Menerima balasan pesan dari Jisung membuat suasana hati Seungmin sedikit membaik. Jisung terbilang tidak pernah gagal dalam menghiburnya, walaupun di sebagian orang mungkin terlihat menyebalkan—karena beberapa orang berpendapat, ada waktu untuk serius dan ada waktu untuk bercanda, ya ... memang. Namun, selagi Jisung bisa mengemas keduanya dalam satu waktu, hal itu bukanlah masalah besar bagi Seungmin.
Gelembung pesan terakhir sudah terbalaskan, Seungmin pun langsung berlari dari arah pintu—untuk membuka kunci pintu—kemudian kembali ke kasurnya.
Begitu pintu dibuka, Jisung dengan seringainya yang menyebalkan langsung menyapa Seungmin. “Gua tau ya, lu abis buka kunci langsung lari,” ucapnya sambil menaruh panci berisikan bungkusan mi ramen dan beberapa bahan pendukung.
Seungmin hanya terdiam, matanya masih mengawasi Jisung yang berjalan ke arahnya. “Biasa aja kali ngeliatinnya,” protes Jisung.
Yang diajak bicara hanya mencebik kesal, ia pun berkata, “Lu nyebelin!”
Mendengar ocehan kekasihnya, Jisung hanya tertawa kecil. Dirinya sudah terbiasa mendapatkan banyak protes dan omelan dari kekasihnya itu, namun, bukannya balik marah atau merasa takut, Jisung justru makin menambah niatnya untuk terus menggoda Seungmin.
“Jisung, sini dong, mau peluk. Bilang gitu kan enak.”
“Males,” sanggahnya.
Meskipun demikian, saat Jisung berdiri di depannya dan mulai mengusak rambutnya, Seungmin perlahan melunak. “Kenapa, sih, kok bisa sampe bt banget gini?” tanya Jisung sambil memainkan surai hitam Seungmin.
Seungmin yang hatinya sudah mulai melunak pun meraih pinggang Jisung untuk dipeluk. Ia menyembunyikan wajahnya pada perut Jisung dan mulai meracau pelan. Entah apa yang diucapkannya, Jisung pun tak dapat menangkapnya dengan jelas.
“Gapapa, sayang, kan ujungnya lu bisa kan jawabnya? Itu udah keren kok. Jangan terlalu mikirin hasilnya, dosennya pasti paham kok kalo lu bisa jawab pertanyaannya walaupun agak ngadat ngadat jawabnya.”
“Ngga usah ngeledek ah,”
“Hahaha ... kaga ngeledek itu, sumpah. Lu udah ngerjain semaksimal mungkin, jadi, pasti hasilnya bakalan ngikutin. Lu inget ga sih pas semester kemarin lu juga begini. Dibantai abis-abisan sama pertanyaan dari dosen, lu bilang jawaban lu kaga maksimal, tapi ternyata dapet A. Nah, berlaku juga buat ini. Gua yakin lah nilai lu kaga bakal dapet B apalagi C,” jelas Jisung, mencoba menghibur Seungmin.
Jisung paham, bahwa pacarnya itu kelewat ambis. Jadi, jika menurutnya ada yang kurang maksimal, maka akan selalu dibawa pikiran.
Setelah Jisung mengucapkan hal itu, gerak Seungmin jadi makin gusar. Kelamaan, Jisung merasakan hangat pada baju bagian perutnya.
Seungminnya menangis.
Jisung pun menarik pelan kepala Seungmin untuk mendongak. Dilihatnya mata yang sembab dan berlinang air mata, hidung yang sedikit memerah, dan air mata yang perlahan mengalir menuruni pipi Seungmin. Jisung usap pipi itu dan kembali memeluknya. Seungmin tidak banyak bicara, mengucap sepatah kata kala menangis saja ... sudah syukur.
Bagi Jisung, Seungmin yang ini dengan Seungmin yang biasanya, merupakan dua orang yang berbeda. Maka dari itu sebisa mungkin Jisung membedakan perlakuannya ketika menghadapi Seungmin yang ini— Seungmin yang menunjukkan sisi lemah lembutnya jika ia mau, dan hanya padanya.