat' Batin Seungmin.

“Oke gue pergi, umm ini buat lo, anggep aja tanda maaf gue ya. Dan kalau lo butuh sesuatu ke kelas gue aja, gue di kelas 12 ipa 3. Tolong kalau ga mau dimakan, jangan dibuang ya, sayang-sayang. Kasih temen lo aja.” Kata Seungmin sambil meletakkan sekotak dimsum yang tadi ia beli dan kemudian berlari meninggalkan Hyunjin yang belum mengatakan sepatah kata pun.

Hyunjin menatap bingung pada pintu yang setengah terbuka karena ulah Seungmin.

“Gua kira dia adek kelas. Terus... 12? ipa? 3? sekelas sama gua dong? tapi gua ga pernah liat dia. Apa jangan jangan itu temennya jisung yang dibilang kemaren?”

Hyunjin mengedikkan bahunya lalu duduk untuk memakan dimsum yang Seungmin berikan.

14/08/2021 Neopyte ; Last


Part ini narasi terakhir dan agak panjang, jadi tolong dibaca nya pelan-pelan aja ya ^^


Setelah izin, ah tidak- maksudnya berbohong kepada temannya, Rain. Starla pergi ke toko kue untuk mengambil kue berukuran sedang yang dipesannya 3 hari yang lalu.

Kemudian ia melajukan mobilnya ke suatu tempat. Tidak lama kemudian, sampailah ia di tempat itu. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan tempat ia biasa duduk disana,

“Capek banget duhh kerjaan di kantor banyak banget, tapi kalau udah duduk disini rasanya agak berkurang capeknya.”

Starla mengambil korek gas yang berada di ventilasi jendela, ia sengaja meninggalkannya disana, bukan untuk merokok. Bukan. Toh, ia sudah berjanji tidak akan lagi menyentuh batang nikotin tersebut.

Diarahkannya korek tersebut ke lilin yang sudah ia tancapkan pada kue tersebut. Starla mengambil nafas berat untuk kemudian berkata,

“Selamat tahun kedua, kay. Harapanku masih sama, masih mau kamu kembali lagi. Nggak salah kan?” Sambil tersenyum pahit.

Entah mengapa langit malam saat itu sangat mendukung Starla untuk menangis. Tapi lagi-lagi seperti tahun sebelumnya, ia tidak mau kalah dengan keadaan. Ia tidak mau menangis semudah itu. Maka, Starla pejamkan matanya untuk menahan air matanya agar tidak turun. Lama kelamaan ia terlelap seperti biasanya.

Iya, biasanya.

Biasanya setelah pulang kerja, Starla melepas lelah nya disana, walaupun sekedar terlelap, barang sejenak. Rasanya itu sudah cukup.


Disisi lain ada yang sedang memperhatikan rumah tempat Starla duduk dibelakangnya.

Pemuda itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sky. Iya, benar, ia kembali.

Ia menatap rumahnya dengan tatapan rindu yang amat dalam. Entah memang betulan rindu rumahnya, atau kenangan di dalamnya. Yang jelas ia rindu... batinnya.

Sky menyusuri sudut demi sudut luar rumahnya- untuk memastikan apakah ada banyak perubahan atau tidak.

“Masih sama ya ternyata.”

Kemudian pemuda itu melanjutkan langkah ke belakang rumahnya.

Alih-alih ingin memastikan keadaan rumahnya, yang ia dapati malah sesosok wanita dengan setelan kantor khas pulang kerja yang tengah tertidur setengah meringkuk diatas kursi.

Disampingnya terdapat kue tart berwarna biru langit dihiasi awan yang berbentuk seperti permen kapas dengan lilin yang setengah mencair diatasnya.

Sky langkahkan kakinya perlahan-lahan untuk meminimalisir suara yang akan ia timbulkan.

Dibacanya bacaan yang terdapat pada kue tart tersebut- yang bertuliskan “Selamat tahun kedua, Sky. Aku masih berharap kau kembali, bolehkah?”

Sky hanya tersenyum dan menggumam, 'Yang namanya Starla pasti kepala batu. Udah dibilang jangan tunggu gue, masih aja ngeyel.'

Sky menekuk kakinya sambil setengah berjongkok di depan Starla yang tengah terlelap.

Ditatapnya wajah Starla yang terlihat sangat lelah itu sambil sesekali mengusap pipinya,– Sky tau bahwa Starla bahkan belum pulang kerumah barang untuk megistirahatkan dirinya sejenak diatas ranjang.

'Kan bisa datengnya besok' ucap sky pelan.

eung

Starla menyadari bahwa ada sesuatu yang menganggu tidurnya pun terbangun. Matanya ia buka perlahan-lahan sampai dirasa penglihatannya sudah tidak buram.

“WAAAAAAAAAAAAA” “Lo siapa anjir aaaaaaa pergi pergi, tolong tolooongggg”

Starla berteriak sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Sky lagi-lagi hanya tersenyum sambil menggeleng pelan saat melihat tingkah konyol Starla.

“Sssttt ini gue Sky, Starla.”

“Ga usah ngaku-ngaku lo, Sky ga mungkin balik tau ga!” Kata Starla masih dengan mata yang tertutup.

“Kenapa ga mungkin?”

“Y-yaa.. gatau tanya aja sana sendiri ke orangnya”

“Kalo menurut lo kenapa?”

“M-menurut gue.. ya.. dia balikan lah sama mantannya, si Bira bira itu.”

“Ngga tuh, gue maunya Starla, bukan Shabira. Udah coba buka dulu matanya, gue bukan maling, gue bukan arwahnya Sky, jadi ga usah teriak minta tolong gitu. Nanti disangka gue ngapa-ngapain lo lagi.” Ucap Sky sambil menyingkirkan tangan Starla dari wajahnya perlahan-lahan.

Starla dengan ragu ragu mulai membuka matanya,

“Liat kan? ini gue, Sky. Jangan bilang lo lupa muka gue?”

hiks hiks

“Diem kay, diem.”

“Ga mau, lo ga kangen gue emangnya? ga mau peluk gitu? gue di depan lo, masa mau diem aja?”

Starla mencondongkan tubuhnya ke depan untuk memeluk Sky,

“Jangan kemana-mana lagi kay, kalau lo pergi lagi gue ikut ya?”

“Hey ssttt udah, gue disini la, gue ga bakal kemana-mana lagi. Janji.”

“Kalo boong gimana?”

“Ngga akan.”

Mereka melepas pelukan dengan perlahan-lahan,– Lalu Sky menangkup pipi Starla,

“Udah udah, berenti dong nangisnya, kan gue udah disini.”

“Ini lo beneran kan kay? gue gak halusinasi kan?”

“Iya Starla, astaga lo ga halusinasi kok, beneran.”


“La, kenapa lo masih nungguin gue? bukannya ini udah terlalu lama buat percaya atau bahkan nunggu gue balik?”

“Ngga ada kata terlalu lama buat nunggu orang yang lo sayang balik ke lo kay, kecuali dia dipanggil tuhan. Dan selama gue masih percaya lo bakalan balik, gue bakal terus nunggu. Selagi gue masih bisa, selagi gue masih tahan, kenapa engga kay?”

“Lo emang kuat la, tapi lain kali jangan gini, dalam hal apapun. Kasian diri lo sendiri.”

“Hmm... Kay... gue kira lo sama Bira...”

“Hahaha engga lah, Bira aja sukanya ama Genta.”

“G-genta? kok bisa?”

“Panjang ceritanya, besok aja gue ceritain. Dan oh ya, gue udah baikan sama Genta, la.”

“Serius kay?! syukur deh kalo begitu, pantesan waktu itu gue liat Genta nge tweet foto lo berdua.”

“Hahaha beneran, gaboong.”


“Kenapa bintang ada di langit ya kay.. “

“Kalo versi bucinnya gini. Langit itu tempat bintang bersandar hahaha.”

“Bener sih.. bintang ga bisa kalo gaada langit, tapi langit masih bisa ada tanpa bintang.”

“Bisa sih bisa, tapi kayanya si langit jadi kesepian. Soalnya kalo gaada bintang, langit jadi kosong, kaya ada yang kurang jadinya. Ya itu sama aja kaya kita, lo perlu bersandar sama gue di beberapa waktu dan hidup gue bakalan kosong kalo gaada lo di dalemnya.”

“Aduhh mulai deh hahaha.”

“Biarin aja...”

“Kay kay, liat deh.. kan bintang di atas sana ada banyak.” ucap Starla tiba-tiba sambil menunjuk langit

“Hmm?”

“Pastinya kan Starla 'yang lain' juga banyak, tapi kenapa maunya sama gue?”

“Ya.. karena gue ketemunya sama Starla yang ini. Bukan Starla kedua, tiga empat ataupun Starla yang lain, kan?”

“Betul! tapi nih ya kay, kalau misal lo ketemunya sama Starla yang lain gimana?”

“Mungkin gue sama Starla 'yang lain' itu lagi duduk disini juga”

“Untung gue datengnya duluan ya kay..”

“Kalau mau dateng belakangan juga gapapa, gue tungguin.”

Ga mau, gue cemburuan, masa harus liat lo sama yg lain dulu.


“La, lo percaya reinkarnasi ngga?”

“Percaya aja sih, tapi emang beneran ada ya kay?”

“Entah, tapi mungkin aja ada. Kita kan ga tau gimana cara semesta bekerja, kan? tapi kalo emang beneran ada lo mau jadi apa la?”

“Tetap mau jadi manusia.”

“Selain itu?”

“Mau jadi awan soalnya bisa bergerak bebas. Lo mau jadi apa kay?”

“Kalau lo jadi awan, gue mau jadi langit.”

“Kenapa?”

“Ya biar sama lo terus lah, apalagi? kan awan tempatnya di langit.”

“Yeay! tapi kalau reinkarnasi kesekian kali, lo mau jadi apa selain langit?”

“Kalau lo masih mau jadi awan, gue mau jadi angin.”

“Bentar bentar, gue tau alesannya...”

“Apa coba?”

“Kan tadi gue bilang mau jadi awan karena biar bisa bergerak bebas, dan lo jadi angin biar bisa bawa gue kemanapun lo pergi. Karena pada dasarnya angin yang bawa awan pergi, bukan sebaliknya.”

“Pinter-” Kata Sky sambil mengusak rambut Starla.

“Tapi kalau lo mau ke suatu tempat bilang aja sama gue, biar gue yang bawa lo kesana.”

“Emang bisa kay?”

“Bisa, nanti gue minta sama Tuhan. Tuhan itu baik, pasti dikabulin.”

“Tapi pas kemarin gue minta untuk lo jangan pergi, minta lo cepet balik, kenapa Tuhan ngga ngabulin itu kay? kalo dikabulin, kita bisa lebih cepet ketemu.”

“Itu namanya proses la. Tuhan mau kita belajar dari proses yang dia kasih, proses yang Tuhan kasih tuh ga ada yang percuma. Kita dewasa dari proses, kita belajar dari proses, kita berubah karena proses, semua tuh ada kaitannya sama proses yang Tuhan kasih ke kita la. Jadi jangan sesalin apa yang udah terjadi, semua ada hikmah nya masing-masing.”

“Toh sekarang kita udah ketemu lagi kan? dan gue janji ga bakal ada tahun-tahun berikutnya buat lo ngerayain 'ulang tahun' perginya gue.”

“Jadi... Lo mau jadi pacar gue la?”

Starla masih tertegun akan perkataan yang Sky bilang barusan, dan ia rasa lagi-lagi Sky benar.

“E-eh apa?”

“Be mine?”

“Umm... yes...”


Neophyte ; last.

14/08/2021 Neopyte ; Last


Part ini narasi terakhir, jadi tolong dibaca nya pelan-pelan aja ya ^^


Setelah izin, ah tidak- maksudnya berbohong kepada temannya, Rain. Starla pergi ke toko kue untuk mengambil kue berukuran sedang yang dipesannya 3 hari yang lalu.

Kemudian ia melajukan mobilnya ke suatu tempat. Tidak lama kemudian, sampailah ia di tempat itu. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan tempat ia biasa duduk disana,

“Capek banget duhh kerjaan di kantor banyak banget, tapi kalau udah duduk disini rasanya agak berkurang capeknya.”

Starla mengambil korek gas yang berada di ventilasi jendela, ia sengaja meninggalkannya disana, bukan untuk merokok. Bukan. Toh, ia sudah berjanji tidak akan lagi menyentuh batang nikotin tersebut.

Diarahkannya korek tersebut ke lilin yang sudah ia tancapkan pada kue tersebut. Starla mengambil nafas berat untuk kemudian berkata,

“Selamat tahun kedua, kay. Harapanku masih sama, masih mau kamu kembali lagi. Nggak salah kan?” Sambil tersenyum pahit.

Entah mengapa langit malam saat itu sangat mendukung Starla untuk menangis. Tapi lagi-lagi seperti tahun sebelumnya, ia tidak mau kalah dengan keadaan. Ia tidak mau menangis semudah itu. Maka, Starla pejamkan matanya untuk menahan air matanya agar tidak turun. Lama kelamaan ia terlelap seperti biasanya.

Iya, biasanya.

Biasanya setelah pulang kerja, Starla melepas lelah nya disana, walaupun sekedar terlelap, barang sejenak. Rasanya itu sudah cukup.


Disisi lain ada yang sedang memperhatikan rumah tempat Starla duduk dibelakangnya.

Pemuda itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sky. Iya, benar, ia kembali.

Ia menatap rumahnya dengan tatapan rindu yang amat dalam. Entah memang betulan rindu rumahnya, atau kenangan di dalamnya. Yang jelas ia rindu... batinnya.

Sky menyusuri sudut demi sudut luar rumahnya- untuk memastikan apakah ada banyak perubahan atau tidak.

“Masih sama ya ternyata.”

Kemudian pemuda itu melanjutkan langkah ke belakang rumahnya.

Alih-alih ingin memastikan keadaan rumahnya, yang ia dapati malah sesosok wanita dengan setelan kantor khas pulang kerja yang tengah tertidur setengah meringkuk diatas kursi.

Disampingnya terdapat kue tart berwarna biru langit dihiasi awan yang berbentuk seperti permen kapas dengan lilin yang setengah mencair diatasnya.

Sky langkahkan kakinya perlahan-lahan untuk meminimalisir suara yang akan ia timbulkan.

Dibacanya bacaan yang terdapat pada kue tart tersebut- yang bertuliskan “Selamat tahun kedua, Sky. Aku masih berharap kau kembali, bolehkah?”

Sky hanya tersenyum dan menggumam, 'Yang namanya Starla pasti kepala batu. Udah dibilang jangan tunggu gue, masih aja ngeyel.'

Sky menekuk kakinya sambil setengah berjongkok di depan Starla yang tengah terlelap.

Ditatapnya wajah Starla yang terlihat sangat lelah itu sambil sesekali mengusap pipinya,– Sky tau bahwa Starla bahkan belum pulang kerumah barang untuk megistirahatkan dirinya sejenak diatas ranjang.

'Kan bisa datengnya besok' ucap sky pelan.

eung

Starla menyadari bahwa ada sesuatu yang menganggu tidurnya pun terbangun. Matanya ia buka perlahan-lahan sampai dirasa penglihatannya sudah tidak buram.

“WAAAAAAAAAAAAA” **“Lo siapa anjir aaaaaaa pergi pergi, tolong tolooongggg”**

Starla berteriak sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Sky lagi-lagi hanya tersenyum sambil menggeleng pelan saat melihat tingkah konyol Starla.

“Sssttt ini gue Sky, Starla.”

“Ga usah ngaku-ngaku lo, Sky ga mungkin balik tau ga!” Kata Starla masih dengan mata yang tertutup.

“Kenapa ga mungkin?”

“Y-yaa.. gatau tanya aja sana sendiri ke orangnya”

“Kalo menurut lo kenapa?”

“M-menurut gue.. ya.. dia balikan lah sama mantannya, si Bira bira itu.”

“Ngga tuh, gue maunya Starla, bukan Shabira. Udah coba buka dulu matanya, gue bukan maling, gue bukan arwahnya Sky, jadi ga usah teriak minta tolong gitu. Nanti disangka gue ngapa-ngapain lo lagi.” Ucap Sky sambil menyingkirkan tangan Starla dari wajahnya perlahan-lahan.

Starla dengan ragu ragu mulai membuka matanya,

“Liat kan? ini gue, Sky. Jangan bilang lo lupa muka gue?”

hiks hiks

“Diem kay, diem.”

“Ga mau, lo ga kangen gue emangnya? ga mau peluk gitu? gue di depan lo, masa mau diem aja?”

Starla mencondongkan tubuhnya ke depan untuk memeluk Sky,

“Jangan kemana-mana lagi kay, kalau lo pergi lagi gue ikut ya?”

“Hey ssttt udah, gue disini la, gue ga bakal kemana-mana lagi. Janji.”

“Kalo boong gimana?”

“Ngga akan.”

Mereka melepas pelukan dengan perlahan-lahan,– Lalu Sky menangkup pipi Starla,

“Udah udah, berenti dong nangisnya, kan gue udah disini.”

“Ini lo beneran kan kay? gue gak halusinasi kan?”

“Iya Starla, astaga lo ga halusinasi kok, beneran.”


“La, kenapa lo masih nungguin gue? bukannya ini udah terlalu lama buat percaya atau bahkan nunggu gue balik?”

“Ngga ada kata terlalu lama buat nunggu orang yang lo sayang balik ke lo kay, kecuali dia dipanggil tuhan. Dan selama gue masih percaya lo bakalan balik, gue bakal terus nunggu. Selagi gue masih bisa, selagi gue masih tahan, kenapa engga kay?”

“Lo emang kuat la, tapi lain kali jangan gini, dalam hal apapun. Kasian diri lo sendiri.”

“Hmm... Kay... gue kira lo sama Bira...”

“Hahaha engga lah, Bira aja sukanya ama Genta.”

“G-genta? kok bisa?”

“Panjang ceritanya, besok aja gue ceritain. Dan oh ya, gue udah baikan sama Genta, la.”

“Serius kay?! syukur deh kalo begitu, pantesan waktu itu gue liat Genta nge tweet foto lo berdua.”

“Hahaha beneran, gaboong.”


“Kenapa bintang ada di langit ya kay.. “

“Kalo versi bucinnya gini. Langit itu tempat bintang bersandar hahaha.”

“Bener sih.. bintang ga bisa kalo gaada langit, tapi langit masih bisa ada tanpa bintang.”

“Bisa sih bisa, tapi kayanya si langit jadi kesepian. Soalnya kalo gaada bintang, langit jadi kosong, kaya ada yang kurang jadinya. Ya itu sama aja kaya kita, lo perlu bersandar sama gue di beberapa waktu dan hidup gue bakalan kosong kalo gaada lo di dalemnya.”

“Aduhh mulai deh hahaha.”

“Biarin aja...”

“Kay kay, liat deh.. kan bintang di atas sana ada banyak.” ucap Starla tiba-tiba sambil menunjuk langit

“Hmm?”

“Pastinya kan Starla 'yang lain' juga banyak, tapi kenapa maunya sama gue?”

“Ya.. karena gue ketemunya sama Starla yang ini. Bukan Starla kedua, tiga empat ataupun Starla yang lain, kan?”

“Betul! tapi nih ya kay, kalau misal lo ketemunya sama Starla yang lain gimana?”

“Mungkin gue sama Starla 'yang lain' itu lagi duduk disini juga”

“Untung gue datengnya duluan ya kay..”

“Kalau mau dateng belakangan juga gapapa, gue tungguin.”

Ga mau, gue cemburuan, masa harus liat lo sama yg lain dulu.


“La, lo percaya reinkarnasi ngga?”

“Percaya aja sih, tapi emang beneran ada ya kay?”

“Entah, tapi mungkin aja ada. Kita kan ga tau gimana cara semesta bekerja, kan? tapi kalo emang beneran ada lo mau jadi apa la?”

“Tetap mau jadi manusia.”

“Selain itu?”

“Mau jadi awan soalnya bisa bergerak bebas. Lo mau jadi apa kay?”

“Kalau lo jadi awan, gue mau jadi langit.”

“Kenapa?”

“Ya biar sama lo terus lah, apalagi? kan awan tempatnya di langit.”

“Yeay! tapi kalau reinkarnasi kesekian kali, lo mau jadi apa selain langit?”

“Kalau lo masih mau jadi awan, gue mau jadi angin.”

“Bentar bentar, gue tau alesannya...”

“Apa coba?”

“Kan tadi gue bilang mau jadi awan karena biar bisa bergerak bebas, dan lo jadi angin biar bisa bawa gue kemanapun lo pergi. Karena pada dasarnya angin yang bawa awan pergi, bukan sebaliknya.”

“Pinter-” Kata Sky sambil mengusak rambut Starla.

“Tapi kalau lo mau ke suatu tempat bilang aja sama gue, biar gue yang bawa lo kesana.”

“Emang bisa kay?”

“Bisa, nanti gue minta sama Tuhan. Tuhan itu baik, pasti dikabulin.”

“Tapi pas kemarin gue minta untuk lo jangan pergi, minta lo cepet balik, kenapa Tuhan ngga ngabulin itu kay? kalo dikabulin, kita bisa lebih cepet ketemu.”

“Itu namanya proses la. Tuhan mau kita belajar dari proses yang dia kasih, proses yang Tuhan kasih tuh ga ada yang percuma. Kita dewasa dari proses, kita belajar dari proses, kita berubah karena proses, semua tuh ada kaitannya sama proses yang Tuhan kasih ke kita la. Jadi jangan sesalin apa yang udah terjadi, semua ada hikmah nya masing-masing.”

“Toh sekarang kita udah ketemu lagi kan? dan gue janji ga bakal ada tahun-tahun berikutnya buat lo ngerayain 'ulang tahun' perginya gue.”

“Jadi... Lo mau jadi pacar gue la?”

Starla masih tertegun akan perkataan yang Sky bilang barusan, dan ia rasa lagi-lagi Sky benar.

“E-eh apa?”

“Be mine?”

“Umm... yes...”


Neophyte ; last.