— satu.
Setelah Changbin menentukan tempat untuk mereka belajar bersama, Changbin pun langsung melajukan motornya ke alamat yang dikirimkan oleh Felix.
Tidak lama— hanya sekitar 10 menit, Changbin sudah sampai di halaman rumah berpagar putih, yang tidak lain adalah rumah Felix.
Felix yang menunggu di teras rumah pun mengintip di sela sela pagar untuk memastikan.
“M-mau masuk dulu nggak, bin?”
“Ngga usah langsung aja, naik.”
“Okay...”
15 menit diperjalanan, akhirnya mereka sampai dirumah Changbin.
“Sini masuk.”
Felix tidak menjawab dan langsung mengekori Changbin.
“Lo tunggu sini dulu, gue mau ambil buku.”
“Iya..” jawab Felix gugup.
Changbin pun datang membawa tas berisi buku beserta nampan yang diatasnya terdapat dua gelas jus jeruk, gelas kosong, dan air putih.
“Lo duduk samping gue aja sini, biar gampang.”
“kenapa gak lo aja yang nyamperin gue” batin Felix.
Namun akhirnya Felix menurut juga. Ia mendudukkan dirinya disamping Changbin. Jantungnya berdegup tak karuan— bagaimana tidak? ia duduk bersebelahan dengan sang crush, juga, jaraknya sedekat ini.
Felix mulai menjelaskan materi dengan perlahan dan sabar, supaya yang diajarkan dapat mengerti dengan cepat.
“Gimana, paham ngga yang itu?” tanya Felix
“Ya.. lumayan lah, ntar gue baca baca lagi juga paham.”
“Wow cepet juga ya..”
“Gue ngga sebego itu.”
“Aku ngga bilang kalo kamu begitu, kok.”
“Ah yaudahlah terus yang mana lagi? biar cepet selesai.”
“Caraku ngajarin orang ngga bisa cepet cepet, bin.”
“Lah kata lo kita ga punya banyak waktu?”
“Aku tau, cuma kalo terlalu diburu-buru juga ga awet di otak materinya. Pelajarin nya pelan-pelan aja asal cepet paham dan gampang diinget, daripada dipelajarin cepet-cepet tapi gampang lupa nantinya.”
“Felix ga se-pendiem itu ternyata??”
“Yayaya terserah.”
Changbin pun meneguk jus jeruknya, begitupun Felix.
“Btw, bin, cita-cita kamu apa?”
“Belum kepikiran.”
“Kalo gitu, nanti abis lulus mau masuk jurusan apa kuliahnya?”
“Hmm.. psikolog? entah.”
“Kenapa? kok kayanya kamu ragu gitu?”
“Emang ragu.”
“Apa yang bikin kamu ragu?”
“Ya.. lo liat aja lix, gue sekarang bolos bolosan gini, gue males belajar, nilai gue banyak yang kosong. Apa gue bisa dijadiin contoh? ngga kan?”
“Bin.. mau tau ngga apa yang dibilang Bu Risa pas dia minta aku buat ajarin kamu?”
Changbin tidak menjawab.
“Kata beliau, walaupun nilai kamu banyak yang kosong, tapi nilai kamu yang lain bisa dibilang bagus, kamu pun sebetulnya anak yang sopan dan kalau ditegur pun ngga pernah yang kayak.. balik marah marah. Ya walaupun kadang kamu ulangin lagi.”
“Terus?”
“Ya jadi menurut aku, kamu punya potensi bin. Potensi untuk memperbaiki semuanya— nilai, tingkah laku, dan lainnya.”
“Hahaha, telat kali Lix, gue udah terlanjur begini.” Changbin tertawa miris.
“Bin, ngga ada kata terlambat buat berubah. Ngga ada kata terlambat untuk berbuat baik. Ngga ada kata terlambat buat memperbaiki. Ngga ada kata terlambat untuk hal-hal baik.”
Changbin mengangguk paham, padahal dalam hatinya ia sangat terkejut akan perkataan Felix yang— umm, bisa dibilang menyentuh hatinya (?)
“Yaudah ayo lanjut lagi.” ajak Felix.
“O-okay...”