— dua.
tw // blood , nosebleed
Setelah pergi ke minimarket terdekat dan mendapatkan camilan yang ia cari, Changbin kembali ke sekolah— lebih tepatnya ke perpustakaan sekolah untuk 'bimbingan' belajar.
Sedangkan Felix memilih menunggu Changbin sambil mendengarkan musik.
Changbin tiba di daun pintu perpustakaan. Seperti orang pada umumnya yang sedang memastikan sesuatu— maka Changbin juga melakukan hal yang sama, ia majukan kepalanya sedikit ke dalam perpustakaan, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri seraya memanggil seseorang yang menunggunya.
“Lix? oy, Lee Felix? lo di dalem ngga?”
Changbin hanya mendengar alunan musik yang memenuhi seisi ruangan. Ia berjalan mencari bangku pojok seperti yang Felix bilang beberapa menit yang lalu.
“Ah.. ketemu, gue kira lo ga sabar nungguin gue terus balik duluan.” ujar Changbin.
Namun, yang diajak bicara tidak menjawab. Maka Changbin tepuk pundaknya.
“Lix!” seru Changbin.
“Astaga Changbin! apaansih ngagetin aja,” teriak Felix.
“Gue daritadi udah manggil lo ya, tapi musik lo kenceng banget,” ungkap Changbin.
“Lagian juga ini di perpus, ga boleh berisik.” lanjutnya
“Tadi aku udah izin sama penjaganya, selagi ngga ada murid lain gapapa katanya. Lagian juga iseng nungguin kamu disini sendirian...”
Changbin mengangguk paham, “Tinggal bilang kalau lo takut, susah amat.”
“Ngga juga tuh!” ucap Felix tak mau kalah.
“Yaudah langsung aja mana yg harus gue kerjain lagi?”
“Buru buru banget.”
“Udah sore.”
“Biasanya juga pulang malem,” sindir Felix.
“Tau darimana lo?”
“E-ehh engga nebak aja. Udah ah nih kamu kerjain aja, kalo ga ngerti tanya aja ke aku. Aku lagi ngga ada tugas jadi mau dengerin musik sambil koreksi tugas kamu disana,” jelas Felix sambil menunjuk sisi pojok yang lain, —yang mana tertutup oleh rak buku.
“Nanti samperin aku aja, aku pake headphone, ngga denger.” lanjutnya.
“Mmm.. oke, oh ya ini makanannya lo bawa aja, kali aja lo juga mau makan.”
“Oalah tadi kamu keluar beli makan? thanks ya, kerjain sebisanya aja.” kata Felix sambil tersenyum.
“Pucet banget lix muka lo..” batin Changbin.
Felix mendudukkan dirinya pada sofa usang di ujung ruangan. Changbin yang berusaha mencuri pandang pun akhirnya pindah ke meja yang memungkinkan dirinya untuk melihat Felix.
Entah. Changbin rasa dirinya tengah digerakkan oleh sesuatu yang dinamakan perasaan.
Seperti.. perasaan ingin selalu dekat, perasaan ingin menjaga, perasaan peduli, perasaan ingin tau, dan perasaan perasaan lainnya yang selalu Changbin sangkal.
Namun akhirnya Changbin menyerah. Ia terlalu lelah untuk menyangkal perasaannya terus menerus. Maka, ia bawa jiwa dan perasaannya untuk berjalan dengan semestinya— untuk mengikuti kata hati.
Tanpa sadar Changbin tenggelam dalam lamunannya,
“Changbin!”
Lamunannya seketika buyar, “Eh.. hah? apa?”
“Kerjain, jangan ngelamun.”
“Iya yaelah santai.”
Serupa dengan Felix, Changbin pasangkan earphone di telinganya.
Satu setengah jam berlalu.
Changbin yang sedari tadi mengerjakan sambil menahan kantuk pun memilih untuk menghampiri Felix.
“Lix ini gue ngerjain cuma dapet 22 nomor doang, sisanya ngga ngerti..” kata Changbin sambil berjalan.
Changbin terdiam. Badannya terasa beku, jantungnya berpacu tak karuan.
Dengan langkah perlahan, ia hampiri Felix yang tergeletak di lantai dengan bekas bercak darah di hidung dan bajunya.
“L-lix...” ucap Changbin lemah
“Capek.. bin..” Jawab Felix yang rupanya belum sepenuhnya tak sadarkan diri.
“Tunggu ya, tunggu.. gue panggilin penjaganya dulu,”
Changbin berlari ke arah meja penjaga, tidak ada seorangpun di ruangan tsb selain mereka berdua. Changbin menyadari bahwa pintu perpustakaan tertutup, ahh lebih buruk, bahkan terkunci.
“Ahhh anjing ini siapa si yang kunci”
Changbin mengobrak-abrik laci di meja penjaga, keberuntungan berpihak padanya, terdapat kunci cadangan disana.
Tidak berpikir lama Changbin buka pintu tersebut lebar lebar kemudian ia menghampiri Felix yang sudah tak sadarkan diri,
“Sumpah lix lo kenapa... kenapa lo ga bilang kalau sakit... kalau lo bilang ke gue, gue ga akan minta lo belajar sama gue hari ini..” bisik Changbin dengan nada frustasi seraya menggendong Felix.
Beruntung, saat itu pak satpam yang biasa berjaga masih ada disana. Changbin putuskan untuk meminta bantuan darinya.