— December
CW // a lil bit angst, mention of break up
Sepulang kerja, Nala sudah merencanakan bahwa ia akan pergi sejenak ke kedai kopi langganannya yang terletak searah dengan jalan pulangnya.
Begitu sampai, Nala langsung memesan kopi dan beberapa potong kue yang biasa ia beli. Setelahnya, Nala duduk di spot favoritnya—kursi yang ada di samping kaca lebar toko—sambil menatap ke arah luar.
Tak disangka, beberapa saat kemudian, hujan turun. Tetesan air hujan itu membasahi kaca lebar di sampingnya, dan hanya menyisakan pemandangan samar bagi Nala. Selagi melamun, tiba-tiba ponsel Nala bergetar, diiringi munculnya bar notifikasi berisikan pesan dari seseorang yang ia ketahui bernama 'Rama'.
“Iya, aku udah di sini. Kamu nyetirnya pelan-pelan, ya? Jangan buru-buru. Hati-hati!”
Begitulah pesan singkat yang Nala kirim pada pemuda itu.
Sembari menunggu, Nala memilih untuk memakan kue-nya terlebih dahulu. Ketika sedang sibuk menyuap sepotong demi sepotong kue—tiba-tiba kaca itu memantulkan cahaya mobil yang hendak parkir di depan toko. Awalnya, Nala kira itu Rama, ternyata bukan.
Laki-laki pemilik mobil yang baru saja terparkir itu pun masuk dengan baju yang sedikit kebasahan akibat berlari dari mobil, sampai ke dalam toko.
Pemuda itu berjalan ke arah kasir tanpa menoleh ke sekitarnya, karena ia tau bahwa beberapa pengunjung toko sedang menatap ke arahnya. Disebutnya 2 menu yang terdengar familiar di telinga Nala, yang menyebabkannya langsung menoleh. Saat pemuda itu selesai memesan, ia berbalik. Secara sontak, sorot mata mereka beradu.
Keduanya bertemu dalam ketidaksengajaan. Nala yang sedang menghabiskan sisa harinya setelah pulang kerja, tiba-tiba bertemu dengan sosok yang selama ini ia hindari. Hazel yang dari jauh nampak mematung, kini mulai memberanikan diri untuk berjalan menghampiri Nala yang juga tak tahu harus bereaksi bagaimana.
Bibir Nala sedikit bergetar, matanya berkelana ke sembarang arah, berusaha menghindari kontak mata.
“Nala?” Suara dingin itu menyapa Nala.
Nala dengan kikuk menanggapi, “Hazel?”
“Umm.. Hai? Maaf, aku tau kamu ngga mau ngeliat aku. Tapi, aku juga ngga tau kamu di sini.”
“Aaa... That's fine, kita sama-sama ngga tau. Lagian juga ini tempat umum.” Nala mencoba menjawab dengan nada se-netral mungkin.
“How was life, La? Maaf—”
“As you see, Zel. Kalau yang kamu maksud itu hari-hari setelah putus, pastinya berat. Tapi sekarang aku udah jauh lebih baik.”
“Nala, maaf. Aku ngga maksud buat mention itu.”
“Iya, tau. Ngga usah minta maaf terus, ya? Biar kejadian itu jadi pelajaran aja buat kita.”
“O..okay. Kamu ke sini sendiri, La?”
“Aku—”
Lonceng pintu toko tiba-tiba saja berbunyi, menandakan ada orang yang baru saja membuka pintu toko tersebut. Hazel dan Nala pun menoleh sejenak. Nala menyipitkan matanya kala melihat siapa yang datang dengan kemeja yang sudah tidak beraturan bentuknya.
“Nala!” Sapa pria tersebut.
“Umm.. Aku ke sini sama dia, Zel. Oh iya, Ram—kenalin, ini Hazel.”
Mereka berjabat tangan seperti selayaknya orang berkenalan. Hazel menyapanya dengan senyum, begitupun Rama.
“Halo, Zel. Saya Rama. Tunangannya Nala.”
“Ah, iya—Hazel, temennya Nala.”
Nala sedikit terkejut mendengarnya, walaupun tidak ada yang salah dengan itu. Nala hanya sedikit tidak terbiasa.
Bohong jika dibilang dada Hazel tidak merasa sesak. Kepalanya bak dihantam kuat-kuat kala mendengar pernyataan laki-laki yang tidak tampak familiar itu.
“Kalau gitu, aku duluan ya, La. Ada kerjaan yang masih belum selesai soalnya.” Ucap Hazel sambil memasang senyum yang sulit diartikan. Tangannya menepuk sekilas pundak Rama, kemudian ia berlalu untuk mengambil pesanannya sebelum benar-benar meninggalkan toko tersebut.
Saat tengah menyetir, terlintas pada pikiran Hazel untuk menepi sejenak. Ia ambil botol air mineral yang tadi ia beli, kemudian meminumnya dengan terburu-buru.
Ia sempatkan diri untuk membuka ponselnya, entah kenapa. Bukan untuk melihat notifikasi apa saja yang masuk, bukan untuk melihat siapa saja yang mengiriminya pesan.
Pikiran Hazel hanya tergerak untuk sekedar melihat kalender, yang ternyata memperlihatkan tanggal 15, bulan Desember, 2022.
Tepat dua tahun lalu, mereka usai.
Nala yang biasa menemui Hazel dengan membawa segenap perasaan cintanya, tidak pernah menyangka, bahwa akan ada hari di mana ia berdiri di hadapan Hazel dengan hanya membawa sisa-sisa perasaannya. Nala yang biasanya selalu menatap Hazel dengan penuh cinta, kini tak lagi.
Nala tak dapat menyangkal, bahwa jauh di dalam hatinya, masih tersisa sedikit cintanya untuk Hazel. Karena bagi Nala—menghapus cintanya untuk sosok yang pernah menjadi bagian dari dirinya, merupakan sebuah ketidakmungkinan. Jadi, biarlah rasa cinta itu tetap di sana meskipun tak lagi utuh.
Sekarang, yang tersisa hanyalah sebuah ruang bagi seonggok perasaan yang Nala simpan sejak lama untuk menghadapi Hazel nantinya.
Ruang tersebut bukanlah ruang untuk perasaan cinta yang diharap-harap akan tumbuh kembali seiring berjalannya waktu. Bukan. Ruang tersebut hanyalah berisikan perasaan lapang yang ia sisakan untuk Hazel.
Dalam kurun waktu yang terbilang cukup lama, Nala menggunakan segenap waktunya untuk belajar menerima segalanya, termasuk menerima takdir yang diutus untuknya. Salah satunya dengan menerima bahwa inilah akhir dari cerita-nya dengan sosok laki-laki bernama Hazel— inilah sebuah keharusan yang memaksanya untuk ikhlas.
Awalnya memang sakit bukan main. Namun, Nala terus mencoba untuk melapangkan segalanya, demi hari ini. Berkat hal itu, kini Nala dapat menatap Hazel dengan tegar, juga, dengan hati yang lapang.