Be my forever.

Seperti rencana, keduanya kini berada di suatu ruangan dengan hiasan elegan. Berdua—berhadapan. Tatap mata mereka enggan lepas satu sama lain, pun tangan mereka yang juga masih bertautan.

Minho tak dapat menyangkal, bahwa Seungmin yang berada di hadapannya kini begitu menawan.l dengan pakaian formal, ditambah senyumnya yang masih setia terukir, pipinya yang juga merona, dan matanya yang berkilauan—membuat Minho terdiam, tak berkutik sedikitpun.

Begitupun Seungmin kala melihat Minho. Ia menatap mata Minho yang entah mengapa makin ia dalami tatapannya—rasanya makin berkaca-kaca. Malam ini, kekasihnya itu tampak luar biasa. Otaknya tidak dapat memikirkan siapapun selain laki-laki dihadapannya. Laki-laki yang sudah bersamanya selama kurang lebih 27 tahun.

Sapuan angin yang menyelinap lewat sela-sela pintu balkon yang setengah terbuka membuat rambut Seungmin tak beraturan. Saat itulah Minho melancarkan aksinya. Tangannya kanannya ia gunakan untuk merapikan kembali rambut sang kekasih.

Setelahnya ia berkata, “udah, yuk. Makan lagi.”

Seungmin mengangguk sambil tersenyum dan menyuap makanannya perlahan.

Selama itu, mereka banyak membicarakan banyak hal. Mulai dari pekerjaan, hingga masa kecil mereka. Awalnya tidak terbesit di benak Seungmin untuk kembali menggali masa kecil mereka. Bukan tanpa alasan, melainkan Seungmin sedikit malu. Mengingat, dahulu ia mentah mentah menolak Minho, bahkan bersumpah untuk enggan menikah dengan kakak kelasnya kala itu.

Namun, sebaliknya. Minho-lah yang justru membuat arah pembicaraan ke arah masa kecil mereka. Mulai dari Seungmin kecil yang banyak bicara, Minho kecil yang tidak bisa diam, dan tentang mereka yang selalu bersama-sama sejak kecil.

“Kita.. Udah jauh banget, ya, kak?”

Minho mengangguk setuju, tangan kanannya mengusap pipi Seungmin lembut, “Habis ini mau ke mana?”

Awalnya Seungmin agak bingung, apa konteks dari pertanyaan Minho. Tetapi, ia menanggapinya dengan konteks yang umumnya dikatakan.

“Pulang? Atau kamu mau ke mana dulu, gitu?”

“Kitanya, Seung. Kita mau ke mana?” Seungmin tambah bingung dibuatnya, jika bukan konteks seperti itu, lantas konteks yang bagaimana?

“Aku ikut kakak aja, deh. Kakak maunya ke mana?”

“Maksud aku, hubungan kita, Seung. Kalau aku bilang, kamu mau ngga nikah sama aku? Kamu mau ikut? Kamu mau nikah sama aku?”

Jantung Seungmin berdegup tak karuan, bahkan Seungmin yakin bahwa Minho pun dapat mendengar suara di tiap detakannya.

“You're joking?”

“Ngga. Aku ngga mau bercanda soal kamu.”

“Say it again, please?”

Sebelum Minho mengulangi perkataannya, ia mengeluarkan kotak cincin berwarna merah delima dari kantungnya. Ia tarik napas panjang, setelah merasa tak lagi ragu, ia pun membukanya sembari berkata, “Seungmin kim, will you be my forever?”

Bukannya menjawab, Seungmin justru menitikkan air matanya. Ia tak menyangka dengan apa yang ia dengar barusan. Suara bahagianya bertabrakan dengan pernyataan Minho.

“How could I say no, kak?”

Minho tersenyum lebar mendengarnya. Ia belum pernah merasa sebahagia ini saat menerima sebuah jawaban. Dengan cepat Minho sempatkan cincin itu di jari manis Seungmin, lalu mencium punggung tangan laki-laki-laki bersurai hitam tersebut.

“Makasih, Seungmin. Makasih banyak.” Minho memeluk Seungmin erat, seakan-akan Seungmin hanya miliknya seorang.

Seungmin pun mengistirahatkan dagunya pada pundak Minho dan ikut tersenyum bahagia.

Memori mereka seakan mengajak mereka kembali melintasi ruang dan waktu, memutar ulang kejadian-kejadian yang membekas antar keduanya. Hingga pada akhirnya mereka berkata dalam hati masing-masing, “akhirnya.”

Meski demikian, yang ini bukanlah akhir. Masih banyak perjalanan yang akan mereka tempuh di depan sana. Selebihnya, mereka berharap, bagaimanapun kondisi jalan yang akan mereka tempuh, semoga mereka dapat melewatinya bersama-sama.