— Fixed


Lagi-lagi pesan dari seorang Felix-lah yang membuat Jisung tergerak. Terkadang ia pun sadar bahwa kontrol diri itu perlu, namun, Jisung merasa masih terlampau sulit untuk melakukannya.

Jisung pun akhirnya keluar pintu kamarnya dan pergi sejenak ke arah dapur. Suara langkahnya saat menuruni tangga ternyata disadari oleh si pemilik kost.

Begitu ia sampai dapur, suara halus menyapa rungunya. “Mas Jisung, balik kapan? Kok Ibu ngga liat, ya?”

Jisung sedikit tersentak kaget. “Eh ... Ibu, kirain siapa. Saya pulang subuh tadi, Bu.”

“Oalah, si Bapak ya yang bukain?”

Ia mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bu. Ada bapak lagi nyapu depan, tadi pagi pas saya pulang,” jelasnya.

Sang pemilik kost itu hanya mengangguk, seraya berkata, “Mas Jisung, bisa ngobrol sebentar sama saya?”

“Bisa, Bu.”

Kemudian Jisung mengekori Ibu pemilik kost tersebut untuk menuju ke ruang tamu kost.

Sembari berjalan, Jisung menimbang beberapa asumsinya mengenai topik apa yang akan dibahas oleh si pemilik.

“Jadi gini, Mas. Mas Jisung lagi berantem sama Mas Seungmin, ya?” tanya si pemilik kost dengan nada sehalus mungkin.

Melihat gerak-gerik Jisung yang enggan untuk menjawab, sang Ibu kost pun melanjutkan kalimatnya, “Kalau ngga bisa dijawab, ngga apa-apa, Mas. Soalnya kemarin pas banget setelah Mas Jisung keluar, Mas Seungmin tuh ngeliatin dari atas. Nah, ngga lama, Ibu kan kalau ada anak Ibu yang keluar tuh kamarnya Ibu cek dulu, takutnya teh kelupaan dikunci atau apa. Nah, di situ ada Mas Seungmin, duduk di depan pintu kamarnya Mas Jisung. Mungkin nungguin Mas Jisung pulang, terus mungkin Mas Seungmin tau kali, ya, kalo Mas Jisung ngga pulang. Jadinya dia balik ke kamarnya,” jelasnya panjang lebar.

Mendengarnya, Jisung hanya mengusap wajahnya kasar. Rasa bersalah kian menggerogoti dirinya. Kendati demikian, ia masih ingin menggali informasi lebih lanjut.

“Dia duduk di depan kamar saya lama, Bu?”

“Lumayan, kan Mas Jisung pergi jam 9 lewat, nah itu Mas Seungmin duduk di situ sampai jam 11 lewat. Saya mau tanya, tapi takutnya ini masalah personal. Terus juga kata si Bapak, tadi subuh teh Mas Seungmin balik ke depan kamar Mas Jisung, ketuk-ketuk gitu. Tapi pas dia denger suara motor Mas Jisung, dia langsung naik ke kamarnya.”


Kini, Jisung menatap kosong ke arah pintu kamar Seungmin. Ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

Beberapa ketukan ia layangkan, namun tak kunjung mendapat respons dari si penyewa kamar.

Dirinya hendak melihat masuk ke arah jendela, namun ternyata Seungmin menutup gordennya—padahal, biasanya ia hanya mengenakan gorden semi transparan. Akhirnya, Jisung pun berinisiatif menarik bangku yang ada di depan kamar Seungmin untuk melihat ke dalam lewat jaring-jaring ventilasi yang biasa ada di atas pintu.

Terlihat samar, tetapi Jisung dapat melihat Seungmin yang tengah tertidur meringkuk di atas tempat tidurnya. Sisinya berantakan, seperti tidak ditata selama beberapa hari terakhir. Lagi-lagi Jisung teramat tau, bahwa kekasihnya itu paling tidak tahan dengan kamar yang berantakan.

Jisung kembali amati sekitar Seungmin, di sana terdapat beberapa obat dan plester penurun panas.

Ia pun turun dan mengetuk pintu tersebut sedikit lebih keras—berusaha membangunkan Seungmin. Saat Jisung sedikit frustasi, tangannya dengan reflek hinggap pada kenop pintu. Tak disangka, ternyata pintu tersebut tidak dikunci dari dalam.

Kemudian tanpa ragu, Jisung berjalan pelan ke dalam. Menghampiri Seungmin yang terbaring di ranjangnya.

“Seung, bangun ...” ucapnya pelan, sembari menepuk pelan pipi Seungmin. Tetapi, Jisung terlonjak kaget kala ia dapati pipi Seungmin yang menghangat, kemudian untuk memastikan, ia letakkan juga tangannya pada dahi Seungmin— yang ternyata sedikit lebih panas.

“Seungmin, bangun sayang, badan kamu panas banget. Ke dokter, yuk?”

Masih tak bangun juga.

Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya Seungmin terbangun. Matanya terbuka perlahan-lahan, walaupun nampaknya sangat berat.

Netra Seungmin pun menelisik, siapakah gerangan sosok yang berada di hadapannya saat ini. Pandangannya sedikit buram, kepalanya pusing bukan main.

“Seung, ini aku.”

Mendengar suara yang familiar, Seungmin berusaha untuk bangun. Jisung pun membantunya perlahan.

Seungmin masih terdiam, ia tertunduk sambil memijat pelan dahinya. Jisung sangat khawatir melihat kondisi Seungmin yang pucat bukan main. Tangannya tergerak untuk menyibak rambut Seungmin ke belakang sembari sesekali memastikan suhu tubuh kekasihnya.

“Kenapa bisa begini?” tanya Jisung. Padahal ia tahu jelas, bahwa ini akibat pertengkaran mereka tempo hari. Jisung kelewat paham tentang bagaimana Seungmin yang mudah jatuh sakit bukan hanya ketika sibuk saja, tetapi juga ketika berselisih paham. Ketika itu terjadi, kekasihnya itu cenderung memikirkannya terus menerus hingga berdampak pada kondisi kesehatannya.

Seungmin hanya menggeleng lemah, entah karena ia takut untuk sekedar berbicara—karena yang ia tahu, Jisung masih enggan berbicara padanya—atau memang karena ia tidak bertenaga saja.

“Kita ke dokter, ya?”

Untuk yang kedua kali, Seungmin hanya menggelengkan kepalanya.

“Kenapa ngga mau ngomong sama aku? Gapapa, ngomong aja. Aku udah ngga marah,” ujar Jisung.

Manik legam Seungmin tatap Jisung takut-takut. Tanpa sadar, lama kelamaan air matanya turun. Perlahan pula suara isakannya mulai terdengar.

“Sayang, kenapa nangis? Ada yang sakit?”

“Kamu ... kamu yang sakit gara-gara aku kemarin, kan?” ucap Seungmin. Suaranya bergetar.

Jisung pun akhirnya memeluk Seungmin tanpa ragu, kemudian menepuk punggungnya pelan.

“Ji, aku minta maaf. Maafin aku.” Seungmin mengucap kalimat tersebut berulang kali karena Jisung tak kunjung memberi respon berupa kalimat.

Jisung mengingat kembali pesan yang kemarin Seungmin kirim. Ia sudah di tahap pasrah dengan semua keputusan Jisung, bahkan jika akhirnya harus berpisah, Seungmin akan terima. Begitulah yang Jisung baca tadi. Jisung pun berpikir, wajar saja Seungmin menjadi seperti ini, pastilah pikiran-pikiran buruk tentang hubungan mereka benar-benar menghantui Seungmin.

“Aku udah ngga marah, aku udah cukup marahnya. Jangan nangis lagi, ya?”

“Maafin aku, Ji ....”

“Aku maafin, sayang. Udah, ya, udah. Jangan mikir gimana-gimana lagi.”

“Ji, aku ngga masalah kalo kamu mau pu—” kalimat Seungmin tiba-tiba terputus, digantikan oleh suara berat Jisung yang terdengar begitu serius. “Ngga. Kita ngga bakalan putus, dan aku ngga mau putus.”

Sekali lagi, Jisung menarik nafas panjang dan berkata, “Maafin aku juga, ya. Maaf karena marahnya terlalu lama, maaf juga gara-gara aku kamu jadi sakit.”

Seungmin menggeleng ribut, “Aku yang minta maaf ke kamu, Ji. Padahal semuanya udah jelas, tapi aku masih aja bikin kamu sakit ... and i think, i deserve this

Deserve apa? Sakitnya? Ngga. Ngga sama sekali.”

Seungmin kembali memeluk Jisung erat-erat seraya berucap, “Aku ngga mau berantem lagi sama kamu. Aku minta maaf, Ji ...”

Jisung pun membalas pelukan Seungmin, sembari tangannya mengusap rambut Seungmin dengan lembut, juga mengecup pucuk kepala itu sesekali.

“Aku juga minta maaf, aku janji ngga bakalan marah sampai sebegininya lagi. Jangan sakit lagi, ya.”