what kind of relationship?

lowercase cw // kiss


seiring malam menjelang, jalanan ibu kota yang biasanya padat merayap itu perlahan melonggar. berkat hal itu, dika dapat melajukan oscar—motor kopling berwarna hitam kesayangannya itu—dengan cepat.

wajah yang berlindung di balik helm bertipe semi full face tersebut ternyata tak luput dari terpaan angin yang menyelinap masuk pada tiap celah yang ada—menyebabkan rambutnya sedikit menguar. akibatnya, pikirannya akan melvan sedikit teralihkan.

dika memilih untuk menepi sejenak untuk menata rambut dan membenarkan posisi helm yang ia rasa kurang nyaman. ia pun melepas helmnya dan mulai mengusak wajahnya bak orang frustasi.

kacau dan rumit.

dua kata itu sangat menggambarkan pikiran dika saat ini. perasaannya terbagi dua—pada satu sisi, dika ragu untuk mengambil langkah lebih jauh bersama melvan. karena ia takut kalau perasaannya ini hanyalah perasaan tidak enak hati pada melvan akibat kejadian beberapa waktu lalu.

meskipun demikian, sisi lain pada perasaan dika menyadari, bahwa rasa yang dika simpan untuk melvan terus berkembang seiring waktu. dika sendiri pun tak menyangkal, bahwa, jauh dalam lubuk hatinya terdapat perasaan ingin memiliki melvan seutuhnya.

lantas, mengapa dika terlihat amat kebingungan?

entah. padahal, sebelumnya ia merasa baik-baik saja menjalani hubungan seperti ini dengan melvan. begitupun melvan yang tidak ambil pusing mengenai status mereka. namun, lagi-lagi, entah mengapa kali ini terasa begitu rumit.

setelah menepi sejenak, dika pun kembali mengendarai motornya untuk segera pulang.

tak seberapa lama, dika pun sampai di depan pintu kost-nya. ia memilih untuk berganti pakaian sebentar, kemudian barulah ia menghampiri melvan yang kamarnya berada persis di lantai atasnya. hal itu dika lakukan karena ia berniat untuk menemani melvan kali ini. terbesit perasaan iba di benaknya kala ia membayangkan melvan terduduk lesu sendirian, sembari mengerjakan tugas yang entah akan selesai dalam berapa waktu.

alih-alih kopi yang ia bawa untuk diberikan pada melvan supaya melvan terjaga, dika justru membawa 2 kotak susu coklat kesukaan melvan. dengan tangan yang penuh akan barang bawaan, dika dengan susah payah meraih gagang pintu yang untungnya tidak terkunci itu.

begitu pintu terbuka, dika masuk sambil menggelengkan kepalanya. rasa-rasanya, ini bukanlah kamar melvan yang ia kenal—yang selalu tertata rapi dan terlihat minimalis.

terlihat lembaran kertas di mana-mana, laptop yang layarnya terpancar dengan terang, juga beberapa buku berserakan.

“astaga van, ini seriusan kamar lu?” ucap dika pertama kali.

“ngga usah ngeledek. gue sebenarnya juga udah gatel mau beresin ini, tapi tenaga gue abis cuma buat duduk dan melototin laprak ngga jelas ini.” jawab melvan sambil terus berkutat pada laptopnya.

“yaudah nih, makan dulu, abis itu baru lanjut lagi.”

seketika melvan sumringah, matanya sedikit berkaca-kaca melihat dika—yang saat itu terlihat seperti malaikat penyelamatnya.

“suapin, ya!” pintanya sambil berjalan riang menuju wastafel.

“lu kenapa deh, lagi clingy banget kayanya akhir-akhir ini???” kata dika dengan nada bingung, sembari membuka bungkusan nasi goreng itu untuk melvan.

“ngga boleh emangnya?” ucap melvan sambil menjauhi wastafel.

alih-alih menyerbu nasi goreng titipannya, melvan justru berjalan menghampiri dika yang duduk bersandar di atas kasur.

belum sempat dika menjawab, melvan kini sudah mendudukkan dirinya di atas pangkuan dika dan langsung mengalungkan tangannya pada leher dika, wajahnya pun ia benamkan pada ceruk leher laki-laki di hadapannya.

“maaf ya, akhir-akhir ini lagi capek banget.” hembusan nafas melvan terasa hangat di ceruk leher dika. nada bicaranya juga tampak tidak dibuat-buat.

dika paham dengan apa yang melvan rasakan. tugas yang kerap kali dibebankan memang terasa begitu menyiksa. apalagi, melvan jauh dari rumah. pasti melvan merasa kesepian, pasti melvan juga kebingungan harus pulang ke mana saat sudah berada pada titik terujung dari rasa lelahnya.

dika membalas pelukan melvan dengan melingkarkan tangan kirinya pada pinggang melvan, dan wajahnya ia tenggelamkan pada bagian pundak laki-laki di pangkuannya. tangan kanan dika pun ikut tergerak untuk mengusap punggung melvan dengan lembut, sembari sesekali ia tepuk-tepuk perlahan.

“kenapa ngga minta temenin gua dari kemarin-kemarin?”

“banyak faktornya,”

“gua dengerin, kok.”

“pertama, gue ngga mau ganggu. tapi akhirnya ganggu juga, ya? — kedua, ngga tau gue yang lagi terlalu perasa atau gimana, tapi lo kaya lagi ketus ke gue akhir-akhir ini.”

“dua aja? katanya banyak?”

“gue takut aja... takut makin suka sama lo, takut makin ngga bisa jauh-jauh dari lo, takut kalo—ah, pokoknya banyak. tapi, dik, gue mau tau, status kita ini apa sih sebenarnya?”

dika sedikit terperanjat mendengar kalimat akhir yang melvan lontarkan.

ia beri jarak sedikit tubuhnya dengan tubuh melvan yang tengah asik bersandar pada satu sama lain.

“melvan, dengerin, ya—” ia mengusap pipi melvan dengan lembut, tatapan dari sorot mata dika melesat jauh ke dalam sorot mata melvan, yang seakan memberi pengertian untuk mempercayai apa yang akan dika katakan setelah ini.

“gua ngga pernah ngerasa kalo lu ganggu gua. jadi, repotin gua terus, ya?—terus, maaf kalo misalnya gua bikin lu ngerasa demikian, tapi sumpah, gua ngga ada maksud buat ketusin lu atau apapun itu, oke?”

mulutnya ia kunci sebentar untuk menatap wajah melvan sebelum ia melanjutkan kalimatnya. di raut wajahnya, nampak kegelisahan yang dika rasakan. ia takut kalau jawabannya akan mengecewakan melvan—yang sekarang dika ketahui telah menaruh perasaan padanya.

tangan melvan yang semula ia letakkan pada pundak dika, kini beralih untuk mengusap rambut belakang dika—pandangannya ia alihkan ke sembarang arah sambil sesekali menatap dika. melvan tak sanggup jika harus menatap dika saat ini. banyak ketakutan yang terlintas dalam benak melvan. ada juga pertanyaan yang terus berputar di otaknya sedari tadi.

apakah tindakannya sudah benar?

apakah keputusannya untuk menyatakan perasaan, tidaklah gegabah?

apakah dika memiliki perasaan yang sama terhadapnya?

apakah hubungan mereka—yang entah apa statusnya—akan berakhir sampai di sini?

dika pun meraih tangan melvan untuk ia genggam, dengan harapan, laki-laki di depannya ini akan merasa sedikit lebih tenang.

“gua juga, van. awalnya gua juga ngerasa begitu. gua takut kalo gua ketemu lu, nanti perasaan gua bakalan makin dalem. gua takut setiap gua ngeliat mata lu, gua makin ngga bisa kontrol perasaan gua. gua juga sama kaya lu, van, awalnya—”

“awalnya gua ngerasa kaya gitu karena gua masih cari celah buat nyangkal. gua masih sibuk denial kalo gua sebenarnya ngga punya perasaan sama lu. lama kelamaan, jujur, capek. jadi, sejak itu gua biarin perasaan gua lepas, gua biarin mereka mau ngapain aja. alhasil apa? gua udah ngga takut kalo gua bakalan jatuh ke lu se-jatuh-jatuhnya. karena gua tau, van, apa yang gua takutin itu sebenarnya udah terjadi ke gua. gua udah terlanjur jatuh cinta sama lu sedalem itu. perasaan gua ke lu juga udah susah buat gua kontrol. akhirnya gua nyadar, terus, apalagi yang mau gua takutin?”

“gua sayang sama lu, van. sayang banget malah. tapi maaf, kalo gua belum bisa kasih kepastian yang jelas, gua belum bisa kasih lu status yang lu mau. tolong kasih gua waktu sebentar, ya?”

perasaan melvan sedikit lebih lega. setidaknya, dika mempunyai perasaan yang sama. soal apa status mereka, biarlah waktu yang menjawab.

melvan kembali memeluk dika sekilas. kemudian wajahnya ia jauhkan sejenak—bertatapan—sebelum pada akhirnya bibir mereka saling bertemu.

awalnya mereka hanya melibatkan bibir. lama kelamaan, lidah mereka juga ikut mengambil alih. meski ini bukanlah hal yang baru mereka lakukan, namun kali ini mereka merasa ini lebih mendebarkan dari biasanya.

tangan melvan yang bertengger pada dada dika menjadi saksinya—tangan itu merasakan detak jantung dika yang berdegup lebih kencang. tak seperti saat saat sebelumnya.

dika pun sama—ia rasakan nafas melvan yang lebih memburu dari biasanya. gerak bibir melvan juga sedikit lebih agresif—membuat dika kewalahan untuk mengimbanginya.

setelah dirasa cukup, mereka sedikit menjauh dan kembali menatap satu sama lain, sembari tersenyum.

dika memgecup bibir dan pipi melvan. tak lupa juga ia mendekat—menempelkan kening mereka dan mengusakkan hidungnya pada hidung melvan—seperti biasa.

dika angkat tubuh melvan untuk dipindahkan ke sampingnya, supaya dirinya dapat berdiri. ia pun mulai melangkah untuk mengambil nasi goreng yang tadi ia beli, juga, mengambil segelas air.

“makan dulu, ya. nasinya udah agak dingin, nih. apa mau dipanasin dulu?”

melvan menggeleng dan tersenyum “ngga usah,”

“makasih ya, dika. kalo mau balik ke kamar, gapapa. nanti gue makan sendiri.”

“ngga ah, gua di sini aja, mau ngeliatin lu ngelaprak.”

“mending bantuin dari pada ngeliatin???”

“kan udah ngga pusing, hahahaha”

“kalo masih, gimana? nanti dibantuin ngerjain atau dicium lagi?” melvan tersenyum jahil.

melihatnya, dika hanya menggeleng heran dan pada akhirnya ikut tersenyum, “terserah kamu.” ucapnya.