— Hari apes ngga ada di kalender
Setelah melaksanakan rapat LDK selama kurang lebih satu setengah jam, akhirnya mereka semua pulang pada pukul 5 sore. Hal ini lumrah dilakukan oleh warga sekolah, terlebih lagi ketika ada kegiatan rapat ataupun ekskul yang dilaksanakan sepulang sekolah—asalkan tidak melebihi jam 6 sore.
Ketika selesai berpamitan satu sama lain, mereka semua berpencar-pencar. Ada yang pergi ke toilet, ada pula yang memantapkan diri menuju gerbang untuk segera pulang—sedangkan Seungmin pergi ke arah perpustakaan, sesuai yang diamanatkan gurunya. Jarak perpustakaan itu tidaklah jauh—terletak di gedung seberang, yang hanya dipisahkan oleh lapangan.
Seungmin berjalan santai sambil mendengarkan musik dengan headphone kesayangannya tanpa menaruh curiga pada apapun di sekitarnya. Namun, tanpa ia sadari, ternyata ada seseorang yang tengah mengikuti langkahnya secara diam-diam.
Ketika hendak sampai, sebuah tangan menepuk pundaknya secara tiba-tiba. Dengan refleks, Seungmin langsung berbalik dan mengepal tangannya; bersiap untuk meninju apapun yang akan dia lihat ketika berbalik.
Hyunjin tersentak. “Eh! Ini gua, ini gua,” ucapnya sembari menutupi wajahnya, takut-takut jika Seungmin betulan meninjunya.
“Astaga, Hyunjin!” Seru Seungmin, tak kalah kaget.
Seungmin kemudian memunggungi Hyunjin dan kembali berjalan perlahan sembari menetralkan nafasnya yang memburu akibat ulah Hyunjin. Sedangkan si pelaku hanya tersenyum jahil. Ya... walaupun sebetulnya ia sedikit bergidik sewaktu melihat ekspresi Seungmin.
“Lo ngapain ngikutin gue?” tanya Seungmin sinis.
Setelah mendapat respon lebih lanjut, Hyunjin akhirnya menyejajarkan diri di samping Seungmin sembari terus berjalan. “Gua penasaran, kenapa lu ngga langsung ke gerbang buat pulang. Pikirnya kalo lu ke toilet, gua tungguin di luar.”
Seungmin mendelik. “Ngapain?!”
Hyunjin kelabakan, ucapannya sedikit terbata-bata. “E—engga! Ini bukan kayak yang lu pikirin. Bukannya gua mesum, bukan! Tapi sekarang udah sore banget, sekolah udah sepi. Seenggaknya, ya ... pergi berdua,” ungkapnya.
“Lo takut gue diculik hantu?”
Ekspresi Hyunjin sedikit menimbang. “Bisa jadi! At least, kalo kita diculik, kita berdua.”
Seungmin pun menghela napas panjang begitu mendengar alasan Hyunjin. Sekilas ia memikirkan apa yang dikatakan Jisung dan Jeongin tempo hari, mengenai maksud Hyunjin yang tengah gencar mendekati dirinya selama kurang lebih 2 minggu belakangan.
Seungmin jadi mempertanyakan kebenaran akan hal itu. Apakah Hyunjin benar tengah mendekatinya dengan maksud untuk menjalin hubungan?
“Seung! Tadi gua denger katanya lu mau ke perpus, kan? Itu ... perpusnya kelewat.” Untuk kedua kalinya, Hyunjin kembali menepuk pundak Seungmin. Akhirnya Seungmin tersadar dari lamunannya. “Oh, iya! Lupa,” ucapnya. Ia pun langsung berbalik.
Setelah sampai di depan pintu perpustakaan yang sudah tertutup, Seungmin lepas headphone yang mengalung di lehernya sejak ia berbicara dengan Hyunjin. Selanjutnya, ia melepas sepatu dan menaruh ponsel ke dalam tasnya, kemudian meninggalkan tas tersebut di kursi depan perpustakaan.
Tiba-tiba Hyunjin mencekal tangan Seungmin. “Bentar, lu mau ngapain ke perpus?” tanyanya.
“Cuma mau ngecek kipas sama AC-nya, Hyun. Sekalian kunci pintu, soalnya tadi bu Maya minta tolong. Lo ... mau masuk?” jelas Seungmin.
Hyunjin tidak menjawab, namun ia dengan cepat melepas sepatunya dan mendahului Seungmin yang bahkan masih berada di ambang pintu. Kemudian Seungmin pun mengekori bocah jahil itu. Sedangkan Hyunjin langsung sibuk berkeliling melihat sudut perpustakaan—yang entah sejak kapan telah sedikit berubah.
Anak laki-laki dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu sedikit keheranan melihat Hyunjin. Namun, ia abaikan pemandangan aneh di depannya dan kembali melakukan tugasnya.
Saat Seungmin mencoba membuka laci, ia teringat betapa menyebalkannya laci ini. Biasanya laci ini selalu dibiarkan terbuka, karena jika sudah tertutup, maka akan sulit untuk ditarik, dan sialnya—kali ini laci tersebut dalam keadaan tertutup. Artinya, Seungmin harus mengeluarkan segenap tenaganya untuk menarik laci tersebut.
Suara tulang jemari Seungmin yang kerap kali beradu dengan laci, membuat Hyunjin sedikit terinterupsi dan mencoba menghampiri sumber suara.
“Eh, lu ngapain?” ucap Hyunjin begitu melihat Seungmin yang sedikit demi sedikit menarik laci tersebut.
Seungmin menghela napas frustasi. “Haaaah ... can you help me, please?”
“Hahaha, sure!”
“Tapi pelan-pelan, ya, nariknya. Jangan langsung ditarik semua, nanti yang ada kita kepental.”
Dengan beberapa tarikan, laci itu akhirnya terbuka. Keduanya bernapas lega setelahnya.
Seungmin ambil kunci itu, tak lupa juga ia mengambil snack yang diperuntukkan untuknya.
Hyunjin mengernyitkan dahinya. “Emang boleh diambil?”
Seungmin menoleh. “Boleh, kok. Katanya ambil aja, ini imbalan gue, hahahaha ... terus, ini buat lo karena udah nemenin gue.” Seungmin menyodorkan satu bungkus biskuit coklat yang ada di kedua tangannya. Dengan senang hati Hyunjin pun mengulurkan tangannya, matanya sedikit berbinar saat menerima biskuit coklat tersebut.
“Makasih, ya, Seungmin!” Hyunjin sontak berpikir, harus ia pajang di mana biskuit coklat ini?
“Oh iya, Hyunjin, tolong gantungin kuncinya di pintu, dong. Gue mau matiin kipas sama AC yang di ujung itu.” Tanpa berkata apapun, Hyunjin langsung mengangguk dan menuju pintu.
Saat Seungmin tengah mencari remot AC, ia mendengar pintu tersebut seperti sedang dikunci, kemudian kembali dibuka. Beberapa kali terdengar demikian, sampai akhirnya suara tersebut berhenti dan digantikan dengan suara ciri khas orang yang sedang berusaha mengutak-atik kuncian pintu supaya dapat terbuka. Benar saja, tak lama Hyunjin berseru, “Seungmin!”
Mata Seungmin terbelalak, ia lupa memberi tahu Hyunjin tentang pintu yang bermasalah tersebut.
“Seungmin, maaf, tadi gua iseng kunci pintunya, terus gua buka lagi, terus gua kunci lagi. Tapi pas mau gua buka lagi, ternyata ngga bisa. Maaf banget, gimana, dong?”
“Hah? Seriusan ngga bisa kebuka?” ucap Seungmin tak percaya. Ia pun mengambil alih tempat Hyunjin dan mencoba mengutak-atik gagang pintu tersebut.
Setelah kurang lebih 10 menit, hasilnya nihil. Pintu tersebut tetap tidak bisa dibuka. Mereka kini terkunci di ruangan penuh buku tersebut.
Keduanya kini duduk sambil menatap kosong satu sama lain.
Kemudian, Seungmin teringat, ia bisa menghubungi Babeh untuk menolong mereka. Ketika Seungmin rogoh kantung celananya, ia menyadari bahwa ponselnya ia letakkan di dalam tas sebelum ia masuk, dan sialnya lagi, tas tersebut berada di luar.
Seungmin beberapa kali merutuki dirinya. Di sisi lain ia mengkhawatirkan hari yang kian gelap—Seungmin takut dengan kegelapan. Apalagi dirinya akan menghadapi kegelapan di lingkungan sekolah yang memiliki pencahayaan minim ketika malam.
“Seung, maaf ....” ucap Hyunjin lirih.
“Hyun, sumpah, gue ngga marah. Tapi ayo, pikirin caranya keluar.”
“Iya, gua juga lagi mikirin gimana caranya. Handphone gua mati soalnya.” Jantung Seungmin makin terpacu mendengarnya. Kalau begini, bagaimana cara mereka keluar?
Seketika Seungmin teringat suatu hal. Biasanya, bu Maya menyimpan charger milik siswa yang tertinggal di kotak yang berada di atas lemari kaca berisikan karya para siswa. Ia pun segera menarik tangan Hyunjin untuk bangun.
“Hyun, di situ ada charger biasanya, tapi kalo gue sendiri yang ambil ngga bisa. Jadi, lo gendong gue, bisa?” jelasnya.
“Bisa, bisa!” Hyunjin langsung mengambil posisi berjongkok dan membiarkan Seungmin naik di pundaknya. “Hyun, maaf kalo berat. Tahan sebentar, ya.”
“Gapapa! Aman, kok.” Perlahan-lahan Hyunjin berdiri supaya Seungmin dapat meraih kotak tersebut.
Kotak itu lumayan berat dikarenakan isinya yang bukan hanya kumpulan charger, melainkan banyak benda lain yang tak kunjung diambil pemiliknya.
Menahan kotak yang berat sembari turun dari pundak Hyunjin membuat Seungmin sedikit limbung. Dirinya terhuyung ke samping, dan dipastikan akan jatuh terduduk. Dengan cekatan, Hyunjin meletakkan telapak tangannya di belakang kepala Seungmin supaya laki-laki itu tidak terantuk ujung meja. Karena Hyunjin tau, itu menyakitkan.
“Aw!—Maaf, Hyunjin. Sakit ngga tangannya?” tanyanya khawatir, sembari membolak balikkan tangan Hyunjin yang digunakan untuk menahan kepalanya. Beruntungnya juga, jarak Seungmin dengan lantai tidaklah terlalu jauh, jadi bokongnya tak begitu sakit begitu beradu dengan lantai.
Entah kenapa Hyunjin justru mengelus kepala Seungmin—padahal ia tahu betul, tangannya-lah yang merasakan nyeri. “Gapapa, Seung. Ngga sakit,” jawabnya sembari mengulurkan tangan untuk membantu Seungmin bangun.
Kemudian mereka berdua bergegas ke sudut ruangan di mana stop kontak itu berada.
Baru 5 menit mereka menghubungkan charger tersebut dengan handphone, tiba-tiba lampu mati, dan ruangan mendadak gelap. Jantung Seungmin berdebar tak karuan, ketakutannya menjadi kenyataan. Sedari tadi ia takut, bahwa sewaktu-waktu listrik akan mati. Benar saja.
Karena biasanya, ketika Seungmin sedang menghabiskan waktu di sini, listrik sering mati, entah kenapa. Namun, karena terjadi siang hari, Seungmin tidak terlalu mempermasalahkannya. Toh, cahaya matahari masih dapat masuk. Namun, saat ini situasinya berbeda, hari sudah gelap, ditambah ruangan tempat dirinya berada pun sama gelapnya.
Seungmin meraih tangan Hyunjin dan merematnya kuat-kuat. Hyunjin yang takut sekaligus bingung pun menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam tangan Seungmin. Ia bertanya, “Seung, kenapa?”
“Demi apapun, gue ngga suka gelap, Hyun. Gue takut, ini beneran gelap. Segelap itu.”
Hyunjin pun merangkul Seungmin dan menuntunnya untuk kembali ke tempat awal mereka. Ia dudukkan Seungmin tepat pada pintu, karena setidaknya sedikit pencahayaan dari luar dapat membuatnya lebih baik, tetapi, Seungmin masih menunduk takut.
Hyunjin rengkuh Seungmin yang tengah meringkuk ketakutan—badannya sedikit gemetar. Dagunya ia sandarkan pada kepala Seungmin sembari tangannya mengusap pundak anak laki-laki itu.
“Sebentar, ya, gua bakalan cari cara. Jangan takut, ada gua—gua ngga ke mana-mana. Tunggu, ya.”
Hyunjin berlari kecil ke sisi kiri pintu, dekat meja. Di sana terletak ventilasi udara yang berada di atas kaca jendela mati; tidak bisa dibuka maupun ditutup. Ia pun naik ke atas meja dan dengan sekuat tenaga berusaha melepas mika tebal yang biasa digunakan untuk menutupi ventilasi ruangan ber-AC. Persetan jika ia diminta untuk ganti rugi atau apapun, yang terpenting ia dapat membawa Seungmin keluar dari ruangan gelap ini.
Tak seberapa lama, usaha Hyunjin akhirnya membuahkan hasil. Mika tersebut akhirnya terlepas, dan kini Hyunjin dapat dengan bebas berteriak untuk memanggil satpam ataupun penjaga sekolah.
“Pak, tolong! ... halooooo, siapapun tolong bukain pintu perpustakaan—tolong, Pak! ... Babeh! ... Ada orang ngga di sana?!” seru Hyunjin sekuat tenaga.
Beberapa menit tak ada jawaban, tiba-tiba cahaya yang berasal dari senter menyorot setengah wajah Hyunjin yang berada di ventilasi udara. Kemudian Hyunjin dengan cekatan menyibak gorden di bawahnya dan melambaikan tangan berulang kali.
Akhirnya, orang yang kerap kali disapa Babeh, yang merupakan penjaga sekolah itu datang menghampiri mereka.
Hyunjin melihat Seungmin yang masih duduk meringkuk dengan kepala tertunduk. Saat Hyunjin menyentuh pundaknya, Seungmin sedikit telonjak kaget.
“Seung, ada Babeh, Seung! Ayo, bangun, kita keluar dari sini.” Perlahan-lahan, Hyunjin menarik tubuh Seungmin untuk bangun. Kakinya masih gemetar, wajahnya pun enggan mendongak. Hyunjin yang lebih tinggi 3—5 cm dari Seungmin pun dengan hati-hati merangkul bahu Seungmin, tangannya kembali ia gerakkan untuk mengelus pelan rambut bocah itu.
“Nak, Hyunjin?” ucap penjaga sekolah dengan khawatir.
“Babeh ... makasih banyak ya, udah dibukain. Tadi saya nemenin Seungmin buat kunci pintu perpus dan sebagainya. Tapi apesnya, kita kekunci, ditambah mati lampu, jadi kita ngga bisa ngehubungin siapapun. Makanya, saya ngelepas mika yang itu biar bisa teriak. Untungnya ada Babeh lagi keliling,” jelas Hyunjin.
“Ya ampun, Nak ... pantesan saya lihat motor siapa itu yang masih diparkir. Saya kira memang sengaja ditinggal, terus saya bawa masuk gerbang. Diparkir depan uks. Terus, ini kalian udah lama?”
“Iya, itu kayaknya motor saya, dan saya di sini sejak jam 5 lewat, Beh ....”
“Ya Tuhan, lama banget. Sekarang sudah jam 7 lewat, Nak. Memang listrik yang buat perpustakaan ini kalo sudah jam setengah 6, bakalan saya matikan. Saya kira tadi ngga ada orang—yaudah, ayo keluar, kalian pulangnya bareng, kan?”
“Iya, Beh, dia saya anterin pulang sekalian. Sekali lagi makasih banyak, Beh. Maaf juga itu mikanya saya copot.”
“Ngga apa-apa, Nak. Biar nanti saya yang bereskan. Kalian pulangnya hati-hati, ya, pelan saja bawa motornya. Soalnya Nak Seungmin kayaknya masih agak kaget.”
“Iya, Beh, saya pamit dulu, ya.”
Sebelum menuju parkiran, Hyunjin dudukkan Seungmin di kursi sambung tempat Seungmin menaruh tas tadi. Ia membuka botol air minum miliknya yang isinya masih tersisa setengah, kemudian menyodorkannya pada Seungmin.
Seungmin akhirnya mendongak takut-takut, melihat sekelilingnya—yang terlihat hanyalah lorong dengan lampu remang. Namun, kondisi ini sudah lebih baik ketimbang tadi. Maka Seungmin ambil botol minum tersebut, dan mulai meneguknya pelan. Sedangkan Hyunjin membantunya memasangkan sepatu, dan mengikat tali.
Setelah selesai, Hyunjin berdiri dan melihat Seungmin yang masih murung. “Better?” tanyanya yang kemudian dijawab dengan anggukan lemah oleh Seungmin.
Akhirnya, mereka berjalan ke parkiran dalam—di depan uks, untuk mengambil motor dan bergegas untuk pulang.
Seungmin menyandarkan kepalanya pada punggung Hyunjin dengan posisi menoleh ke kanan. Sedangkan tangannya dengan ragu-ragu berpegangan pada ujung jaket Hyunjin.
Seungmin merasa kondisi dirinya kian membaik. Rasa panik itu perlahan mereda, digantikan oleh perasaan aman dan nyaman.
Seungmin pun tak bisa berbohong, bahwa kini detak jantungnya sedikit berada di luar kendali. Begitupun Hyunjin, yang jantungnya berdegup tak kalah kencang—Seungmin bisa rasakan itu.
Sekitar 20 menit, akhirnya mereka sampai di depan rumah Seungmin. Ia pun turun perlahan dari jok belakang. Sebelum masuk, Seungmin ucapkan sedikit basa-basi disertai ungkapan terima kasih pada Hyunjin.
Sebelum Seungmin hendak berbalik, tiba-tiba Hyunjin cekal tangan kirinya pelan, dan sedikit menarik Seungmin maju untuk layangkan peluk. Hanya sekilas. Kemudian Hyunjin biarkan Seungmin berdiri kebingungan dengan seribu tanya.
Ia memutar balik motor kesayangannya, dan mulai melaju bersama angin untuk membelah jalanan ibu kota.