Another one
Mendengar kabar bahwa sang kekasih tidak berada di lokasi awal, membuat Jisung kalang kabut.
Walaupun amarah tengah melahap setengah dirinya, Jisung masih memiliki secuil kewarasan untuk mengesampingkan jauh-jauh egonya untuk kemudian mencari Seungmin.
Hari kian larut. Kendaraan yang biasanya ramai melintas pun bahkan merasa enggan untuk melanjutkan aktivitasnya. Kini hanya tersisa beberapa orang setengah sadar yang berlalu lalang, berusaha mencari jalan pulang.
Sedangkan Jisung masih tak kunjung menemukan kekasihnya. Namun, ia merasa yakin bahwa keberadaan sang kekasih tak jauh dari bangunan bertingkat tiga—tempat mereka tinggal.
Jisung kembali menyusuri jalanan dengan lampu remang-remang tersebut, berharap ada sesuatu yang terlewat.
Jarak dua halte dari kost tempat mereka tinggal—dari kejauhan, netra Jisung menangkap sosok pemuda yang tengah duduk tertunduk sembari mengusap wajahnya sesekali. Karena minimnya pencahayaan di halte tempat pemuda itu menepi, akhirnya Jisung menghampirinya untuk memastikan.
Benar saja, sosok itu tak lain adalah Seungmin. Ia menatap kosong bumi yang dipijaknya, masih dalam keadaan menangis. Nafasnya pun ikut tersengal, dan dapat dipastikan wajahnya menjadi sembab bukan main.
Jisung memberhentikan motor hitam legam kesayangannya itu tepat di dekat Seungmin. Karena merasa terinterupsi, Seungmin pun mendongak untuk melihat siapa yang ada di depannya.
“Kenapa ngga pulang?” tanya Jisung begitu tatapannya beradu dengan netra Seungmin.
Bukannya menjawab, Seungmin justru makin mengeraskan tangisnya. Jisung pun demikian, ia enggan mengulang pertanyaannya.
“Gua yang diginiin kok lu yang nangis?” Wajahnya terlihat serius dengan ekspresi datar. Kendati demikian, masih ada kepedulian dalam diri Jisung. Selanjutnya, ia justru memakaikan jaket yang semula ia pakai ke tubuh Seungmin.
“Maaf, Ji ... aku ngga berani pulang. Aku takut kamu makin marah ....”
Lagi-lagi Jisung menutup rapat mulutnya. Ia kemudian memakai helmnya dan menarik pelan tangan Seungmin untuk duduk di motornya. Seungmin sedikit menahan gerak tubuhnya supaya tidak tertarik oleh Jisung, namun, kekasihnya itu segera menoleh dan berkata, “Naik. Kita pulang.”
Mendengar nada bicara yang tak biasa ia dengar, Seungmin pun menjadi segan dan memilih untuk patuh.
Dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh, mereka pun akhirnya sampai. Begitu turun dari motor, Jisung kembali memegangi pergelangan kekasihnya sembari berjalan ke lantai 3, alias ke kamar milik Seungmin.
Sesampainya di depan pintu, Jisung merogoh kantung celananya untuk mengeluarkan kunci kamar Seungmin yang biasanya dititip padanya.
Pintu pun terbuka, dan Jisung mendorong pelan tubuh Seungmin untuk masuk. Begitu dirinya membalik badan, ganti tangan Seungmin yang kini mencekal tangannya. Seungmin tak berucap sepatah kata pun, ia hanya menatap Jisung dengan tatapan yang tersirat berlembar-lembar kalimat yang siap untuk dilontarkan.
Namun, Jisung terlebih dahulu membuka suaranya. “Masuk. Gua ngga mau ngobrol sekarang,” ucapnya yang kemudian melepas tautan yang Seungmin ciptakan.
Jisung pergi ke kamarnya setelah ia menutup pintu. Menyisakan Seungmin sendirian yang kini dirundung rasa bersalah.
Seungmin paham letak kesalahannya, ia pun tau bahwa yang Jisung rasakan tidaklah jauh berbeda dengan yang ia rasakan kemarin—kala Jisung bercengkerama dengan orang yang tidak ia sukai. Atau mungkin... lebih sakit?