Bunda.
Setelah kepulangan Hyunjin, Seungmin pergi ke dapur untuk membantu Ibundanya—bukan untuk memasak, bukan. Karena Seungmin sendiri tidak bisa memasak, maka dari itu, ia hanya membantunya mencuci piring.
Di sela-sela kegiatan, mereka terus berbincang mengenai berbagai macam hal. Momen seperti inilah yang menjadi favorit Seungmin—mengobrol bersama sang Ibunda sembari melakukan kegiatan yang menyenangkan. Memasak, contohnya.
Menu masakan mereka kali ini cukup instan, yaitu spaghetti. Sembari menunggu mie spaghetti tersebut melunak, Bunda menyiapkan sausnya terlebih dahulu. Beberapa bumbu dan bahan pun dimasukkan. Setelah beberapa saat, Bunda menyendok sedikit saus itu ke telapak tangannya, kemudian mencicipinya.
Setelah dirasa cukup, Bunda mematikan kompor, sembari berkata, “Mmm ... enak sausnya, udah pas. Sayang banget, Hyunjin tadi Bunda suruh tunggu sebentar buat makan malem, tapi dianya ngga mau. Katanya takut terlalu malem nyampenya—tapi, ya, bener sih ....”
Lantas Seungmin langsung menoleh begitu nama Hyunjin disebut. “Lagian tadi seru banget ngobrol berdua, ngga ngeliat jam, akunya dikacangin pula,” sindir Seungmin.
Mendengarnya, sang Ibunda tertawa pelan—cenderung meledek. “Abisnya, ngobrol sama dia seru, Dek. Dia tuh anaknya unik gitu menurut Bunda. Anaknya tuh jujur banget gitu, lho. Kalo ditanya, keliatan dia jawab apa adanya aja, ngga dilebih-lebihin dan ngga dikurang-kurangin. Biar Bunda tebak, dia anaknya ceroboh, ya? Atau mungkin tipikal yang sering kena hukum gitu?”
“Hahaha bener, Bun. Anaknya jujur banget bangetan kalo ditanya, jawabnya beneran apa adanya hahaha ... and, yup! Kata temenku, dia agak ceroboh. Dia juga sering dihukum, tapi setau aku, sih, bukan karena kasus yang gimana-gimana. Biasanya, sih, karena dia lupa bawa atribut gitu, kalo nggak, ya ... paling-paling telat,” jelas Seungmin santai.
Bunda mengangguk pelan sambil mengaduk panci berisikan spaghetti. “Oh iya, Dek. Waktu itu kamu cerita, kalo ada anak cowo yang sering ngasih kamu susu. Itu maksudnya si Hyunjin, atau siapa?” tanyanya.
Seungmin yang sedang meneguk air putih pun seketika tersedak kaget. “Uhuk!—Bunda, ih!”
“Loh, kenapa kaget gitu? Bener, ya? Hahaha ...” ledeknya.
Kilas balik
Seungmin melepas sepatunya dengan terburu-buru sembari mengucapkan salam, sebelum masuk ke rumah.
Bunda yang melihat anaknya seperti dikejar sesuatu itu pun bertanya, “Dek, kenapa buru-buru gitu? Kan hari ini ngga ada les,” ucapnya.
“Bun, sumpah! Di luar panas banget, ngga kuat aku,” keluh Seungmin.
Setelah pergi ke kamar mandi untuk cuci kaki, Seungmin tidak langsung berganti baju, melainkan ia duduk di samping sang Bunda yang terduduk santai di sofa—menikmati cutinya.
“Lagi, sih, tadi Bunda jemput ngga mau. Kan naik mobil ngga panas, Dek.”
“Bunda tuh liburnya jarang-jarang. Jadi, sekalinya libur harus dinikmati!”
Mendengar kata-kata hangat yang diucapkan anak semata wayangnya, Bunda pun tersenyum lebar. Tentunya sambil menahan gemas.
“Oh, iya, Bun. Akhir-akhir ini tuh ada anak cowo yang ngasih aku susu. Awalnya dia ngasih karena balas budi mungkin, ya? Karena aku minjemin dia buku paket. Terus setelahnya, dia malah jadi ngasih aku terus. Kayaknya udah kehitung 3-4 kali gitu deh, Bun.”
Ketika anak laki-lakinya buka suara, Bunda pun menatapnya tak percaya. “Serius, Dek? Dia suka sama kamu kali?”
Seungmin memutar bola matanya malas. “Aku aja baru kenal gara-gara persiapan LDK ini, lho, Bun. Belum ada sebulan.”
“Astaga, Adek ... yang namanya suka mah bisa kapan aja, even dalam waktu singkat pun bisa. Beda cerita kalo tentang cinta, yang satu itu butuh waktu, butuh adaptasi,” jelas Bunda.
Seraya berpikir, Seungmin diam-diam separuh menyetujui perkataan sang Ibunda. “Oke, move aja, nanti aku diledekin Bunda—Oh iya, Bun, aku agak ngga enakan gitu kalo dikasih terus. Tapi kalo nolak, takut orangnya tersinggung. Jadi, aku mau bales ngasih dia sesuatu gitu, kira-kira apa, ya, Bun?”
Bunda tertawa kecil akibat pernyataan anaknya itu. “Umm... coba aja kamu bikinin bekal, Dek. Nanti Bunda bantuin, deh!”
“Iya, sih, boleh. Simple juga soalnya. Tapi, aku ngga dalam waktu semingguan ini, mungkin minggu besok besoknya, Bun.”
“Ngga masalah, nanti bilang Bunda aja, biar Bunda bantuin bikin. Soalnya kan kamu ngga bisa masak.”
Kemudian, tawa keduanya pecah, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
Kilas balik, selesai.
Mengingatnya saja sudah membuat pipi Seungmin menghangat, dan bagian paling menyebalkan adalah ... Bunda menyadari hal itu.
“Iya-iya, itu Hyunjin yang aku maksud. Jangan ngeliatin aku begitu, dong! Aku malu, Bun,” rengek Seungmin.
“Oh, wow ... bener ternyata. Sweet juga ya anaknya,” sahut Bunda.
Seungmin terdiam sejenak, kemudian ia bertanya, “Menurut Bunda, dia gimana? Berdasarkan first impression Bunda tadi.”
“Bunda ngerasa dia tuh bisa diandalkan gitu, Dek. Ngga tau, sih, firasat aja. Terus dia juga sopan, easy going juga, ya pokoknya berdasarkan first impression Bunda, sih, ngga ada yang aneh, Dek. Selayaknya anak SMA aja, yang kalo ditanya atau diajak ngobrol pasti masih agak gugup dan takut salah ngomong. Tapi ngga masalah juga sebenarnya, wajar aja.”
Menyimak perkataan sang Ibunda, Seungmin pun mengangguk pelan. Bagi Seungmin, itu merupakan satu pijakan baginya untuk menentukan arah mereka kedepannya. Ya ... walaupun sebetulnya Seungmin juga masih tidak tahu, akan Hyunjin bawa ke mana arah mereka.